Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : menghadirkan senyum di tengah derasnya ujian

5 tahun yang lalu
baca 13 menit

"Menghadirkan Senyum Di Tengah Derasnya Ujian"  

Menghadirkan Senyum di Tengah Derasnya Ujian

Rangkaian perjalanan manusia seakan tak ada habisnya. Apabila kita telah melewati suatu keadaan, maka bersiaplah untuk menghadapi keadaan yang lain. Karena memang hidup ini penuh teka-teki, tak ada yang bisa menjamin sebuah kesuksesan hidup akan langgeng hingga akhir hayat. Sebaliknya, tak ada yang menduga sebuah keterpurukan ternyata menjadi titik awal keberhasilan.

Aku terlahirkan di sebuah kota di bumi Papua, sebagai anak ke 2 dari 3 bersaudara. Di usiaku yang masih relatif kecil, aku harus menelan pil pahit kehidupan. Ayah dan ibu bercerai, kedua saudaraku mengikuti ibu, sementara aku ikut ayah. Hari-hari pun kulalui tanpa kasih sayang seorang ibu di usia yang masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Hari-hari kulalui dengan linangan airmata. Aku kangen ibu.. aku rindu ibu.. 

Namun, ayah selalu menghalangiku untuk bertemu Ibu. Hingga suatu hari ia berkata kepadaku, "Jangan kau lihat lagi ibumu, kamu tidak boleh bertemu dia lagi!" Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa kepada Allah, agar kembali mempersatukan ayah dan ibu, dan kembali menjalani rumah tangga dengan rukun. Namun itu semua belum terwujud. 

Hari berganti hari, waktu bergulir dengan begitu cepat, aku tumbuh berkembang tanpa kasih sayang seorang ibu. Aku hanya iri melihat teman-teman seusiaku, hari-hari mereka terlihat renyah dan indah, karena disamping mereka ada seorang ibu yang memerhatikan mereka. Di sisi lain, aku tinggal di sebuah lingkungan yang penuh dengan kenakalan remaja. Sehingga sedikit banyak hidupku terwarnai oleh kehidupan mereka. 

Namun, Ayah adalah sosok yang tak pernah lelah mengingatkanku untuk jangan terpengaruh dengan lingkungan yang kurang baik. Beliau selalu menjagaku dari pengaruh lingkungan buruk, hingga waktu menyeret kami untuk pindah di pinggiran kota, saat itu aku menyelesaikan SD. Di sana saya kembali melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama. 

Setelah beradaptasi dengan sekolah dan lingkungan baru, aku pun mendapatkan teman-teman baru. Namun ternyata lingkungan di sekolah baruku begitu bebas tak terkendali. Sementara Ayah tak begitu mengetahui perkembangan dan pergaulan di sekolah. Yang beliau tahu hanyalah aku selalu berangkat sekolah di pagi hari dan pulang di siang hari, tak lebih. Hingga pada suatu hari, saudariku datang menjengukku, aku kaget melihat penampilannya jauh berbeda dengan sebelumnya.

Dia datang dengan mengenakan hijab syar'i. Setelah berbincang-bincang, ia menawarkan padaku untuk masuk ke pondok pesantren bersamanya. Namun aku menolaknya saat itu. Pikirku pondok pesantren merupakan tempat yang menyeramkan, penuh dengan peraturan yang sangat ketat. Keadaan di sekolah memang tak karuan. Namun sedikit demi sedikit benih-benih kesadaran mulai muncul menjiwai. 

Aku pun kadang-kadang bergabung mengikuti majelis-majelis taklim yang ada di sekolahku. Di sana aku mendapatkan siraman rohani dan mulai membuka kesadaran diri. Namun hawa nafsu memang selalu membelenggu. Aku tumbuh menjadi seorang remaja yang sering terbawa dengan keadaan dan lingkungan. Aku tumbuh menjadi seorang remaja yang selalu ingin tahu dan selalu ingin mencoba. 

Hingga disaat ada yang membuka pendaftaran pelatihan beladiri taekwondo, aku pun mengajukan pendaftaran. Karena memenuhi kriteria dari syarat yang ditentukan aku pun diterima. Setiap sore dan malam di setiap hari aku mengikuti latihan beladiri tersebut, hingga aku menjadi seorang atlet taekwondo. Namun walaupun demikian, aku berusaha agar jangan sampai mengganggu kegiatan belajar di sekolah. 

Seiring bergulirnya waktu, aku pun menjadi atlet taekwondo di samping sebagai seorang pelajar. Waktu itu aku benar-benar menikmati kehidupanku sebagai seorang atlet. Hingga pada suatu hari diadakan kejuaraan taekwondo antar klub sekotaku. Pertandingan tersebut diselenggarakan di gedung olahraga di samping tempat tinggalku. Aku mulai berlatih dengan giat dengan mengikuti TC (Training Center). Saat kejuaraan dimulai, singkat cerita aku mendapatkan juara 2. 

