MERAIH BAHAGIA TATKALA RINDU MENYAPA
Senja kembali mengusik untuk kesekian kali. Angin berbisik tentang kerinduan yang tak kunjung pergi. Rindu yang tak pernah menemui reda, melainkan semakin menjadi.
Ya, secuil kisah tentang kerinduan untuk ingin selalu kembali ke tempat thalabul ilmi. Rindu yang tak berkesudahan dan selalu berakhir dengan segala harapan.
Rasanya baru kemarin aku melangkahkan kaki dan menggenggam sebuah mimpi. Rasanya juga baru kemarin semua ini hanya sebatas keinginan dan belum benar-benar terjadi. Namun nyatanya sudah ratusan malam terlewati dan tak pernah sekalipun kutemui sepi.
Sudah sekian kali senja menghampiri, namun belum pernah sekali aku merasa sendiri. Berjuang bersama mereka yang menyimpan dahaga akan ilmu syar'i. Siapa sangka, aku yang dulu begini dan begitu bisa duduk dalam satu majelis ilmu dengan mereka yang Allah beri hidayah untuk menempuh sebuah jalan menuju surga.
Maka setiap kali lelah menghampiri, yang ku ingat hanya satu, aku sedang berjalan menuju surga. Ku jadikan lelah sebagai hal yang harus ada dalam sebuah perjalanan ini dan kesabaran ialah bekal yang harus kumiliki sampai nanti, saat harus kembali.
Memang panjang perjalanan ini, meski aku baru memulainya. Ujian demi ujian menghampiri silih berganti. Kurasa bukan hanya aku, mereka pun juga demikian. Maka saat diuji, aku ingat mereka yang ujiannya lebih berat namun mampu menghadapi dengan penuh kesabaran dan tak pernah mengeluh meski sekali.
Tak sedikit yang tahu tentang bagaimana latar belakang kehidupanku. Ya, sekian lama duduk di bangku sekolah umum selama belasan tahun dengan segala kisah yang mengiringi tentunya meninggalkan cerita dan pengalaman tersendiri.
Namun mereka banyak yang tak tahu jika aku pernah mengikuti Tahfidzul Quran selama beberapa bulan di markaz milik sebuah yayasan. Ya, hanya hitungan hari namun menjadi salah satu titik terpenting dalam hidup untuk berani memutuskan untuk mengubah hidup hingga akhirnya aku berada disini, sebuah ma'had ahlussunnah.
Singkat cerita aku saat itu menjalani hari demi hari seperti biasa dengan menghafal al Quran, ada beberapa pelajaran diniyyah yang kupelajari di siang hari setelah selesai majelis hifzh.
Sore hari kami pulang ke asrama yang hanya berjarak beberapa meter saja. Untuk makan sehari-hari kami membeli sendiri dan setelah selesai majelis di bebaskan melakukan kegiatan apa saja.
Beberapa memilih untuk kos sendiri dengan berbagai alasan, namun aku tetap bertahan di asrama bersama beberapa teman. Waktu terus berjalan dan aku semakin mengerti ternyata aku memiliki teman-teman yang berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Banyak yang berasala dari pondok sururi, hizby, dan lain-lain.
Aku juga belum terlalu mengerti tentang salafi saat itu, hingga saat di ajak mengikuti kajian bersama mereka dan acara-acara yang mereka gelar, aku mengiyakan ajakan itu.
Kami tak mempermasalahkan tentang bagaimana Islam yang kami yakini. Namun bagi mereka semua sama saja dan yang di ajarkan juga sama. Kami hanya fokus untuk menghafal dan menyelesaikan target hafalan.
Setiap sebulan sekali aku pulang naik bus dan kembali di keesokan hari. Aku sudah mengenakan pakaian syar'i namun masih warna-warni. Pulang pergi menempuh perjalanan sekian jam sudah biasa dan pergi ke mana saja tanpa mahram tak masalah meski sempat dilanda kekhawatiran sesekali.
Detik begitu cepat, liburan sudah semakin dekat. Saat itu aku benar-benar telah mengambil keputusan untuk berhenti setelah beberapa bulan terakhir merasa tidak nyaman dan tidak tenang berada disana. Aku mengundurkan diri di semester dua di saat masih menjabat sebagai ketua kelas.
Ya, saat diberi kepercayaan untuk membantu mengurusi ma'had. Dibantu beberap pengurus, kami menjalankan tugas-tugas dan amanah yang diberikan. Namun keganjalan mulai terasa di hati dan keinginan untuk berhenti semakin menjadi.
Lebaran dua tahun lalu aku sudah tidak di sana, padahal setiap berbuka puasa kami selalu bersama selama hampir sebulan penuh. Awalnya berat bahkan saat sudah memutuskan untuk benar-benar pergi rasanya tak kuasa meninggalkan teman-teman yang setiap hari selalu bersama. Namun ada sebuah hal yang harus kuperjuangkan. Benar, akidahku. Mau dibawa kemana akidah dan manhajku jika masih bertahan disana?
