Tazkiyatun Nafs

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

masuk surga karena mengikhlaskan utang

MASUK SURGA KARENA MENGIKHLASKAN UTANG Al-Ustadz Abu Hisyam Sufyan Alwi حفظه الله تعالى Syariat Islam memang syariat yang sempurna. Bagaimana tidak, syariat ini dibuat oleh Allah yang paling mengerti siapa kita. Sehingga, segala permasalahan yang pasti akan dihadapi dan dibutuhkan oleh manusia, maka Allah pun mengajarkan melalui Rasul-Nya hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya. Termasuk dalam permasalahan utang. . Ya, Allah mengetahui bahwa manusia dalam memenuhi hajat hidupnya terkadang membutuhkan pinjam meminjam atau berutang. Maka Allah pun mengajarkan kepada kita hal-hal yang harus diperhatikan dalam permasalahan utang dan pinjaman. Tentu pembahasannya sangatlah panjang. Secara umum, Allah سبحانه وتعالى menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pinjam meminjam dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Ayat tersebut yang merupakan ayat terpanjang dalam al Qur’an menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orang-orang yang menjalani transaksi utang piutang. Agama Islam sangatlah menjunjung tinggi akhlak mulia. Tidak ada satu akhlak mulia pun yang terluput dari anjuran Islam. Termasuk akhlak mulia dalam hal transaksi utang piutang. Nah di antara pembahasan yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya ialah bahwa hendaknya orang yang diutangi memiliki sifat memudahkan orang yang ia utangi. Baik ketika memberikan piutangnya ataupun ketika menagihnya. Ya, Islam mengajarkan para pengikutnya untuk bisa memudahkan dan tidak mempersulit orang-orang yang memang sedang membutuhkan. Ketika ia mendatangi kita untuk melunasinya dan ia dalam keadaan lapang, alhamdulillah, kita terima darinya yang menjadi hak kita tanpa mempersulitnya dengan memberikan persyaratan yang memberatkannya. Dan juga dengan bertekad untuk tidak mengungkit-ungkitnya lagi kelak.  Ketika kita dapati ia dalam keadaan sulit yang berarti ia tidak mungkin mampu melunasi utangnya, maka wajib baginya untuk memberikan kemudahan dengan memberikannya tenggang waktu pelunasan. Atau bahkan lebih utama lagi jika dia menggugurkan tanggungannya. Para ulama رحمه الله berpendapat bahwa menangguhkan waktu pelunasan bagi orang yang memang sedang dalam kesulitan hukumnya ialah wajib. Kesimpulan ini diambil berdasarkan firman Allah سبحانه وتعالى yang artinya, ”Dan jika ia adalah seseorang yang sedang kesulitan maka berilah penangguhan hingga ia diberi kemudahan oleh Allah. Dan jika kalian sedekahkan maka itu lebih baik dari kalian.” (Q.S. Al Baqarah: 280). Pada ayat di atas Allah memerintahkan agar kita memberikan masa tenggang waktu pelunasan kepada orang yang berutang kepada kita. Jika ia benar-benar dalam keadaan yang sulit. Allah juga memotivasi kita untuk menyedekahkan hak kita kepadanya. Baik dengan cara kita gugurkan seluruh tanggungannya –dan ini lebih mulia– atau kita gugurkan sebagiannya. Mengenai hal ini, suatu kisah menarik pernah Rasulullah ﷺ ceritakan. Yang tentu kisah yang beliau sampaikan ini agar kita bisa meniru apa yang terjadi dalam kisah tersebut. Beliau menceritakan: حُوسِبَ رَجُلٌ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَلَمْ يُوجَدْ لَهُ مِنْ  الْخَيْرِ شَيْئٌ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ رَجُلًا مُوسِرًا وَكَانَ يُخَا لِطُ النَّاسَ وَكَانَ يَأْمُرُ غِلْمَانَهُ أَنْ يَتَجَاوَزُوا عَنْ الْمُعْسِرِ فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ تَحْنُ أَحَقُّ بِدذَلِكَ مِنْهُ تَجَاوَزُوا عَنْهُ “Ada salah seorang dari orang-orang terdahulu yang dihisab oleh Allah. Ternyata tidak didapati darinya satu kebaikan sama sekali. Hanya saja, ia adalah seorang laki-laki yang suka memudahkan. Dia adalah seorang yang bergaul dengan manusia. Ia selalu memerintahkan para pegawainya untuk membebaskan tanggungan utang orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Maka ketika itu, Allah pun berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Kami lebih pantas darinya (untuk melakukan hal yang semisal), bebaskan dia (dari tanggungan dosanya)!’ “  (HR. Muslim dari shahabat Abu Mas’ud رضي الله عنه). Dalam lafazh lain, beliau ﷺ menuturkan bahwa dahulu ada seseorang yang suka memberi utang kepada manusia. Ia selalu berkata kepada pegawainya, “Kalau kamu menagih seseorang yang sedang kesulitan, maka bebaskanlah utangnya, semoga Allah juga kelak akan membebaskan kita (dari dosa-dosa kita). Maka ketika ia berjumpa dengan Allah, maka Allah pun benar-benar membebaskannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah رضي الله عنه). Dalam lafazh yang lain pula, beliau ﷺ bercerita bahwa di hari kiamat: Dalam lafazh yang lain pula, beliau bercerita bahwa di hari kiamat: أُتِيَ اللهُ بِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِهِ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَقَالَ لَهُ مَاذَا عَمِلْتَ فِي الدُّنْيَا قَالَ وَلَا يَكْتُمُونَ اللهَ حَدِيثًا قَالَ يَا رَبِّ آتَيْتَنِي مَالَكَ فَكُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ مِنْ حُلُقِي الْجَوَازُ فَكُنْتُ أَتَيَسَّرُ عَلَى الْمُوسِرِ وَأُنْظِرُ الْمُعْسِرَ فَقَالَ الله أَنَا أَحَقُّ بِذَا مِنْكَ تَجَاوَزُوا عَنْ عَبْدِي “Allah akan mendatangkan salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang ia berikan padanya nikmat harta. Maka Allah bertanya, ‘Apa yang kau lakukan dengan hartamu di dunia?’ Dan ketika itu manusia tidak bisa menutup-nutupi perbuatannya dengan ucapannya. ‘Wahai Rabb, sungguh, Engkau dahulu memang telah memberikan (sebagian) harta-Mu padaku. Dulu, aku sering memberi utang dan pinjaman kepada manusia. Dan di antara sifatku ialah suka memudahkan. Aku selalu memudahkan orang yang sedang dalam keadaan lapang dan aku memberi tangguh kepada yang kesulitan (yakni tidak memaksa)’. Allah pun berfirman, ‘Kalau begitu, Aku yang lebih berhak melakukan yang demikian daripada kamu, bebaskanlah hamba-Ku’.” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah رضي الله عنه). Dari kisah-kisah di atas, dapat kita ambil kesimpulan mengenai keutamaan sifat memudahkan dalam menagih utang. Ternyata hal tersebut bisa menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Memberi kemudahan dalam menagih utang bisa dengan menggugurkannya, atau bisa dengan meringankannya, atau memberi tangguh waktu. Bahkan dalam hadits yang lain, Rasulullah ﷺ memberikan kabar gembira bahwa orang ini berhak bernaung di bawah naungan ‘Arsy Allah kelak. Ya, sebagaimana berita dari Rasulullah ﷺ bahwa kelak matahari akan didekatkan oleh Allah sedekat-dekatnya. Panas yang sangat menyengat. Yang tentu sebuah naungan adalah sesuatu yang paling dicari dan dibutuhkan oleh manusia ketika itu.  Ketika itu tidak ada naungan satu pun selain naungan ‘Arsy Allah. Dan ternyata naungan ini tidak diperuntukkan untuk khalayak ramai. Bahkan naungan ini Allah peruntukkan untuk orang-orang tertentu yang Ia ridhai dan Ia pilih. Di antara mereka yang Allah pilih, ialah orang-orang yang suka memudahkan dalam menagih utang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ. مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ “Barang siapa yang mau memberi tangguhan kepada orang yang sedang kesulitan atau bahkan membebaskannya, maka Allah akan menaunginya di bawah naungan ‘Arsy-Nya di hari tiada naungan selain naungan-Nya.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah رضي الله عنه dan dishahihkan Al Albani dalam Shahihut Targhib no. 909) Subhanallah, keutamaan yang besar. Di dalam hadits yang lain Rasulullah ﷺ bersabda: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُنْجِيَهُ اللَّهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْ يَضَعْ عَنْهُ “Barang siapa yang suka Allah menyelamatkannya dari kesusahan-kesusahan di hari kiamat nanti, maka hendaknya ia memberikan masa tangguhan kepada orang yang sedang kesulitan atau bahkan ia membebaskannya.” (HR. Muslim dari shahabat Abu Qatadah رضي الله عنه). Benar, di hari kiamat nanti kita akan menjumpai banyak hal yang sangat mencekam dan menakutkan. Hal-hal tersebut sangatlah memberatkan dan menyusahkan kita. Nah, di antara hal yang bisa meringankan kita ketika menjumpai hal-hal tersebut ialah apa yang beliau sampaikan dalam hadits di atas. Dalam hadits