KAPAN GILIRANKU?
Bismillah. Semoga menjadi ibrah bagi kita semua. Cerita dari seorang sahabat, seorang teman, seorang ibu, yang sangat tegar. Inspirasi bagi kita untuk selalu menggantungkan harapan kepada Allah, raja' (berharap) serta khauf (takut), dan berserah diri hanya kepada Allah atas seluruh ketetapan-Nya dan takdir dari-Nya.
Sedih. Tertekan. Depresi rasanya menikah selama ini belum dikaruniai keturunan. Bingung setiap kali ada pertanyaan "Ummu belum hamilkah?"... Atau saat berkumpul bersama keluarga, ada saja yang usil bercanda... Tapi cukup masuk ke hati. Tidak nyaman dengan keluarga besar suami, terutama ibu mertua, maklum suamiku adalah satu-satunya putra mereka, sekaligus yang diharapkan keluarga. Fashabrun jamiil. Kesabaran adalah jalan yang terbaik. Sesungguhnya akhir dari kesabaran adalah kebaikan.
Flashback 25 tahun silam.
Saat hari pernikahan kami. Sungguh sangat bahagia, harapan indah serta rasa syukur memenuhi hati kami. Sebagaimana suami istri yang lain, kami sangat ingin segera punya anak. Kami merencanakan untuk tidak membatasi kelahiran, ingin punya anak lebih dari 7. he,he.
Hari demi hari telah berlalu, sebulan, dua bulan, bulan demi bulan berlalu, setahun, lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun, 24 tahun... Kami selalu menantikan buah hati.
Tidak bisa kami ceritakan bagaimana kerasnya kami berusaha. Tidak mampu kami ceritakan bagaimana kami mencoba, mulai dari herbal hingga secara medis. Tidak kami pungkiri bahwa semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Waktu dan pikiran serta tenaga terkuras. Beberapa kali mencoba untuk bayi tabung, hingga badan terasa sakit semua karena banyaknya terapi. Qadarullahu wa maa syaafa'ala, Allah belum berkehendak. Alhamdulillah ala kulli hal, manusia hanya berusaha, berikhtiar sekuat tenaga, namun pada akhirnya di saat kami berada pada titik terendah, kami pasrah dengan ketetapan-Nya, kami ridha dengan takdir-Nya.
Usia kami telah memasuki usia kepala empat, sudah tidak lagi muda. Masa-masa produktif telah terlampaui, namun sungguh selama 24 tahun ini, doa yang tidak pernah terputus, tiada pernah berhenti. Setiap sepertiga malam terakhir aku selalu berharap agar bertepatan dengan waktu yang mustajab (terkabulnya doa).
Allah Subhanahu Wa Ta'ala maha berkuasa atas segala sesuatu. Allah yang Maha memegang urusan seluruh hamba-Nya. Demikian kami hingga mengerti faedah besar yang terselip, yang selama ini tidak kami sadari. Bahwa Allah apabila mencintai seseorang hamba-Nya, maka Dia akan memberikan ujian untuk hamba-Nya tersebut. Sesuatu yang akan mengangkat derajatnya serta menghapus dosa-dosanya selama dia mampu bersabar, bertakwa kepada Allah, serta ridha dengan ketetapan Allah.
Seberapapun kami berusaha, jika Allah tidak berkehendak maka kami tidak akan pernah mendapatkannya. Sebaliknya, jika Allah telah berkehendak, maka pasti kami akan dikaruniai keturunan. Meski menurut manusia mustahil. Meski menurut mereka impossible. Meski di luar nalar manusia.
Apa yang tidak mungkin bagi Allah? Apabila Allah berkehendak, bisa saja aku dikaruniai seorang anak lelaki atau perempuan, atau lelaki dan perempuan.
Setiap datang bulan, menstruasi, selalu menangis sedih. Selalu takut dan despresi menantikan mens. Padahal hal tersebut adalah nikmat Allah yang sangat besar. Kenapa kita tidak pandai bersyukur?
