"Akhir Dari Penculikan, Awal Dari Keterasingan"
Suatu kehendak Allah, memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendaki dan menyesatkan orang-orang yang Ia kehendaki. Dialah Dzat yang Maha Suci lagi Sempurna. Dia berkuasa membolak-balikkan kalbu seorang insan dengan sangat mudah. Hidayah dan taufik hanya milik Allah semata.
Aku seorang pemuda berasal dari kota metropolitan. Di sana tampak dan sangat jelas kesibukan duniawi untuk mencari harta dan kedudukan di sisi manusia. Para pemuda baik laki-laki maupun wanita memakai pakaian yang jelas melanggar syariat Islam. Handphone android selalu ada di saku mereka, bercampur-baur di sekolah, kantor, jalanan, bus, bahkan di masjid.
Jakarta, ya itulah kampung halamanku hingga saat ini. Kota yang penuh dengan keramaian dan fitnah. Di sanalah aku dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang kusayangi. Usiaku menginjak 13 tahun saat aku harus kehilangan orang yang paling kusayangi yaitu Ibuku.
Pukulan yang sangat luar biasa saat itu. Depresi hanya itu yang aku rasakan. Namun, roda kehidupan terus berjalan. Hingga ayahku memasukkanku ke sebuah SMP Negeri di Jakarta. Di situlah aku mulai mengenal dunia luar, khususnya dunia remaja yang buta akan agama.
Kelas satu SMP aku jalani bersama teman-teman sebayaku saat itu, penuh dengan kegembiraan dan canda tawa. Tidak ada beban pikiran sedikitpun tentang kewajiban seorang muslim yang sudah baligh dan berakal yaitu kewajiban untuk melaksanakan salat lima waktu. Kami waktu itu mayoritas tak melaksanakan kewajiban itu.
Menginjak kelas 2 SMP, aku semakin jauh dari ajaran agama. Tidak tahu mana yang halal dan mana yang haram. tidak tahu apa yang dilarang oleh Allah dan apa yang diperintahkan oleh Rabb semesta alam. Semakin jauh aku berjalan hingga aku berkenalan dengan seorang pemuda yang mengajakku untuk ikut menjadi penonton bayaran di salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta.
Tawaran itu aku sanggupi untuk mencari uang sendiri, walaupun ayahku masih mampu untuk membiayai kebutuhanku. Setiap pulang sekolah aku langsung ke lokasi syuting dengan masih menggunakan seragam sekolah, berlarut hingga kenaikan kelas tiga aku makin terhanyut dengan pekerjaan tersebut. Dan masuklah aku sebagai karyawan stasiun televisi swasta.
Aku mendapat tugas untuk membawa pemuda-pemudi untuk menjadi figuran di setiap FTV & sinetron yang aku terlibat di dalamnya. Kehidupan yang penuh hura-hura dan bergaul dengan para artis yang saat itu akan aku menyangka mereka sangat luar biasa?
Kehidupan seperti itu aku jalani hingga aku masuk kelas 2 SMA. Selama itu juga aku tidak pernah mempelajari agama kecuali hanya satu jam sekali dalam seminggu. Itu pun tampaknya tak berbekas di dalam jiwaku. Begitu hampa hatiku tanpa siraman ilmu agama.
Hingga pada saat itu Allah menakdirkan sesuatu yang sangat pahit dalam kehidupanku, sebuah kejadian yang membuatku terhinakan dan merasa bersalah kepada keluargaku. Yaitu pada saat aku berkenalan dengan seorang laki-laki yang berasal dari Medan yang tinggal di Jakarta.
Berawal dari sosmed (media sosial), dia menyapaku terlebih dahulu. Aku pun menyapanya dengan hangat, hingga 2 hari kemudian walau hanya lewat sosmed tiba-tiba dia meminta izin padaku untuk bisa main ke rumahku. Pada saat hari yang ditentukan dia pun datang, seharian dia di rumahku bercerita tentang kehidupan yang penuh dengan kesedihan dan cobaan.
Aku mulai merasa kasihan dan iba terhadapnya sampai ketika malam tiba. Dia meminta agar bisa menginap di rumahku. Akupun mengizinkannya untuk tinggal di rumahku bersama ayah.
Pada hari kedua entah apa yang terjadi padaku, seolah-olah akalku tertutup. Hati dan pikiran pun entah kemana perginya. Aku merasa tidak mau kehilangan laki-laki itu. Sebulan penuh dia tinggal di rumahku. Keluarga dan sahabat-sahabatku merasa aneh pada sikapku terhadap laki-laki itu.
