"Meniti Jalan Menuju Rida-Mu"
Aku dilahirkan sebagai seorang laki-laki. Sejak umur 1 tahun lebih, ayah dan ibuku bercerai. Namun hal itu tidak membuatku lantas seperti anak korban 'broken home'. Aku hidup bahagia di bawah asuhan ibu yang pada saat itu tinggal di rumah kakek bersama paman dan tante -tanteku. Mereka semua bersama-sama mendidikku. Sejak kecil Ibu sangat melarangku dari merokok, pacaran, dan keluar malam (alhamdulillah sekarang aku tahu mengapa aku dilarang).
Namun sebagai anak kecil aku suka sekali bermain, kesana kemari. Terkadang aku melakukan kesalahan-kesalahan, berkata kasar, dan tidak sopan kepada orang tua. Alhasil terkadang aku dimarahi, dicubit, dan dipukul. Terkadang oleh ibu, paman, tante, dan nenek.
Ada kejadian yang tak pernah kulupakan. Suatu ketika pernah sekali aku berkata kasar kepada Ibu. Mendengar itu nenek maporo (ramuan yang pedas yang dimasukkan ke dalam mulut kemudian disemburkan) ke mukaku. Tentu terkejut juga aku mendapat perlakuan seperti itu. Tapi aku sadar, itu beliau lakukan dalam rangka untuk mendidikku.
Keluargaku juga mendidikku untuk menjadi anak yang baik. Rajin salat ke masjid dan berkata jujur. Alhamdulillah itu semua terdukung oleh kakek yang pada saat itu menjadi imam masjid di kampung. Aku juga dilatih untuk gemar bersedekah oleh paman yang kebetulan pengikut salah satu ustadz televisi yang menyuarakan sedekah 1 kembali 10 (bersedekah untuk mengharap bagian kecil dari dunia -Astagfirullah-).
Kelas 6 SD paman memanggilku untuk membantu pekerjaannya di percetakan sablon miliknya ketika telah pulang sekolah. Aku senang saja membantu beliau. Aku saat itu boleh dibilang 'gila game'. Sehingga kesempatan membantu paman tak kusia-siakan, karena di percetakan beliau itu ada komputer yang bisa dipakai untuk bermain game. Terlebih lagi paman juga memberiku uang atas kerjaku itu, keuntungan ganda batinku.
Itulah setiap hari yang kulakukan; ke sekolah, setelah pulang sekolah ke rumah paman sampai sore. Hal ini membuat pergaulanku dengan teman-teman sangat berkurang. Mungkin itu satu hikmah lagi dari kerjaku di percetakan paman. Di samping aku juga sangat dilarang keluar malam. Karena bekerja bersama paman, aku pun mengikuti gaya paman dalam beragama. Saat kelas 2 MTs paman mengenakan aku pada salah satu saluran televisi yang mengaku Ahlus Sunnah.
Saat pertama mengikuti saluran itu, paman sendiri mengaku bingung. Mana yang benar, apakah ustadz yang mengajarkan sedekah untuk dunia atau saluran televisi yang mengajarkan keikhlasan? Setelah berjalan waktu aman memilih untuk mengikuti saluran televisi itu karena merasa itu yang benar dan meninggalkan 'ustadz sedekah'-nya. Dan tentu aku juga ikut paman. Di sisi lain, kakak juga terkadang mengajakku untuk ikut organisasi hizbi yang tidak jauh beda dengan yang diajarkan saluran televisi yang diikuti paman.
Mulailah aku, paman, dan kakak mengenal larangan dan tercelanya bidah. Di sinilah perjuangan dimulai. Pertentangan demi pertentangan muncul dari keluarga yang masih memahami agama seperti keumuman orang di kampung kami. Terutama kakek yang imam masjid dan pemimpin acara bidah pekanan. Kami berusaha keras untuk mendakwahi mereka semua, terutama paman. Beliau sangat berusaha untuk mendakwahi mereka dengan banyak cara. Sehingga terkadang ada perdebatan yang muncul. Alhamdulillah karena pertolongan Allah semata, ibu dan tante-tanteku mulai paham tentang bidah dan meninggalkannya. Adapun kakek dan nenek tetap keras diatas pendiriannya.
