Inspiratif

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

motivasi salaf untuk menulis

 .KARENA MENULIS ILMU SANGATLAH PENTING Sangat sayang pastinya seseorang yang sanggup menulis ketika ta'lim tapi dia tidak mau menulis hanya karena malas.  Berikut ini kami himpunkan beberapa motivasi dan cerita para ulama tentang pentingnya menulis ilmu.  Semua ini kami pilih dari kitab Taqyidul Ilmi oleh Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah (463 H). Semoga bisa diambil manfaatnya.  Berkata Tsumamah bin Abdillah bin Anas,  أن أنسا كان يقول لبنيه « يا بني قيدوا هذا العلم بالكتاب » "Anas bin Malik sering berpesan kepada anak-anaknya, 'Anak-anakku! Ikatlah ilmu ini dengan cara menulisnya." (hlm. 233) Imam asy-Sya'bi menyatakan,  الكتاب قيد العلم "Tulisan adalah pengikat ilmu." (hlm. 240) ▫️ Telah berpesan pula, asy-Sya'bi rahimahullah,  إذا سمعتم مني شيئاً فاكتبوه ولو في حايط "Bila kalian mendengar ilmu dariku, maka tulislah meskipun di dinding." (hlm. 241) Lantaran dulu, media untuk menulis cukup sulit.  Beliau juga berpesan kepada Abu Kibran,  لا تدعن شيئا من العلم إلا كتبته.. وإنك تحتاج إليه يوماً ما "Janganlah kamu lewatkan satu ilmu pun, kecuali kamu tulis!.. Sebab kamu akan membutuhkannya suatu saat nanti." (hlm. 242) ✅ Di samping menulis, mereka juga menjaga catatan-catatan mereka dengan baik. ▫️ Al-Hasan mengisahkan,  إنا عندنا كتبا نتعاهدها "Sesungguhnya kami memiliki buku-buku catatan yang terus kami jaga." (hlm. 243) ✅ Berpayah sesaat jelas lebih baik daripada kepayahan karena melupakan ilmu yang pernah didengar. Setuju?  Abu Qilabah mengatakan,  الكتاب أحب إلي من النسيان "Menulis ilmu lebih aku sukai daripada nanti melupakannya." (hlm. 249) ✅ Karena karakter manusia yang sering lupa, sebagian ulama tidak menganggap ilmu pada seseorang sebagai "ilmu" tatkala dia tidak menulis. Tidak lain, karena kemungkinannya salah menjadi besar.  Mu'awiyah bin Qurrah rahimahullah berkata,  من لم يكتب العلم فلا تعد علمه علماً  "Barang siapa yang tidak menulis ilmu, maka jangan anggap ilmunya sebagai ilmu." (hlm. 262) Beliau juga mengatakan,  كنا لا نعد من لم يكتب العلم علمه علماً  "Kami tidak pernah menganggap ilmu orang yang tidak menulis sebagai ilmu." (hlm. 262)  Seringkali, ilmu yang ditulis, lalu dibaca-baca kembali, mendatangkan manfaat besar bagi kita.   Al-Khalil bin Ahmad menyatakan,  ما سمعت شيئاً إلا كتبته ولا كتبت شيئاً إلا حفظته ولا حفظت شيئاً إلا انتفعت به "Tidaklah aku mendengar suatu ilmu, melainkan aku tulis. Dan tiap kali aku menulis sesuatu, aku jadi menghafalnya. Dan tidaklah aku menghafal ilmu, melainkan aku mendapat manfaat darinya." (hlm. 274) Kepada Allah kita mohon petunjuk.  ✍️ -- Jalur Masjid Agung @ Kota Raja -- Hari Ahadi, (17:50) 16 al-Muharram 1441 / 16 September 2019 t,me/nasehatetam
2 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

sahabat erat

 .Sahabat Erat Dek, pernah mendengar nama Ya'qub bin Syaibah? Ulama hadits kelahiran 180-an hijriyah ini dipuji oleh Ad Dzahabi dalam Siyar A'lam Nubala, "Seorang hafidz luar biasa, ulama besar terpercaya". Karya beliau yang fenomenal adalah al Musnad. Sebuah himpunan hadits-hadits yang diurutkan berdasarkan nama-nama sahabat Nabi. Sayang, kitab tersebut belum sempat selesai karena beliau wafat. "Ada 30-an jilid kitab al Musnad yang sempat ditulis. Andai bisa selesai, pasti mencapai 100 jilid" , adz Dzahabi menilai. Dek, sebenarnya bukan ini yang hendak saya ceritakan. Biografi beliau masih cukup panjang. Biografi indah dan gemilang. Saya hanya sebatas ingin berbagi cerita tentang keajaiban. Satu ketakjuban. Tentang apa? Ini tentang persahabatan. Bersahabat karena Allah Ta'ala. Bukan bersahabat karena diikat oleh pekerjaan atau harta. Bukan bersahabat hanya karena satu letting atau satu angkatan. Bukan bersahabat sebatas satu tim atau satu kelompok. Bersahabat karena sama-sama berharap ridha Allah. Bersahabat dengan tujuan jauh ke depan ; yaitu tetap bersatu sampai di surga. Ya'qub bin Syaibah bercerita. Cerita itu disebutkan oleh adz Dzahabi dalam Siyar A'lam Nubala (11/498). Cerita tentang si A,si B dan si C. Tiga sahabat. Hari raya tiba. Si A mempunyai uang 100 dinar. Hanya itu. Tidak ada yang lain. Uang itu akan digunakan untuk keperluan hari raya. Namun... Sahabatnya, si B, berkirim surat. Ingin meminjam sejumlah uang. Juga untuk kepentingan hari raya. 100 dinar milik si A semuanya dikirimkan kepada si B. Di saat yang sama, si C, juga berkirim surat kepada si B. Ia ceritakan kesulitannya. Ia ingin berutang. Ia meminta bantuan. Tanpa pikir panjang, si B mengirimkan uang 100 dinar lengkap dengan kampil (kantong penyimpan uang) yang ia terima dari si A. Kepada si C, uang 100 dinar ia berikan. Utuh. Tanpa dikurangi sekalipun satu dinar. Bagaimana dengan si A? Rupanya si A berpikir, bagaimana cara untuk memenuhi keperluan hari raya. Si A lantas bersurat kepada si C. Memohon bantuan. Hendak meminjam. Ingin berhutang. Apa yang dilakukan si C? 100 dinar lengkap dengan kampil nya, yang ia terima dari si B, diserahkan si C kepada si A. Si A terkejut. Kaget. Heran. Kenapa bisa? Si A masih ingat dan bisa mengenali bahwa uang 100 dinar dan kampilnya adalah miliknya yang dipinjamkan kepada si B. Kenapa bisa demikian? Dapat dari mana?  Si A dan si C berangkat bersama ke rumah si B. Meminta kejelasan. Mencari kepastian. Kata adz Dzahabi, "Setelah ketiganya bertemu dan bercerita, kampil uang itu sama-sama dibuka lalu dibagi tiga dengan rata" Subhanallah! Menurut perawi, ketiga orang yang diceritakan Ya'qub bin Syaibah adalah Ya'qub sendiri, Abu Hassan az Ziyadi dan satu orang lagi. Sungguh luar biasa! Persahabatan dan pengorbanan. Sama-sama saling mengalah dan mendahulukan. Tidak mau mengecewakan dan tidak ingin memupus harapan. Demikian persahabatan kaum Salaf, Dek. Nah, di pesantren belajarlah dan berlatihlah demikian! Jangan kikir! Berbagilah! Jangan hanya memikirkan diri sendiri namun ajaklah sahabatmu untuk sama-sama bahagia. Jangan biarkan sahabatmu bersedih! Moga-moga kita diberi anugerah dalam ujud sahabat erat. Di dunia hingga di akhirat. 10 Jan 2021 Pagi-pagi masih terasa sejuknya hujan. t.me/anakmudadansalaf
