Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : goresan tinta di ujung senja

6 tahun yang lalu
baca 10 menit

"Goresan Tinta Di Ujung Senja" 

Musim hujan tiba, berhari-hari derasnya hujan tiada henti mengguyur kotaku, mungkin juga senasib dengan kota-kota tetanggaku, entahlah. Seperti halnya kalbu ini saat itu, berbagai fitnah deras mengepung dan berusaha untuk mencederainya, terjatuh kemudian bangkit, terjerembab lantas bangun, karena semata-mata keutamaan dari Allah, akhirnya aku tersadar, kutepis fitnah itu karena ku yakin bahwa 'qalbun salim' adalah harga mati untuk mengejar surga Allah. Sekali lagi tiada lain kecuali karena taufik dan rahmat dari-Nya.

Dunia itu bulat, sebulat tekadku saat itu untuk meraih, mengejar dan menjilat dunia berikut segala emas dan peraknya, berikut segenap intan dan mutiaranya. Itu ambisi yang telah meracuni gaya pandangku saat itu, dunia adalah segalanya. 

Terengah-engah mengejar sesuatu yang akan ditinggalkan, menyedihkan. "Kalian sekarang berada di atas sebuah ni'mah 'alaa ni'mah, kenikmatan menuntut ilmu. Sebuah kenikmatan yang sangat berharga namun langka kita temui zaman kita saat ini, bahkan mereka-mereka yang mengaku sebagai seorang muslim pun banyak yang tidak mendapatkan kenikmatan ini."

Untaian demi untaian kata-kata yang ustadzku sampaikan kurenungi dan resapi. sehingga semakin memupus ambisiku untuk selain ilmu. Aku tersadar! Bahwa selama ini aku lalai dan lupa, bahwa ternyata selama ini aku mempunyai sebuah kenikmatan yang lebih berharga dan mulia daripada gemerlap dunia dan seisinya. 

Aku terlahirkan dan tumbuh berkembang memang di sebuah keluarga yang yang telah mengenal dakwah. Ayahku adalah sosok pejuang yang rela berkorban demi anak-anaknya bisa menuntut ilmu dan menuntut ilmu. Apapun permintaan anaknya akan beliau penuhi selagi beliau mampu dengan syarat mau menuntut ilmu agama alias mondok. 

Statusku sebagai seorang anak lelaki pertama, menorehkan harapan orang tua 'lebih' kepadaku. Berharap aku mampu menggantikan posisi mereka kelak saat mereka sudah tiada, menerima tongkat estafet, dan menjadi tulang punggung keluarga. 

Di umurku yang masih dibawah 7 tahun, pun aku harus rela meninggalkan teman-teman sekolahku untuk menuruti kemauan orang tua. Saat itu aku terpaksa dan merasa sangat dipaksa. Tak jarang aku memberontak mogok mondok. Namun selalu orang tuaku mempunyai sejuta cara untuk membujuk dan merayuku agar kembali mondok. 

Kadang terlintas di benakku saat itu rasa iri melihat anak-anak seusiaku sangat senangnya bermain berteman dan bebas bergaul di sekolahnya. Sementara aku dikukung dan dikurung di pondok pesantren.

Ditambah dengan bertemankan anak-anak 'nakal' di pondok yang notabenenya berasal dari keluarga awwam, tak jarang mereka meracuniku untuk melanggar aturan pondok, bahkan agama. 

Tak jarang aku ingin mengikuti dan menuruti, namun walhamdulillah selalu Allah gagalkan. Ingin hati ini melanggar dan sejenak merasakan dosa, namun walhamdulillah Allah senantiasa menjaga dan mencegahku dari itu semua. 

Sempat terekam pada pikiranku saat itu, bahwa menjadi orang awam itu enak! Bebas! Bisa berbuat semaunya, tak terikat dengan embel-embel agama, sekolah dapat ijazah, bekerja dapat gaji jadi orang kaya! 

Saat liburan datang, kadang ingin kugunakan untuk sejenak melepas penat dari belajar dan belajar, untuk mengikuti bisikan teman-teman nakal. Namun tidak di pondok, tidak di rumah Allah selalu kirimkan penghalang untuk menggagalkan ambisiku. 

Walhamdulillah. Saat itu aku merasa, mungkin menjadi orang yang nakal bukan takdirku, aku pun tersadar dan berusaha berubah haluan mengganti suasana dan teman-teman. Aku dahulu memiliki seorang teman. Ia anak lelaki pertama dari keluarga yang sangat kaya raya. Aku selalu berandai-andai untuk bisa seperti dia. 

