"Jangan Ikuti Langkah Salah Orangtuamu, Nak!"
Alhamdulillah, hidup sederhana di rumah berdinding bambu kurasakan begitu nyaman dan tenang. Bertambah lagi syukurku pada Ilahi kala menyaksikan tingkah ceria empat buah hatiku yang semakin beranjak besar.
Ada harapan yang begitu kuat di dalam hati ini agar mereka tumbuh menjadi manusia-manusia mulia yang kokoh di atas sunnah, dikaruniai umur yang bertabur berkah dan kelak di akhirat menjadi penduduk jannah. Aamiin.
Langkah-langkah yang salah yang pernah dijalani oleh ayah-ibunya semoga Allah hindarkan dari mereka. Ya, ayah ibunya telah terlalu banyak membuang waktu muda dan waktu luangnya untuk hal-hal yang tidak berguna dan lalai dari menuntut ilmu syar'i.
Namun demikian, kami tetap bersyukur bahwa Allah Yang Maha Lembut masih memberi kami kesempatan di sisa umur ini untuk mengenal dakwah salaf, kemudian menjadikan kami mencintainya.
Semua Allah susun dengan takdir yang begitu indah dan penuh hikmah.
Dahulu, sebagai anak yang lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, tak banyak ilmu agama yang kupelajari. Pendidikan yang kulalui pun pendidikan umum, dari SD, SMP, SMK, lalu melalui bursa kerja khusus di sekolah, begitu tamat aku bekerja di sebuah pabrik di Jakarta.
Alhamdulillah, hanya 6 bulan di Jakarta, aku putuskan untuk pulang kampung. Hati kecilku sangat risih dengan pergaulan bebas yang aku saksikan di lingkungan kos-kosan dan di lingkungan kerja.
Satu setengah tahun setelahnya aku menganggur. Saat itu aku banyak bergaul dengan ibu-ibu yang mengikuti pengajian sore di masjid. Ada dua masjid di kampungku dan kampung sebelah yang kajiannya sering kuikuti.
Lama kelamaan aku menjadi dekat dengan pengajar di pengajian ibu-ibu itu, sampai ahirnya aku dimotivasi untuk melanjutkan sekolah lalu mengajar di madrasah yang dikelolanya.
Maka aku pun membujuk orangtuaku agar diijinkan kuliah. Awalnya ibuku sempat ragu apakah bisa membiayai kuliahku dan sekolah adikku yang sebentar lagi masuk SLTA, sementara penghasilan keluarga kami dari membuat gula kelapa yang hasilnya tidak pasti.
Namun akhirnya dengan dorongan dari bibiku, akupun diijinkan kuliah. Maka aku mengambil jurusan tarbiyah pada program Diploma II di sebuah STAIN di kotaku. Baru setahun kuliah aku mulai 'nyambi' mengajar di madrasah Ibtidaiyah di desaku sebagai guru bakti.
Masa-masa kuliah inilah rupanya yang menjadi awal kedekatanku dengan dakwah salaf, yaitu ketika aku sering berbelanja kebutuhan sehari-hari di salah satu warung milik sebuah keluarga ahlussunnah.
Aku terkesan dengan keluarga ini. Aku pun sering mengobrol dengan sang istri. Bahkan ketika aku menceritakan kondisi kos-kosanku yang cukup bebas, beliau segera menawarkan untuk menyekat dapurnya agar aku bisa tinggal di situ bersamanya.
Maka mulai semester II itu, aku tinggal serumah dengan ummahat ini. Dan aku semakin terkesan dengan adab-adab Islam yang aku jumpai disini.
Kemudian, mulailah aku mengikuti pengajian salah seorang ustadz ahlussunnah di masjid agung di kotaku. Kajian-kajian keislaman dengan dai-dai ahlussunnah mulai kudatangi.
Teman-temanku dari kalangan ahlussunnah semakin banyak. Kegiatan-kegiatan kampus yang berbau pergerakan yang sebelumnya kuikuti mulai kutinggalkan.
Uang saku mulai kusisihkan untuk berlangganan majalah dan membeli buku-buku ahlussunnah yang banyak dijajakan saat daurah. Buku-buku ahlussunnah di rumah ibu kosku yang baru inipun kupinjam dan kubaca-baca.
