(TAZKIYAH) Untuk "Si Pendekar"
Bandar Udara di Manado tak ubahnya dengan bandara-bandara di kota lain. Menara pengawas, gedung terminal, landasan pacu, gerbang barata, radar yang berputar-putar, serta suara dari
speaker yang memberikan informasi dan berbagai aktifitas lainnya. Tapi dari sekian hal itu, ada satu yang menarik perhatian saya. Sebuah tulisan yang melekat di dinding atas bandara bagian depan, "Si Tou Timou Tumou Tou”.
Saya sempat menanyakan makna dari kata-kata tersebut, namun jawaban dari ikhwan-ikhwan ternyata berbeda-beda. Ada yang mengatakan artinya adalah "kita semua saling bersaudara". Ikhwan lain menyela dan menyatakan artinya adalah "selamat datang dan selamat jalan". Arti lain yang disebutkan adalah "manusia hidup untuk memanusiakan yang lain". Entahlah, mana yang benar.
Akan tetapi yang pasti dari tulisan dan percakapan kecil itu, mengingatkan saya akan kebesaran Allah Ta'ala yang telah menciptakan bahasa manusia dengan aneka ragam dan macamnya. Kita sendiri tidak akan mungkin bisa memastikan ada berapa macam bahasa yang digunakan oleh manusia di bumi ini. Saya teringat dengan sebuah ayat didalam surat Ar Ruum yang menjelaskan bahwa keaneka-ragaman bahasa merupakan salah satu tanda kebesaran Allah.
Dari sisi apa? Marilah kita terus belajar agama agar mampu menjawabnya.
Sebenarnya sejak awal dihubungi oleh Panitia Penyelenggara Kajian Islam Manado, saya sudah merasa grogi. Karena disana ada Ustadz Adnan Abdul Majid Mampa
hafidzahullah. Dimana beliau, yang kini menjadi Pembina Dakwah Salafiyyah di Manado, terhitung sebagai sesepuh. Saya masih ingat betul ketika semasa di Yaman, anak-anak remaja termasuk saya, sering meminta nasehat dan bimbingan dari beliau.
Namun, dengan niatan berkunjung guna mempererat ukhuwah, rasa grogi itu berusaha saya lawan.
Benar saja.
Ustadz Adnan ikut serta menjemput saya ke Bandara. Bagi saya, Demi Allah apa yang beliau lakukan ini adalah sebuah pembelajaran tentang praktek nyata sebuah sikap tawadhu. Saya dulu masih ingusan, disaat beliau telah hidup dalam kemuliaan thalabul ilmi.
Pada Jum'at pagi pekan kemarin, saya benar-benar telah memperoleh pelajaran yang sangat berharga, yakni pelajaran tentang sebuah kerendahan hati dari seorang yang sebenarnya jauh lebih pantas untuk saya muliakan. Baarakalloh fik Ustadz. Semoga saya bisa mencontoh keteladanan yang antum berikan.
Tempat yang dipergunakan sebagai lokasi istirahat adalah rumah kediaman Ustadz Adnan. Anggota keluarga beliau “ungsikan”, kemudian rumah tersebut diubah sedemikian rupa menjadi semacam
base camp. Beberapa ikhwan yang ditugaskan menemani, ikut menginap di rumah tersebut. Letaknya yang masih terbilang dipusat kota, menjadi wajar saja bila suasana terkesan bising dan ramai.
ooooo_____ooooo
Sejak dahulu, saya telah memperoleh informasi bahwa Manado termasuk kota yang mayoritas penduduknya Kristen. Hal itu ternyata benar. Hampir di setiap sudut kota dan
traffict light terdapat bangunan gereja. Belum lagi di sepanjang jalan protokol dan ruas jalan dalam kota. Bisa dikata setiap beberapa ratus meter, berdiri tegak bangunan gereja.
