Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : goresan rindu di ujung mata pena

5 tahun yang lalu
baca 14 menit

Goresan Rindu di Ujung Mata Pena

Tak jarang memori ini terpelanting jauh kebelakang 

Menapaki seberkas demi seberkas jalan yang pernah kutelusuri 

Goresan ini bukan tentang rintihan luka yang berbicara 

Adalah deretan rindu yang terangkai di ujung mata pena 
Kisahku Majalah Qudwah : Goresan Rindu di Ujung Mata Pena

Aku sulung dari 3 bersaudara. Berlatar belakang dari keluarga sederhana yang selalu ternaungi oleh limpahan kasih sayang-Nya. Tumbuh di kalangan keluarga agamis bernuansa tradisional. Ya, aku tidak terlahir dari kedua orang tua yang berjalan di atas manhaj salafi. Beberapa ritual kebid'ahan pun sempat aku lakoni kala aku masih berstatus kanak-kanak. Itu karena dorongan dari nenek dan bude (kakak ayah) yang berusaha menjadikanku seorang yang taat beragama dan gemar beribadah. Hingga akhirnya, Allah berkehendak memancarkan semburat cahaya salafi di tengah perjalanan hidup ini- Alhamdulillah-.

Sejak usia 19 tahun ayahku terdiagnosa memiliki tekanan darah tinggi (hipertensi). Seiring berjalan waktu pergantian usia demi usia menambah beban dan tanggung jawab ayahku sebagai seorang suami dan ayah, kian berat. Muncullah kekhawatiran dari ayahku tentang kesehatan dirinya. Hingga terdengar kabar bahwa ada satu pengobatan alternatif yang 'katanya' bisa menyembuhkan hipertensi. Namanya 'reki', salah satu jenis pengobatan yang dilakukan dengan cara mentransfer 'tenaga dalam' yang tampaknya dengan bantuan jin. 

Untuk lebih meyakinkan ibu pun membantu untuk mencari informasi demi informasi tentang jenis pengobatan ini. Dan ternyata, banyak orang yang berpendapat bahwa reki benar bisa menyembuhkan hipertensi. Akhirnya ayahku mengikuti ritual ini untuk memperoleh kesembuhan -semoga Allah mengampuni keduanya karena minimnya ilmu agama saat itu-. 

Pengobatan alternatif ini sempat berjalan beberapa bulan dan dari situ berefek pada diri ayah. Bahkan saat itu ayah sampai bisa menyembuhkan orang-orang sakit. Kami mengira itu karena banyaknya jin yang ada dalam tubuh ayah. 'Katanya', jin-jin itu masuk ke dalam tubuh ayah melewati 'pintu cakra' yang dibuka oleh 'dokter reki'. Entahlah! 

Berjalan 3 atau 4 bulan dari rutinitas 'reki', qadarullah wa ma syaa fa'ala, ayah terserang stroke yang menyebabkan setengah saraf tubuhnya tidak dapat di gunakan dengan maksimal. Akhirnya, ayah dilarikan ke Rumah Sakit Daerah yang berada dekat rumahku. Namun karena peralatan kedokteran yang terbatas ayah dirujuk ke rumah sakit yang agak jauh dari tempat kami. 

Sementara itu, ibu berinisiatif untuk memberi kabar kepada 'dokter reki' tentang kondisi ayah. Sang 'dokter' pun mengatakan bahwa ayah akan 'ditransfer' lagi dalam waktu dekat. Dan benar, setelah pen'transfer'an usai keadaan ayah jauh lebih baik, hingga pihak rumah sakit mengizinkan ayah untuk pulang keesokan harinya.

Namun, malam hari sebelum kepulangannya 'katanya' ayah di'transfer' lagi. Malam itu terjadilah apa yang terjadi. Ayah tiba-tiba tak sadarkan diri (koma). Sekujur tubuhnya membiru, tekanan darahnya sangat tinggi. Meskipun matanya terbuka, namun pandangannya sayu tak bercahaya seakan tak ada harapan lagi. Seakan gelap akan membumihanguskan kehidupan kami. 

