Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : jodoh di tangan allah

5 tahun yang lalu
baca 6 menit

JODOH DI TANGAN ALLAH

Setiap perempuan yang baik imannya pasti mendabakan dirinya dipersunting oleh laki-laki yang baik pula. Apalagi perempuan tersebut telah lama mengenal ahlus sunnah. Sehingga, dia tahu betul kriteria imam keluarga sesuai al-Quran dan Sunnah.

Namun apa yang terjadi jika seorang perempuan akhirnya memilih bersuamikan seorang yang belum paham agama? Apa gerangan yang jadi alasan?

Siapa yang tidak senang jika mendapat lampu hijau dari orang tua untuk menikah meskipun masih kuliah. Namun syarat yang diajukan kedua orang tuaku amat berat. Laki-laki yang boleh menikahiku harus tidak boleh memakai celana diatas mata kaki, tidak berjenggot, dan diutamakan dari kalangan berada. 

Syarat terakhir mungkin tidak terlalu kuambil pusing, tapi syarat bahwa calon suamiku tidak boleh seorang laki-laki ahlus sunnah yang menunjukkan identitas keislamannya terasa sangat menyesakkan dada. Sebagai anak, aku sangat paham karakter orang tuaku yang tegas dalam membuat keputusan. Namun aku juga sangat menyayangi mereka dan tidak ingin menyakiti hati keduanya. 

Semakin terasa sempit ruang nafasku saat kutahu mereka pun berusaha mencarikan calon suami untuk dijodohkan denganku. Terbayang betapa ngeri masa depanku menjadi istri seseorang yang tidak mengetahui pentingnya mengikuti sunnah Nabi. 

Sempat terbersit niat untuk bertindak nekat. Tentunya, hal itu bukan solusi yang benar. Sebisa mungkin kita harus mempertimbangkan berbagai hal dalam membangun mahligai. Aku berpikir jika bisa dengan cara yang lebih makruf tanpa menyakiti orang tua, akan kuusahakan semaksimal mungkin. 

Dari kecil, aku dikenal sebagai anak yang penurut. Tak pernah kubantah kata-kata mereka, tak pernah kutolak perintah selama itu benar dan aku mampu untuk melakukannya. Tak tega rasanya melihat mereka kecewa. Mereka ingin aku kembali seperti sebelum mengenal ahlus sunnah dalam hal berpakaian. Dan itu tak mungkin aku turuti. 

Sekuat tenaga aku berjuang untuk bisa istiqamah sambil terus berusaha berbuat baik kepada mereka. Tak lupa terus berdoa dan berbaik sangka bahwa suatu hari orang tuaku akan mengerti dan menerima prinsipku tentang laki-laki yang menjadi jodohku. Hingga hampir usai kuliahku, ayah ibu tetap tak mengubah syarat bakal menantu mereka. 

Aku paham jika mereka juga tak ingin menekanku, namun mereka sendiri sudah sangat tertekan dengan opini masyarakat karena memiliki anak perempuan dengan penampilan dan akidah yang nyeleneh di mata mereka. Aku yang kuliah di rantau mungkin tak begitu peduli dengan apa kata orang di kampung. Namun ayah ibu pasti sering merasa telinganya panas mendengar cemooh orang tentangku. 

Singkat cerita, Allah Yang Maha Tahu menghendaki ada seorang laki-laki biasa yang dengan tegas mengutarakan niatnya untuk melamarku. Ia mengaku kagum melihat para perempuan yang memakai hijab sempurna dan berkeinginan untuk memiliki istri yang demikian. 

Dari seorang ibu-ibu yang sering memberi tumpangan makan, kudapat informasi lengkap tentang profilnya. Ia dikenal baik, pekerja keras, sabar, serta penyayang anak kecil. Berasal dari keluarga tidak mampu sehingga kuliah dengan mengandalkan gaji sebagai pengajar al-Quran di sebuah sekolah swasta. 