Berjalan waktu, di saat aku kelas 3 MTs sepupunya ibu kembali dari Saudi Arabia setelah menjadi TKI. Sebelumnya dia telah mengenal dakwah Ahlus Sunnah. Melihat kondisi pamanku yang mengikuti saluran televisi beliau pun mendakwahi paman agar mengikuti dakwah Ahlus Sunnah yang benar. Alhamdulillah, paman dan kakak mulai ikut pengajian Ahlus Sunnah di daerah kami. Adapun aku tidak diikutkan menghadiri Mmajelis taklim itu karena harus mengantar kakek ke masjid.
Paman, di awal taklim kebingungan karena majelis taklim Ahlus Sunnah menganggap kalau saluran televisi itu menyimpang dan bukan termasuk ahlussunnah padahal keduanya mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Yang paling membuat paman bingung karena seakan-akan tidak ada perbedaan di antara keduanya. Pelajaran dan kitab-kitab yang diajarkan sama, serta penampilannya pun sama.
Namun, lambat laun -alhamdulillah- dengan penjelasan demi penjelasan mulai tampak bagi paman bahwa kebenaran ada pada Majelis Ta'lim Ahlus Sunnah dan kemudian segera meninggalkan saluran televisi. Begitu juga dengan kakak; ia mulai meninggalkan organisasi hizbi yang sebelumnya dia ikuti. Adapun aku, aku hanya mengikuti paman.
Adapun ibu dan tante-tanteku kembali didakwahi oleh paman agar meninggalkan saluran televisi karena saluran itu bukan Ahlus Sunnah. Alhamdulillah mereka sedikit demi sedikit menerima hal itu dan mulai meninggalkannya walaupun dengan sedikit pertentangan.
Lulus MTs (Madrasah Tsanawiyah) aku melanjutkan pendidikan di salah satu MA (Madrasah Aliyah) di kotaku. Sebagai seorang yang baru mengenal Ahlus Sunnah, keawamanku belum sepenuhnya hilang, apalagi aku jarang sekali menghadiri majelis taklim. Bergaul dengan perempuan, ikhtilat, nonton TV/ video, update di medsos masih sering kulakukan.
Di semester pertamaku di sekolah bisa dikatakan aku berprestasi, aktif berdiskusi, sering menjawab pertanyaan guru, dan dapat nilai yang tinggi. Sehingga itu semua membuatku masuk peringkat 5 besar. Namun di sisi lain aku melihat banyak kejanggalan di sekolah. Di antara guruku ada yang berjilbab namun berpakaian ketat. Banyak pelajaran-pelajaran yang kurasa tidak bermanfaat. Dan masalah yang terbesar adalah fitnah wanita.
Suatu hari aku mendengar paman berbincang-bincang dengan tante tentang kejelekan sekolah umum. Akhirnya aku memberanikan diriku untuk mencari tahu bagaimana pandangan syariat tentang sekolah umum. Akhirnya aku menemukan fatwa ulama Ahlus Sunnah yang mengharamkan terjadinya ikhtilat. Pada hari itu juga aku tidak mau berangkat ke sekolah. Aku pulang ke rumah dan memberitahu ibu tentang keinginanku berhenti sekomengizinkankuerta ibu marah keras kepadaku dan memukulku seperti waktu kecil.
Aku menangis namun ibu tetap tidak mengizinkan karena tidak mau anaknya tidak punya ijazah. Mau jadi apa nantinya kalau tidak punya ijazah, demikian alasan beliau. Mulai saat itu aku selalu berusaha pergi taklim, minta izin kepada kakek agar tidak mengantarnya lagi ke masjid sehingga kakek jalan kaki. Awalnya dilarang, namun alhamdulillah lama-lama kakek tidak melarang lagi.
Di tempat taklim aku mengetahui ada pondok Ahlus Sunnah yang masih satu provinsi dengan daerahku. Aku berminat masuk, merengek di depan Ibu agar bisa masuk pondok keluar dari sekolah umum. Beberapa kali aku menangis namun selalu tidak diizinkan bahkan Ibu marah. Sampai suatu malam aku menangis sejadi-jadinya di depan Ibu. Mungkin sudah lelah marah, malam itu Ibu ikut menangis tersedu-sedu. Akhirnya aku tetap harus meneruskan sekolah dan ibu berjanji kepadaku mengizinkanku mondok setelah tamat SMA.