Di beberapa titik, kaum muslimin hidup dengan membentuk wilayah dan komunitas sendiri. Suku Bugis, Makassar dan Gorontalo yang terkenal sebagai pemeluk Islam mengambil peran yang cukup besar hingga terbentuknya kampung-kampung muslim. Tanpa menafikan suku-suku lainnya tentu.
Untuk kota Manado, kini prosentase umat Islam terus meningkat. Dari yang semula minoritas, sekarang ini beranjak sampai sebanding dan seimbang. Adapun wilayah Sulawesi Utara di luar kota Manado, umat Islam tetap terhitung sedikit. Bahkan sangat minoritas.
Nah, di daerah yang semacam itu gambaran kecilnya, dakwah Salafiyyah terus bergeliat. Tidak dapat dipungkiri bahwa gerak laju dakwah Salafiyyah di Manado selalu dikaitkan dengan kembalinya Ustadz Adnan dari negeri Yaman kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Keluarga besar beliau memberikan support dan dukungan. Sebuah keberuntungan dakwah yang besar jika keluarga telah mendukung. Dakwah Salafiyyah bersinar di tengah-tengah masyarakat Kristen yang dominan. Gema dan cahayanya berpendar hingga ke pelosok daerah.
Pulau Sangihe atau pulau Sangir adalah salah satu pulau terluar bagian utara Indonesia. Disana ada ikhwan Salafy. Danau Tondano yang terletak di basis wilayah Kristen Minahasa, disana ada sebuah perkampungan kecil umat Islam. Setidaknya ada tiga ikhwan Salafy yang berasal dari sana. Subhaanallah! Dakwah Salafiyyah adalah dakwah penuh barakah. Dakwah yang menjadi impian sekian banyak orang. Bersyukurlah Anda yang telah mengenal dan menekuni dakwah Salafiyyah.
Para peserta Kajian berdatangan dari berbagai penjuru. Barangkali yang terjauh dari Gorontalo. Beberapa puluh ikhwan Salafy dari Gorontalo ikut menginap selama Kajian diselenggarakan. Kata mereka, jarak Manado-Gorontalo kurang lebih 500 Km. Masya Allah! Demi mencari keutamaan ilmu dan demi meraup pahala dari majelis ilmu, perjalanan sejauh itu ditempuh penuh kesabaran oleh mereka. Baarakalloh fihim.
Sebagai bentuk apresiasi saya kepada mereka, di Sabtu sore saya sempatkan untuk mengunjungi lokasi menginap mereka untuk sekadar menyapa dan berbincang-bincang ringan. Sungguh bahagia dan terharu rasanya ketika bisa bercakap-cakap dengan mereka, yang secara nyata telah “memberi nasehat” untuk kita tentang "perjuangan yang sebenarnya" dalam menuntut ilmu agama. Sedih rasanya jika melihat mereka yang jaraknya dari majlis ilmu hanya sekilo, dua kilo atau lima kilometer, lalu tidak tergugah untuk menghadirinya.
Kota Bitung juga menyumbang jumlah peserta yang lumayan. Ikhwan-ikhwan dari Kotamobagu, saya sempat berkenalan dengan beberapa dari mereka. Seorang dokter yang bertugas di RS Amurang, sebuah daerah di Minahasa Selatan, saya minta untuk menemani. Kenapa? Ternyata Dokter tersebut dahulu kuliah di UNS Solo, sehingga saya dan beliau sudah saling kenal cukup dekat. Kami disatukan oleh kajian-kajian Salafy.
Selama tiga hari dalam kebersamaan bersama ikhwan-ikhwan Manado dan sekitarnya, ada sebuah kesimpulan sederhana yang dapat saya tangkap. Yaitu derap laju dakwah Salafiyyah terus bergerak dan berkembang. Ditengah kehausan dan kekeringan spriritual kaum muslimin, dakwah Salafiyyah seakan menjadi tetesan-tetesan air yang menyegarkan.