Namun Allah berkehendak lain. Beberapa hari kemudian, kondisi ayah semakin pulih dan membaik, meskipun masih harus melanjutkan rawat inap. Hingga akhirnya ayah diizinkan pulang kerumah. 

MasyaAllah betapa senang hati ini, bisa berjumpa dengan beliau lagi setelah sekian lama tidak berjumpa; meskipun beliau masih harus dibantu dengan kursi roda. Akan tetapi rupanya ujian belum berakhir. sejak kepulangannya dari rumah sakit, ibu merasakan ada yang aneh pada diri ayah. Tatapan dan tingkah laku beliau agak aneh. Ibu merasakan pada diri ayah ada pribadi yang lain. 

Hal ini ternyata juga dirasakan paman ayah (adik nenek). Paman ayah yang juga teman sepermainan ayah sejak kecil merasakan ada yang berubah pada diri ayah. Usut punya usut ternyata dalam tubuh ayah bersemayam makhluk lain (jin). Menurut pengakuannya, ia jin perempuan putri bangsawan Cina. Entahlah. Yang jelas jin yang terkadang merasuki tubuh ayah ini sungguh mengganggu dan memudaratkan kami. 

Karena gangguan jin inilah, kemudian ibu dan keluarga ayah menghentikan rutinitas 'reki' dan berkeinginan untuk mengeluarkan jin yang merasuki tubuh ayah. Beberapa 'orang pintar' (dukun) pun sempat diundang ke rumah untuk mengusir jin (yang ternyata banyak) yang ada dalam tubuh ayah. Allahu musta'an kesyirikan dibalas kesyirikan. Semoga Allah mengampuni mereka karena minimnya ilmu pada saat itu. Namun, tidak semua jin bisa dikeluarkan termasuk 'sang putri Cina' yang masih bertahan dalam tubuh ayah. 

Di tengah kegalauan masalah jin yang ada dalam tubuh ayah, dengan karunia Allah, teman ayah semasa SMP datang menjenguk dan menyarankan agar ayah di ruqyah. Nah, di situlah awal perkenalan kami dengan salafi. Meskipun pihak keluarga sempat meragukan ruqyah, namun saran ruqyah ini tetap dilakukan. Beberapa ikhwah dari manhaj ahlussunnah terdekat dimintai ta'awun untuk membantu untuk meruqyah ayah. Dan alhamdulillah, dengan izin Allah, jin-jin dalam tubuh ayah pun pergi termasuk 'sang putri Cina' yang yang paling sulit keluar. 

Setelah prosesi ruqyah selesai, ikhwah menyarankan agar foto-foto, patung, dan semua gambar makhluk bernyawa dihilangkan. Ayah melaksanakan saran mereka meskipun ada pertentangan keras dari pihak keluarga besar. Namun alhamdulillah, lambat laun mereka pun menerimanya. Selanjutnya ayah juga meminta untuk ikut tinggal sementara di pondok ahlussunnah tersebut dengan tujuan untuk membentengi diri.

Sehingga selama beberapa waktu ayah tinggal di pondok itu melakukan aktivitas bersama santri walaupun dengan susah payah. Efek dari stroke, ayah harus kembali belajar menyeimbangkan tubuh lagi. Belajar berjalan, belajar menulis, bahkan belajar berbicara. Sedangkan ibu, setelah musibah yang menimpa ayah, beliau memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. 

Maha sempurna hikmah Allah, hikmah yang selalu membanjiri alur hidup para hamba-Nya. Meskipun kondisi ayah tak sekekar sebelumnya, meskipun ibu kehilangan pekerjaannya, namun karena semua itulah kami mulai belajar menggenggam manhaj salafi. Allah memberi yang kita butuhkan. Manhaj yang shahih inilah semua yang kita butuhkan. Meskipun fananya kemewahan dunia terluputkan. Kejadian di atas terjadi sekitar tahun 2005, ketika aku berusia 5 tahunan. Hanya dari rekaman ingatan dan serpihan memori sederhana dan bantuan penuturan ibu, terangkailah yang akhirnya terbaca. Alhamdulillah. 