yang lain, Rasulullah ﷺ mendoakan orang yang seperti ini agar ia mendapatkan rahmat-Nya. Beliau ﷺ bersabda: رَحِمَ اللهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى “Semoga Allah merahmati seseorang yang bersifat lapang jika menjual, lapang jika membeli, dan lapang jika menagih utang.” (HR. Al Bukhari dari shahabat Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما). Di antara faedah yang dapat kita ambil dari kisah di atas ialah kaidah yang sering disebutkan oleh para ulama bahwa “al jaza’u min jinsil ‘amal” yang maknanya bahwa balasan tu sejenis dengan amalannya. Orang ini, ketika di dunia suka menggugurkan tanggungan manusia kepadanya, maka Allah pun membalasnya dengan yang semisal dengan Allah gugurkan pula dosa-dosanya. Faedah yang lain yang bisa kita ambil dari kisah di atas ialah bahwa jalan kebaikan sangatlah banyak dan beragam. Seorang muslim, semakin bertambah ilmu yang ia miliki, maka akan semakin jelas dan nampak pula baginya betapa banyaknya jalan-jalan kebaikan. Benar, ilmu merupakan pokok dan asal dari berbagai amal shalih. Ketika demikian adanya, maka seorang muslim, sifat yang harus ada padanya, ialah bersungguh untuk terus mengajak jiwanya dalam menuntut ilmu bermanfaat. Kemudian, setelah ia mendapatkannya, ia pun selanjutnya mengamalkannya. Dan beramal inilah tujuan dalam menuntut ilmu. Bukan untuk sekedar memperkaya wawasan ilmunya, akan tetapi sejak dari awal telah bertekad dan berniat akan mengamalkan apa pun yang ia pelajari. Jangan pernah menganggap remeh amalan ibadah walaupun kecil. Ingat selalu, bahwa kebaikan yang diajarkan syariat ini, sekecil apa pun, jika dilakukan ikhlas dalam pelaksanaannya, pastilah akan dicatat dan diperhitungkan oleh Allah سبحانه وتعالى. Sebaliknya, satu keburukan dan dosa, sekecil apa pun, juga Allah سبحانه وتعالى catat dan perhitungkan. Hanya saja, satu kebaikan akan dilipatgandakan sebanyak-banyaknya oleh Allah سبحانه وتعالى.  Sementara, keburukan hanyalah ditulis sesuai dengan kadar besar kecilnya keburukan tersebut, tidak ditambah apalagi dilipatgandakan. Maka, kerugian yang teramat besar ketika ternyata, keburukan yang hanya ditulis “satu demi satu” bisa mengalahkan kebaikan yang pahalanya dilipatgandakan oleh Allah سبحانه وتعالى. Akan tetapi, bukan berarti kemudian kita mencukup-cukupkan diri dengan melakukan amalan yang kecil-kecil dan kemudian tidak pernah berusaha melakukan amalan yang bernilai besar. Ingat, seorang muslim tidak akan pernah merasa puas atas apa pun yang telah ia amalkan. Ia akan terus berusaha memperbaiki dan terus bergerak hingga titel “hamba” Allah pun benar-benar telah ia sandang. Seorang muslim akan selalu mengusahakan dirinya berada dalam level tertinggi paling diridhai oleh Allah untuknya. Faedah yang lain yang dapat kita petik ialah betapa rahmat Allah yang besar. Kita perhatikan kisah tadi, Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa ia tidak memiliki kebaikan apapun selain perbuatan ini. Tentu, sebagai seorang manusia, ia pastilah memiliki kesalahan dan dosa, yang mungkin saja, dosanya sangat banyak. Lalu, bagaimana mungkin ia diampuni. Ya, karena rahmat Allah semata. Allah yang  merahmati dia hingga ia pun dimasukannya ke dalam surga. Faedah yang lain yang dapat kita petik ialah bahwa terkadang amalan yang kecil bisa memasukkan manusia ke dalam surga. Dan terkadang, amalan yang kecil mampu menggugurkan dosa-dosa manusia. Tentu, semuanya kembali kepada rahmat Allah semata. Kisah di atas juga merupakan salah satu contoh bukti nyata dari firman Allah yang artinya, “Dan tidaklah balasan perbuatan baik itu kecuali kebaikan pula.” (Q.S. Ar Rahman: 60) Ayat di atas menerangkan bahwa jika kita menanam kebaikan, maka kita pun akan memanen kebaikan pula. Jika kita terlewatkan dari kebaikan tersebut ketika di dunia, maka kebaikan itu tidak akan meninggalkan kita di akhirat kelak. Secara umum, kisah di atas memberikan faedah anjuran memberikan jalan keluar kepada orang yang sedang kesulitan. Dalam hal apa pun. Dalam kisah di atas secara khusus berkaitan dengan masalah utang piutang. Dalam perkara apa pun, jika kita menjumpai