Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah pengalaman menuntut ilmu di pondok pesantren

6 tahun yang lalu
baca 10 menit

MENATAP MASA DEPAN

Aku terlahirkan di sebuah kota di bumi Sriwijaya, di tahun-tahun meletus dan pecahnya konflik Ambon. Bapakku seorang pekerja swasta, Ibuku seorang ibu rumah tangga. Aku anak keempat dari 6 bersaudara, di sebuah keluarga yang sedikit banyaknya alhamdulillah berkecukupan.

Masa kecilku ku habiskan di pondok pesantren. Dari satu pondok ke pondok lainnya, tak terasa sekarang aku sudah berada di pondok keempat. Jujur, di sanalah aku baru menemukan lezatnya thalabul ilmi, dan disanalah aku menyadari betapa banyak nikmat Allah kepadaku yang selama ini lupa kusyukuri. 

Dan di sanalah aku menyadari betapa bahagianya mereka-mereka yang diberi kemudahan oleh Allah untuk bisa menuntut ilmu agama, betapa kasihan dan meruginya mereka-mereka yang terhalangi serta tidak peduli terhadap belajar ilmu agama. 

Kisah ini ku awali di tahun 2006. Saat itu aku duduk di bangku SD di tahun kedua, namun belum genap semester 2, orang tuaku memutuskan untuk memindahkanku di pondok pesantren yang baru didirikan di kota kelahiranku. Saat itu, yang ada dipikiranku hanyalah bermain dan bermain, bagaimana caranya hidup ini dipenuhi dengan kesenangan dan kebahagiaan. 

Dunia anak-anak! Dunia bermain! Saat itu aku merasa senang, jika bisa terbebas dari jadwal sekolah yang super padat, ditambah siangnya harus masuk TPA (Taman Pendidikan Anak-Anak) di sebuah masjid di perumahanku. Ketika malam tiba, hanya bisa memejamkan mata untuk tidur setelah mengerjakan PR tugas-tugas dari SD ataupun dari TPA. 

Yang kupikirkan saat itu adalah jika aku mondok tentu akan terbebas dari itu semua. Ditambah lagi, ketika orang tuaku menjanjikan berbagai janji jika aku mau mondok. Ya, itu semua membuatku termotivasi untuk mondok. 

Beberapa minggu setelah keluar dari SD, aku resmi menjadi santri di pondokku yang pertama tersebut. Seperti di dunia baru rasanya, sangat berbeda suasananya dengan SD. Akupun mulai berkenalan dengan santri-santri baru yang sama mendaftar denganku. 

Namun apa yang kuharapkan ternyata jauh dari kenyataan. Justru di pondok, aku merasa tidak sebebas dulu. Saat harus tidur di pondok, aku tidak bisa tidur di rumah sebagaimana saat di SD. Kami tidak diperbolehkan pulang ke rumah kecuali hari kamis siang dan hari sabtunya harus kembali belajar di pondok. 

Sedikit-sedikit ustadz kami selalu menegur, "Itu nggak boleh! Itu haram, jangan lakukan!" Mulailah saat itu aku kecewa dengan namanya mondok. Tak jarang di hari Sabtu saat harus kembali ke pondok aku menangis dan ngambek tidak mau kembali. 

Namun, apalah daya nya karena orang tuaku tetap memaksa. Hari Kamis bagi kami saat itu bagaikan hari kesenangan dan kegembiraan, dan hari Sabtu bagaikan hari kejengkelan dan kesedihan. 

Yang semakin membuatku tidak betah di pondok ketika hukuman harus kuterima. Saat itu yang bisa kusimpulkan, bahwa mondok itu nggak enak! Mondok itu nggak bebas! Mondok itu kejam! 

Seringkali aku saat itu berpikir bagaimana bisa terbebas dari pondok yang aku ibaratkan sebagai penjara.. Astaghfirullah tsumma astaghfirullah... 

Berjalan 1 tahun berapa bulan, ternyata pondokku bubar karena satu dan lain hal. Kami pun para santri bubar dan berpisah dengan ustadz kami, yang ketika itu hanya ada 1 ustadz dan 2 orang yang membantu mengajar dengan santri yang berjumlah 9. 