Pada saat itu pula aku menjadi malas sekolah, tidak bekerja, dan tidak bergaul lagi dengan sahabat- sahabatku. Bahkan aku malah diajak ke gereja bersamanya. Entah pada saat itu aku benar-benar tidak sadar dengan apa yang aku lakukan.
Sebulan penuh aku mengikuti kegiatan gereja. Keluarga dan sahabat-sahabatku pun mengetahuinya dan mengambil tindakan. Pada suatu hari ketika aku dan dia ingin ke gereja, ayahku memanggil semua keluargaku dan sebagian dari sahabatku yang sudah curiga terhadap kami.
Pada saat itulah keributan terjadi di rumahku. Laki-laki itu hanya diam sambil duduk bersila sedangkan aku membela dia sampai berani melawan ayah dan keluargaku, entah aku benar-benar tidak sadar atas semua itu?
Akhirnya mereka berhasil memisahkan kami. Paman dan semua sepupuku memegangi tangan dan badanku hingga laki-laki itu keluar dan diusir oleh pamanku. Dua hari kemudian pertepatan dengan pemilu walikota di Jakarta, dan aku menjadi salah satu petugasnya, siang hari pukul 12:30, Ketika aku keluar kompleks perumahan untuk mencari makan siang, tiba-tiba aku melihat laki-laki itu kembali hingga dia menghampiriku.
Seperti disihir? ya memang disihir! Sekejap mata, aku luluh lagi terhadapnya. Dia memintaku untuk ikut dengannya, aku pun mengikutinya. Sampailah aku di sebuah rumah yang kecil, sangat kumuh!
Ternyata itu rumahnya laki-laki itu. Tinggallah aku di situ dengannya tanpa membawa pakaian satupun. Semua keluarga dan sahabat-sahabatku tidak tahu keberadaanku. Sebulan tinggal bersamanya penuh kesengsaraan! Makan susah! Minum susah! Uang pun tidak ada!
Penculik? Itulah yang pantas disandarkan pada laki-laki itu! Yang membawaku jauh dari keluarga dan lupa akan segalanya, pada saat itu aku tidak sadar apa yang telah terjadi. Di sihir? Itulah yang tepat. Hingga laki-laki itu berhasil membawaku semakin jauh dari keluarga.
Ia membawaku ke kota Medan, kota yang sebagian besar penduduknya beragama Hindu dan Kristen. Di situ, laki-laki itu menampakan jati dirinya. Dia membawaku ke sebuah rumah di belakang kilang padi dan ternyata itu rumah ibunya.
Ya satu kebohongan yang membuatku terdiam. Hingga esok harinya, aku diajak laki-laki itu ke gereja. Kemudian aku pun dibaptis. Jadilah aku seorang pemuda yang beragama Kristen Protestan. Yang jauh dari keluarga.
Setiap tiga hari dalam seminggu aku hanya menghabiskan waktuku untuk kegiatan di gereja. Untuk masalah pekerjaan, laki-laki itu menyuruhku mencari uang dengan cara meminta-minta dari masjid ke masjid yang lain dengan menggunakan sertifikat mualaf yang dia punya.
Sertifikatnya asli tapi penuh dengan kedustaan. Seiring berjalannya waktu semakin lama laki-laki itu semakin kasar dan sangat bengis. Sesekali kalau aku melakukan kesalahan walaupun hanya sedikit, tangan dan kakinya tidak segan-segan diarahkan ke mukaku atau kebagian tubuh yang lain. Tidak jarang pula keluar darah di beberapa bagian dari tubuhku seperti bibir dan hidung.
Penuh siksa dan derita bagaikan budak yang harus melayani hawa nafsu majikannya.
Hingga suatu ketika kami mendapatkan pekerjaan di rumah makan. Aku kira dengan itu dia bisa berubah. Eh, ternyata tidak sama sekali. Bahkan dia semakin kasar pada diriku. Tidak begitu lama bekerja, kami memutuskan untuk keluar, dan kembali beralih ke pekerjaan mengemis.
Setiap hari kami mendatangi 2 atau 3 masjid yang sudah kami bohongi. Tidak jarang uang 200 ribu dikantungi laki-laki itu. Sedangkan aku hanya menjadi budak yang harus mengikuti perintahnya. Seakan-akan kendali diriku ada di tangannya.