Sedih, akan tetapi selalu ku tepis perasaan tersebut. Dan selalu berusaha optimis. Dan yakin kepada Allah, percaya dan husnudzon (berprasangka baik) kepada Allah. Aku yakin Allah telah merencanakan sesuatu yang indah untuk kami. Semua pasti akan indah pada waktunya.
Tetapi tetap saja, setiap datang bulan berikutnya aku nelangsa, sedih yang telah sekian puluh tahun kurasakan, menangis di kamar sendirian, sepi rasanya tanpa buah hati.
Apa yang mampu kami lakukan saat kami lemah?
Hanya satu, saling menguatkan dan saling menasehati di atas kesabaran, ketakwaan, bahwa semua adalah kehendak Allah. Ada satu hal yang selalu menjadi pikiran. Aku takut dipoligami, meski tahu bahwa itu adalah sunnah. Ternyata berat sekali di hati dan ini adalah ujian tersendiri bagiku.
Bagaimana aku mampu tegar di saat-saat seperti itu?
Betapapun ini kan belum tentu terjadi, cuma di pikiranku doang. Hanya mempersiapkan diri biar tidak frustasi kalau benar terjadi. Kembali kepada takdir Allah, jika Allah menghendaki bagi suamiku untuk ta'adud (poligami), meski aku berusaha menggagalkan pasti deh aku bakalan ditinggal nikah juga. Meski pada akhirnya aku bisa hamil juga, jika suami di takdirkan nikah lagi ya pasti terjadi.
Sebaliknya jika Allah tidak berkehendak suami ta'adud, maka juga tidak akan pernah terjadi. Setiap mengingat hal itu aku selalu tenang kembali. Yang bisa aku lakukan adalah berdoa di sepanjang sisa hidupku. Berusaha mengerjakan amalan-amalan saleh untuk bekal akhiratku mengingat tidak ada anak yang akan mendoakanku.
Belajar semampuku hingga benar-benar menjadi seorang istri yang fakih, ikhlas menjalani hidup, memanfaatkan waktu jangan sampai terbuang sia-sia, menyibukkan diri dengan sesuatu yang berfaedah bagi dunia ataupun akhiratku.
Mengisi dengan hal-hal yang positif, mulai membuka diri, tidak pesimis dan positif thinking. Berusaha memperbaiki hubungan dengan suami agar benar-benar menjadi istri yang menyenangkan suami, serta menikmati hidup meski dalam sepi. Tapi bener banget kalau aku bilang sepi, sepi dihati. Bosan...
Dan pada suatu saat, di saat mungkin aku berada pada ambang batas kemampuan, lelah dalam menjalani hidup, lelah saja mungkin karena banyaknya dosa, atau juga pikiran yang terbebani. Suatu malam aku terbangun, tidak ada yang istimewa. Rutinitas bangun malam terus sholat malam, cuma pingin nangis rasanya. Berat sekali ujian ini ya Allah. Kalau bukan karena Engkau, mungkin hamba sudah tidak kuat.
Doa demi doa mengalir begitu saja. Aku memang sudah pasrah dengan takdir-Nya. Aku sudah 45 tahun, mau ngapain kalau nggak memperbanyak doa? Mudah-mudahan Allah mengampuni seluruh dosaku, dan sungguh aku ingin bertaubat atas segala dosaku.
Air mata mengalir begitu deras, spontan dan sedih yang luar biasa. Namun doa yang selalu aku panjatkan,
"Ya Allah yang Maha Memberi, Allah Yang Maha Mengabulkan doa hamba-Nya, Allah yang Maha Pemurah, Allah yang Maha Berkehendak, Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Ya Allah hamba ridha atas seluruh ketetapan-Mu. Hamba ikhlas dalam menjalani kehendak-Mu. Engkaulah tempat kami bergantung dan meminta pertolongan. Ampunilah seluruh dosa-dosa kami, hamba mohon berikanlah kami keturunan yang mampu menjadi penyejuk mata dan hati kami. Jika hal tersebut adalah yang lebih baik untuk kami. Serta jauhkanlah kami dari fitnah dunia atau fitnah setelah kematian. Ya Allah jika Engkau melihat bahwa kesabaranku selama 24 tahun menghadapi ujian ini ikhlas semata-mata hanya mengharapkan wajah-Mu, hamba mohon anugerahkanlah kami keturunan yang shaleh. Amin ya mujibassailin."
