Kisah

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : terimakasih telah mengembalikan ibuku

"Terimakasih Telah Mengembalikan Ibuku" Dulu, aku tak mengerti kasih sayang ibuku. Kasih sayang itu aku rasakan di setiap nada bicara Ibu sebagai bentuk kecerewetan. Tapi itulah ibuku. Kini aku tahu, ibu selalu mengajarkan kami kemandirian dan segera adalah melakukan segala sesuatu. Kesannya, Ibu terkadang terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu hal. Hal ini mungkin karena Ibu ingin cepat segera menyelesaikannya. Ibu... Dialah wanita perkasa dalam hidupku. Segala hal, berusaha beliau lakukan sendiri untuk keluarga ini. Apapun beliau lakukan demi melihat aku, kakak, dan adikku tersenyum. Dari kecil sampai dewasa, kasih sayang ibu selalu mengiringi langkah hidupku. Ibu orangnya kuat. Sakit-sakit yang pernah dideritanya selama ini seperti demam, atau yang lainnya, tak pernah Ibu rasakan sebagai suatu penyakit berat yang dapat menghambat pekerjaan beliau sebagai ibu rumah tangga sekaligus guru. Aku teringat pada peristiwa besar yang mengguncang langkah hidupku tahun 2011 lalu. Ini mungkin ujian untuk kami, untuk keluargaku. Karena sejatinya Allah tak pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan kesulitan. Berawal dari pernikahan kakakku di bulan maret 2010. Di tengah acara pernikahan kakakku, muka ibu pucat dan tubuhnya lemas. Berkali-kali bapak tanyakan tentang keadaan ibu. Tapi ibu selalu menjawab, "Nggak apa-apa Pak, mungkin kecapekan." Mendengar jawaban dari Ibu, bapak agak sedikit tenang meskipun mungkin dalam hatinya ada rasa khawatir tentang keadaan ibu. Kebahagiaan datang kepada keluarga kami lagi, dengan diberikan bayi mungil yang lahir dari rahim kakakku pada tanggal 25 November 2010. Senang, karena nanti aku akan di panggil 'Ammah'. Panggilan bahasa Arab yang artinya "Tante". Mungkin ini yang Allah maukan dari kita. Di sela-sela kebahagiaan yang di berikan-Nya, Allah memberikan ujian di tengah-tengah kelurgaku. Di antara hikmahnya, Allah mengingatkan hamba-Nya agar tidak lupa dengan nikmat-nikmat yang di rasakannya. Tepat tanggal 23 November 2010, ibu merasakan sakit yang luar biasa. Tapi ibu menahan rasa sakit itu, demi kakakku yang pada saat itu mengalamai proses melahirkan. Barulah menginjak bulan Desember 2010, bapak memaksa ibu untuk periksa di rumah sakit Surabaya. Hasilnya mengejutkan. Ibu mengidap tumor ganas. Kanker ibu sudah mencapai stadium 4, kata dokter. Bak tersambar petir, hatiku langsung panas mendengar berita itu. Air mata juga langsung mengucur deras di pipiku ketika kakakku menceritakan hal ini melalui telepon. Selang beberapa waktu, dokter mengatakan pertumbuhan kanker ibu yang semakin merajalela di dalam tubuh ibu, yang membuat ibu harus mejalankan sekian terapi yang dia anjurkan oleh dokter. Kanker itu berada di dekat payudara ibuku. Ukurannya kira-kira sebesar telur ayam. Benjolan itu keras. Ngeri. Aku sampai tidak tega saat memegang benjolan itu. Aku hanya ingin ibu sembuh dari penyakit itu. Penyakit yang mengerikan yang selalu membuat orang takut mendengarnya. Penyakit yang telah mengakibatkan sekian banyak orang meninggal dunia. Membuat aku tak berdaya dengan semua itu. Kuat! Kuat! Aku harus bisa kuat! Aku harus bisa menguatkan Ibuku. Aku harus ada disisi ibu. Ibu butuh dukungan kami semua. Kami akan selalu menemani Ibu. Berkali-kali aku panjatkan doa sambil menangis, "Ya Allah, jangan panggil Ibuku sekarang, aku masih butuh Ibu. Aku butuh Ibu sebagai penguat langkah hidupku. Aku butuh Ibu, karena aku ingin belajar memasak, menjahit, dan lainnya. Jangan ambil Ibuku Ya Allah. Aku belum sempat membalas kebaikan yang telah dilakukannya." Hampir setiap langkah aku selalu mengurai air mata saat tahu ibu yang selama ini sering aku bantah perintahnya terkena penyakit kanker. Ibu yang