Aku tahu bahwa semua itu tak bisa dijadikan alasan untuk menerima laki-laki tersebut sebagai calon pendamping hidup. Karena yang menjadi patokan bukan sekadar sifat-sifat baiknya, tetapi ittiba, meneladani sunnah Nabi. Namun entah kenapa aku tidak kuasa untuk menjawab 'tidak'. 

Laki-laki itu sangat gembira karena baru pertama kali dalam hidupnya menyukai wanita dan langsung diterima lamarannya. Sedangkan aku terus sibuk mencari seribu satu alasan kenapa aku menerimanya. Jalan menuju pernikahan pun serasa begitu dimudahkan. Tiga bulan sejak acara lamaran, kami pun menikah. 

Meski berbeda 'jalan', aku tetap berusaha memenuhi hak-haknya sebagai suami. Kuakui sering terjadi pergolakan batin yang begitu hebat di hati. Suamiku bukan rupawan, bukan pula hartawan, apalagi putra bangsawan. Aku bahkan sampai tidak berani bercerita dengan teman-teman karena merasa malu bersuamikan orang yang belum mengerti agama. 

Suamiku memang tak keberatan mengantarku berangkat ke pengajian, membelikan pakaian lengkap dengan hijab syar'i serta masih membebaskanku untuk berteman dengan para teman-teman wanita satu pengajian. Kami juga tak pernah terlibat adu argumen atau debat mengenai perbedaan prinsip diantara kami. Tapi sampai lewat satu tahun usia pernikahan, tak ada tanda-tanda ia tertarik dengan dakwah ahlus sunnah. 

Doa terus kupanjatkan, berbuat baik pada suami terus kulakukan, berprasangka baik pada Allah itu keniscayaan. Allah tak mungkin menyia-nyiakan iman hamba-Nya. Aku pun berusaha sabar dan setia mendampingi suami di tahun-tahun pertama yang masih mengalami kesulitan ekonomi. Setiap ujian yang menerpa kami hadapi bersama. 

Tak pernah terlontar kata penyesalan dariku meski keadaan sering berbanding terbaik dari harapan. Hidupku sebelum menikah memang jauh lebih enak karena apa-apa serba ada. Sampai suatu hari, ketika aku sakit sehingga tidak bisa berangkat pengajian, ia pun berangkat sendiri dengan niat nanti akan mentransfer ilmu yang didapat. Lambat laun akhirnya kami berangkat kajian bersama. 

Tak kuasa menahan haru saat satu persatu celana yang melebihi mata kaki ia bawa ke tukang jahit untuk dipotong. Di sisi lain, Allah juga menguji kami dengan lama menanti momongan. Hal itu membuatku sering merasa stres bahkan depresi. Dan yang bisa menenangkan hati dan jiwaku adalah dengan berangkat ke majelis taklim. Bertemu dengan orang-orang saleh dan mendengarkan ilmu merupakan obat mujarab pengusir galau. 

Suamiku mengerti hal itu dan mungkin mendukungku untuk rajin datang taklim. Suami juga mulai berkenalan dan dekat dengan ikhwan-ikhwan di kajian. Dari situlah hidayah kian nampak semakin tertancap di hatinya. Berjodoh dengan laki-laki yang belum mengerti agama kuterima sebagai suatu ketetapan Allah yang kuyakini memiliki berjuta hikmah. 

Salah satunya adalah Allah menghendaki waktu terbaik untuk kelahiran anak pertama kami. Yaitu saat abah buah hatiku, suamiku, telah mendapat hidayah. Kini kami pun memiliki visi dan misi hidup yang sama. Membangun keluarga diatas sunnah. 

Bagaimana dengan orang tuaku? Sejak awal mereka telah terpikat lebih dulu dengan akhlak menantunya. Sehingga saat suamiku berhijrah menjadi sosok berjenggot dengan celana tanpa menutup mata kaki, mereka rela tanpa sedikit pun mencela. Allahu Akbar

Sumber : Majalah Qudwah Edisi 19 | Vol 02 | Hal 29 | 2014 M

Kisah : Jodoh di Tangan Allah
Oleh:
Atsar ID