4 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kita tak tahu, barangkali buah hidayah sebab dirimu

KITA TIDAK TAU, BARANGKALI BUAH HIDAYAH SEBAB DIRIMU... Kita Tak Tahu, Barangkali Buah Hidayah Sebab Dirimu Al Imam Al Hafidz Al Birzali rahimahullah, adalah seorang teman sekaligus guru dari seorang pemuda yang berkunyah Abu 'Abdillah. Suatu ketika, Abu' Abdillah menulis sebuah tulisan yang kemudian dilihat oleh syaikhnya, Al Imam Al Birzali. Lalu beliau pun berkomentar, خطك هذا يشبه خط المحدثين "Tulisanmu ini, sungguh mirip tulisannya pakar-pakar hadits". Ternyata ucapan yang terlihat sepele itu masuk kedalam relung hati si pemuda. Lantas dia pun mengatakan tentang gurunya, Al Imam Al Birzali rahimahullah, و هو الذي حبب إلي طلب الحديث، فأثر قوله في. "Dan dialah sosok yang menjadikan aku jatuh cinta dengan belajar hadits, sungguh ucapannya memberi pengaruh ke dalam diriku". Sehingga, bermula dari ucapan sang syaikh, sebab si pemuda menjadi seorang pakar hadits dikemudian hari, imam Al Jarh wat ta'dil , sampai-sampai berkata Al Imam As Subki rahimahullah murid sang pemuda, "أما أستاذنا أبو عبد الله فبصر لا نظير له، و كنز هو الملجأ إذا نزلت المعضلة، إمام الوجود حفظا، و ذهب العصر معنى و لفظا، و شيخ الجرح و التعديل، و رجل الرجال في كل سبيل كأنما جمعت الأمة في صعيد واحد . فنظرها، ثم أخذ يخبر عنها إخبار من حضرها" "Adapun ustadzku Abu 'Abdillah, memiliki ketajaman pandang yang tak ada semisal beliau, (ibarat) perbendaharaan  dan sebagai rujukan saat datang masalah pelik. Seorang imam yang nyata dalam hafalan, sebuah emas pada masanya secara ma'na atau secara lafadz. Seorang Imam Al Jarh Wat Ta'dil (pakar kritikus perawi-perawi hadits), tokohnya para tokoh di tiap-tiap generasi. (Perumpaan kehebatan beliau) seakan-akan sekelompok umat dikumpulkan dalam 1 (satu) lembah, lalu dilihatnya. Kemudian beliau kabarkan tentang umat tersebut, seperti pengkabaran orang yang sedang hadir di tengah umat itu". Lihat : Siyar A'lamin Nubala via maktabah syamilah (jilid 1 muqaddimah : 36 & 169). Syamsuddin Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad nama pemuda diatas, yang lebih dikenal dan masyhur dengan sebutan : Al Imam Adz dzahabi rahimahullah Dan tidak disangka, hanya sepatah atau dua patah kata, sebab Imam Adz dzahabi muda menjadi tokoh besar pada zamannya, seorang pakar hadits yang memiliki karya-karya fenomental. Maka barangkali buah hidayah seseorang, anak, teman , atau keluarga, karena sebab ucapan yang terlihat sepele dan ringan lewat lisan anda. Abu Sufyan Saddadahullah https://t.me/ahlussunnahmalang
4 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : goresan rindu di ujung mata pena

Goresan Rindu di Ujung Mata Pena Tak jarang memori ini terpelanting jauh kebelakang . Menapaki seberkas demi seberkas jalan yang pernah kutelusuri  Goresan ini bukan tentang rintihan luka yang berbicara  Adalah deretan rindu yang terangkai di ujung mata pena  Aku sulung dari 3 bersaudara. Berlatar belakang dari keluarga sederhana yang selalu ternaungi oleh limpahan kasih sayang-Nya. Tumbuh di kalangan keluarga agamis bernuansa tradisional. Ya, aku tidak terlahir dari kedua orang tua yang berjalan di atas manhaj salafi. Beberapa ritual kebid'ahan pun sempat aku lakoni kala aku masih berstatus kanak-kanak. Itu karena dorongan dari nenek dan bude (kakak ayah) yang berusaha menjadikanku seorang yang taat beragama dan gemar beribadah. Hingga akhirnya, Allah berkehendak memancarkan semburat cahaya salafi di tengah perjalanan hidup ini- Alhamdulillah-. Sejak usia 19 tahun ayahku terdiagnosa memiliki tekanan darah tinggi (hipertensi). Seiring berjalan waktu pergantian usia demi usia menambah beban dan tanggung jawab ayahku sebagai seorang suami dan ayah, kian berat. Muncullah kekhawatiran dari ayahku tentang kesehatan dirinya. Hingga terdengar kabar bahwa ada satu pengobatan alternatif yang 'katanya' bisa menyembuhkan hipertensi. Namanya 'reki', salah satu jenis pengobatan yang dilakukan dengan cara mentransfer 'tenaga dalam' yang tampaknya dengan bantuan jin.  Untuk lebih meyakinkan ibu pun membantu untuk mencari informasi demi informasi tentang jenis pengobatan ini. Dan ternyata, banyak orang yang berpendapat bahwa reki benar bisa menyembuhkan hipertensi. Akhirnya ayahku mengikuti ritual ini untuk memperoleh kesembuhan -semoga Allah mengampuni keduanya karena minimnya ilmu agama saat itu-.  Pengobatan alternatif ini sempat berjalan beberapa bulan dan dari situ berefek pada diri ayah. Bahkan saat itu ayah sampai bisa menyembuhkan orang-orang sakit. Kami mengira itu karena banyaknya jin yang ada dalam tubuh ayah. 