panggilannya sering aku abaikan saat dia membutuhkan, kini rapuh tidak berdaya di kasur. Ibu yang selalu berkata dengan nada yang tinggi untuk membangunkan aku pada pagi hari, kini tak terdengar lagi suaranya. Sepi tanpa Ibu, aku rasakan penuh kehampaan di rumah selama tahun 2011. Bapak yang menggantikan pekerjaan ibu, selama ibu menjalankan paket terapi dari dokter itu. Paket terapi dari dokter tersebut berisi 6 kali kemoterapi dan 1 kali operasi. Kemoterapi? Aku tidak tahu istilah asing dalam kedokteran itu. Apa yang akan dilakukan dokter untuk mematikan kanker yang ada di dalam tubuh ibu? Apa? Ternyata, kemoterapi adalah penggunaan obat-obatan untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel kanker. Terapi ini diperlukan untuk memperlambat perluasan sel kanker. Sel kanker adalah sel hidup. Sel ini dapat meluas ke bagian tubuh lainnya. Karena itu, sel kanker ini harus segera dibunuh. Sebelum menjalani enam kali kemoterapi, ibu harus menjalani scan di semua bagian-bagian yang ada dalam tubuh Ibuku. jantung, hati, dan paru-paru. Awal pemeriksaan, hasilnya tidak baik. Dokter mengatakan bahwa kemungkinan Ibuku bertahan hidup hanya 4 bulan, kemungkinan hidup tinggal 40%. Banyak kerusakan yang terjadi dalam organ-organ vital Ibu. Hati ibu sudah ditumbuhi sel kanker. Jantung Ibu sudah berwarna kuning. Ibu harus segera melakukan perawatan secepatnya. Kemoterapi-kemoterapi yang dijalani Ibuku selama tahun 2011, membuat aku merasa kasihan dengan keadaan fisiknya. Kepala yang sudah mulai menggundul, alis mata yang rontok, dan tubuh yang kurus membuat tak sampai hati aku melihat itu semua. Tapi itu semua memang merupakan efek samping dari kemoterapi. Kemoterapi tidak hanya membunuh sel-sel kanker yang jahat saja, namun beberapa sel baik yang cepat membelah juga ikut terbunuh. Karena itu, orang yang menjalani kemoterapi akan mengalami kerontokan rambut, sariawan, serta muntah-muntah. Meski demikian, kemoterapi merupakan cara yang paling efektif -sementara ini- digunakan untuk menyembuhkan kanker. Di sela-sela kemoterapi, bapak juga selalu membantu proses pemulihan ibu dengan membuat jus sehat (jambu, wortel, apel, tomat), rebusan daun sirsak, susu, dan makanan yang harus dimakan Ibu setiap harinya. Kuat! Kuat! Itu yang aku katakan dalam hatiku. Selalu aku panjatkan doa kepada Allah untuk meminta kesembuhan ibuku yang berujung dengan tangisan deras yang mengguyur pipiku. Ya Allah, sembuhkan sakit ibuku. Aku tidak peduli dengan kata-kata dokter itu. Aku hanya percaya dengan ketentuan Allah saja. Karena manusia hanya bisa berikhtiar semaksimal mungkin, tetapi Allah yang menentukan segalanya. Sampai pada kemoterapi yang ke-6. Alhamdulillah, organ-organ vital ibu semakin membaik secara perlahan. Kondisi jantung, hati, dan paru-paru ibu membaik sejalannya waktu. Setelah menjalani kemoterapi, Ibu menjalani operasi pengangkatan kanker. Operasi yang dilakukan selama 10 jam, membuat aku merasa takut kehilangan Ibu. Alhamdulillah, ketika pintu kamar operasi itu dibuka, aku, adik dan bapak langsung lari mendekat kearah ibu. "Ibu..." teriakku kencang bersamaan dengan kasur ibu yang dibawa keluar dari kamar oleh beberapa perawat. Terima kasih Ya Rabb.. Terima kasih. Wajah tenang dan senyuman dari ibu membuat aku banyak bersyukur kepada Allah atas apa yang Allah berikan dibalik ujian-Nya. Sungguh terasa indah. Dari hari ke hari berikutnya Ibu semakin membaik hingga hari ini. Rambut ibu sudah mulai tumbuh dan tubuhnya sudah tidak kurus lagi. Mungkin Allah mengingatkanku karena aku sering membantah perintah ibu. Mungkin Allah mengingatkan agar aku senantiasa mengingat nikmat Allah dalam setiap hari-hariku. Dan kini, Allah berikan kepadaku kesempatan lagi agar aku bisa berbuat baik kepada Ibuku. Karena itu pembaca, jagalah orang tua kalian sebelum nikmat itu pergi dari kalian. Sungguh, kita akan merasa sangat menyesal saat nikmat itu telah hilang. Jangan tunggu penyesalan. Mulailah berbakti kepada orang tua. Terima kasih ya Rabb, terima kasih karena Engkau telah mengembalikan kesehatan Ibuku. Terima kasih telah mengembalikan ibu untuk kami, aku, adik dan kakakku. Sumber: Majalah Qudwah edisi 19 | vol 02 | tahun 2014 | hal. 103