* * *

Pertengahan 2012. Memori ini berhenti di sini. Saat aku memulai kehidupan baru di alam thalibatul ilmi. Tepatnya tanggal 27 Juli 2012. Sebuah ma'had yang awalnya adalah pelarian dari aturan rumah yang begitu mengekang. 'Adat' menjadi 'sulung' yang terbiasa disalahkan membuatku lebih memilih mondok, walau sebenarnya ingin melanjutkan jenjang pendidikan di sekolah negeri.

Sebuah ma'had yang terletak sekitar 4 jam perjalanan dari rumahku adalah pondok pertamaku. Ma'had yang telah tergelincir ke jalan yang salah. Karena minimnya ensiklopedia agama ayah dan ibu, aku dimasukkan ke sana. Lagi-lagi pertentangan keluarga, terutama nenek, tentang keputusan orang tua yang akan memasukkan ke pondok. Ketidaksetujuan nenek yang memperjuangkan pendidikan formal, yang memprioritaskan duniawi- sekolah, kuliah, sarjana, dan bekerja-. Namun pondok yang aku masuki ini ternyata mengeluarkan ijazah negara. Nah, inilah yang membuat nenek akhirnya menyetujui aku mondok di situ. 

Masuknya diriku ke ma'had tersebut akhirnya tersebar ke ikhwah salafiyin rekan-rekan ayah. Nasehat demi nasehat ayah dapatkan dari ikhwah, agar aku ditarik darinya. Masya allah betapa perhatiannya mereka dalam menjaga agama saudaranya. Namun karena beberapa faktor ayah mempertimbangkan agar aku bertahan disana.

Empat setengah tahun kemudian, saat aku sudah mulai menyukai segala jenis yang ada di sana, saat itu pula suratan takdir aku harus menutup kisah di ma'had pertama. Tak bisa berbuat banyak, saat keinginan dan keharusan di jalan takdir yang sama. Hati yang masih merindu dan menginginkan hanya bisa membuahkan tetesan air mata. Pada saat seperti ini ayah bersemangat mencarikan ma'had baru untukku. Beliau tidak ingin aku 'futur'. 

Ma'had demi ma'had ahlussunnah ayah telusuri informasinya. Namun berhubung saat itu adalah pertengahan tahun ajaran, agak sulit mendapatkan kesempatan untuk mencari ma'had yang menerima santri baru. Semua itu membuat kami hampir putus asa. Terkecuali ayah, beliau masih sangat bersemangat mencarikan ma'had untukku. Sampai akhirnya ayah mengajakku ke sebuah tempat yang belum pernah kupijak sebelumnya. Ternyata ayah sengaja menemui pengurus sebuah ma'had untuk membicarakan perihalku agar bisa diterima meskipun di tengah tahun ajaran. Kesungguhan ayah membuahkan hasil yang menggembirakan beliau. Aku diterima di ma'had itu. Segala puji hanya milik Allah semata. 

* * *

Ahad 12 Februari 2017, di tanggal itulah kisah baru mulai terangkai. Ditempat baru bersama tokoh-tokoh kehidupan yang baru. Sebuah tempat yang semoga Allah limpahkan keistiqomahan di atas kebenaran-Amin-. Berawal dari detik yang terus berdetak tanpa kenal lelah. Pergi meninggalkan menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Terangkailah kisah demi kisah yang tersimpan dalam ingatan.