Oleh sebab itu, marilah segera bergabung dalam pengembangan dakwah Salafiyyah dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing.
Sedih rasanya jika permintaan Kajian dari beberapa tempat akhirnya ditolak. Bukan karena tidak mau. Tetapi waktu yang benar-benar padat. Sedih juga rasanya pada saat permohonan khutbah Jum'at tidak dapat dipenuhi. Kenapa? Karena kita kekurangan tenaga.
Sungguh ada harapan besar untuk anak-anak kita yang kini sedang belajar di pesantren-pesantren Salafy. Mudah-mudahan Allah membimbing mereka sehingga ke depannya nanti menjadi para pejuang tangguh di medan dakwah.
Anda punya anak di pesantren? Tolong jaga mereka. Bimbing mereka. Pacu dan motivasi mereka dalam belajar. Jalinlah komunikasi sebaik-baiknya dengan anak Anda. Perkuat hubungan hati antara Anda dengan anak Anda. Panjatkanlah doa-doa kebaikan untuk mereka. Jangan menunggu saat anak Anda bermasalah, baru kemudian Anda berdoa. Baru kemudian Anda bertanya, ”Ustadz, bagaimana cara membangun komunikasi dengan anak?”
Saudaramu dijalan Allah
Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz
20 April 2016
Lendah Kulonprogo
|
Foto : Wind Power Energy Blue (Hanya Ilustrasi) | Sumber : Pixabay |
(TAZKIYAH) Untuk "Si Pendekar" (Lanjutan...)
Sepenggal kisah kehidupan di bumi Manado. Sejak tiba pertama di Manado hari Jum'at petang, sampai pulang di hari Senin siang, saya kini sering merenungkan arti dan makna kesabaran. Rupanya, kesabaran adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberhasilan dakwah. Dakwah Salafiyyah mesti dibangun dengan material kesabaran. Tanpa kesabaran, keinginan untuk berdakwah tidak akan jauh dari kegagalan.
Masjid atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Mushalla, tempat kajian Islam di Manado dipusatkan, posisinya benar-benar ditengah pemukiman padat. Dulu sering disebut dengan masjid Fastabiqul Khairat. Namun lama-kelamaan orang mulai melupakan sebutan tersebut. Adapun sekarang ini lebih populer dengan nama Masjid As Sunnah.
Dari jalan utama kota Manado, untuk menuju kesana kita harus melewati lorong-lorong sempit. Kurang lebih berjalan seratus meter, lalu berbelok ke kiri. Beberapa belas meter kemudian harus berbelok ke lorong yang lebih kecil di bagian kanan. Benar-benar sebuah pemukiman yang super padat. Warung-warung dan rumah-rumah yang berdempet-dempetan, anak-anak kecil yang berlarian, suara tertawa dan cekikian, semua itu seakan menjadi santapan wajib ketika menuju masjid As Sunnah.
Letak masjid berada di tepi sungai yang membelah kota Manado. Zaman dahulu kala area masjid tersebut merupakan rawa-rawa. Oleh sebab itu bangunan yang didirikan harus menggunakan konsep rumah panggung. Semula rumah panggung tersebut hanya digunakan sebagai tempat pengajian saja. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya bangunan itu diubah-fungsikan menjadi masjid. Sampai sekarang, kayu-kayu dan papan-papan yang digunakan sebagai lantai dan dinding belum direnovasi karena masih bagus. Papan kayu yang digunakan memang terbilang kokoh dan awet.
Bagian kolongnya yang semula kosong, kini telah dimodifikasi menjadi beberapa ruang. Sebagian difungsikan untuk kelas dan tempat istirahat, sebagian yang lain digunakan untuk dapur, kamar mandi, tempat berwudhu dan lain-lain. Sebuah halaman besar untuk parkir tersedia di bagian depan bangunan. Melihat gambar garis-garisnya, nampak lapangan parkir itu sering digunakan sebagai arena olahraga bulutangkis.