'Katanya', jin-jin itu masuk ke dalam tubuh ayah melewati 'pintu cakra' yang dibuka oleh 'dokter reki'. Entahlah!  Berjalan 3 atau 4 bulan dari rutinitas 'reki', qadarullah wa ma syaa fa'ala, ayah terserang stroke yang menyebabkan setengah saraf tubuhnya tidak dapat di gunakan dengan maksimal. Akhirnya, ayah dilarikan ke Rumah Sakit Daerah yang berada dekat rumahku. Namun karena peralatan kedokteran yang terbatas ayah dirujuk ke rumah sakit yang agak jauh dari tempat kami.  Sementara itu, ibu berinisiatif untuk memberi kabar kepada 'dokter reki' tentang kondisi ayah. Sang 'dokter' pun mengatakan bahwa ayah akan 'ditransfer' lagi dalam waktu dekat. Dan benar, setelah pen'transfer'an usai keadaan ayah jauh lebih baik, hingga pihak rumah sakit mengizinkan ayah untuk pulang keesokan harinya. Namun, malam hari sebelum kepulangannya 'katanya' ayah di'transfer' lagi. Malam itu terjadilah apa yang terjadi. Ayah tiba-tiba tak sadarkan diri (koma). Sekujur tubuhnya membiru, tekanan darahnya sangat tinggi. Meskipun matanya terbuka, namun pandangannya sayu tak bercahaya seakan tak ada harapan lagi. Seakan gelap akan membumihanguskan kehidupan kami.  Namun Allah berkehendak lain. Beberapa hari kemudian, kondisi ayah semakin pulih dan membaik, meskipun masih harus melanjutkan rawat inap. Hingga akhirnya ayah diizinkan pulang kerumah.  MasyaAllah betapa senang hati ini, bisa berjumpa dengan beliau lagi setelah sekian lama tidak berjumpa; meskipun beliau masih harus dibantu dengan kursi roda. Akan tetapi rupanya ujian belum berakhir. sejak kepulangannya dari rumah sakit, ibu merasakan ada yang aneh pada diri ayah. Tatapan dan tingkah laku beliau agak aneh. Ibu merasakan pada diri ayah ada pribadi yang lain.  Hal ini ternyata juga dirasakan paman ayah (adik nenek). Paman ayah yang juga teman sepermainan ayah sejak kecil merasakan ada yang berubah pada diri ayah. Usut punya usut ternyata dalam tubuh ayah bersemayam makhluk lain (jin). Menurut pengakuannya, ia jin perempuan putri bangsawan Cina. Entahlah. Yang jelas jin yang terkadang merasuki tubuh ayah ini sungguh mengganggu dan memudaratkan kami.  Karena gangguan jin inilah, kemudian ibu dan keluarga ayah menghentikan rutinitas 'reki' dan berkeinginan untuk mengeluarkan jin yang merasuki tubuh ayah. Beberapa 'orang pintar' (dukun) pun sempat diundang ke rumah untuk mengusir jin (yang ternyata banyak) yang ada dalam tubuh ayah. Allahu musta'an kesyirikan dibalas kesyirikan. Semoga Allah mengampuni mereka karena minimnya ilmu pada saat itu. Namun, tidak semua jin bisa dikeluarkan termasuk 'sang putri Cina' yang masih bertahan dalam tubuh ayah.  Di tengah kegalauan masalah jin yang ada dalam tubuh ayah, dengan karunia Allah, teman ayah semasa SMP datang menjenguk dan menyarankan agar ayah di ruqyah. Nah, di situlah awal perkenalan kami dengan salafi. Meskipun pihak keluarga sempat meragukan ruqyah, namun saran ruqyah ini tetap dilakukan. Beberapa ikhwah dari manhaj ahlussunnah terdekat dimintai ta'awun untuk membantu untuk meruqyah ayah. Dan alhamdulillah, dengan izin Allah, jin-jin dalam tubuh ayah pun pergi termasuk 'sang putri Cina' yang yang paling sulit keluar.  Setelah prosesi ruqyah selesai, ikhwah menyarankan agar foto-foto, patung, dan semua gambar makhluk bernyawa dihilangkan. Ayah melaksanakan saran mereka meskipun ada pertentangan keras dari pihak keluarga besar. Namun alhamdulillah, lambat laun mereka pun menerimanya. Selanjutnya ayah juga meminta untuk ikut tinggal sementara di pondok ahlussunnah tersebut dengan tujuan untuk membentengi diri. Sehingga selama beberapa waktu ayah tinggal di pondok itu melakukan aktivitas bersama santri walaupun dengan susah payah. Efek dari stroke, ayah harus kembali belajar menyeimbangkan tubuh lagi. Belajar berjalan, belajar menulis, bahkan belajar berbicara. Sedangkan ibu, setelah musibah yang menimpa ayah, beliau memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya.  Maha sempurna hikmah Allah, hikmah yang selalu membanjiri alur hidup para hamba-Nya. Meskipun kondisi ayah tak sekekar sebelumnya, meskipun ibu kehilangan pekerjaannya, namun karena semua itulah kami mulai belajar menggenggam manhaj salafi. Allah memberi yang kita butuhkan. Manhaj yang shahih inilah semua yang kita butuhkan. Meskipun fananya kemewahan dunia terluputkan. Kejadian di atas terjadi sekitar tahun 2005, ketika aku berusia 5 tahunan. Hanya dari rekaman ingatan dan serpihan memori sederhana dan bantuan penuturan ibu, terangkailah yang akhirnya terbaca. Alhamdulillah.  * * * Pertengahan 2012. Memori ini berhenti di sini. Saat aku memulai kehidupan baru di alam thalibatul ilmi. Tepatnya tanggal 27 Juli 2012. Sebuah ma'had yang awalnya adalah pelarian dari aturan rumah yang begitu mengekang. 'Adat' menjadi 'sulung' yang terbiasa disalahkan membuatku lebih memilih mondok, walau sebenarnya ingin melanjutkan jenjang pendidikan di sekolah negeri. Sebuah ma'had yang terletak sekitar 4 jam perjalanan dari rumahku adalah pondok pertamaku. Ma'had yang telah tergelincir ke jalan yang salah. Karena minimnya ensiklopedia agama ayah dan ibu, aku dimasukkan ke sana. Lagi-lagi pertentangan keluarga, terutama nenek, tentang keputusan orang tua yang akan memasukkan ke pondok. Ketidaksetujuan nenek yang memperjuangkan pendidikan formal, yang memprioritaskan duniawi- sekolah, kuliah, sarjana, dan bekerja-. Namun pondok yang aku masuki ini ternyata mengeluarkan ijazah negara. Nah, inilah yang membuat nenek akhirnya menyetujui aku mondok di situ.  