Maka inginku hanya satu, menuntut ilmu yang benar-benar sesuai al Quran dan Sunnah. Ada sesuatu yang lebih berharga selain sebuah penyesalan dan kesedihan mendalam, yakni segera bangkit untuk memulai kehidupan baru sesuai bimbingan sunnah dan bersemangat menjalankannya. Semua itu sama sekali tak mudah bagiku dan bagi keluargaku yang tengah berusaha menjalankan syariat ini.
Aku tahu konsekuensinya sejak awal dan siap menerima hal itu. Ya, dibenci, dijauhi, direndahkan, dan selalu dikomentari. Tak hanya oleh orang lain, melainkan keluarga sendiri.
Namun kami ingat betapa berharganya sebuah hidayah dan tak semua orang berkesempatan mendapatkannya. Aku tidak ingin menyia-nyiakan dan mengulang kesalahan sama di masa lalu. Hidayah ini telah menyapa dan aku terus berdoa agar mereka juga berkesempatan sama. Semoga.
Untuk itu setiap kali aku merasa lelah dan ingin berhenti, aku mencoba untuk menjadi seseorang yang lebih bersyukur atas hidayah yang telah Allah beri, atas nikmat yang seringkali lupa untuk disyukuri padahal begitu berarti, atas kesempatan bisa menuntut ilmu syar'i padahal inilah nikmat terbesar jika kita mau menyadari. Kesempatan yang telah lama diidamkan sejak jauh-jauh hari.
Aku sering mengambil hikmah dan pelajaran setiap bertemu dengan orang lain, dan dari sana Allah tunjukkan sebuah pembelajaran yang begitu bermakna. Aku baru menyadari, di sekitarku banyak orang yang tidak seberuntung dan tak mudah untuk bisa duduk di majelis ilmu. Ada diantara mereka yang Allah beri hidayah namun belum diberi kesempatan untuk bisa sepenuhnya menuntut ilmu di sebuah ma'had karena belum dibolehkan orang tua atau karena masih sibuk kuliah atau bekerja.
Ada yang Allah berikan hidayah dan sudah berada disebuah ma'had lalu tidak bisa melanjutkan karena futur (jenuh) atau alasan lain. Ada juga yang Allah belum beri hidayah namun ingin menuntut ilmu syar'i dan itu hanya sebatas keinginan saja. Mereka menunggu hidayah itu datang, padahal hidayah itu harus dijemput, bukan ditunggu entah sampai kapan.
Aku begitu bersyukur dengan keadaan sekarang ini, meski masih pemula dan belum lama menginjakkan kaki di tempat thulabul ilmi (para penuntut ilmu), bagiku tiada kenikmatan yang lebih indah selain ini. Saat merengkuh impian dalam manisnya menuntut ilmu. Terlebih lagi aku belajar dari mereka yang Allah beri keterbatasan namun semangatnya begitu luar biasa dalam thalabul ilmi (menuntut ilmu).
Mereka yang memiliki keterbatasan waktu karena harus bekerja dan mengurus keluarga namun masih sempat dan bersemangat menghadiri majelis ilmu, mereka yang dengan kemampuan pas-pasan tapi masih sempat datang di sebuah kajian dan harus menabung demi membeli kitab, mereka yang usianya sudah tak lagi muda namun sangat antusias untuk mendengarkan faedah dari ustadz.
Apakah mereka adalah pengangguran atau orang yang kerjaannya hanya duduk-duduk? Tidak. Mereka semua memiliki kesibukan untuk bekerja sebagai bentuk tanggung jawab kepada keluarga. Justru Kitalah yang kerap menyebut diri kita para penuntut ilmu harusnya mencontoh semangat mereka. Saat seharian harus bekerja atau sibuk mengurus rumah dan keluarga, saat lelah itu sudah sangat terasa dan tak jarang dengan jarak yang terbentang begitu jauhnya, mereka tetap melangkahkan kaki menuju tempat thalabul ilmi.
Terkadang aku merasa malu pada Allah karena sering mengeluhkan lelah dan merasa tak mampu, padahal aku sudah berada di ma'had dan tak perlu melakukan hal-hal itu seperti bekerja dan menempuh perjalanan sekian kilometer untuk dapat mencicipi manisnya ilmu. Aku hanya perlu duduk, mendengarkan dan mencatat. Menjadikan belajar sebagai rutinitas, bukan bekerja atau mengurus rumah.