Hingga akhirnya waktu bergilir di tanggal 4 Juli 2018. Jatuh pada hari Rabu, hari pemberangkatan tahun ajaran baru yang kedua yang ku jelajahi masa tarbiyah di sana. Seperti biasa, aku dan adik berangkat ke ma'had diantar ayah. Mengendarai bis umum, menyusuri kota demi kota menuju ma'had. Alhamdulillah saat mentari semakin meninggi kami sampai ke tujuan. Setelah istirahat sejenak di warung dekat ma'had ayah segera ingin bergegas pulang dengan alasan mengejar jadwal kepulangan bis ke kota asal. 

Sebelum pulang beliau sempat berpesan kepadaku, "Ubahlah rumahmu dengan ilmu yang telah engkau pelajari. Penuhi ia dengan ilmu. Yang rukun sama adik, saling menjaga... Dan yang terakhir, besok hari jumat sudah boleh telepon kan? Abi telepon Insya Allah." Ayah pun pulang kembali ke rumah. Tak ada kata yang bisa kuucapkan saat itu. Hanya diam menatap langkah kepergiannya dengan berat hati. Entahlah saat itu aku merasa seakan tak kan pernah melihatnya lagi. 

Dua hari setelah pengantaran, aktivitas belajar mengajar belum terlaksana dengan maksimal. Sore ini, Jumat, selepas salat Asar, segera kulangkahkan kaki menuju asrama. Kuraih Al Quran dan segera kubaca surat Al Kahfi. Baru beberapa ayat terbaca, seorang musyrifah mencariku dan mengatakan aku akan dijenguk. Sontak saja aku heran, "Baru dua hari datang, kok sudah ditengok?" gumamku.

Untuk memastikan aku pun segera menemui 'tamu' yang mencariku. Saat kulihat dari kejauhan, kukatakan padamu musyrifah, "Afwan, Mah, ana nggak kenal sama orang itu, mungkin salah nyari..." "Tapi tadi bilangnya mencari anti," kata muysrifah tersebut. "Mungkin salah dengar...? Ada yang namanya mirip ana." Musyrifah tersebut akhirnya percaya. Setelah yakin, aku segera kembali ke asrama melanjutkan aktivitas yang tertunda. Namun baru beberapa menit, lagi-lagi aku dipanggil dan diminta segera menemui tamu tadi. Dengan perasaan aneh, aku pun segera menemuinya. 

Sampai di ruang tamu, tampak adikku sedang mengobrol akrab dengannya. Adikku bilang, "Mbak, ini adeknya Pakde, mbak emang belum pernah ketemu." Aku hanya mengangguk sembari tanpa basa-basi aku bertanya mengapa beliau sampai bisa menjenguk kami. Betapa terkejutnya aku, ketika beliau menyampaikan bahwa aku harus segera pulang. Beliau bermaksud menjemput aku dan adik. Aku terdiam, hanya firasat yang kala itu berbicara. Bahkan aku tak berani bertanya mengapa.

Tak menunggu lama, aku dan adikku segera bersiap-siap untuk pulang. Perasaan campur aduk tak ada kejelasan. Rasanya ingin menangis tapi segera aku tahan, meskipun akhirnya menetes juga air mataku. Setelah persiapan selesai, aku segera berpamitan dengan teman-teman. Mereka pun bertanya-tanya mengapa aku harus pulang. Aku hanya menjawab singkat, "Aku nggak tahu." Salah seorang temanku yang bersalaman denganku berkata, "Apapun yang terjadi nanti kamu harus bersabar." Kata-kata itu senantiasa mengiang di telingaku selama dalam perjalanan. Dan satu firman Allah yang selalu kubaca dan kucoba maknai artinya, "Laa yukallifullahu nafsan illa wus'aha." 

Kulihat mata adikku memerah selama perjalanan. Dengan berusaha tenang, aku mengatakan, "Dek, jangan menangis dulu. Kita nggak tahu apa yang terjadi. Husnudzan, minta yang terbaik sama Allah." Adik hanya mengangguk. Subhanallah. Betapa kacaunya perasaan kami saat itu. Hanya ada satu nama yang terbentuk dalam dadaku, "Abi."