5 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah pemuda yang terkena sihir

"Akhir Dari Penculikan, Awal Dari Keterasingan" Suatu kehendak Allah, memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendaki dan menyesatkan orang-orang yang Ia kehendaki. Dialah Dzat yang Maha Suci lagi Sempurna. Dia berkuasa membolak-balikkan kalbu seorang insan dengan sangat mudah. Hidayah dan taufik hanya milik Allah semata. Aku seorang pemuda berasal dari kota metropolitan. Di sana tampak dan sangat jelas kesibukan duniawi untuk mencari harta dan kedudukan di sisi manusia. Para pemuda baik laki-laki maupun wanita memakai pakaian yang jelas melanggar syariat Islam. Handphone android selalu ada di saku mereka, bercampur-baur di sekolah, kantor, jalanan, bus, bahkan di masjid. Jakarta, ya itulah kampung halamanku hingga saat ini. Kota yang penuh dengan keramaian dan fitnah. Di sanalah aku dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang kusayangi. Usiaku menginjak 13 tahun saat aku harus kehilangan orang yang paling kusayangi yaitu Ibuku. Pukulan yang sangat luar biasa saat itu. Depresi hanya itu yang aku rasakan. Namun, roda kehidupan terus berjalan. Hingga ayahku memasukkanku ke sebuah SMP Negeri di Jakarta. Di situlah aku mulai mengenal dunia luar, khususnya dunia remaja yang buta akan agama. Kelas satu SMP aku jalani bersama teman-teman sebayaku saat itu, penuh dengan kegembiraan dan canda tawa. Tidak ada beban pikiran sedikitpun tentang kewajiban seorang muslim yang sudah baligh dan berakal yaitu kewajiban untuk melaksanakan salat lima waktu. Kami waktu itu mayoritas tak melaksanakan kewajiban itu. Menginjak kelas 2 SMP, aku semakin jauh dari ajaran agama. Tidak tahu mana yang halal dan mana yang haram. tidak tahu apa yang dilarang oleh Allah dan apa yang diperintahkan oleh Rabb semesta alam. Semakin jauh aku berjalan hingga aku berkenalan dengan seorang pemuda yang mengajakku untuk ikut menjadi penonton bayaran di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta. Tawaran itu aku sanggupi untuk mencari uang sendiri, walaupun ayahku masih mampu untuk membiayai kebutuhanku. Setiap pulang sekolah aku langsung ke lokasi syuting dengan masih menggunakan seragam sekolah, berlarut hingga kenaikan kelas tiga aku makin terhanyut dengan pekerjaan tersebut. Dan masuklah aku sebagai karyawan stasiun televisi swasta. Aku mendapat tugas untuk membawa pemuda-pemudi untuk menjadi figuran di setiap FTV & sinetron yang aku terlibat di dalamnya. Kehidupan yang penuh hura-hura dan bergaul dengan para artis yang saat itu akan aku menyangka mereka sangat luar biasa? Kehidupan seperti itu aku jalani hingga aku masuk kelas 2 SMA. Selama itu juga aku tidak pernah mempelajari agama kecuali hanya satu jam sekali dalam seminggu. Itu pun tampaknya tak berbekas di dalam jiwaku. Begitu hampa hatiku tanpa siraman ilmu agama. Hingga pada saat itu Allah menakdirkan sesuatu yang sangat pahit dalam kehidupanku, sebuah kejadian yang membuatku terhinakan dan merasa bersalah kepada keluargaku. Yaitu pada saat aku berkenalan dengan seorang laki-laki yang berasal dari Medan yang tinggal di Jakarta. Berawal dari sosmed (media sosial), dia menyapaku terlebih dahulu. Aku pun menyapanya dengan hangat, hingga 2 hari kemudian walau hanya lewat sosmed tiba-tiba dia meminta izin padaku untuk bisa main ke rumahku. Pada saat hari yang ditentukan dia pun datang, seharian dia di rumahku bercerita tentang kehidupan yang penuh