saudara kita mendapatkan suatu kesulitan dan kita mampu untuk memberikan jalan keluar dari permasalahannya, maka hendaknya kita memberikan padanya jalan keluar dari permasalahannya walaupun itu hanya sekedar berupa nasehat dan pemberian solusi. Rasulullah ﷺ bersabda yang artinya, “Barang siapa memberikan jalan keluar dari suatu permasalahan dunia yang menimpa seseorang muslim, maka Allah pun akan memberikan padanya jalan keluar dari permasalahan yang kelak akan menemuinya di hari kiamat.” (H.R. Muslim dari shahabat Abu Hurairah رضي الله عنه). TIGA PERINGATAN Peringatan pertama:  Hendaknya bagi setiap muslim untuk tidak bermudah-mudah dalam berutang dengan utang dari bank-bank lebih-lebih dengan riba. Jangan sampai utang menjadi kebiasaannya. Ia harus berusaha menjauhkan diri dari jerat-jerat utang. Perlu untuk kita pahami, bahwa utang haruslah dibayar. Jika di dunia tidak mampu untuk membayar, maka di akhirat pun utang itu akan dimintai pertanggungjawaban. Utang itu akan dilunasi di mana pahala kitalah yang akan dipindahkan kepada orang yang kita utangi. Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِيَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ “Barang siapa mati dan memiliki tanggungan utang dinar ataupun dirham, maka ia akan dilunasi dengan pahala kebaikannya. Karena di akhirat tiada lagi manfaat dinar ataupun dirham.” (H.R. Ibnu Majah dari shahabat Ibnu Umar رضي الله عنهما dan Syaikh Al Albani mengomentari hadits ini dalam Shahihut Targhib no. 1803, “Hasan shahih.”) Hadits di atas dengan tegas memberitakan bahwa utang kita yang tidak sempat kita bayarkan, maka di akhirat akan dilunasi dengan memberikan pahala yang kita punya kepada orang yang kita utangi. Semakin banyak utang yang tidak kita bayar, akan semakin banyak pula pahala kita yang terkurangi. Dan jika pahala kita sudah habis, maka dosa orang yang kita utangi akan dilemparkan kepada kita. Rasulullah ﷺ juga bersabda: أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا “Tidaklah seseorang berutang dengan niatan tidak melunasinya, melainkan ia akan menghadap Allah dalam keadaan teranggap sebagai seorang pencuri.”  (H.R. Ibnu Majah dan al Baihaqi dari shahabat Shuhaib al Khair رضي الله عنه dan Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shahih Targhib no. 1802, “Hasan lighairihi.”) Dalam hadits yang lain Rasulullah juga bersabda: مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ “Barang siapa yang ruhnya meninggalkan jasad dalam keadaan ia terlepas dari tiga hal, maka ia berhak masuk surga. Tiga hal itu ialah ghulul (mengambil rampasan perang sebelum pembagiannya), utang, dan sombong.”  (H.R. At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat Tsauban رضي الله عنه dan dishahihkan Syaikh Al Albani رحمه الله dalam Shahih Targhib no. 1798). Hadits-hadits di atas mengandung ancaman bagi orang yang menyepelekan permasalahan utang. Dan juga tentunya memotivasi kita agar segera melunasi utang. Demikian pula bagi orang-orang yang memiliki utang untuk benar-benar memperhatikan utangnya, dan ia pun hendaknya mempersaksikan dan mewasiatkan keluarganya untuk melunasinya dengan harta warisan yang ia miliki atau dibayarkan oleh keluarganya. Demikian pula keluarganya, jika ia mendapatkan wasiat seperti itu maka hendaknya ia segera melunasinya. Sehingga ia pun benar-benar terlepas dari tanggungannya. Peringatan kedua,  bagi orang yang berutang dan ia mampu melunasinya, diharamkan baginya untuk melakukan  mumathalah, maknanya menahan harta yang menjadi hak orang yang ia utangi. Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ “Perbuatan mumathalah dari orang yang kaya termasuk perbuatan zalim.