Azan Maghrib berkumandang saat kami masih di perjalanan. Mobil segera berhenti di SPBU agar kami semua bisa menunaikan salat Maghrib dan Isya' dijamak. Pada saat sujud itulah aku berdoa, "Ya Allah, kalau memang Abi meninggal, dengan menyebut nama-Mu aku ikhlas. Mudahkan Abi di sana. Ampunilah dosa-dosanya. Lapangkan dan terangi kuburnya. Bantu hatiku untuk kuat Ya Allah..." Seusai salat perjalanan dilanjutkan. 

Akhirnya kami pun tiba di kota tercinta. Mobil diparkir di lapangan, sedang rumah masih agak berjarak dari lapangan. Dengan diantar pakdhe yang sudah menunggu kami di lapangan, segera saja kami menuju rumah. Dari kejauhan, tenda biru berdiri tegak menaungi halaman rumah. Kursi-kursi berjajar rapi, lampu neon 25 watt menerangi halaman rumah kami. Dugaanku bertambah pasti. Harapan agar yang menyambutku adalah Ayah, kini benar-benar sirna. Aku tak lagi mencarinya, walau aku belum tahu pasti siapa yang tiada. Namun hatiku berkata, "Abi." 

Kakak-kakak sepupuku datang menghampiri aku dan adik kemudian menuntun kami ke ruang tengah. Tampak di sana, ibu duduk dengan pandangan kosong. Bude-bude (kakak-kakak ayah) langsung mendekat dan memeluk aku dan adik, seraya berkata, "...Yang sabar ya, Nduk... Abinya didoakan. Nangis boleh, ngga pa pa, tapi inget jangan kebablasan," katanya. Kulempar pandanganku kearah Ibu. Aku ingin kuat..., namun..., air mata ini akhirnya tak kuasa tertahan..., pecah. 

Ayah..., sosok yang selalu kurindu hadirnya kini telah pergi menemui Rabbnya... Figur yang selalu kubanggakan, kini tak ada lagi kisah tentangnya, suaranya, candanya, nasehatnya. Ayah meninggal di hari Jumat itu waktu dhuha, tanpa sakit sebelumnya. Bahkan ceritanya ayah sudah bersiap untuk berangkat bekerja. Menurut teori kesehatan, katanya, ada kemungkinan terkena serangan jantung. 

Dada terasa sakit dan keringat mengucur deras. Dimakamkan bakda Asar, dan kami tiba di rumah sudah pukul setengah sembilan malam. Tokoh besar dalam sejarah kehidupanku kini telah tiada. Figur yang selalu kubanggakan kini tiada lagi kisah tentangnya. Entah sampai kapan rindu ini akan terurai. 

Rabb, inilah ketetapan-Mu 

Kepada takdir aku tak kan lancang menyalahkan-Mu

Tak akan kulampirkan surat gugatan di hadapan-Mu 

Hanya harap yang selalu melesat 

Agar akhir ucapannya adalah nama-Mu Aamiin Ya Mujibassailin 

Rabb..., air mata yang menetes saat aku mengingatnya... 

Bukankah air mata tak terima... 

Hanya saja rindu ini masih saja bersuara... 

Saudaraku sekalian, 

Orang tua adalah salah satu yang berarti bagi kehidupanmu 

Salah satu pintu surga untukmu 

Jangan sia-siakan keberadaan mereka 

Berbaktilah selagi bisa 

Kita tak pernah tahu tentang ajal 

Dan jika kalian tahu, 'kehilangan' mereka adalah sesuatu yang sangat berat 

Yang butuh proses untuk menata hati dalam menghadapi kenyataan 

Wamaa tadrii nafsun maa dza taksibu ghadan wamaa tadrii nafsun bi ayyi ardhin tamuut 

Semoga bermanfaat

Sumber Majalah Qudwah Edisi 74 Vol. 07 1441 H

Baca juga kisah inspiratif lainnya disini
Oleh:
Atsar ID