Belum saja, waktu terus berjalan dan suatu saat kita sangat mungkin berada di posisi mereka. Tapi masih saja diri ini tak bersyukur padahal Allah yang telah memberikan kesempatanberharga yang menjadi dambaan banyak orang, termasuk aku yang dulu begitu menginginkan kesempatan ini. Belum lagi jika mengingat teman-teman yang Allah beri keterbatasan dalam hal fisik seperti mendengar atau berbicara misalnya.
Beberapa kali aku sempat mengantar adik ke sebuah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus dan melihat semangat mereka untuk belajar begitu besar. Mereka begitu ramah dan atusias untuk sekolah. Keakraban dan persahabatan yang begitu hangat serta semangat yang tak pernah padam untuk mengikuti pelajaran. Ya, jika aku mau belajar lebih ternyata memang tidak ada celah bagi kita untuk tidak mensyukuri nikmat ini.
Kesabaran mereka juga para orang tua bisa kita contoh. Mereka sama sekali tak pernah menjadikan kekurangan yang ada sebagai kekurangan atau keterbatasan untuk melakukan berbagai hal, mereka hanya fokus mensyukuri apa yang telah Allah anugerahkan dan menjaganya sebaik mungkin. Allah telah memilih para orang tua itu dan mempercayakan sebuah titipan. Allah berikan kemampuan dan kesabaran juga balasan terbaik di sisi-Nya. Satu hal yang harus kita ingat bahwa semua anak yang terlahir di dunia itu istimewa dan berharga, jadi tidak boleh disia-siakan.
Maka setiap kutulis sebuah nasihat atau pesan, sejatinya ini untuk diriku sendiri. Diri ini yang masih sering lupa untuk bersyukur, masih kerap menyia-nyiakan waktu dan mengeluh saat lelah mengusik lalu ingin memilih untuk berhenti. Padahal jika tidak di dunia kita berlelah-lelah untuk beramal, lalu dimana lagi?
Banyak hal yang menjadi harapan kita, salah satunya untuk bisa terus menuntut ilmu kemudian mengamalkannya. Telah banyak kesempatan menghampiri, namun seolah-olah kita menutup mata dan tak peduli. Berpikir masih ada hari esok, lusa dan seterusnya padahal kita sendiri tidak tahu dan tak ada yang menjamin jika esok semangat untuk menuntut ilmu itu masih ada atau nafas masih terus berhembus.
Bukankah harapan itu hanya akan menjadi harapan jika kita tidak memperjuangkannya. Bagaimana kita mampu merengkuh apa yang kita cinta jika tidak berusaha dan berjuang mendapatkannya, ilmu misalnya. Dengan apa kita meredam segala kerinduan terhadap ilmu jika bukan dengan menuntut ilmu dan bertemu dengan mereka yang sama-sama memendam kerinduan teramat sangat terhadapnya. Benar, kita harus mencarinya bukan hanya sebatas ingin atau menyebut-nyebutnya saja.
Untuk kita yang saat ini tengah berjuang dijalan thalabul ilmi, atau yang sedang memiliki keinginan untuk memulainya kembali atau untuk pertama kali, yang tengah futur dan ingin berhenti atau sudah benar-benar berhenti, masihkah kita ingin menyia-nyiakan kesempatan ini? Padahal kita di sini tidak lama lagi dan memang hanya sebentar jika kita sadari.
Apa yang membuat kita ingin berhenti sementara banyak mereka yang ingin memulai memulai namun belum memiliki kesempatan, apa yang menyebabkan kita enggan melangkahkan kaki padahal mereka rela menempuh perjalanan sejauh ini. Apalagi alasan kita untuk berhenti? Apapun itu, bukankah ada lebih banyak alasan untuk bersyukur?
Tak perlu risau atas setiap kekurangan yang ada pada diri kita karena setiap orang pasti memilikinya. Kekurangan ada bersama kelebihan dan keduanya harus sama-sama disyukuri. Jika hidup adalah ujian, adakah cara terbaik selain bersabar menjalaninya? Barangkali kita lupa akan firman Allah yang artinya, "...Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas." [ QS. Az Zumar : 10 ]
Semoga kerinduan dan kecintaan kita terhadap ilmu senantiasa ada. Pun doa kita untuk selalu memohon hidayah dan taufik kepada Allah tetap terjaga. Apa yang mampu kita rengkuh saat rindu menyapa, selain kebahagiaan karena bertemu wajah-wajah yang sama-sama memendam rindu terhadap ilmu dan berjuang mendapatkannya? Tak pernah merasa berat, jenuh atau mengeluh, sebab rindu tak mengenal kata itu. Rindu ada bersama kesabaran dan keikhlasan, serta doa-doa yang mengiringi tiap perjalanan untuk menemukan apa yang kita rindu.
***
Sumber : Majalah Qudwah edisi 64/vol.06 1440H/2019M hal.65 dalam rubrik Kisahku