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah رضي الله عنه) Ya, perbuatan mumathalah merupakan perbuatan kezaliman yang tentunya nanti di hari kiamat pelakunya akan dibalas oleh Allah. Dalam hadits yang lain, beliau ﷺ mengungkapkan: لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ “Siapa yang menahan harta yang menjadi tanggungannya padahal ia mampu, halal kehormatannya dan dihukum.” (H.R. Abu Dawud dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Targhib no: 1815) Orang yang melakukan hal yang demikian, maka halal kehormatannya. Yakni, disebarluaskan kelakuannya sehingga orang-orang bisa menjauhinya agar tidak lagi bertransaksi dengannya. Sedangkan hukuman, Ibnul Mubarak رحمه الله menafsirkan, “Halal untuk dipenjara.” Peringatan ketiga,  diutamakan mengikhlaskan utang tentunya bagi mereka yang pantas untuk diberi kemudahan. Karena kondisi ekonomi yang memang sulit atau karena hal lain. Adapun orang yang Mumathalah, maka tidak pantas mereka diberi kemudahan. Inilah tiga peringatan yang perlu untuk disampaikan. Tentunya masih banyak hal yang belum terbahas dalam bab utang piutang. Maka kita senantiasa memohon kepada Allah agar Ia selalu membimbing kita dan menyelamatkan kita dari segala hal yang menggelincirkan. والله أعلم. Sumber || Majalah Qudwah Edisi 13 || https://t.me/Majalah_Qudwah
3 tahun yang lalu
baca 12 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

macam-macam penyakit pada manusia

MACAM-MACAM PENYAKIT PADA MANUSIA Penyakit ada 2 macam. penyakit hati dan penyakit badan. Keduanya disebutkan dalam al-Qur'an.  PENYAKIT HATI Penyakit hati ada 2 macam:  (1) Penyakit syubhat dan keraguan,  (2) Penyakit syahwat dan penyimpangan. Keduanya disebutkan dalam al-Qur’an.  Allah ta’ala berfirman tentang penyakit syubhat,  (فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضً ) “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah tambah penyakit mereka.” [Al-Baqarah: 10] Allah berfirman, (وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًا ) “Dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit serta orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" [Al-Muddatstsir: 31] Allah Berfirman,   (وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُم مُّعْرِضُونَ (48) وَإِن يَكُن لَّهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49) أَفِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَن يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ ۚ بَلْ أُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ) “Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah (untuk bertahkim kepada Kitabullah) dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak (untuk datang). Tetapi, jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. apakah (ketidakhadiran mereka) dalam hati-hati mereka ada penyakit atau (karena) mereka ragu atau (karena) mereka takut Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka, sebenarnya mereka itulah orang-orang yang zalim.” [An-Nuur: 48-49] Penyakit yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas adalah penyakit syubhat dan keraguan.  Adapun penyakit syahwat, Allah berfirman,  (يا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ ) “Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu melembutkan pembicaraan sehingga orang yang ada penyakit dalam hatinya menginginkan (keburukan).” [Al-Ahzab: 32] Penyakit dalam ayat ini adalah penyakit syahwat (keinginan) untuk berzina. PENYAKIT BADAN Adapun penyakit badan, Allah ta’ala berfirman, ( لَّيْسَ عَلَى الْأَعْمَىٰ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ ) “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit.” [An-Nuur: 61] Allah berfirman dalam ayat tentang puasa, (فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ )  “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.“ [Al-Baqarah: 184] Allah ta’ala berfirman dalam ayat tentang haji, (فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ) "Maka barang siapa di antara kalian sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia mencukur rambutnya), maka wajib atasnya membayar fidiah, (yaitu): berpuasa atau bersedekah atau  (menyembelih binatang) korban.” [Al-Baqarah: 196] PENGOBATAN (PENYAKIT) HATI Adapun pengobatan penyakit hati diserahkan kepada para rasul —shalawat dan salam tercurah kepada mereka— tidak ada jalan untuk meraihnya kecuali dari jalur mereka dan melalui mereka (para rasul), karena sehatnya hati adalah ketika dia mengetahui Rabbnya, penciptanya, mengetahui nama-nama, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, dan hukum-hukum-Nya.  