Sesak dan terasa sempit! Kehidupan yang gelap gulita, penuh dengan darah dan air mata. Pada saat itu aku sama sekali tidak mengingat keluargaku. Hanya saja pernah suatu kali aku mengingat ayah. Aku pun segera ingin pulang ke Jakarta dan menemui keluarga yang kurindukan. Tetapi itu hanyalah khayalan semata. Karena laki-laki itu menghalangiku, mencegahku dan menangis di hadapanku. Entah air mata apa itu?
Tetapi pada saat aku memaksa dan mendorong badan laki-laki itu, tak ayal aku pun dihajar dengan kedua tangannya bertubi-tubi. Rambutku dijambak sekeras mungkin sampai aku tergeletak lemas dan terjatuh ke lantai.
Hampir 1 tahun di Medan menjalankan kehidupan yang penuh sesak di dada. Tidak berselang lama laki-laki itu mengajakku kembali ke Jakarta. Entah apa yang dia rencanakan. Kembali ke Jakarta, kegiatan hari pertama adalah mencari pekerjaan dengan menggunakan ijazah yang laki-laki itu telah mengubahnya sedemikian rupa.
Hingga kami pun mendapatkan pekerjaan dan kehidupan mulai membaik. Kegiatan yang aku jalani selain bekerja adalah kegiatan ibadah gereja. Aku dilibatkan menjadi Quwayear yaitu menyanyikan lagu-lagu gereja pada saat ibadah.
Aku pun mempunyai 1 lagu single yang aku nyanyikan sendiri dan dimasukkan ke album artis gereja yang lain. Kehidupan seperti itu harus aku jalani di tengah-tengah sekelompok kaum yang menyembah dan beribadah kepada selain Allah, hidup penuh hingar-bingar kemewahan yang penuh kesombongan dan keangkuhan.
Hingga takdir datang, aku dan laki-laki itu dikeluarkan dari pekerjaan, juga dari gereja. Pengangguran? Ya kami menjadi pengangguran yang tidak tahu ingin kemana lagi mencari sesuap nasi dan membayar kontrakan yang sudah nunggak 2 bulan. Namun laki-laki tersebut mempunyai ide yang sangat picik.
Dia berkata, "Bagaimana kalau kita masuk Islam lagi di salah satu masjid?" Aku hanya diam dan berkata, "Di mana?" Laki-laki itu menjawabnya dengan pede, di sana dan di sana. Seperti yang aku katakan pada pertengahan cerita ini, aku seperti disihir. Ya memang disihir!
Aku diam saja dan mengikuti apa maunya tanpa ada pemberontakan sama sekali. Hari yang disepakati pun tiba. Sore pukul 17:00 aku dan laki-laki itu berangkat ke kota Bogor. Malam sudah tiba ketika kami melangkahkan kaki dan mendapatkan sebuah masjid yang lumayan besar.
Baca juga : Renungan, Sudahkah Kita Bersyukur?
Setelah sampai dan mendatangi salah satu pengurus masjid itu, aku menjelaskan apa maksud kedatangan kami. Alhasil diterima maksud kami. Sehari kemudian akan syahadat pun dilaksanakan di masjid itu dihadiri para pengurus dan satu saksi.
Jadilah aku dan laki-laki itu seorang muslim, dibimbing dengan bimbingan yang sederhana, pada saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan tahun 2015. Terjebak? Ya laki-laki itu terjebak, termasuk aku. Setelah itu, kami merasa terjebak di masjid itu.
Rencana yang semula ingin menggunakan sertifikat baru itu untuk meminta-minta dari masjid ke masjid hancur begitu saja. Allah berkehendak lain. Aku dan laki-laki itu tinggal di Bogor selama bulan puasa. Dengan kehendak Allah, ada salah satu pengurus masjid yang kemudian ingin memasukkan kami ke pondok.
Dengan informasi dan perantara keponakan imam masjid yang sudah lama menjadi santri di sebuah pesantren, kami meminta izin kepada semua pengurus. Kami pun diizinkan.
Esok paginya kami berangkat dengan menggunakan bus. Kurang lebih 13 jam kami di perjalanan. Kemudian kami sampai di sebuah pondok ahlussunnah.
Kehidupan baru nan agamis, setiap hari memakai sarung, koko, dan peci. Teman-teman baru kutemani, walau aku merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Sekuat tenaga aku mulai membiasakan diri dengan hidupku yang baru ini bersama laki-laki itu. Hingga pelajaran dimulai aku masih sibuk dengan apa yang ustadz ajarkan. Tidak ada kesedihan, air mata, dan tumpahnya darah. Laki-laki itupun sikapnya mulai membaik. Tidak ada kata-kata kasar keluar dari mulutnya.