Saat perpisahan, ustadz kami meminta maaf kepada kami jika selama ini beliau sering memukul dan menghukum kami. Beliau mempersilahkan dari kami untuk memukul beliau sebagai bentuk qishas. 

Tapi kami saat itu tidak ada yang mau dan telah memaafkan beliau. Toh mungkin itu karena kami yang nakal dan serba susah diatur hingga sering membuat beliau marah dan menghukum kami. 

Gembira sesaat rasanya, saat bisa keluar dari pondok. Namun sejurus kemudian orang tuaku pun mengambil keputusan untuk memondokkanku di kota yang lebih jauh. Di sebuah pondok pesantren di kota Jiran. 

Berhubung sudah ada kakakku yang mondok disana, sehingga harapan kedua orang tuaku bisa lebih menjaga dan mengawasiku. Aku pun berangkat ke sana dengan abiku menggunakan bis. Kurang lebih 1 hari setengah kami baru sampai pondok yang dimaksud. 

Satu dua hari, satu dua minggu setelah ayahku pulang, ternyata pondok baruku tidak jauh berbeda dengan pondok sebelumnya. Bahkan mungkin lebih mengenaskan bagiku. 

Rata-rata santrinya sudah besar-besar semua di bandingkan aku yang berumur 8 tahun saat itu. Jadilah aku hanya seperti bola voli yang diperebutkan, berpindah tangan dari satu tangan ke tangan perebut lainnya. Menyedihkan!

Adapun kakakku tidak bisa mengawasiku secara total, karena kakakku berada di pondok putri, sedangkan aku berada di pondok putra, sehingga kesempatan berkomunikasi hanya sedikit dan sangat jarang sekali. Tidak setiap hari. 

Umurku di pondok tersebut hanya sekitar 3 bulan kurang lebih. Aku pun pulang ke rumah sebelum waktunya liburan. Karena ibuku saat itu melahirkan adikku yang kedua. 

Di tanggal 16 bulan September tahun 2008, lahir di tengah keluarga kami seorang bayi laki-laki yang merupakan adikku yang kedua. Alhamdulillah. Di akhir tahun 2008, orang tuaku pun berusaha mencarikan pondok baru buatku, dan akhirnya aku di pondokan di sebuah pondok yang lainnya, di kota Jiran lainnya. 

Pondokku yang ketiga ini berada di tengah hutan. Untuk menempuh hingga sampai ke lokasi pondok harus masuk 1 km dari jalan aspal. Pondoknya hanya menggunakan lampu diesel. Itupun kalau sudah datang waktu malam, tepatnya di jam 00.00 lampu diesel dimatikan hingga gelap gulita. 

Hanya senter yang bisa menemani saat ke kamar mandi. Yang ada hanya suara jangkrik dan katak bersahutan, seakan menguasai malam. Tidak jarang suara anjing menggonggong terdengar memecah keheningan. 

Yang membuat setiap yang mendengarkannya ketakutan dan membuat bulu kuduk berdiri dan merinding. Namun di pondok itulah alhamdulillah, Allah mulai membukakan pintu-pintu ilmu dan pemahaman kepadaku. 

Mulai sedikit demi sedikit aku diperkenalkan dengan ilmu-ilmu bahasa arab seperti nahwu dan sharaf. Dan alhamdulillah disanalah aku mulai bisa sedikit-sedikit membaca kitab arab gundul. Dan juga di sanalah aku alhamdulillah bisa mengkhatamkan Al Quran. 

Banyak pesan dan kesan, suka dan duka saat mengenang itu semua. Saat akhir- akhir tahun 2012 orang tuaku memindahkanku dari pondok tersebut karena satu dan lain hal. Kurang lebih empat tahun aku melakoni pondok tersebut. 

Orang tuaku pun berusaha mencarikan pondok yang lebih baik. Sambil mencari-cari informasi, akhirnya orang tuaku pun memutuskan untuk memondokkanku di pulau Jiran, dan di sanalah pondokku hingga saat ini. 

Di sanalah aku menemukan teman-teman baik yang tidak kudapatkan di pondok-pondok sebelumnya. Di sanalah aku menyadari betapa bodohnya aku selama ini. Di sanalah aku menyadari betapa berharganya ilmu dan betapa mulianya orang-orang berilmu. 