Hati yang sehat adalah hati yang selalu mendahulukan keridhaan dan kecintaan-Nya, menjauhi larangan dan segala hal yang dibenci-Nya. Hati tidak akan sehat serta hidup kecuali dengan itu. Tidak ada jalan untuk meraih itu semua kecuali melalui jalan para rasul.  Barang siapa yang menyakini bahwa sehatnya hati dapat diraih dengan tidak mengikuti para rasul, maka sungguh telah salah orang yang meyakini hal itu.  Sumber: Dinukil secara ringkas dari kitab Zadul Ma'ad karya Ibnul Qayim, Jilid 4, hlm. 7, Cetakan Muassasah ar-Risaalah.  Oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Shalih bin Zainal Abidin حفظه الله Sumber : telegram.me/Riyadhus_Salafiyyin
4 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

mensyukuri keringanan allah dalam beribadah di rumah

MENSYUKURI KERINGANAN ALLAH DALAM BERIBADAH DI RUMAH (RENUNGAN IBADAH SAAT PANDEMI CORONA) Setiap muslim seharusnya memahami bahwa Nabi dan para Sahabat adalah teladan utama dalam semangat ibadah. Namun, dalam kondisi tertentu, mereka mengambil rukhshah (keringanan) untuk menghindar dari kemudaratan yang lebih besar dan kasih sayang mereka untuk kaum muslimin. Bagaimana semangat para Sahabat Nabi untuk mendatangi shalat 5 waktu berjamaah di masjid, terekam dalam ungkapan Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu: وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ Dan sungguh aku melihat keadaan kami (para Sahabat Nabi) tidaklah tertinggal darinya (shalat berjamaah di masjid) kecuali seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Sungguh, ada seorang laki-laki yang sampai dipapah oleh dua orang laki-laki (lain) hingga diberdirikan di shaf (H.R Muslim) Jadi, jangankan shalat Jumat, shalat 5 waktu berjamaah di masjid saja para Sahabat Nabi begitu bersemangat. Namun, ketika turun hujan lebat, lafadz adzan ada sedikit perubahan. Terdapat anjuran untuk tidak usah mendatangi masjid shalat Jumat, namun diperintahkan untuk shalat di rumah saja (shalat Zhuhur). Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhu pernah menerapkan hal itu sebagai sunnah dari Nabi shollallahu alaihi wasallam. Pada saat hari Jumat, beliau perintahkan kepada muadzin untuk mengganti lafadz hayya alash sholaah menjadi sholluu fii buyuutikum, yang artinya: sholatlah di rumah-rumah kalian. . Bagi banyak orang yang belum mengenal sunnah Nabi tersebut, tentu keheranan dan menganggap sebagai sesuatu yang aneh. Kemudian Ibnu Abbas menyampaikan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا قَالَ فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمْعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ Ibnu Abbas berkata kepada muadzdzinnya di hari (Jumat) yang hujan: Jika engkau selesai mengucapkan ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH, janganlah mengucapkan: HAYYA ‘ALAS SHOLAAH. Ucapkanlah: SHOLLUU FII BUYUUTIKUM (Sholatlah di rumah-rumah kalian). Maka seakan-akan orang-orang menganggap itu hal yang sangat aneh. Ibnu Abbas pun berkata: Hal itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku (maksud Ibnu Abbas adalah Rasulullah, pent). Sesungguhnya (shalat) Jumat (secara asal) adalah kewajiban. Namun aku tidak suka membuat kalian kesulitan berjalan di tanah liat dan (permukaan) yang licin (H.R al-Bukhari dan Muslim, lafadz sesuai riwayat al-Bukhari).  Subhanallah, demikianlah orang yang ‘alim, lautan ilmu. Tidak sekedar ngerti, tapi paham benar dengan pemahaman yang mendalam dan luas. Tidak sekedar berilmu, beliau memiliki perasaan kasih sayang kepada kaum muslimin. Benar-benar Ulama Robbaniy. Ibnu Abbas paham benar bahwa shalat Jumat itu suatu kewajiban bagi laki-laki muslim yang mukim dan tidak sakit. Namun, hujan lebat yang bisa berpotensi menyulitkan, sudah merupakan keringanan untuk tidak menghadirinya. Padahal, sebenarnya sekedar hujan tidaklah otomatis membuat orang sakit. Tapi berpotensi menyebabkan orang sakit. Sakitnya pun bisa jadi tidak langsung saat terkena hujan, tapi baru beberapa waktu kemudian. Sedangkan Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallahu anhu juga pernah mengumandangkan adzan dengan lafadz: Shollu