Tidak terasa sudah 2 bulan aku dan laki-laki itu mengenal dakwah ahlussunnah yang penuh dengan kebenaran! Hingga ada suatu kejadian yang membuatku terlepas dari laki-laki itu dan sihir jahatnya. Tiga hari sebelum Idul Adha dengan tatapan dan raut wajah yang seakan akan membenciku, laki-laki itu memarahiku tanpa sebab.
Di belakang para santri yang lain, terjadilah pertengkaran yang sangat memalukan. Di saat itu sepertinya aku yang salah, sehingga ada salah seorang yang melihat dan memisahkan kami berdua.
Setelah kejadian itu, sungguh sangat luar biasa dan aku sangat bersyukur, karena sedikit demi sedikit aku mulai mengingat siapa diriku yang sebenarnya. Keesokan paginya aku langsung menceritakan apa yang sebenarnya aku alami dan siapa sebenarnya laki-laki itu.
Setelah aku menceritakan pada salah satu santri, beritanya sangat cepat menyebar pada para Ustadz. Bersamaan dengan itu, guna-guna laki-laki itupun sedikit demi sedikit mulai menghilang di dalam tubuhku.
Dan satu keputusan dari pihak pondok telah membuatku terlepas dari semua siksa yang laki-laki itu berikan selama 3 tahun ini. Akhirnya laki-laki itu dikeluarkan dari pondok meskipun ia merengek dan menangis. Ia memohon agar tetap dipertahankan di pondok ini atau aku ikut dikeluarkan juga bersamanya.
Namun keputusan sudah bulat untuk mengeluarkannya. Berikutnya kedustaannya pun mulai terkuak satu persatu. Namun ada yang aneh yang aku rasakan di dalam hatiku. Aku menangis tetapi tidak tahu mengapa menangis? Terkecamuk di dalam hatiku sesuatu yang kurasakan sangat tidak wajar. Teman-temanku di sakan (asrama) yang menenangkan dan mengajakku bermain agar pikiran pada si laki-laki itu hilang.
Sehari setelah laki-laki itu diusir, aku masih merasa ada yang aneh dalam diriku. Seakan ada sesuatu yang mengganjal, sampai pada saat teman-teman di sakan dan dua orang musyrif mengambil tindakan untuk meruqyah (membacakan Al Quran untuk menghilangkan gangguan jin) diriku. Hampir satu minggu di ruqyah, aku merasa ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam tubuhku.
Aku merasakan sakit yang sangat di bagian dada, dan panas yang bergelora di sekujur tubuhku. Hingga pada akhirnya Allah mengizinkan agar setan dan guna-guna yang laki-laki itu berikan untukku selama 3 tahun ini hilang lenyap tidak ada yang tersisa.
Alhamdulillah, segala puji bagi-Nya, sekarang aku sudah terbebas dari semua siksa yang aku jalani bersama laki-laki itu. Tidak terasa pula sudah 1 tahun 1 bulan aku di pesantren ini dan mengenal dakwah ahlussunnah yang penuh dengan kebenaran. Tinggal dan beraktivitas di lingkungan orang-orang yang memegang sunnah Rasulullah.
Sungguh Allah telah menolong dan menyelamatkan diriku dari azab yang pedih untuk kembali ke jalan yang Ia ridhai. Walaupun terasa sangat asing dimanapun aku berada, karena mengikuti sunnah Rasulullah tetapi inilah jalan yang terbaik yang Allah berikan padaku.
Hidayah yang sangat agung ini aku syukuri dan akan aku juga jaga sebaik-baiknya. Dengan izin Allah, aku akan berusaha istiqamah tetap berada di jalan yang benar lagi dibenarkan ini. Dengan mempelajari ilmu syar'i, keterangan, dan petunjuk yang diturunkan Allah kepada Rasulullah ini aku berharap bisa kokoh di atas jalan ini.
Cerita ini aku buat di sela-sela kesibukanku menjadi seorang thalabul ilmi (penuntut ilmu) di pondok ahlussunnah wal jamaah. Ya.. inilah jalan yang terbaik yang diberikan Allah padaku. Semoga dapat menjadi ibrah bagi para pembaca khususnya para syabab (pemuda) ahlussunnah wal jamaah untuk berhati-hati akan jahatnya social media dan pergaulan bebas di luar sana. wassallammualaikum
Baca juga : Kisah Santri yang Wafat Tenggelam
Sumber : Majalah Qudwah edisi 43/2016 hal.32