Semua permintaannya selalu dituruti oleh ayahnya. Aku iri, hingga terkadang aku memaksa ayah untuk membelikanku mainan dan peralatan seperti yang dia punyai. Bahkan dalam hal sabun dan sampo pun, aku ingin sama seperti kepunyaannya, walaupun mahal dan tempat membelinya pun tidak dekat. 

Masya Allah, ayahku berusaha menuruti permintaanku meskipun tidak lupa meninggalkan nasehat-nasehatnya. Kembali tentang temanku. Karena suatu dan lain hal, ayah dan ibunya bercerai. Ia pun lantas ikut ayahnya. Ayahnya kemudian mengajaknya pindah ke Pulau Jawa. Di sana ayahnya menikah lagi. Ayahnya sangat semangat untuk menuntut ilmu agama. 

Sementara ibu kandungnya telah berubah drastis. Selepas bercerai ia dinikahi seorang lelaki awwam berprofesi tukang bengkel, maka ia pun menjadi wanita awwam sama seperti suami barunya. Tak jarang teman-teman taklimnya dulu (ummahat ibu-ibu) melihatnya menyapu di luar rumah, jangankan mengenakan cadar, jilbab pun tidak! 

Demikianlah kawan, hidayat taufik itu mutlak di tangan Allah. Aduhai, betapa susahnya menjinakkan dan menaklukkan kalbu ini agar tetap istiqamah diatas rel kebaikan dan kebenaran. Hati ini lemah, sementara ujian dan cobaan silih berganti menerpa. Fitnah syahwat dan syubhat terus mengait para korban jeratan iblis dan bala tentaranya. 

Semakin zaman berputar, semakin banyak mereka yang terperangkap, terjatuh lantas tenggelam dalam kubangan hitam pekat sang iblis. Terbukti! Semakin waktu berjalan, semakin banyak orang-orang gelap yang menguasai dunia, orang-orang rusak dan perusak menjadi mayoritas penghuni bumi.

Cahaya Kebenaran semakin redup, lentera kebaikan semakin punah. Maka beruntunglah mereka yang hidup dalam keterasingan demi mengibarkan bendera nubuwwah, tidak hanyut dalam arus massa, selalu berpijak di atas cahaya kebenaran dan kesabaran. Sungguh betapa beruntung dan bahagialah mereka! 

Kembali ke temanku, suatu saat timbul keinginan dari ayahnya untuk berangkat menuntut ilmu memboyong keluarganya ke negeri Yaman, negeri para penuntut ilmu waktu itu. Segala sesuatu pun dipersiapkan, termasuk temanku saat itu, juga akan berangkat. 

Hingga beberapa hari menjelang keberangkatan, ibu kandungnya meminta untuk melihat dan bertemu dengan anaknya sebelum berangkat ke Yaman bersama ayahnya. Sang ayah pun mengantarnya ke kota ibu kandungnya demi menuruti kemauan kemauan mantan istrinya itu. 

Namun betapa licik dan picik pikiran ibu kandungnya, anaknya ia sembunyikan. Ia tidak mau mengembalikan kepada ayahnya. Meskipun tiket dan visa sudah terbeli, takdir telah tergores. 

Hingga walaupun sudah di bujuk dengan berbagai cara ia tak mau mengembalikan anaknya. Sehingga temanku pun gagal ikut berangkat ke Yaman. Temanku pun akhirnya futur sebagai bersama ibu kandungnya. Ia pun akhirnya dimasukkan ibunya ke sekolah formal dan tentunya bertemankan dengan anak-anak nakal.

Siang itu aku sedang beristirahat di masjid, tiba-tiba terdengar suara sms masuk, kurogoh hp-ku, dan kubaca... "Temanmu r**** tadi kecelakaan nabrak tiang listrik, dan meninggal di tempat. Dia dalam perjalanan pulang dengan temannya dari main playstation, sementara temannya koma dan segera dilarikan ke rumah sakit.." 

Aku pun terkejut tak percaya, benarkah? Segera kuraih nomor pengirim SMS dan kutelepon untuk mendengarkan berita selengkapnya. Dan ternyata berita itu benar adanya... Masih teringat olehku saat kami dahulu belajar bersama, bermain bersama. Kini ia telah tiada. Kini ia telah meninggal, meninggalkan dunia yang fana ini, sebuah insiden kecelakaan menjadi sebab kepergiannya untuk selama-lamanya. 