dengan kesedihan dan cobaan. Aku mulai merasa kasihan dan iba terhadapnya sampai ketika malam tiba. Dia meminta agar bisa menginap di rumahku. Akupun mengizinkannya untuk tinggal di rumahku bersama ayah. Pada hari kedua entah apa yang terjadi padaku, seolah-olah akalku tertutup. Hati dan pikiran pun entah kemana perginya. Aku merasa tidak mau kehilangan laki-laki itu. Sebulan penuh dia tinggal di rumahku. Keluarga dan sahabat-sahabatku merasa aneh pada sikapku terhadap laki-laki itu. Pada saat itu pula aku menjadi malas sekolah, tidak bekerja, dan tidak bergaul lagi dengan sahabat- sahabatku. Bahkan aku malah diajak ke gereja bersamanya. Entah pada saat itu aku benar-benar tidak sadar dengan apa yang aku lakukan.  Sebulan penuh aku mengikuti kegiatan gereja. Keluarga dan sahabat-sahabatku pun mengetahuinya dan mengambil tindakan. Pada suatu hari ketika aku dan dia ingin ke gereja, ayahku memanggil semua keluargaku dan sebagian dari sahabatku yang sudah curiga terhadap kami.  Pada saat itulah keributan terjadi di rumahku. Laki-laki itu hanya diam sambil duduk bersila sedangkan aku membela dia sampai berani melawan ayah dan keluargaku, entah aku benar-benar tidak sadar atas semua itu?  Akhirnya mereka berhasil memisahkan kami. Paman dan semua sepupuku memegangi tangan dan badanku hingga laki-laki itu keluar dan diusir oleh pamanku. Dua hari kemudian pertepatan dengan pemilu walikota di Jakarta, dan aku menjadi salah satu petugasnya, siang hari pukul 12:30, Ketika aku keluar kompleks perumahan untuk mencari makan siang, tiba-tiba aku melihat laki-laki itu kembali hingga dia menghampiriku.  Seperti disihir? ya memang disihir! Sekejap mata, aku luluh lagi terhadapnya. Dia memintaku untuk ikut dengannya, aku pun mengikutinya. Sampailah aku di sebuah rumah yang kecil, sangat kumuh!  Ternyata itu rumahnya laki-laki itu. Tinggallah aku di situ dengannya tanpa membawa pakaian satupun. Semua keluarga dan sahabat-sahabatku tidak tahu keberadaanku. Sebulan tinggal bersamanya penuh kesengsaraan! Makan susah! Minum susah! Uang pun tidak ada!  Penculik? Itulah yang pantas disandarkan pada laki-laki itu! Yang membawaku jauh dari keluarga dan lupa akan segalanya, pada saat itu aku tidak sadar apa yang telah terjadi. Di sihir? Itulah yang tepat. Hingga laki-laki itu berhasil membawaku semakin jauh dari keluarga.  Ia membawaku ke kota Medan, kota yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu dan Kristen. Di situ, laki-laki itu menampakan jati dirinya. Dia membawaku ke sebuah rumah di belakang kilang padi dan ternyata itu rumah ibunya.  Ya satu kebohongan yang membuatku terdiam. Hingga esok harinya, aku diajak laki-laki itu ke gereja. Kemudian aku pun dibaptis. Jadilah aku seorang pemuda yang beragama Kristen Protestan. Yang jauh dari keluarga.  Setiap tiga hari dalam seminggu aku hanya menghabiskan waktuku untuk kegiatan di gereja. Untuk masalah pekerjaan, laki-laki itu menyuruhku mencari uang dengan cara meminta-minta dari masjid ke masjid yang lain dengan menggunakan sertifikat mualaf yang dia punya.  Sertifikatnya asli tapi penuh dengan kedustaan. Seiring berjalannya waktu semakin lama laki-laki itu semakin kasar dan sangat bengis. Sesekali kalau aku melakukan kesalahan walaupun hanya sedikit, tangan dan kakinya tidak segan-segan diarahkan ke mukaku atau kebagian tubuh yang lain. Tidak jarang pula keluar darah di beberapa bagian dari tubuhku seperti bibir dan hidung.  Penuh siksa dan derita bagaikan budak yang harus melayani hawa nafsu majikannya.  Hingga suatu ketika kami mendapatkan pekerjaan di rumah makan. Aku kira dengan itu dia bisa berubah. Eh, ternyata tidak sama sekali. Bahkan dia semakin kasar pada diriku. Tidak begitu lama bekerja, kami memutuskan untuk keluar, dan kembali beralih ke pekerjaan mengemis.  