Di sekolah sendiri aku mendapat banyak pujian dari banyak sisi semenjak awal taklim. Mulai semester 2 aku mulai mengubah diriku dengan penampilan ahlussunnah. Celana diatas mata kaki, menundukkan pandangan, dan menjauh dari perempuan yang bukan mahram. Hal tersebut membuatku seperti menjadi orang yang paling aneh di sekolah.
Aku yang dulunya aktif ketika diskusi kini diam, yang dulu sering menjawab pertanyaan guru kini berkurang, peringkatku juga semakin menjauh. Melihat hal itu wali kelasku mendatangi dan menanyakan mengapa semangat belajarku menurun. Benar saja semangat belajarku menurun karena aku benci sekolah umum dan ingin keluar. Melihat perubahanku, teman-temanku pun sering usil. Pernah saat berpapasan dengan teman perempuanku, dia sengaja menyentuhku; maka serta merta aku pun menghindar.
Pernah aku ingin keluar dari kelas di waktu istirahat untuk salat zhuhur, teman-teman perempuanku yang duduk-duduk di pintu memberi jalan untuk lewat, mereka tahu aku tidak lewat kalau mereka tidak memberi jalan. Ketika lewat di tengah-tengah mereka, tiba-tiba ada kaki yang julukan di depanku, maka aku pun langsung lompat dan menghindar.
Pernah juga teman laki-lakiku mendorong teman perempuan ke arahku. Dan masih banyak lagi ke usilan mereka. Namun aku tetap berusaha sabar. Aku anggap itu sebagai bagian dari ujian. Pernah pula, guruku membahas di kelas tentang perubahanku ini. Pernah pula aku ditanya tentang celana yang aneh atau diatas mata kaki oleh kepala sekolah, guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan), dan guru lainnya. Setiap dtanya aku selalu mencoba mengalihkan pertanyaannya atau menjawab dengan jawaban-jawaban yang bisa membuatku menghindar.
Terkait menundukkan pandangan pada saat pelajaran bahasa Inggris guruku bertanya menyuruhku untuk menatapnya "Look at me!" (lihat aku!). Begitulah yang dia ucapkan sembari menyebut namaku. Karena dia guru wanita aku tetap menundukkan pandangan dan tidak menatapnya. Guruku terus mendesakku agar aku menatapnya. Namun aku tetap menundukkan hingga akhirnya salah seorang temanku memahamkan guruku tentang aku yang tidak mau menatap wanita.
Ujian yang lain, pada pelajaran seni dibuat kelompok-kelompok untuk pementasan musik. Aku tidak mau ikut karena aku tahu hukum bermain musik adalah haram. Kuberanikan diriku untuk menghadap guruku, membawa lembaran-lembaran kertas berisi artikel tentang musik, aku meminta keringanan agar tidak ikut pementasan musik dan diberi tugas lain. Alhamdulilah meskipun guru itu tidak setuju kalau musik haram, namun dia memberiku keringanan untuk tidak ikut pentas seni dan memberiku tugas lain.
Pernah karena aku tidur di kelas tiba-tiba aku melihat HP di depan mataku. Ternyata HP teman perempuanku yang ingin memfotoku. Emosi sekali aku pada saat itu, aku keluar dari kelas menenangkan diriku. Kemudian kembali ke kelas dan meminta agar temanku itu menghapus fotoku. Pernah aku, pernah aku, pernah aku, pernah, pernah, dan pernah dan masih banyak lagi ujian-ujian yang kurasakan di sekolah.
Dua tahun setengah aku bersabar dengan keadaan sekolah. Tatkala ada kesempatan untuk tidak datang ke sekolah, maka selalu tidak kusia-siakan dan terus selalu berusaha meminta kepada Ibu agar diizinkan berhenti sekolah dan masuk pondok. Namun seperti yang disebutkan sebelumnya ibu tidak pernah mengizinkan. Merasakan cobaan itu terkadang aku berfikir untuk futur (putus asa dan mengikuti keumuman). Namun, Alhamdulillah hanya pertolongan Allah semata yang memberi keistiqamahan kepadaku.