Masuknya diriku ke ma'had tersebut akhirnya tersebar ke ikhwah salafiyin rekan-rekan ayah. Nasehat demi nasehat ayah dapatkan dari ikhwah, agar aku ditarik darinya. Masya allah betapa perhatiannya mereka dalam menjaga agama saudaranya. Namun karena beberapa faktor ayah mempertimbangkan agar aku bertahan disana. Empat setengah tahun kemudian, saat aku sudah mulai menyukai segala jenis yang ada di sana, saat itu pula suratan takdir aku harus menutup kisah di ma'had pertama. Tak bisa berbuat banyak, saat keinginan dan keharusan di jalan takdir yang sama. Hati yang masih merindu dan menginginkan hanya bisa membuahkan tetesan air mata. Pada saat seperti ini ayah bersemangat mencarikan ma'had baru untukku. Beliau tidak ingin aku 'futur'.  Ma'had demi ma'had ahlussunnah ayah telusuri informasinya. Namun berhubung saat itu adalah pertengahan tahun ajaran, agak sulit mendapatkan kesempatan untuk mencari ma'had yang menerima santri baru. Semua itu membuat kami hampir putus asa. Terkecuali ayah, beliau masih sangat bersemangat mencarikan ma'had untukku. Sampai akhirnya ayah mengajakku ke sebuah tempat yang belum pernah kupijak sebelumnya. Ternyata ayah sengaja menemui pengurus sebuah ma'had untuk membicarakan perihalku agar bisa diterima meskipun di tengah tahun ajaran. Kesungguhan ayah membuahkan hasil yang menggembirakan beliau. Aku diterima di ma'had itu. Segala puji hanya milik Allah semata.  * * * Ahad 12 Februari 2017, di tanggal itulah kisah baru mulai terangkai. Ditempat baru bersama tokoh-tokoh kehidupan yang baru. Sebuah tempat yang semoga Allah limpahkan keistiqomahan di atas kebenaran-Amin-. Berawal dari detik yang terus berdetak tanpa kenal lelah. Pergi meninggalkan menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Terangkailah kisah demi kisah yang tersimpan dalam ingatan. Hingga akhirnya waktu bergilir di tanggal 4 Juli 2018. Jatuh pada hari Rabu, hari pemberangkatan tahun ajaran baru yang kedua yang ku jelajahi masa tarbiyah di sana. Seperti biasa, aku dan adik berangkat ke ma'had diantar ayah. Mengendarai bis umum, menyusuri kota demi kota menuju ma'had. Alhamdulillah saat mentari semakin meninggi kami sampai ke tujuan. Setelah istirahat sejenak di warung dekat ma'had ayah segera ingin bergegas pulang dengan alasan mengejar jadwal kepulangan bis ke kota asal.  Sebelum pulang beliau sempat berpesan kepadaku, "Ubahlah rumahmu dengan ilmu yang telah engkau pelajari. Penuhi ia dengan ilmu. Yang rukun sama adik, saling menjaga... Dan yang terakhir, besok hari jumat sudah boleh telepon kan? Abi telepon Insya Allah." Ayah pun pulang kembali ke rumah. Tak ada kata yang bisa kuucapkan saat itu. Hanya diam menatap langkah kepergiannya dengan berat hati. Entahlah saat itu aku merasa seakan tak kan pernah melihatnya lagi.  Dua hari setelah pengantaran, aktivitas belajar mengajar belum terlaksana dengan maksimal. Sore ini, Jumat, selepas salat Asar, segera kulangkahkan kaki menuju asrama. Kuraih Al Quran dan segera kubaca surat Al Kahfi. Baru beberapa ayat terbaca, seorang musyrifah mencariku dan mengatakan aku akan dijenguk. Sontak saja aku heran, "Baru dua hari datang, kok sudah ditengok?" gumamku. Untuk memastikan aku pun segera menemui 'tamu' yang mencariku. Saat kulihat dari kejauhan, kukatakan padamu musyrifah, "Afwan, Mah, ana nggak kenal sama orang itu, mungkin salah nyari..." "Tapi tadi bilangnya mencari anti," kata muysrifah tersebut. "Mungkin salah dengar...? Ada yang namanya mirip ana." Musyrifah tersebut akhirnya percaya. Setelah yakin, aku segera kembali ke asrama melanjutkan aktivitas yang tertunda. Namun baru beberapa menit, lagi-lagi aku dipanggil dan diminta segera menemui tamu tadi. Dengan perasaan aneh, aku pun segera menemuinya.  Sampai di ruang tamu, tampak adikku sedang mengobrol akrab dengannya. Adikku bilang, "Mbak, ini adeknya Pakde, mbak emang belum pernah ketemu." Aku hanya mengangguk sembari tanpa basa-basi aku bertanya mengapa beliau sampai bisa menjenguk kami. Betapa terkejutnya aku, ketika beliau menyampaikan bahwa aku harus segera pulang. Beliau bermaksud menjemput aku dan adik. Aku terdiam, hanya firasat yang kala itu berbicara. Bahkan aku tak berani bertanya mengapa. Tak menunggu lama, aku dan adikku segera bersiap-siap untuk pulang. Perasaan campur aduk tak ada kejelasan. Rasanya ingin menangis tapi segera aku tahan, meskipun akhirnya menetes juga air mataku. Setelah persiapan selesai, aku segera berpamitan dengan teman-teman. Mereka pun bertanya-tanya mengapa aku harus pulang. Aku hanya menjawab singkat, "Aku nggak tahu." Salah seorang temanku yang bersalaman denganku berkata, "Apapun yang terjadi nanti kamu harus bersabar." Kata-kata itu senantiasa mengiang di telingaku selama dalam perjalanan. Dan satu firman Allah yang selalu kubaca dan kucoba maknai artinya, "Laa yukallifullahu nafsan illa wus'aha."  