Setiap hari kami mendatangi 2 atau 3 masjid yang sudah kami bohongi. Tidak jarang uang 200 ribu dikantungi laki-laki itu. Sedangkan aku hanya menjadi budak yang harus mengikuti perintahnya. Seakan-akan kendali diriku ada di tangannya.  Sesak dan terasa sempit! Kehidupan yang gelap gulita, penuh dengan darah dan air mata. Pada saat itu aku sama sekali tidak mengingat keluargaku. Hanya saja pernah suatu kali aku mengingat ayah. Aku pun segera ingin pulang ke Jakarta dan menemui keluarga yang kurindukan. Tetapi itu hanyalah khayalan semata. Karena laki-laki itu menghalangiku, mencegahku dan menangis di hadapanku. Entah air mata apa itu?  Tetapi pada saat aku memaksa dan mendorong badan laki-laki itu, tak ayal aku pun dihajar dengan kedua tangannya bertubi-tubi. Rambutku dijambak sekeras mungkin sampai aku tergeletak lemas dan terjatuh ke lantai.  Hampir 1 tahun di Medan menjalankan kehidupan yang penuh sesak di dada. Tidak berselang lama laki-laki itu mengajakku kembali ke Jakarta. Entah apa yang dia rencanakan. Kembali ke Jakarta, kegiatan hari pertama adalah mencari pekerjaan dengan menggunakan ijazah yang laki-laki itu telah mengubahnya sedemikian rupa.  Hingga kami pun mendapatkan pekerjaan dan kehidupan mulai membaik. Kegiatan yang aku jalani selain bekerja adalah kegiatan ibadah gereja. Aku dilibatkan menjadi Quwayear yaitu menyanyikan lagu-lagu gereja pada saat ibadah.  Aku pun mempunyai 1 lagu single yang aku nyanyikan sendiri dan dimasukkan ke album artis gereja yang lain. Kehidupan seperti itu harus aku jalani di tengah-tengah sekelompok kaum yang menyembah dan beribadah kepada selain Allah, hidup penuh hingar-bingar kemewahan yang penuh kesombongan dan keangkuhan.  Hingga takdir datang, aku dan laki-laki itu dikeluarkan dari pekerjaan, juga dari gereja. Pengangguran? Ya kami menjadi pengangguran yang tidak tahu ingin kemana lagi mencari sesuap nasi dan membayar kontrakan yang sudah nunggak 2 bulan. Namun laki-laki tersebut mempunyai ide yang sangat picik.  Dia berkata, "Bagaimana kalau kita masuk Islam lagi di salah satu masjid?" Aku hanya diam dan berkata, "Di mana?" Laki-laki itu menjawabnya dengan pede, di sana dan di sana. Seperti yang aku katakan pada pertengahan cerita ini, aku seperti disihir. Ya memang disihir!  Aku diam saja dan mengikuti apa maunya tanpa ada pemberontakan sama sekali. Hari yang disepakati pun tiba. Sore pukul 17:00 aku dan laki-laki itu berangkat ke kota Bogor. Malam sudah tiba ketika kami melangkahkan kaki dan mendapatkan sebuah masjid yang lumayan besar.  Baca juga : Renungan, Sudahkah Kita Bersyukur? Setelah sampai dan mendatangi salah satu pengurus masjid itu, aku menjelaskan apa maksud kedatangan kami. Alhasil diterima maksud kami. Sehari kemudian akan syahadat pun dilaksanakan di masjid itu dihadiri para pengurus dan satu saksi.  Jadilah aku dan laki-laki itu seorang muslim, dibimbing dengan bimbingan yang sederhana, pada saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun 2015. Terjebak? Ya laki-laki itu terjebak, termasuk aku. Setelah itu, kami merasa terjebak di masjid itu.  Rencana yang semula ingin menggunakan sertifikat baru itu untuk meminta-minta dari masjid ke masjid hancur begitu saja. Allah berkehendak lain. Aku dan laki-laki itu tinggal di Bogor selama bulan puasa. Dengan kehendak Allah, ada salah satu pengurus masjid yang kemudian ingin memasukkan kami ke pondok. Dengan informasi dan perantara keponakan imam masjid yang sudah lama menjadi santri di sebuah pesantren, kami meminta izin kepada semua pengurus. Kami pun diizinkan.  