Tahun 2006, kuliahku selesai. Aku pun kembali ke kampungku di pegunungan yang jauh dari kota dan menjalani rutinitas mengajar. Aku berpisah dengan rekan-rekan salafiku.
Daurah mulai jarang kuikuti. Membeli majalah sering telat. Hanya taklim melalui sebuah radio ahlussunnah yang kadang-kadang kuikuti. Aku terlena dengan dunia. Hatiku gersang.
Hingga pada tahun 2007, aku menikah dengan seseorang yang juga sedang mulai mencintai dakwah ahlussunnah. Dan sedikit demi sedikit kami mulai belajar agama lagi.
Ketika menjelang kelahiran anak kedua kami, Allah membukakan jalan bagi kami untuk bisa bermukim di sebuah daerah yang dekat dengan salah satu ma'had ahlussunnah.
Maka sejak bulan Januari 2009, kami memisahkan diri dari orangtua dan membangun rumah sederhana di dekat ma'had. Rutinitas mengajar masih terus kujalani.
Kutitipkan anak-anakku pada orangtua, sementara aku mengajar. Namun semakin lama mengenal jalan sunnah, aku semakin merasa resah dan tidak nyaman menjalani profesiku. Hingga anak ketigaku lahir, aku masih saja belum mengundurkan diri dari sekolah.
Bahkan aku mengambil beasiswa dari Departemen Agama untuk melanjutkan kuliah karena saat itu muncul peraturan agar semua guru berpendidikan minimal S1.
Di akhir-akhir masa kuliah lanjutan ini, Allah menakdirkan aku hamil lagi. Dan alhamdulillah kali ini sudah kuatlah tekadku untuk segera mengundurkan diri. Aku tak tega menitipkan empat anakku pada orangtuaku.
Aku juga tersentuh menangis membaca kisah-kisah di majalah ini yang menceritakan teman-teman yang telah berhasil meninggalkan segala kemapanan untuk menyambut dakwah yang mulia ini.
Aku tertampar oleh nasihat-nasihat para dai ahlussunnah yang menyampaikan bahwa tugas utama wanita adalah di rumahnya. Wanita hendaknya betah di rumah. Kalaupun berkarir, hendaknya dengan pekerjaan yang sesuai dengan fitrah wanita yang aman dari fitnah dan sebagainya.
Maka mulai tahun 2014, aku resmi mundur dari sekolah. Aku jalani profesi baruku sebagai ibu rumah tangga. Aku abaikan omongan orang-orang yang menimbang untung rugi keluarnya aku dari sekolah hanya dengan dunia.
Kini aku bisa bebas mengikuti kajian ahlussunnah setelah sebelumnya selalu berbenturan dengan kesibukan mengajar. Kini aku tak perlu lagi gundah ketika tiba bulan Juni dan Desember, bulan ketika masa-masa pengerjaan raport dan aku harus berbohong mengatrol nilai siswa.
Kini aku tak perlu lagi menitipkan anak-anakku pada eyangnya, sementara aku hanyut mengejar dunia yang tak seberapa. Begitu banyak ilmu yang tidak bermanfaat yang akan dijejalkan ke pikiran anak-anak kaum muslimin jika mereka belajar di tempat yang salah dan dengan orang yang salah pula.
Aku telah mengalami sendiri sengsaranya berkubang dalam kejahilan. Maka kini aku berazam untuk mempelajari ilmu syar'i, mengejar ketinggalan. Kutepis rasa malu untuk kembali belajar membaca huruf-huruf hijaiyah dari dasar, agar benar caraku mengucapkan a, ba, ta, tsa.
Agar benar lisanku dalam membaca kalam-kalam Allah yang mulia, agar aku ajarkan ilmu yang benar pada anak-anakku yang masih suci. Agar mereka tak mengikuti jejak langkah orangtuanya yang salah selama ini. Tolonglah hamba dan seluruh kaum muslimin ya, Allah...! Aamiin.
Sumber : Majalah Qudwah edisi 23/2014 hal.72 di Rubrik Kisahku
|
Jangan Ikuti Langkah Salah Orangtuamu, Nak! |