Dari sisi kehidupanku sebagai atlet taekwondo, aku rasakan sesuatu yang pahit di tengah-tengah sesi latihanku. Hampir-hampir tidak ada siraman rohani pada diriku, karena tersibukkan dengan belajar beladiri tersebut. Dan kehidupanku semakin tak terarah pastinya. Dari sisi ibadah dan agama, aku semakin malas tak bergairah dikarenakan teman-teman dekatku yang selalu menomorsekiankan ibadah dan agama. 

Hidup sebagai atlet taekwondo aku jalani dengan semangat semu. Kadang aku terperosok dalam kenakalan remaja, sementara ayahku menaruh harapan besar untukku. Saat itu Ayahku tidak pernah tahu bagaimana keadaanku sebenarnya di sekolah. Waktu terus berputar, hingga akhirnya Ayahku mengetahui kenakalanku. Beliau pun sangat kecewa dan itu membuat beliau marah kepadaku. Aku mulai frustasi, sehingga aku pun keluar kabur dari rumah tanpa sepengetahuan Ayahku. 

Kehidupanku semakin tak terarah. Pada saat itu aku sangat putus asa dan semakin hanyut dalam ketidakjelasan. Hingga aku pun teringat dengan saudariku yang tempo dulu pernah datang berkunjung dan mengajakku masuk pondok pesantren. Apabila hidayah Allah telah datang menyinari, maka tak ada satupun dari makhluk yang mampu menyesatkannya. Mulai saat itu aku mulai sadar dan tersadarkan dari tidurku selama ini. 

Aku segera bangkit membenahi kehidupan, dan mulai muncul rasa cinta dan haus untuk menimba ilmu agama. Aku pun memutuskan untuk keluar dari beladiri taekwondo tersebut, dan mulai menjaga jarak dengan teman-teman yang kurang baik. Pada suatu hari aku pergi ke sebuah masjid di kotaku. Tiba-tiba di teras masjid aku melihat ada sekumpulan orang berjubah tengah duduk berbincang-bincang. Aku melewati mereka masuk ke masjid dan salat dua rakaat. 

Salah seorang dari mereka datang menarik tanganku dan mengajak bergabung bersama mereka. Setelah berbincang-bincang aku pun ditawari untuk khuruj selama satu hari, karena mereka masih memandangku sebagai pelajar. Sesampai di rumah, aku meminta izin kepada ayah untuk ikut khuruj selama satu hari saja. Namun Ayahku melarang dan menyampaikan bahwa ia tidak suka aku bergabung dengan mereka. 

Akan tetapi semangat mudaku saat itu mengalahkan rasa hormatku pada Ayahku, sehingga aku tetap memaksakan keluar alias khuruj bersama mereka. Dan benar, sesampai di rumah aku dimarahi habis-habisan oleh Ayahku. Aku tak peduli, aku tetap aktif mengikuti halaqah-halaqah mereka di luar pengetahuan Ayahku. Suatu hari sesudah salat Ashar, aku bertemu dan berkenalan dengan seseorang. Setelah berbincang, dia mulai mengenalkanku dengan sunnah dan manhaj salaf. 

Tanpa berpikir panjang aku pun ikut ke rumahnya. Ia meminjamiku buku-buku agama. Aku membacanya, dan ternyata apa yang dia sampaikan lebih saya terima dibanding dakwah untuk khuruj. Karena khuruj tidak ada pembekalan ilmu agama yang benar. Saudaraku itu juga memperingatiku dari bahaya pemikiran Jamaah Tabligh disertai dengan hujjah dan dalil-dalilnya yang kuat. Aku pun tersadar bahwa selama ini aku salah langkah dalam mengambil ilmu agama. 

Sedikit demi sedikit aku pun tidak lagi bergabung bersama mereka dan tidak mengikuti halaqah-halaqah mereka lagi. Saat ayah mengetahui jika aku sedang belajar sunnah beliau tidak marah. Hingga saat aku menyebutkan kepada ayah bahwa aku akan membeli celana panjang dan dipotong hingga pertengahan betis untuk berangkat sekolah, beliau pun mengiyakan. Saat masuk sekolah, aku pun menjadi sorotan karena berpenampilan aneh. 

Apabila kurang lebih seribu siswa di sekolahku mengenakan celana pendek hingga membuka aurat, aku memakai celana di pertengahan betis. Hingga aku bermandi ejekan dan berpeluh hinaan pada hari itu. Namun aku tak peduli. Biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Aku mulai menyisihkan sebagian uang jajanku untuk membeli buku-buku agama, jubah, dan sirwal. Di sela-sela waktu aku pun menyempatkan untuk datang ke pondok pesantren salafi di kotaku guna menambah wawasan tentang ilmu agama Allah. 