Esok paginya kami berangkat dengan menggunakan bus. Kurang lebih 13 jam kami di perjalanan. Kemudian kami sampai di sebuah pondok ahlussunnah. Kehidupan baru nan agamis, setiap hari memakai sarung, koko, dan peci. Teman-teman baru kutemani, walau aku merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Sekuat tenaga aku mulai membiasakan diri dengan hidupku yang baru ini bersama laki-laki itu. Hingga pelajaran dimulai aku masih sibuk dengan apa yang ustadz ajarkan. Tidak ada kesedihan, air mata, dan tumpahnya darah. Laki-laki itupun sikapnya mulai membaik. Tidak ada kata-kata kasar keluar dari mulutnya.  Tidak terasa sudah 2 bulan aku dan laki-laki itu mengenal dakwah ahlussunnah yang penuh dengan kebenaran! Hingga ada suatu kejadian yang membuatku terlepas dari laki-laki itu dan sihir jahatnya. Tiga hari sebelum Idul Adha dengan tatapan dan raut wajah yang seakan akan membenciku, laki-laki itu memarahiku tanpa sebab.  Di belakang para santri yang lain, terjadilah pertengkaran yang sangat memalukan. Di saat itu sepertinya aku yang salah, sehingga ada salah seorang yang melihat dan memisahkan kami berdua.  Setelah kejadian itu, sungguh sangat luar biasa dan aku sangat bersyukur, karena sedikit demi sedikit aku mulai mengingat siapa diriku yang sebenarnya. Keesokan paginya aku langsung menceritakan apa yang sebenarnya aku alami dan siapa sebenarnya laki-laki itu.  Setelah aku menceritakan pada salah satu santri, beritanya sangat cepat menyebar pada para Ustadz. Bersamaan dengan itu, guna-guna laki-laki itupun sedikit demi sedikit mulai menghilang di dalam tubuhku.  Dan satu keputusan dari pihak pondok telah membuatku terlepas dari semua siksa yang laki-laki itu berikan selama 3 tahun ini. Akhirnya laki-laki itu dikeluarkan dari pondok meskipun ia merengek dan menangis. Ia memohon agar tetap dipertahankan di pondok ini atau aku ikut dikeluarkan juga bersamanya.  Namun keputusan sudah bulat untuk mengeluarkannya. Berikutnya kedustaannya pun mulai terkuak satu persatu. Namun ada yang aneh yang aku rasakan di dalam hatiku. Aku menangis tetapi tidak tahu mengapa menangis? Terkecamuk di dalam hatiku sesuatu yang kurasakan sangat tidak wajar. Teman-temanku di sakan (asrama) yang menenangkan dan mengajakku bermain agar pikiran pada si laki-laki itu hilang.  Sehari setelah laki-laki itu diusir, aku masih merasa ada yang aneh dalam diriku. Seakan ada sesuatu yang mengganjal, sampai pada saat teman-teman di sakan dan dua orang musyrif mengambil tindakan untuk meruqyah (membacakan Al Quran untuk menghilangkan gangguan jin) diriku. Hampir satu minggu di ruqyah, aku merasa ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam tubuhku.  Aku merasakan sakit yang sangat di bagian dada, dan panas yang bergelora di sekujur tubuhku. Hingga pada akhirnya Allah mengizinkan agar setan dan guna-guna yang laki-laki itu berikan untukku selama 3 tahun ini hilang lenyap tidak ada yang tersisa.  Alhamdulillah, segala puji bagi-Nya, sekarang aku sudah terbebas dari semua siksa yang aku jalani bersama laki-laki itu. Tidak terasa pula sudah 1 tahun 1 bulan aku di pesantren ini dan mengenal dakwah ahlussunnah yang penuh dengan kebenaran. Tinggal dan beraktivitas di lingkungan orang-orang yang memegang sunnah Rasulullah.  Sungguh Allah telah menolong dan menyelamatkan diriku dari azab yang pedih untuk kembali ke jalan yang Ia ridhai. Walaupun terasa sangat asing dimanapun aku berada, karena mengikuti sunnah Rasulullah tetapi inilah jalan yang terbaik yang Allah berikan padaku.  Hidayah yang sangat agung ini aku syukuri dan akan aku juga jaga sebaik-baiknya. Dengan izin Allah, aku akan berusaha istiqamah tetap berada di jalan yang benar lagi dibenarkan ini. Dengan mempelajari ilmu syar'i, keterangan, dan petunjuk yang diturunkan Allah kepada Rasulullah ini aku berharap bisa kokoh di atas jalan ini.  Cerita ini aku buat di sela-sela kesibukanku menjadi seorang thalabul ilmi (penuntut ilmu) di pondok ahlussunnah wal jamaah. Ya.. inilah jalan yang terbaik yang diberikan Allah padaku. Semoga dapat menjadi ibrah bagi para pembaca khususnya para syabab (pemuda) ahlussunnah wal jamaah untuk berhati-hati akan jahatnya social media dan pergaulan bebas di luar sana. wassallammualaikum Baca juga : Kisah Santri yang Wafat Tenggelam Sumber : Majalah Qudwah edisi 43/2016 hal.32 