'Saat sakratul maut yang dahsyat itu benar-benar datang,
siapakah yang mampu melindungiku.
Aku melihat wajah orang-orang,
tidakkah ada di antara mereka yang mau menembus diriku.
Maka bagaimana jawabanku kelak,
setelah aku melupakan dan menyia-nyiakan agamaku.
Sungguh! Celaka aku, tidakkah aku mendengar firman Allah menyeruku..'

(terjemah sya'ir yang pernah kudengar) 


Ibunya menangis meraung-raung mendengar berita anaknya kecelakaan, tak percaya anaknya telah menjadi jasad tak bernyawa dalam sekejap, penyesalan tinggal penyesalan. Beberapa ikhwan pun lantas merasa bahwa yang meninggal adalah anak dari ikhwan mereka, ikut memandikan dan menyalatkannya. 

Ibunya berkehendak ia dikebumikan di tempat yang sangat jauh bersama kuburan neneknya. Sehingga akhirnya ia dikebumikan di sana, walaupun ayahnya di seberang negeri meminta agar dikebumikan di pekuburan terdekat. Kejadian itu benar-benar menyuntikkan kesadaran pada diri ini, agar bersyukur kepada Allah yang hingga saat ini masih memberikan kesempatan menghirup udara bebas. 

Tinggal Apakah diri ini mampu memaksimalkan usaha dan upaya untuk mengumpulkan pundi-pundi kebaikan sebelum ajal datang? Ataukah justru terus-menerus tenggelam dalam ketidaksadaran? Ingat ajal tak menunggu tobatmu, ajal tak mengenal umur, ajal tak mengenal tempat. 

Umur temanku saat itu baru menginjak usia remaja, 15 tahun. Di usianya yang masih sangat muda ia harus mengakhiri kehidupannya dengan begitu mengenaskan, semoga Allah mengampuninya. 

Senja mulai menurunkan tabirnya. Serangga malam pun mulai berbunyi. Celoteh katak bersahutan. Kerik jangkrik pun berbalas. Laron-laron menari-nari mengikuti cahaya lentera. Gemeretak atap terdengar tertimpa jatuhan buliran air menemani sisa-sisa hujan. 

Menembus pekatnya sang malam. Kadang halilintar menyalak menggelegar. Menanti sang mentari di esok pagi. Menyapa manusia entah di harinya yang keberapa. Melewati lintasan zaman dan massa. Semoga di sisa umurnya ia tersadar. Segera menambah bekal dan amal. Terus berbuat baik dan menjadi lebih baik. 

Sesingkat hujan, sederas apapun ia, pasti kan berakhir. Dunia ini akan musnah dan punah. Berakhir dengan bermantelkan beberapa potong kain putih sederhana, berbaring kaku di atas keranda tua, dibopong tak berdaya, ditanam dalam sebuah ruangan kubur. 

Meninggalkan kenangan, menyisakan duka di tengah keluarga, ternyata ia sedang digiring menuju hari yang tiada akhirnya. 

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanya permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan diantara kamu serta berbangga bangga dengan banyaknya harta dan anak-anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dari Allah serta keridhaan dari-Nya, dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan sebuah kesenangan yang menipu." [terjemah Q.S Al Hadid : 20] 

Kawanku seiman, ambillah pelajaran dari setiap kejadian. Ambil bagianmu dari perbekalan. Harta dan tahtamu akan engkau tinggalkan. Selanjutnya amalanmu lah yang akan dipertanggung jawabkan. Jauhi dosa dan kemaksiatan. Karena itu justru menambahmu beban. 

Hiasi hari-harimu dengan sebuah pengorbanan. Sebuah perjuangan. Upaya untuk menjadi insan yang berhias dengan ketakwaan. Membaca al-Qur'an Jangan engkau tinggalkan. Dzikir pagi petang jangan engkau palingkan. Berbakti kepada orang tua terus engkau tingkatkan. 

Seraya berdoalah dengan mengangkat kedua tangan. Ya Allah bimbinglah hamba selalu di jalan kebaikan. Hindarkan hamba dari bisikan iblis dan para setan. Dan mudahkan langkah hamba untuk menginjak surga-Mu yang penuh dengan kenikmatan. Amin wahai Dzat Yang Maha Mengabulkan. 

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah ia siapkan untuk menyambut hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan." [ Q.S. Al-Hasyr : 18]


Sumber : Majalah Qudwah edisi 56 tahun 2018 halaman 81

Kisah : Goresan Tinta di Ujung Senja

Oleh:
Atsar ID