fi rihaalikum (shalatlah di tempat-tempat tinggal kalian). Beliau menilai ada 3 keadaan yang membuat seseorang tidak harus menghadiri panggilan adzan ke masjid, yaitu: cuaca sangat dingin, hujan, dan angin kencang. Mari kita simak hadits berikut: عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ أَوْ ذَاتُ رِيحٍ فِي السَّفَرِ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar mengumandangkan adzan untuk shalat pada malam yang sangat dingin disertai angin kencang. Kemudian di akhir adzannya, Ibnu Umar mengucapkan: ALAA SHOLLU FII RIHAALIKUM... ALAA SHOLLU FII RIHAALIKUM... ALAA SHOLLU FII RIHAALIKUM...(Sholatlah di tempat tinggal...sholatlah di tempat tinggal..sholatlah di tempat tinggal)...Karena sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memerintahkan muadzin jika malam yang sangat dingin, atau hujan, atau angin kencang, di saat safar, untuk mengumandangkan: ALAA SHOLLUU FIR RIHAAL (sholatlah di tempat tinggal) (H.R Ahmad dan Ibnu Awaanah, dinilai sanadnya shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir) Asy-Syaukaaniy rahimahullah menyatakan: وفيه أن كلا من الثلاثة عذر في التأخر عن الجماعة ونقل ابن بطال فيه الإجماع Dan dalam hadits ini (terdapat pelajaran) bahwasanya seluruh dari ketiga hal itu (sangat dingin, hujan, dan angin kencang) adalah udzur untuk tidak menghadiri shalat berjamaah. Dan Ibnu Baththol menukilkan ijmak (kesepakatan ulama) akan hal itu (Nailul Authar (3/190)).  Perhatikan hal ini...Keluar rumah untuk menghadiri panggilan adzan di masjid saat cuaca sangat dingin, tidaklah otomatis membuat orang sakit. Ada orang yang sudah biasa dengan dingin, tidak terpengaruh. Ada pula yang sangat terpengaruh. Jadi, ia berpotensi menyebabkan seseorang sakit. Biidznillah. Namun panggilan adzan dengan tambahan lafadz itu menganjurkan agar semua yang mendengar adzan untuk shalat di rumah.  Kita kembali lagi tentang hujan sebagai udzur untuk tidak menghadiri panggilan adzan ke masjid. Kita perlu melihat perbuatan Sahabat lain sebagai saksi sejarah bagaimana penerapannya di masa Nabi. Ternyata, sekedar hujan rintik saja, sudah membuat lafadz adzan yang sebelumnya panggilan agar datang ke masjid berubah menjadi anjuran untuk shalat di rumah. Mari perhatikan pemahaman Sahabat Nabi Usamah bin Umair radhiyallahu anhu berikut ini: عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ قَالَ خَرَجْتُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ فَلَمَّا رَجَعْتُ اسْتَفْتَحْتُ فَقَالَ أَبِي مَنْ هَذَا قَالَ أَبُو الْمَلِيحِ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ وَأَصَابَتْنَا سَمَاءٌ لَمْ تَبُلَّ أَسَافِلَ نِعَالِنَا فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ Dari Abul Malih beliau berkata: Aku pernah keluar (menuju masjid) pada malam yang hujan. Ketika aku kembali ke rumah, aku meminta dibukakan pintu. Kemudian ayahku (Usamah bin Umair) bertanya (dari balik pintu): Siapa? Aku menjawab: ‘Abul Malih’. Kemudian ayahku berkata: Sungguh aku pernah bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Hudaibiyah kemudian kami ditimpa hujan yang tidak sampai membasahi bagian bawah sandal-sandal kami, kemudian berserulah muadzin Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam: SHOLLUU FII RIHAALIKUM (‘Sholatlah di tempat tinggal kalian’) (H.R Ibnu Majah, Ahmad) Saat hujan masih belum sampai membasahi bagian bawah sandal, artinya belum deras, sudah ada pengubahan lafadz adzan. Justru dianjurkan shalat di tempat masing-masing. Padahal itu masih hujan rintik. Belum deras. Ada 2 kemungkinan. Setelah itu menjadi deras, atau justru berhenti hujannya. Tapi kumandang adzan sudah bisa diubah. Memang di sini ada pembahasan Ulama tentang hal itu. Sebagian Ulama memandang beda antara adzan shalat 5 waktu dengan adzan untuk shalat Jumat. Kalau shalat 5 waktu, cukup hujan rintik saja sudah ada keringanan untuk tidak hadir di masjid. Tapi kalau shalat Jumat, harus berupa hujan lebat. Tentang masalah ini kita tidak membahasnya lebih jauh. Karena itu sebagian Ulama menilai bahwa kekhawatiran akan terjadinya kemudaratan pada diri, harta, maupun keluarga, adalah udzur untuk tidak