6 tahun yang lalu
baca 14 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : doa si tukang sepatu

Doa si Tukang Sepatu Oleh : Al Ustadz Abu Hafiy Abdullah Ada di antara hamba-hamba Allah yang penampilannya sangat sederhana, tidak dikenal oleh manusia dan bahkan dipandang sebelah mata oleh mereka. Namun siapa sangka dia mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia disisi Allah. Namanya begitu menggelegar di kalangan penduduk langit dan doanya sangat mustajab. Ini mengingatkan kita kepada sabda Nabi riwayat Muslim, . "Terkadang seseorang yang rambutnya berdebu dan terusir di depan pintu namun seandainya ia bersumpah dengan nama Allah, maka Allah akan mengabulkannya." Sesungguhnya yang Allah nilai dari diri seorang hamba adalah keadaan kalbu dan amal sholehnya. Penampilan lahir bukanlah barometer dalam menilai kedudukan seseorang di sisi Allah.  Bukan pula harta benda, pangkat kedudukan, status sosial, garis keturunan, dan yang lainnya dari berbagai urusan duniawi. Kisah berikut ini menjadi salah satu bukti nyata kebenaran sabda Nabi.  Peristiwa ini dialami dan disaksikan secara langsung oleh Muhammad bin Al Munkadir, seorang imam dan ulama besar di kalangan para tabi'in. Muhammad bin Al Munkadir menuturkan, "Ada sebuah tiang di Masjid Rasulullah, aku biasa duduk dan shalat menghadap tiang tersebut di malam hari.  Saat itu penduduk Madinah sedang menjalani musim kemarau nan panjang. Mereka pun keluar berduyun-duyun untuk melakukan shalat istisqa'. Namun tetap saja hujan tidak kunjung turun mengguyur penduduk Madinah.  Suatu malam aku mengerjakan shalat Isya di masjid Rasulullah. Setelah itu aku pergi menuju tiang tersebut dan aku sandarkan tubuhku pada tiang itu. Tiba-tiba datang seorang laki-laki berkulit hitam kepucatan mengenakan kain sarung. Pada lehernya tergantung sebuah sarung yang lebih kecil ukurannya.  Lelaki itu melangkah ke depan menuju tiang yang berada di hadapanku sementara itu aku berada di belakangnya. Lantas orang itu mengerjakan shalat dua rakaat lalu duduk dan berkata,  "Wahai Rabbku, penduduk kota Nabi-Mu telah keluar untuk meminta hujan namun Engkau belum menurunkan hujan kepada mereka. Kini aku bersumpah atas nama-Mu supaya Engkau menurunkan hujan kepada mereka."  Ibnu Al Munkadir melanjutkan kisahnya, "Sungguh diluar dugaan, belum sempat lelaki itu meletakkan tangannya, tiba-tiba aku mendengar gemuruh suara petir. Kemudian datang awan yang mengguyurkan hujan.  Tatkala mendengar suara hujan, lelaki itu memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah aku dengar pujian semacam itu sebelumnya. Kemudian dia berkata, "Siapa saya dan apa kedudukan saya sehingga doa saya bisa terkabul. Namun aku berlindung kepada-Mu ya Allah dengan memuji-Mu dan berlindung dengan kemuliaan-Mu."  Ibnul Munkadir melanjutkan, "Kemudian bangkitlah lelaki itu dan mengenakan kain yang sebelumnya digunakan sebagai sarung. Dia juga menurunkan kain lain yang melekat pada punggungnya hingga kedua kakinya.  Kemudian terus berdiri untuk mengerjakan shalat malam. Tatkala orang itu merasa kedatangan waktu subuh kian dekat, ia pun mengerjakan shalat witir. Kemudian setelahnya dilanjutkan dengan dua rakaat sebelum subuh.  Beberapa saat kemudian iqamah shalat subuh pun dikumandangkan. Dia pun bergegas ikut melaksanakan shalat subuh bersama kaum muslimin. Saat itu juga aku turut menghadiri pelaksanaan shalat subuh tersebut. Ketika imam selesai shalat dan mengucapkan salam, lelaki itu keluar dari masjid. Aku pun mengikutinya dari belakang hingga sampai depan pintu masjid. Dia keluar masjid sembari mengangkat bajunya dan berjalan diatas genangan air.  