Kulihat mata adikku memerah selama perjalanan. Dengan berusaha tenang, aku mengatakan, "Dek, jangan menangis dulu. Kita nggak tahu apa yang terjadi. Husnudzan, minta yang terbaik sama Allah." Adik hanya mengangguk. Subhanallah. Betapa kacaunya perasaan kami saat itu. Hanya ada satu nama yang terbentuk dalam dadaku, "Abi." Azan Maghrib berkumandang saat kami masih di perjalanan. Mobil segera berhenti di SPBU agar kami semua bisa menunaikan salat Maghrib dan Isya' dijamak. Pada saat sujud itulah aku berdoa, "Ya Allah, kalau memang Abi meninggal, dengan menyebut nama-Mu aku ikhlas. Mudahkan Abi di sana. Ampunilah dosa-dosanya. Lapangkan dan terangi kuburnya. Bantu hatiku untuk kuat Ya Allah..." Seusai salat perjalanan dilanjutkan.  Akhirnya kami pun tiba di kota tercinta. Mobil diparkir di lapangan, sedang rumah masih agak berjarak dari lapangan. Dengan diantar pakdhe yang sudah menunggu kami di lapangan, segera saja kami menuju rumah. Dari kejauhan, tenda biru berdiri tegak menaungi halaman rumah. Kursi-kursi berjajar rapi, lampu neon 25 watt menerangi halaman rumah kami. Dugaanku bertambah pasti. Harapan agar yang menyambutku adalah Ayah, kini benar-benar sirna. Aku tak lagi mencarinya, walau aku belum tahu pasti siapa yang tiada. Namun hatiku berkata, "Abi."  Kakak-kakak sepupuku datang menghampiri aku dan adik kemudian menuntun kami ke ruang tengah. Tampak di sana, ibu duduk dengan pandangan kosong. Bude-bude (kakak-kakak ayah) langsung mendekat dan memeluk aku dan adik, seraya berkata, "...Yang sabar ya, Nduk... Abinya didoakan. Nangis boleh, ngga pa pa, tapi inget jangan kebablasan," katanya. Kulempar pandanganku kearah Ibu. Aku ingin kuat..., namun..., air mata ini akhirnya tak kuasa tertahan..., pecah.  Ayah..., sosok yang selalu kurindu hadirnya kini telah pergi menemui Rabbnya... Figur yang selalu kubanggakan, kini tak ada lagi kisah tentangnya, suaranya, candanya, nasehatnya. Ayah meninggal di hari Jumat itu waktu dhuha, tanpa sakit sebelumnya. Bahkan ceritanya ayah sudah bersiap untuk berangkat bekerja. Menurut teori kesehatan, katanya, ada kemungkinan terkena serangan jantung.  Dada terasa sakit dan keringat mengucur deras. Dimakamkan bakda Asar, dan kami tiba di rumah sudah pukul setengah sembilan malam. Tokoh besar dalam sejarah kehidupanku kini telah tiada. Figur yang selalu kubanggakan kini tiada lagi kisah tentangnya. Entah sampai kapan rindu ini akan terurai.  Rabb, inilah ketetapan-Mu  Kepada takdir aku tak kan lancang menyalahkan-Mu Tak akan kulampirkan surat gugatan di hadapan-Mu  Hanya harap yang selalu melesat  Agar akhir ucapannya adalah nama-Mu Aamiin Ya Mujibassailin  Rabb..., air mata yang menetes saat aku mengingatnya...  Bukankah air mata tak terima...  Hanya saja rindu ini masih saja bersuara...  Saudaraku sekalian,  Orang tua adalah salah satu yang berarti bagi kehidupanmu  Salah satu pintu surga untukmu  Jangan sia-siakan keberadaan mereka  Berbaktilah selagi bisa  Kita tak pernah tahu tentang ajal  Dan jika kalian tahu, 'kehilangan' mereka adalah sesuatu yang sangat berat  Yang butuh proses untuk menata hati dalam menghadapi kenyataan  Wamaa tadrii nafsun maa dza taksibu ghadan wamaa tadrii nafsun bi ayyi ardhin tamuut  Semoga bermanfaat Baca Juga : Kisah Perjalananan Seseorang dari Nasrani sampai menjadi Salafy Sumber Majalah Qudwah Edisi 74 Vol. 07 1441 H Baca juga kisah inspiratif lainnya disini
5 tahun yang lalu
baca 14 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : ya allah, rahmatilah beliau

Ya Allah, Rahmatilah Beliau kisah nyata seorang anak yatim Saat itu aku berusia 9 tahun. Aku tinggal bersama ayah, ibu, dan seorang adik yang usianya baru menginjak 2 tahun. Kami hidup bahagia di sebuah rumah sederhana. Ayah dan ibu menyayangi dan mengasihi kami. Hidup terasa indah di dalam sebuah rumah tangga yang penuh kedamaian dan kerukunan. Namun, dengan takdir-Nya keindahan itu tampak tak lestari kurasakan. Suatu hari, awal dari segala kesedihan itupun menghampiri keluarga kami. Saat itu Ayah mengeluh sakit di bagian betis kaki sebelah kanan. Sampai sekarang aku tak tahu penyakit apa yang menimpa beliau ketika itu. Aku hanya bisa berdoa demi kesembuhannya. Yang aku banggakan pada diri beliau adalah kesabarannya dalam menerima musibah tersebut. Selama sakitnya yang pertama selama kurang 8 hari itu, beliau tetap melaksanakan salat lima waktu di masjid. Sekarang aku baru tahu, semestinya waktu itu ada keringanan bagi seorang yang sakit seperti ayah untuk tidak menghadiri salat berjamaah di masjid. Tapi begitulah, karena kesabarannya dalam menerima musibah, menjadikan beliau lebih memilih salat di masjid dengan menahan sakit. Wallahu a'lam. Alhamdulillah, setelah 8 hari berlalu, beliau tampak lebih sehat. Ayah pun tampak gembira mengabarkan kepada kami betapa rasa sakit pada kakinya telah sirna. Betapa akupun merasakan kegembiraan itu. Benakku yang masih sederhana waktu itu merasa lapang cukup dengan hanya melihat keadaan ayah dan ibuku sehat wal afiat. Melihat mereka tersenyum, bercengkrama, berbincang-bincang santai sungguh nyaman perasaan ini. Namun sekali lagi, tampaknya saat itu aku memang sedang mendapatkan giliran untuk merasakan ujian dari-Nya seiring dengan ujian yang menimpa ayahku. Baru saja kemarin merasakan perkembangan yang membaik, pada hari ke-9 sejak sakitnya, menjelang subuh hari itu, Ayah merasakan sakit kembali. Kali ini beliau mengeluhkan rasa sakit di dada sebelah kiri. Pagi itu sedang turun hujan, sehingga kami melaksanakan salat berjamaah di rumah. Setelah salat usai, Ayah beranjak ke kamar untuk istirahat dikarenakan rasa sakit yang sangat. Aku, adik, dan ibu merasa sedih dan cemas. Melihat tubuh Ayah mulai menggigil, ibu dengan tergopoh-gopoh segera mengenakan pada beliau jaket, kaos dan imamah. Aku dan adik hanya bisa berdoa. Kami merasa semakin bersedih dan khawatir. . Tidak berapa lama, Ayah tampak tertidur. Kira-kira waktu menunjukkan pukul 07.00, akupun berkemas-kemas untuk berangkat sekolah. (Kejadian selanjutnya dikisahkan kepadaku oleh ibu, karena aku berada di sekolah). Ibu bertutur, ketika waktu menunjukkan pukul 08.00, beliau membangunkan ayah sambil menyampaikan, "Bi, bengkelnya mau di buka apa nggak? Udah jam 08.00." Iya, jam 08.00 adalah waktu bukanya bengkel Ayah.  