Raja dan Khauf
Bukankah Allah selalu turun di langit dunia di setiap malam pada sepertiga malam yang terakhir dan maha kuasa? Sungguh, jikapun ditakdirkan Allah tidak bisa hamil sampai meninggal pun, aku masih berhusnudzan kepada Allah, aku masih bisa berharap bahwa kesabaran dalam menghadapi ujian ini akan aku jadikan satu-satunya hal yang bisa kukatakan kepada Allah di akhirat kelak agar Allah ridha kepadaku dan memasukkanku kedalam jannah (surga) lantaran amalan tersebut.
Bulan berganti bulan, berganti tahun, hingga aku sakit selama 3 pekan. Panas tinggi, muntah, dalam keadaan tidak mampu makan, aku dibawa ke rumah sakit. Opname. Dada kiriku seperti ditusuk-tusuk jarum nyeri hebat timbul hilang. Dokter menyampaikan kepada suamiku,
"Istri bapak hamil muda, mohon dijaga karena usia rawan, ya pak. Ibu sakit jantung, masih gejala. Jadi nanti dirujuk ke rumah sakit Surabaya, bapak bisa menunggu sebentar,.. bla bla bla.."
Aku seperti tiba-tiba tidak mendengar apapun saking kagetnya. Allahuakbar. Subhanallah. Allahu akbar. Walhamdulillah. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Demi Allah antara bahagia sampai ke ufuk langit, juga kaget, sedih, dengan diagnosis dokter, antara percaya dan tidak percaya. Antara sadar dan tidak sadar, bingung harus bagaimana.
Saat itu aku hanya bisa melihat wajah suamiku yang melongo, yang kemudian menangis tapi juga tertawa. Menangis bahagia atas keajaiban ini, juga menangis sedih dengan penyakitku yang tiba-tiba. Kami berpelukan erat sambil bertahmid. Aku justru hamil saat sudah hampir putus asa, saat sudah benar-benar pasrah, saat tidak pernah terapi lagi. Alhamdulillah.
Bulan berganti bulan. Bulan keenam kehamilanku, aku diminta check up rutin, karena plasenta prefia ari-ari menutup jalan lahir, juga ketegangan kali ya. Bikin badanku bengkak, wajah dan tangan serta kakiku bengkak. Dokter bilang, preklamsia. Tekanan darah 170, tinggi sekali. Setiap hari keluar darah dari jalan lahir. Gerak sedikit langsung keluar darah. Jadi praktis bedrest total.
Untuk menghibur diri, aku sering kirim email ke adik angkatanku yang sekarang sudah ngaji. Bulan ke-8, aku harus dioperasi. Aku takut tidur di meja operasi dan tidak bangun lagi. Suamiku, aku mohon maaf. Tapi suamiku selalu tersenyum. Menenangkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja.
"Mudah-mudahan semua ini diterima oleh Allah sebagai amalan kebaikanmu, tidak apa-apa. Baarakallahufiik."
Tahun 2015, April
Inna lillaahi wa inna ilaihi rajiun.. Semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Telah datang kabar kepadaku, bahwa sahabat yang kuceritakan diatas telah meninggal dunia, serangan jantung beberapa saat setelah melahirkan tersebut. Sungguh dia adalah ummahat yang shalehah.
Mudah-mudahan Allah memasukkannya ke jannah beserta bayinya yang juga meninggal dunia setelah ibunya meninggal.
Sungguh dunia ini fana, sungguh dunia ini bukan tempat tinggal kita. Sungguh orang-orang yang aku cintai telah mendahuluiku bertemu dengan Rabbku. Selalu terselip di hati, "Kapankah giliranku?" Email dari sahabat, yang kini telah tiada. Sungguh aku mencintaimu karena Allah, Allah yang menunjukiku manhaj salaf melalui perantaraan engkau. Uhibbukifillah
Sumber : Majalah Qudwah edisi 29 /2015 halaman 24
|
Kisah Kesabaran Ibu yang Tak Kunjung Hamil, Hingga Allah Mencabut Nyawanya |