Aku juga keluar dari masjid dengan mengangkat pakaianku dan berjalan diatas genangan air. Namun aku kehilangan jejak sehingga aku pun tidak tahu kemana orang itu pergi. Pada malam berikutnya, aku kembali shalat di masjid Rasulullah. Kemudian aku pergi menuju tiang itu kalau berbaring pada tiang tersebut.  Tiba-tiba lelaki itu datang lagi lalu berdiri dengan mengenakan kainnya. Ia menjulurkan kain yang lain yang berada di punggungnya pada kedua kakinya. Kemudian ia terus melakukan shalat malam sampai ia khawatir akan kedatangan waktu shalat shubuh.  Pada saat itulah dia salat witir dan dua rakaat shalat fajar. Tatkala iqamah berkumandang, ia pun mengerjakan shalat secara berjama'ah bersama kaum muslimin. Demikian halnya aku juga masuk dalam shaf  untuk mengikuti pelaksanaan shalat berjama'ah.  Setelah imam menyelesaikan shalatnya dan salam, ia pun keluar dari masjid dan aku membuntutinya dari belakang. Lelaki itu terus berjalan dan aku mengikutinya dari belakang sampaike sebuah rumah yang kukenal di Madinah. Akhirnya akupun kembali ke masjid dan mengerjakan shalat Dhuha setelah matahari terbit.  Kemudian aku putuskan untuk menuju rumah tersebut dan menemui laki-laki misterius itu. Setibanya di rumah itu, aku dapati ternyata dia sedang duduk sambil menjahit dan ternyata dia adalah tukang sepatu. Ketika lelaki itu melihatku, dia segera mengetahuiku.  Ia berkata, "Wahai Abu Abdillah (Ibnul Munkadir) selamat datang. Apakah engkau ada keperluan denganku? Apakah anda ingin aku buatkan sepatu?" Aku pun duduk dan kukatakan kepadanya, "Bukankah engkau yang menjadi temanku pada malam pertama itu?" Tiba-tiba rona wajahnya berubah menjadi hitam saya mengatakan dengan teriakannya, "Ibnul Munkadir, apa urusan anda dengan peristiwa itu?!"  Lelaki itu marah sehingga demi Allah aku pun takut kepadanya. Aku katakan kepadanya, 'Baik, sekarang juga aku akan keluar dari sini.' Malam berikutnya aku kembali shalat Isya di masjid Rasulullah. Kemudian aku menuju tiang dan bersandar kepadanya.  Namun laki-laki tersebut belum juga datang. Aku pun berkata kepada diriku sendiri, "Innalillah, apa yang telah kuperbuat terhadap orang itu." Tatkala masuk waktu shubuh, aku pun duduk di situ sampai terbitnya matahari. Kemudian aku keluar dari dan menuju rumah orang itu, tiba-tiba aku lihat pintu rumahnya telah terbuka dan tidak ada sesuatupun di dalamnya. Penunggu rumah itu berkata kepadaku, "Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara anda dengan orang itu kemarin?"  Aku pun balik bertanya, "Ada apa dengannya?" Orang-orang disini mengatakan, "Tatkala engkau keluar dari rumahnya kemarin, dia pun segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumah. Dia tidaklah membiarkan selembar kulit atau cetakan sepatu di rumahnya melainkan ia letakkan pada kain tersebut. Kemudian dia membawa kain itu dan keluar dari rumah sehingga kami pun tidak tahu lagi kemana dia pergi."  Muhammad bin Al Munkadir berkata, "Sungguh tidaklah aku biarkan satu rumah pun di Madinah yang aku ketahui melainkan pasti aku cari dia di rumah tersebut. Namun aku tetap tidak berhasil menemukannya, semoga Allah merahmatinya."  Demikian kisah seorang tukang sepatu yang hidup di masa generasi tabi'in yang doanya mustajab (terkabulkan). Kisah ini juga mencerminkan keikhlasan dan tawadhunya orang tersebut kepada Allah.  Keutamaan yang dia miliki tidak ingin diketahui oleh orang lain. Dan ia sempat marah kepada Ibnu Al Munkadir tatkala mengetahui amalannya dan bahkan melarikan diri dari rumahnya. Demikian semestinya seorang hamba berupaya menyembunyikan berbagai amal shaleh yang dilakukan. Karena sikap yang demikian itu akan membantunya dalam menjaga keikhlasan kepada Allah. Allahu a'lam. Sumber : Majalah Qudwah edisi 25/2015 hal. 17 Kisah : Doa si Tukang Sepatu
6 tahun yang lalu
baca 7 menit