Waktu itu bengkel Ayah sedang jaya-jayanya, sampai-sampai karyawan beliau waktu itu berjumlah belasan orang. Bahkan sebagian dari mereka menginap di rumahku karena jauhnya tempat tinggal mereka. "Iya, buka aja. Itu suruh aja anak bengkel membukanya. Ini badan saya juga udah enakan. Sebentar lagi insya Allah nyusul. Mau salat dulu," demikianlah jawab ayah. Mendengar Ayah sudah merasa lebih sehat, ibu sangat bersyukur dan senang.  Masih ibuku yang berkisah, beberapa saat kemudian, Ayah bangkit dari pembaringannya menuju kamar mandi. Tidak disangka, sudah setengah jam berada di dalam kamar mandi, Ayah belum keluar. Maka di ketuklah pintu kamar mandi oleh nenek yang kebetulan juga ingin masuk kamar mandi. Akan tetapi tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara air yang mengalir deras dari keran dan suara nafas terengah-engah. Di tengah kepanikannya, nenek pun segera memanggil ibu dan beberapa karyawan bengkel. Maka mereka pun segera berusaha mengetahui apa yang terjadi. Ternyata mereka melihat di lubang jendela, Ayah tergeletak di bawah kran yang mengalir deras. Salah seorang karyawan Ayahku bersegera masuk ke kamar mandi melalui jendela sehingga berhasil membawa keluar ayah dan membawanya ke puskesmas terdekat.  Sesampainya di puskesmas, dokter dan para perawat segera bertindak cepat untuk melakukan pertolongan pertama dengan berusaha mencoba memasang infus dan oksigen. Namun, qadarullah wa masyaafa'ala, takdir seluruhnya di tangan Allah, manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Ketika hendak dipasang di tubuh Ayah, alat-alat tersebut tidak bisa masuk. Melihat ini, dokter pun segera merujuk ayah untuk ditangani rumah sakit di kota terdekat. Jarak Rumah Sakit kota terdekat dari puskesmas sekitar satu jam perjalanan dengan menggunakan mobil.  Mobil ambulans milik puskesmas segera keluar dari garasi, kemudian Ayah segera dimasukkan ke dalamnya dan mobil pun melaju kencang. Ddi dalam mobil, kondisi ayah semakin memburuk. Masih setengah perjalanan, nafas ayah tampak tersengal-sengal. Beberapa pengiring yang ikut menyertai ayah dalam mobil ambulans pun segera menalqinnya. Begitulah, takdir-Nya ternyata menetapkan nyawa Ayah harus dicabut di dalam mobil itu. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, malaikat maut menjemput nyawa Ayahku.  Akhirnya mobil ambulans pun segera putar balik menuju ke rumah. Pukul 10.00 wib mobil ambulans tiba di rumah. Mengetahui Ayah meninggal, Ibu seketika itu jatuh pingsan. Sedangkan, aku waktu itu masih di sekolah. Di hari berkabung itu, aku tidak merasakan ada sesuatu yang aneh. Ketika aku berangkat sekolah hari itu, yang kuketahui Ayah sedang tidur di kamar. Sehingga hari itu aku masuk sekolah seperti biasa.  Akan tetapi kembali secercah harapan yang muncul kandas oleh kesedihan yang lebih mendalam. Di tengah pelajaran masuklah salah satu guruku ke kelas untuk memanggilku. Beliau mengatakan bahwa seseorang telah menunggu di luar. Setelah aku keluar, ternyata yang menungguku adalah salah seorang karyawan Ayah.  Aku pun segera bertanya kepadanya untuk apa ia menemuiku. Ia pun kemudian menjawab dengan gugup dalam raut wajah kesedihan, "Sabar ya, tadi sekitar pukul setengah sepuluh, ayahmu meninggal." Seketika itu air mataku pun menetes. Tak bisa kusampaikan gambaran perasaanku saat itu. Antara kaget, sedih, galau, cemas, entah tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Seolah tak percaya. Segera saja aku bergegas pulang ke rumah sampai tak sempat berpamitan dengan teman-teman dan guru-guruku. Sesampainya di rumah, aku melihat bendera putih telah menancap di depan rumahku. Melihat itu, hatiku semakin bersedih, dan tak terasa air mataku pun mengucur dengan deras, tak kuasa aku menahan kesedihan.  Memasuki rumah, di sebuah ruangan aku melihat beberapa orang berkerumun. Ternyata di situ jenazah Ayah sedang dimandikan. Tiba-tiba dari belakang ada yang memelukku, oh, ternyata bibiku. Segera aku dituntun menuju kamar. Aku melihat ibu tengah pingsan di atas ranjangnya. Aku pun segera menghampirinya. Disana telah berkumpul kerabat-kerabatku dari ayah dan ibu, juga adikku.  Adikku ketika itu masih kecil, belum memahami apa yang terjadi sebenarnya. Akan tetapi ia terus menangis, mungkin karena melihat diriku dan ibu menangis setelah siuman. Alhamdulillah waktu itu aku sudah mulai sedikit mengerti tentang makna kesabaran. Ya, aku hanya bisa bersabar. Aku yakin Allah akan menggantikan untukku sesuatu yang lebih baik.Aku yakin bahwa Allah tidak menyia-nyiakan anak yatim seperti diriku. Ya, kusadari, mulai saat itu aku dan adikku telah menjadi yatim. Selamat jalan Ayah! Semoga Allah mempertemukan kita kembali di jannah-Nya.  