Hingga aku memberanikan diri untuk meminta izin kepada ayah untuk berhenti sekolah dan ingin menjadi santri di pondok pesantren. Namun Ayahku belum mengizinkanku saat itu, beliau menyuruhku untuk menyelesaikan pendidikanku di sebuah sekolah formal terlebih dahulu. Aku mulai merasa tidak tentram di sekolahku, apalagi saat aku mengetahui dosa dan bahayanya ikhtilat. Itu membuatku semakin menjaga pandangan dan jarak dari teman-teman perempuan. 

Waktu terus bergulir melalui hari-hari hingga akhirnya ayah pun mendapat istri baru. Singkat cerita mereka pun mengadakan resepsi pernikahan di kampung ayahku di Sulawesi. Hingga ia kembali ke Papua membawa istri sekaligus Ibu tiriku tersebut. Ibu tiriku sangatlah baik, ia memberiku uang saat itu. Aku senang dan menerimanya. Kami pun menjalani bersama rumah tangga dengan rukun dan bahagia. Hingga sampailah kami pada sebuah takdir Allah. Ibu tiriku jatuh sakit, dan semakin hari semakin parah.

Beliau kerasukan jin. Ayahku pun menggunakan batu yang beliau dapatkan dari leluhurnya untuk mengusir jin jahat yang ada di tubuh ibu tiriku. Akhirnya jin itu pun keluar, namun Ibu tiriku kembali kerasukan jin baru. Lantas Ayahku memanggil 'orang (tak) pintar' untuk mengeluarkannya, namun jin kali ini tidak bisa dikeluarkan. Akhirnya ayahku pun memanggil temannya yang tahu tentang ilmu agama. Ibu tiriku pun di ruqyah oleh teman ayah, hingga jin itu pun keluar. Namun lagi-lagi di keesokan hari jin itu datang lagi. 

Ayahku pun memanggil salah satu ustadz di pondok pesantren. Ustadz itupun meruqyah hingga jin itu keluar. Oleh ustadz tersebut kami disuruh untuk pindah rumah, hingga kami pun langsung pindah rumah. Setelah kami pindah rumah, Ibu tiriku tidak diganggu lagi. Namun sikap ibu tiriku kepadaku berubah drastis. Ia menjadi sangat membenciku, setelah kejadian itu. Ia seakan-akan yang berkuasa di rumahku. Ayahku tidak bisa berbuat apa-apa. 

Saat aku minta uang jajan ke ayah, beliau harus meminta izin dulu ke istrinya. Kadang-kadang karena kasihan, Ayahku memberiku uang jajan tanpa sepengetahuan istrinya. Hari-hari pun kulalui dengan berat. Setiap hari aku harus bertemu dengan ibu tiriku yang selalu memarahiku. Pada suatu hari, toko ayahku yang menjadi tumpuan mencari mata pencaharian terbakar. Segala sesuatunya ludes dilahap si jago merah.

Setelah kejadian kebakaran tersebut, ayahku pun memutuskan untuk pulang ke kampung ayahku di Sulawesi. Dengan bermodalkan menjual sebagian perabot rumah, kami pun pulang. Hasil penjualan perabot-perabot rumah dipegang sepenuhnya oleh istri Ayahku. Sebagiannya ia pakai untuk membeli keperluan-keperluan pribadinya, sementara aku tak diberikan jatah sepeserpun. Ayah dan istrinya pulang naik pesawat, sementara aku pulang menaiki kapal. 

Sesampai di kampung Ayahku, aku tidak bisa serumah dengan ayah. karena Ayah tinggal di rumah istrinya dan istrinya melarang aku tinggal di rumahnya. Aku pun tinggal di rumah keluarga Ayah. Namun mereka juga membenciku karena kejadian perceraian Ayahku dengan ibu kandungku. Aku pun menjalani hari-hari di rumah mereka seakan dikucilkan. Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk kabur. Aku mengemasi barang-barangku dan membawanya pergi. 

Aku berjalan dan terus berjalan, hingga Allah menakdirkanku sampai di rumah salah seorang pamanku. Aku pun menginap di sana dan diberi amanah oleh beliau untuk mengajari anak-anaknya. Namun lambat laun, aku selalu bersilang pendapat dengan beliau, kerenggangan sosial terjadi. Aku pun di sana seperti pembantu, selalu disuruh dan disuruh. Dari pagi hingga sore aku ditugaskan menjaga toko beliau. Sepulang dari menjaga toko aku disuruh mengepel dan menyapu rumahnya yang luas. Sesudah salat Maghrib aku disuruh mencuci piring. 