Disanalah aku menyadari betapa besar jasa kedua orang tuaku selama ini. Di sanalah aku menyadari bahwa ilmu itu tidak akan bermanfaat hingga diamalkan untuk kemudian didakwahkan. Dan di sanalah aku baru merasakan betapa lezatnya menuntut ilmu. 

Sungguh! Thalabul ilmi (menuntut ilmu agama) merupakan kenikmatan di atas kenikmatan yang wajib kita syukuri. Dan nikmat tersebut terasa lebih berharga dan mulia di saat kita melihat mayoritas manusia di zaman ini. Bahkan di antara mereka kaum muslimin banyak yang tidak mengerti tentang agama mereka. 

Islam hanya sebagai formalitas di KTP mereka. Mereka yang berkiblat kepada barat dan Eropa, hidup mereka hanya terombang-ambing dalam budaya orang-orang kafir. Menyedihkan dan mengenaskan. 

Maka bersyukurlah wahai saudaraku, disaat Allah membimbingmu untuk bisa berthalabul ilmi. Suatu kenikmatan yang dikatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, "ilmu agama tidak ada yang dapat menandinginya bagi siapa saja yang benar dan lurus niatnya." 

Sadarlah wahai saudaraku sesama penuntut ilmu dan pengejar akhirat. Mereka-mereka yang setiap harinya diterangi oleh sinaran ilmu. Dan yakinlah! Bahwa budak-budak dunia itu tercela dan hina. 

Mereka-mereka yang hidup hanya mengumpulkan dunia dan dunia, mereka- mereka yang lalai dari tujuan utama mereka diciptakan. Itu semua mencambuk kita untuk berucap syukur dan tahmid beribu-ribu kali kepada Dzat yang telah memberikan kesempatan kepada kita untuk berthalabul ilmi. Alhamdulillah. 

Di akhir tahun 2012, aku pun resmi menjadi santri di pondokku yang keempat. Setelah melewati masa-masa belajar yang penuh dengan liku dan rintangan, Allah pun menakdirkanku hingga bisa ke pondok tersebut.

Aku kesana diantar Ayah dengan menaiki pesawat. Hingga disaat beliau mau pamitan pulang, setelah menjabat tangan, memelukku, dan memberikan pesan terakhir beliau, "Yang rajin belajar ya" aku hanya bisa menahan air mata ini yang akhirnya tak bisa kubendung dan tumpah. 

Saat itu aku sedih sekali berpisah dengan ayahku, karena jika sebelumnya aku di pondokkan di kota-kota sepulau, sekarang aku harus merantau mengembara ilmu di pulau Jiran. Namun saat itu aku hanya bisa menegarkan diri ini bahwa orang tuaku pasti punya maksud baik dengan memondokkanku jauh-jauh. 


Masih terngiang-ngiang pesan dan nasehat Ibuku saat di rumah 
"Sebenarnya Ibu tidak mau pisah sama kalian. Tapi, biar kalian bisa menuntut ilmu, gak papa!"
Masih juga teringat olehku pesan ayahku, 
"Yang penting bagi ayah, bagaimana ayah bisa berhujjah dihadapan Allah nanti. Bahwa Ayah telah memondokkan kalian semua. Bahwa Ayah telah berusaha mengamalkan firman-Nya yang artinya "Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu, dan juga keluargamu dari api neraka.." 
Begitulah kurang lebih kira-kira nasehat orang tuaku saat aku mau berangkat ke pondok. Sekarang aku sudah terbiasa dengan pondok pesantren, dan bahkan merindukan suasana dan aktivitas di pondok saat sedang liburan dirumah. 

Mengingat dulunya terpaksa dan dipaksa sekarang alhamdulillah bisa karena biasa. Bisa merasakan bagaimana besar perjuangan dan pengorbanan orang tuaku sejak kecil. Dan bisa merasakan nikmat dan lezatnya menuntut ilmu agama. Alhamdulillah. 

Semoga Allah mengampuni dosa-dosaku dan dosa-dosa kedua orang tuaku. Ya Allah rahmatilah mereka sebagaimana mereka mengasuhku di masa kecil. Akhir kata, semoga Allah memberikan kepada kita keistiqamahan untuk terus berada di jalan yang benar hingga akhir hayat kita. Amin. Ummi, Abi terima kasih!

Majalah Qudwah edisi 45 2017 halaman 25