Waktu terus berjalan, setelah masa iddah selesai, Ibu memutuskan untuk menikah lagi. Semua itu beliau lakukan karena melihatku dan adik yang masih kanak-kanak yang tentu masih banyak membutuhkan bimbingan seorang ayah. Dan juga beliau menginginkan seorang suami yang bisa meneruskan usaha bengkel Ayah. Di masa-masa berikutnya kami harus melanjutkan kehidupan yang itu semua tentu membutuhkan finansial. Alhamdulillah, tidak berapa lama aku pun memiliki seorang ayah baru yang dengan sebab itu aku pun kembali merasakan kasih sayang seorang ayah. Sebulan setelah pernikahan ibu dan dengan ayah baruku,  aku ditawari untuk mondok di sebuah pondok pesantren. Akan tetapi karena nenek menginginkan aku tamat SD terlebih dahulu baru kemudian mondok, aku pun urung mondok saat itu. Ayah dan ibu pun akhirnya setuju. Hari-hariku berikutnya pun berjalan seperti sediakala. Sampai akhirnya tiba saatnya aku lulus dari SD. Sehingga aku ingin merealisasikan keinginan kedua orang tuaku agar aku mondok. Sejurus kemudian aku jadi teringat, dulu mendiang ayah pun sangat berharap agar aku menjadi thalabul ilmi di pondok pondok ahlussunnah.  Dengan tekad yang kuat dan keinginan yang sangat aku pun mendaftar di sebuah pondok pesantren tahfidzul qur'an. Alhamdulillah aku pun diterima. Maka sejak itu aku memulai kehidupan baru di pondok pesantren. Sejak saat itu aku merasakan kehidupan yang berbeda. Jika sebelumnya keseharianku banyak di tolong Ibu, kini harus kukerjakan sendiri. Mencuci pakaian, merapikan tempat tidur dan kegiatan lain yang sebelumnya ketika di rumah ibu yang mengerjakannya. Kulalui kehidupanku di pondok tahfidz ini selama kurang lebih 4 tahun. Di akhir tahun keempat, di akhir tahun ajaran, seiring dengan bertambahnya usiaku, tampaknya cita-citaku pun berkembang. Aku mulai menginginkan untuk mempelajari ilmu-ilmu syariat yang lainnya, tidak sekedar menghafal Al-Qur'an yang selama ini kukerjakan. Aku mengerti, bukan berarti apa yang aku lakukan selama ini kurang mulia, bahkan aku sangat yakin menghafal kitabullah salah satu amalan yang termulia. Namun begitulah, pada saat itu mulai tumbuh keinginanku untuk menuntut ilmu syariat yang lain. Maka kemudian aku utarakan kepada orang tuaku tentang keinginanku itu. Aku ingin pindah pondok yang lebih memadai untuk mewujudkan keinginanku itu. Alhamdulillah merekapun setuju. Setelah aku meminta izin kepada pengurus pondok, alhamdulillah Allah memudahkan urusanku, sehingga aku diizinkan pindah pondok. Singkat cerita, aku pun pindah pondok. Aku sangat bersyukur dapat melanjutkan menuntut ilmu di pondokku yang baru ini. Aku sangat senang dengan suasana pondok baruku ini. Berada di tengah sawah, sejuk dengan angin pegunungan. Jauh dari kota, terletak ditengah-tengah lembah yang dikelilingi gunung-gunung yang tinggi menjulang. Yang terdekat adalah gunung Sumbing dan Sindoro. Duh, indah nian pondokku yang kedua ini, seindah ilmu syariat yang diajarkannya.  Tahun demi tahun aku lalui masa belajar di pondok pesantren di lembah Sindoro Sumbing dengan penuh semangat. Di sini aku ditempa dengan berbagai ilmu alat (bahasa arab, ilmu usul fiqih, ilmu hadis, dan lain-lain) dan juga ilmu akidah, fikih, manhaj, dan tak lupa tentang akhlak dan adab.  Menggali ilmu salafush shalih sungguh sangat indah. Duhai jika aku bisa mengamalkan ilmu itu semuanya, tentu aku akan menjadi manusia yang mulia. Mulai dari jenjang yang paling awal aku belajar ilmu ad din dibimbing para ustadz yang bermanhaj lurus. Sedikit demi sedikit ilmuku bertambah seiring dengan semakin banyaknya ilmu yang ku pelajari. Di pondokku yang indah ini, selain ilmu syariat, aku juga mempelajari banyak hal lainnya. Aku diajak berorganisasi untuk saling bekerjasama agar kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung lancar. Ya, kami santri di pondok ini tidak melulu mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas, namun juga dituntut peduli dengan kondisi di sekitar, terutama yang harus dihadapi dalam keseharian.  Menyiapkan logistik untuk teman-teman, menjaga kebersihan pondok, menyediakan kebutuhan air untuk minum, mandi, dan cuci, ronda malam, menegur teman yang melanggar, dan banyak kegiatan lainnya. Kami, para santri dibagi dalam tugas-tugas tertentu, yang diatur dalam sebuah organisasi santri. Di sela-sela waktu belajar, aku pun sering melakukan kegiatan sampingan untuk menambah uang saku dan biaya membeli kitab-kitab. Ya, disebabkan ekonomi keluarga yang pas-pasan, aku pun berusaha mencari sendiri tambahan uang saku dari berjualan memelihara lele, dan lain-lain pernah kulakukan.  Bahkan karena kondisi keuangan yang boleh dibilang kurang, aku pun mendapat keringanan biaya dari pondok. Tentu aku sangat bersyukur dengan ini semua. Hikmah dari ini semua, aku menjadi merasa lebih dewasa dan terus tak terasa menambah juga keterampilanku. Karena berbagai kegiatan pembangunan dan perawatan gedung pondok pun aku kini sedikit-sedikit mengerti masalah bangunan, listrik, dan mengelas. Alhamdulillah wa bini'matihi tatimus shalihat.  