Diantara sebabnya insyaAllah karena waktu itu aku rajin taklim. Hampir setiap malam berangkat taklim. Terkadang hal-hal yang mengganjal di sekolah aku tanyakan kepada ustadz agar mendapat penjelasan dan solusi. Berjalan waktu, aku berada di akhir tahun sekolah. Setelah UN (ujian negara) aku tidak pernah lagi ke sekolah kecuali hanya sekitar 4 kali. Betapa bahagianya, akhirnya aku bebas dari sekolah umum. Alhamdulillah, kemudian seperti janjinya, ibu mengizinkanku untuk mondok.
Setelah lebaran Idul Fitri mulai aku mempersiapkan perlengkapan-perlengkapan untuk masuk ke pondok. Aku juga mengundurkan diri dari bekerja bersama paman di percetakannya. Tak terasa aku telah 6 tahun bekerja bersama beliau. Tanggal 9 Juli 2017 hari berangkat ke pondok. Ibu memelukku dan menangis. Sedih rasanya mengingat hal itu.
Berangkatlah aku ke pondok diantar oleh ayah tiriku, kakak, paman, dan 2 orang ikhwan. Jadilah aku santri baru di pondok ini, cita-cita yang dari dulu kuimpikan, tempat yang selalu kudambakan, yang aku juga menabung karenanya. Namun, ternyata kehidupan di pondok nyatanya tidak seperti yang kubayangkan dan tidak sesuai yang kuinginkan. Di hari pertamaku, aku rindu keluargaku, aku rindu dengan ibu. Aku menangis ketika salat, aku rindu dengan ibu. Aku ingin sekali pulang tapi di sisi lain, tatkala taklim dengan ustadz aku bertanya kepada diriku, "Apakah aku akan meninggalkan majelis ini, majelis yang indah ini?"
Alhamdulillah setelah sepekan di pondok, aku diberi izin untuk menelepon. Berbincang dengan ibu, membuat sedikit tenang dan tidak terlalu berpikir untuk pulang. Alhamdulillah. Namun masalahku belum selesai. Tidak lama setelah menelpon aku sakit perut. Karena tidak terbiasa dengan makanan pondok yang nasinya banyak dan lautnya sedikit. Sehingga makanku sedikit mengikuti habisnya lauk. Beberapa hari sakit bahkan sempat muntah.
Alhamdulillah karena pertolongan Allah kemudian bantuan dari beberapa teman yang memberi obat, susu, dan membuatkan bubur, akhirnya aku sembuh. Dan pada saat itu juga nasehat demi nasehat kudapatkan sehingga membuatku bisa kuat dan bertahan di pondok. Dan salah satu yang membuat aku kuat adalah tatkala aku melihat anak kecil yang jauh lebih kecil dariku yang tetap mondok, tahan dengan kekurangan-kekurangan dan keterbatasan-keterbatasan yang dirasakan di pondok.
Waktu terus berjalan siang berganti malam semakin lama semakin terasa nikmatnya mondok, semakin lama semakin betah, semakin lama semakin enak. Menghafal Al Quran, belajar, beramal, bersabar, kutemukan disini. Tawa, serius, nangis, gembira, susah, itulah yang mewarnai indahnya pondok.
Dan aku tahu ujian akan terus datang menimpaku silih berganti bagaikan ombak di laut. Terkadang teman jadi ujian, bahkan sesuatu yang tidak kusangka jadi ujian ternyata jadi ujian bagiku. Dan aku tidak tahu apalagi ujian yang akan datang setelah ini. Begitulah kehidupan di dunia, manusia akan terus diuji, semoga dengan ini merupakan tanda kalau kita adalah orang yang beriman.
الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
"Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan 'Kami telah beriman,' sedangkan mereka tidak diuji lagi?" [Q.S. Al-Ankabut :1-2]
Maka semestinya seorang yang beriman bersabar ketika diuji, tidak menggerutu dan marah atau bahkan berpaling dari kebenaran. Karena dampak dari kesabaran itu sangatlah indah, sebagaimana kata penyair, "Sabar seperti namanya pahit rasanya, akan tetapi akibat yang lebih manis dari madu." Kita berdoa kepada Allah semoga kita diberi kesabaran ketika menghadapi ujian dan terus istiqomah sampai nyawa berpisah dengan jasad.
Terkadang aku mengingat apa yang terjadi di sekolah umum membuat ketakutan, jikalau kembali lagi padanya. Namun cukup itu sebagai masa lalu yang kelam dan semoga Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu. Dan sekarang saatnya memperbaiki diri.
Majalah Qudwah edisi 67 vol.6 hal.65 1440H