Sebagian besar pekerjaan rumah aku yang ditugaskan. Sementara Ayahku, ia seperti tak pernah peduli denganku lagi. Hari-hari kulalui dengan begitu pahit dan berat tanpa kasih sayang orang tua. Suatu hari, aku mendengar bahwa Ayahku telah mempunyai toko baru untuk berdagang. Aku pun senang mendengarnya. Aku semakin rindu dengan ayah, hingga pada suatu hari aku memberanikan diri mendatangi toko Ayahku. 

Sesampai di sana, belum kakiku menginjak lantai tokonya, hatiku seakan tersayat-sayat begitu sakit dan perih, saat ternyata istrinya mengusirku. Aku benar-benar diusir hingga beranjak pulang sambil meneteskan air mata. Sementara Ayahku hanya bisa menatap tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena satu dan lain hal, aku memutuskan untuk kembali ke Papua. 

Sesampai di sana aku dijemput seorang ikhwan. Dengan arahan ikhwan tersebut aku pun mendaftar di sebuah pondok pesantren Ahlus Sunnah di Papua. Uang sakuku yang masih tersisa saat itu tinggal 800 ribu rupiah, sehingga kujual hpku untuk menambah biaya saat pendaftaran. Singkat cerita aku pun resmi menjadi santri di sana. Masa lalu biarlah untuk dikenang, namun kita punya masa kini dan masa depan. Yang bisa kulakukan sekarang adalah berbenah dan memaksimalkan usaha menjadi seorang yang bertaqwa dan berakhlak karimah.

Saat ini ada seorang mushsinin (donatur) yang membiayai pendidikanku. Muhsinin itu membiayaiku lewat perantara ustadzku. Aku pun tak mengenalnya, dan ustadku tak pernah memberitahu siapa beliau. Berderma tanpa pamrih, berbuat tanpa ingin dikenal walaupun oleh orang yang disalurkan kebaikan untuknya. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang berkali,kali lipat di sisi-Nya. 

Doaku yang tak pernah kulupakan, semoga Allah memberikan hidayah kepada orang tuaku dan kepada Ibu tiriku. Karena tanpa mereka setelah Allah, aku tak akan mungkin hidup. Kesalahan mereka wajar, karena manusia bisa salah dan lupa. Namun aku sebagai anak selalu berkewajiban mempersembahkan baktiku untuk mereka selama hayat masih dikandung badan, selama bukan pada kemaksiatan. 

Saudaraku, sejahat apapun orang tuamu menurut pandanganmu, maka sadarlah kebaikan-kebaikannya untukmu lebih banyak dan besar. Hadirkan kebaikan-kebaikannya di depan matamu, dan campakkan di belakang punggungmu kesalahan-kesalahan mereka. Mereka tetap orang tuamu yang berhak mendapat bakti terbaik darimu. Ingat surga menantimu bila baktimu kepada orang tua tak pernah putus. Dan neraka akan menjadi ancaman untukmu bila engkau bersikap kurang baik dihadapan orang tuamu. 

Bulan purnama di malam hari begitu terang benderang mencahayai bumi, sangat indah menawan mengingatkanku akan perjalanan yang telah kutempuh di dunia ini. Sesaat aku terpekur merenung. Umur yang semakin dimakan masa, amalan baik yang belum seberapa, sementara ajal bisa menyambar kapan dan dimana saja. 

Ya Allah teguhkanlah hati-hati kami. Terkadang awan hitam menyapu sejenak keindahan bulan. Kembali ku merenung bahwa kehidupan ini pasti didera dengan persoalan dan himpitan-himpitan masalah. Berani hidup berarti harus berani menghadapi rintangan hidup. Namun sesaat, awan hitam itu lewat begitu saja hingga senyuman indah dari sang purnama menyembul kembali. 

Pelajaran berikutnya adalah, setiap ujian pasti akan berakhir, setiap persoalan pasti ada garis finishnya. Namun untuk mencapai garis finish pasti selalu diawali dari start. Setiap yang berakhir pasti dilewati dari awal.

Hadirkan buliran-buliran  harapan saat ujian menyerangmu, dan libatkan selalu senyuman optimismu pada setiap masalah. Katakan pada setiap ujian dan cobaan yang datang, "Selamat datang kepastian hidup dan ketentuan yang tak dapat ditolak, aku mampu melewatimu Insya Allah dengan sabar dan ikhlas". 

Sekali lagi, "Dengan pertolongan Allah, aku mampu melewatimu InsyaAllah dengan sabar dan ikhlas."

Sumber: Majalah Qudwah edisi 68 vol 06 2018M hal.65 | Ditulis ulang oleh Atsar ID