Awalnya, masjid yang sejak pendiriannya dimotori oleh keluarga besar Ustadz Adnan
hafidzahullah itu diserahkan tata kelola-nya kepada sebuah ormas Islam. Hanya saja, dikemudian waktu, pengelolaannya dipandang tidak begitu maksimal. Oleh karenanya setelah kepulangan Ustadz Adnan dari Yaman, masjid tersebut oleh keluarga besarnya diserahkan kepada Ustadz Adnan untuk dikelola dan dimakmurkan.
Sama dengan ditempat lain, dan itu memang telah menjadi sunnatullah, bahwa dakwah Salafiyyah pasti mengalami fase cobaan yang berat. Tak terkecuali pula yang terjadi di Manado.
Artinya, ketika Anda mengalami masa-masa sulit dalam dakwah, ingat-ingatlah bahwa anda tidak sendirian. Dan memang demikianlah yang semestinya untuk dijalani.
Beberapa gangguan muncul dari berbagai pihak. Masjid As Sunnah bahkan pernah dilempari batu oleh orang-orang yang tidak suka. Kasus pemalakan atau penodongan juga pernah dialami oleh ikhwan saat melewati lorong-lorong sempit menuju masjid. Apa yang waktu itu dinasehatkan oleh Ustadz Adnan? Bagaimana pula reaksi ikhwan-ikhwan?
Bersabar adalah jawabannya. Sikap kasar mereka tidak lantas dibalas dengan emosi atau reaksi yang kasar pula. Saudara-saudara kita di Manado tetap dalam diam sabarnya. Bukan diam terpaksa, juga bukan diam karena tidak mampu membalas. Andai ingin melawan apa susahnya? Namun, apakah kita melupakan tuntunan Rasulullah Shallallohu'alaihi wasallam untuk bersikap sabar dalam berdakwah?
Hasilnya?
Setelah beberapa tahun. Dengan terus mengedepankan sikap sabar, menebarkan perilaku yang baik dan tingkah diri yang sopan, masyarakat pun mulai simpati. Mereka tidak lagi menampakkan wajah garang seperti awal-awalnya. Bahkan, satu persatu dari tetangga masjid dan masyarakat di sana mulai aktif menghadiri majelis ilmu yang diselenggarakan di masjid As Sunnah. Bahkan termasuk juga beberapa orang yang dulu pernah melakukan pemalakan.
Subhaanallah! Mereka yang dulu pernah membenci, kini akhirnya bergabung di barisan Ahlus Sunnah. Apa sebabnya? Itu semua adalah buah dari kesabaran.
ooooo_____ooooo
Cerita di atas bukanlah satu-satunya cerita.
Dulu pernah ada rencana untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan di luar kota Manado. Lahan telah dibeli, kurang lebih dua hektar. Berbagai persiapan dilakukan. Namun, administrasi di Sulawesi Utara yang mayoritasnya nasrani menjadi ganjalan terbesar dalam proses selanjutnya. Lokasi tersebut berada di sebuah kampung muslim kecil di tengah-tengah lebatnya kaum nasrani. Berjarak beberapa puluh kilometer dari pusat kota.
Disamping sulitnya mengurus perijinan, masih ditambah lagi dengan sikap masyarakat muslim sendiri yang berada di kampung tersebut pun bersikap antipati. Akhirnya kesabaran lagi-lagi menjadi senjata. Lahan yang semula direncanakan untuk kegiatan pendidikan, terpaksa dialih-fungsikan sebagai tambak-tambak ikan air tawar.
Ustadz Adnan sebenarnya sudah sering beraktifitas di kampung tersebut. Namun, rupanya masyarakat masih terus dalam kecurigaannya.