Menjelang akhir tahun ke-5 di pondokku yang indah ini, entah mengapa tiba-tiba aku ingat mendiang ayahku. Entah mengapa serasa ada rasa rinduku padanya. Meskipun kini aku telah memiliki ayah sambung, namun tak bisa dimungkiri kerinduan pada ayah kandung serasa meruyak ke dalam dada. Oleh karena itu kutulis kisahku ini, untuk sekedar mengurangi dari rasa rinduku. Jika kusebut jati diriku mungkin saja di antara pembaca ada yang mengenal mendiang ayahku, terutama yang mungkin dulu pernah bergaul dengannya. Ya Allah, rahmatilah ia! Wahai saudara-saudaraku seiman, para penuntut ilmu dan selainnya, bersyukurlah kalian semua yang masih memiliki ayah dan ibu kandung yang menyayangi kalian. Aku hanya ingin berpesan kepada kalian semua, dan tentu ini terkena pada diriku juga, berbaktilah kalian kepada kedua orangtua.  Jangan terluputkan untuk senantiasa mendoakan mereka di setiap waktu, dan terlebih di waktu-waktu mustajabah (terkabulnya doa). Balaslah kebaikan mereka selama ini, yang meskipun kecil niscaya kita tidak akan mampu membalas yang setimpal dengannya. Namun, minimalnya kita bisa menjalankan perintah Allah untuk berbakti kepada keduanya. Dan mintalah kepada Allah agar kita bisa berkumpul dengan mereka kembali di jannah-Nya yang luas dan penuh nikmat. Masa akan berlalu, kita semua akan menuju kepada-Nya. Setelah kurang lebih 5 tahun menuntut ilmu di pondok pesantren yang kedua ini, karena sesuatu hal aku memutuskan untuk pulang. Di kampungku aku di minta membantu mengajari anak-anak membaca al Quran. InsyaAllah akan kutempuh perjalanan hidupku selanjutnya. Semoga Allah selalu memberiku hidayah hingga akhir hayat. Atas tulisan ini kurang lebihnya aku mohon maaf, semoga bermanfaat. Selamat tinggal pondokku tercinta, aku ingin melanjutkan perjalanan. Namamu insyaAllah selalu ada dalam hatiku. Sumber: Majalah Qudwah Edisi 51 vol 05 2017M/1438H hal.65
5 tahun yang lalu
baca 12 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

bertemu dengan saudara2 yang luar biasa (momen dauroh bantul)

BERTEMU SAUDARA-SAUDARA YANG LUAR BIASA Sumber: daurahnasional.com Bila dalam seragam resmi, kita pasti bisa menilai kepangkatan dan dari kesatuan mana mereka berasal. Sebab, di seragam yang dikenakan, terpasang badge pangkat dan kesatuan. Seragam yang sebenarnya dipakai untuk memudahkan koordinasi dan penugasan. Seragam yang jika dikenakan, tidak sedikit orang yang segan. Badan mereka tegap, kekar dan itu tidak bisa diingkari karena mereka memang dituntut seperti itu. Fisik mereka sangat ideal. Cara mereka duduk, berdiri dan berbicara terlihat tertata dan berwibawa. Siang ini, hari Ahad yang cerah, saya dipertemukan dengan mereka di sebuah rumah Allah, di masjid Agung Manunggal Bantul. Siapakah mereka? Jika tidak mengenal mereka sebelumnya, siapapun akan sulit menerka bahkan susah menilai. Dengan pakaian yang rata-rata putih dalam bentuk jubah atau gamis, mereka nampak lebih berwibawa. Kami sudah saling kenal melalui media sosial. Siapakah mereka? Mereka adalah saudara-saudara saya. Bukan hanya berstatus saudara biasa. Bahkan bagi saya, mereka adalah saudara-saudara yang sangat luar biasa. Belasan orang, yang duduk melingkar dengan saya, adalah para prajurit TNI/Polri yang mempunyai komitmen beragama. Mereka mempunyai semangat dan tekad untuk memperdalam agama Islam, seperti Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallohu'alaihi wasallam. Pakaian mereka siang tadi bukan seragam yang membedakan jenjang kepangkatan. Jubah dan gamis mereka telah menghilangkan kesan senior dan yunior, menghapus level atasan dan bawahan. Siang tadi, sebagaimana sebelum dan sesudahnya nanti, semua sama-sama meyakini bahwa mereka adalah hamba yang sejajar dihadapan Alloh. Apa yang membedakan, hanyalah keimanan dan ketaqwaan. Saya sungguh bahagia. Dengan kebahagiaan yang tiada ternilai. Kebahagiaan itu tidak bisa dibeli. Walaupun sekian banyak biaya dan usaha dilakukan untuk bisa meraih “sedikit” saja kebahagiaan, tetap saja sia-sia jika Alloh tidak menganugerahkan. Namun, perasaan bahagia itu telah Allah berikan untuk saya siang tadi. Bahagia karena dapat bertemu dengan saudara-saudara yang luar biasa. Daurah Bantul kali ini telah Alloh pilih sebagai moment pertemuan untuk kita. Sebuah pertemuan yang Insya Alloh akan berlanjut dibanyak pertemuan berikutnya. Kita berharap, selagi ada kesempatan bertemu dan berkumpul, maka kesempatan itu tidak akan dilewatkan begitu saja. Sebab, setiap pertemuan yang terjadi atas dasar cinta karena Allah, kelak akan berbuah nauangan disaat tidak ada naungan selain naungan-Nya. Untuk saudara-saudaraku, yang malam ini kita dipisahkan oleh waktu dan tempat (setelah beberapa menit berjumpa), saya berdoa : “Semoga Allah senantiasa mengkaruniakan istiqomah untuk kita semua. Anda yang bertugas sebagai aparat keamanan, baik dari unsur TNI maupun Polri, laksanakanlah tugas dengan niatan memberi keamanan dan kenyamanan, untuk Umat Islam yang mayoritas di Indonesia ini. Semoga setiap usaha Anda di dalam menyebarkan dakwah Salaf di lingkungan tugas, selalu dimudahkan Allah Ta'ala". Terakhir, ”Semoga kelak kita dikumpulkan di dalam Jannah. Di kampung abadi yang penuh kenikmatan dan kelezatan. Berkumpul bersama Nabi Muhammad dan para sahabatnya". Bersabarlah diatas Sunnah! Gigitlah dengan gigi geraham! Jangan lepaskan nikmat sunnah ini walaupun panasnya seperti menggenggam bara api! Saudaramu di jalan Allah Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz Selepas adzan Isya Di sebuah sudut bagian dalam Masjid Agung Manunggal Bantul 03 April 2016 https://telegram/kajianislamlendah
8 tahun yang lalu
baca 3 menit

Tag Terkait