Hingga pada puncaknya, Ustadz Adnan dipukul dan ditendang oleh seorang oknum masyarakat. Saya tahu persis kalau sebenarnya Ustadz Adnan mampu untuk membela diri, melawan dan mengalahkan orang tersebut. Sebab saya mengetahui bahwa beliau mempunyai dasar ilmu bela diri yang mumpuni. Namun, apa yang beliau lakukan?
Beliau hafidzahulloh lebih memilih bersabar, merelakan tubuhnya untuk dihajar.
Membela diri memang penting, membela diri memang boleh dilakukan. Namun, membela nama baik dakwah jauh lebih penting, membela nama baik dakwah wajib hukumnya. Apalah artinya diri ini, dan betapa rendahnya harga diri pribadi jika dibandingkan dengan kemuliaan dakwah! Bisa saja kita membalas dan memuaskan emosi, namun setelah itu apa? Apa akibatnya? Nama baik dakwah harus tercoreng.
Setelah insiden tersebut, Ustadz Adnan justru malah membagi-bagikan hasil panenan tambak kepada masyarakat sekitar. Beberapa karyawan tambak juga direkrut dari masyarakat lokal. Hasil panen tambak dijual kepada para pengepul asli di lokasi tersebut.
MasyaAllah! Sungguh sebuah kesabaran diatas kesabaran. Bukan perbuatan kasar yang beliau balaskan, malah berbagai kebaikan yang beliau tanamkan.
Sekarang?
Ustadz Adnan telah diterima dengan baik. Terbukti siang itu, ketika saya bersama rombongan mengadakan acara bakar-bakar ikan di tambak, kami melaksanakan shalat Dzhuhur di masjid yang dulu menjadi saksi bisu peristiwa pemukulan dan penendangan terhadap Ustadz Adnan. Saya menyaksikan dengan kedua mata saya sendiri bahwa masyarakat meminta Ustadz Adnan untuk maju menjadi imam. Dulu dipukul sekarang diminta menjadi imam shalat.
Inilah inti dari yang tadi saya katakan di paragraf pertama, "Sejak tiba pertama di Manado hari Jum'at petang, sampai pulang di hari Senin siang, saya kini sering merenungkan arti dan makna kesabaran. Rupanya, kesabaran adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberhasilan dakwah. Dakwah Salafiyyah mesti dibangun dengan material kesabaran. Tanpa kesabaran, keinginan untuk berdakwah tidak akan jauh dari kegagalan.”
Di sebuah percakapan media sosial yang membahas tentang kesabaran dalam berdakwah, saya sempat menulis :
"Apapun ujian dakwah, dalam berat, sulit dan berlikunya, masihlah belum seberapa apabila dibandingkan dengan ujian yang pernah dilalui para sahabat. Ketika beberapa sahabat menyampaikan kepada Rasulullah, beliau ingatkan kita semua :
"Sungguh! Dahulu pada umat sebelum kalian, ada yang ditanam hidup-hidup lalu dibelah tubuhnya dari arah kepala menggunakan gergaji”.
Sekarang ini, ujian yang saudara-saudara hadapi apakah ada yang lebih dahsyat dari itu? Namun, kitanya saja yang semestinya meningkatkan kesabaran. Bersabarlah saudaraku, surga itu amatlah dekat”.
Setelah itu, saya menambahkan :
“Untuk renungan kita, apakah saudara-saudara pernah dipukul, ditendang atau mungkin dicubit karena berkomitmen terhadap manhaj Salaf? Terkadang hanya karena beberapa patah kata dari mereka yang membenci dakwah lantas membuat tak nyenyak tidur, hati sempit atau pikiran galau. Ah ..... apalah artinya itu semua jika dibandingkan tubuh yang dibelah dengan gergaji hidup-hidup?”
Saudaramu di jalan Allah
Abu Nasim Mukhtar “iben” Rifai La Firlaz
Jumat 22 April 2016
Lendah, Kulonprogo
Pernah dipublikasikan di : http://tlgrm.me/kajianislamlendah
Repost di WA Pemuda Islam