menghadiri shalat berjamaah atau bahkan shalat Jumat di masjid. Ibnu Qudamah al-Maqdisiy rahimahullah (wafat 620 Hijriyah) menyatakan: وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِهِمَا الْخَائِفُ ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { الْعُذْرُ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ } وَالْخَوْفُ ، ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ ؛ خَوْفٌ عَلَى النَّفْسِ ، وَخَوْفٌ عَلَى الْمَالِ ، وَخَوْفٌ عَلَى الْأَهْلِ Dan termasuk udzur dalam meninggalkan keduanya (shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid) adalah orang yang takut (khawatir). Berdasarkan sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam (yang artinya): udzur itu adalah perasaan takut dan sakit. Perasaan takut (kekhawatiran itu) ada 3 macam, yaitu takut terhadap diri sendiri (jiwa), takut terhadap harta, dan takut terhadap keluarga (al-Mughniy (3/110)) Alaauddin Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Mirdaawiy (wafat tahun 885 Hijriyah) rahimahullah menyatakan: وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوْثِ الْمَرَضِ Dan termasuk udzur juga untuk meninggalkan keduanya (shalat Jumat dan shalat berjamaah) adalah karena kekhawatiran terjadinya penyakit (al-Inshaaf fii Ma’rifatir Raajih minal Khilaaf ‘alaa Madzhabil Imaam Ahmad bin Hanbal (2/210)) Ibnun Najjaar rahimahullah (wafat 972 Hijriyah) menyatakan: يُعْذَرْ بِتَرْكِ جُمْعَةٍ وَجَمَاعَةٍ مَرِيْضٌ وخَائِفٌ حُدُوثَ مَرَضٍ لَيْسَا بِالْمَسْجِدِ Memiliki udzur untuk meninggalkan (shalat) Jumat dan jamaah adalah orang yang sakit dan orang yang takut terjadinya sakit yang keduanya tidak berada di masjid (Muntahaa al-Iroodaat (1/319)). Kekhawatiran sakit, karena dugaan kuat atau bahkan keyakinan, membuat adanya keringanan dalam pelaksanaan ibadah. Sebagai contoh, saat cuaca sangat dingin, seorang yang junub boleh untuk tidak mandi janabah diganti dengan tayammum. Kalau ia khawatir bisa sakit. Sebagian Ulama memberi catatan, selama ia tidak memungkinkan mandi dengan air hangat. Mari kita simak pernyataan dari al-Imam al-Bukhari berikut ini, beliau menyatakan dalam kitab yang masyhur dikenal sebagai Shahih al-Bukhari: بَاب إِذَا خَافَ الْجُنُبُ عَلَى نَفْسِهِ الْمَرَضَ أَوْ الْمَوْتَ أَوْ خَافَ الْعَطَشَ تَيَمَّمَ وَيُذْكَرُ أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ أَجْنَبَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فَتَيَمَّمَ وَتَلَا { وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا } Bab: Jika seorang yang junub mengkhawatirkan pada dirinya sakit atau mati atau takut kehausan, ia boleh bertayammum. Dan disebutkan bahwasanya Amr bin al-Ash pernah mengalami junub di malam yang sangat dingin, kemudian beliau bertayammum. Beliau pun membaca ayat: وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Pengasih terhadap kalian (Q.S anNisaa’ ayat 29)(Shahih al-Bukhari, Kitab ke-7: Tayammum, Bab ke-6) Secara lebih lengkap, haditsnya ada dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dan lainnya. Bahwa Sahabat ‘Amr bin al-‘Ash ditunjuk sebagai pimpinan pasukan dalam perang Dzatus Salaasil. Pada malam harinya beliau mimpi basah, sehingga mengalami junub. Namun, cuaca sangat dingin sekali. Beliau khawatir, jika mandi junub, bisa menyebabkan beliau mati. Maka beliaupun bertayammum. Sebagian riwayat menjelaskan bahwa beliau berwudhu’ saja, tidak mandi janabah. ‘Amr bin al-‘Ash ini menjadi imam shalat Subuh dalam kondisi demikian. Hal itu diketahui oleh Sahabat yang lain dan disampaikan kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ketika Nabi menanyakan alasannya kepada ‘Amr bin al-Ash, beliau berdalil dengan firman Allah surah anNisaa’ ayat 29 itu, bahwa Allah melarang membunuh diri kalian karena Allah Maha Penyayang terhadap kalian. Nabi pun tersenyum dan diam sebagai pembenaran terhadap sikap itu. Perhatikan kefakihan Sahabat Nabi tersebut.... Kalau kita perhatikan keadaan kita di masa pandemi Corona seperti saat tulisan ini dibuat, banyak Ulama dan pemerintah muslim yang menganjurkan kaum muslimin untuk beribadah shalat di rumah saja. Hal ini adalah sikap yang benar. Karena, sifat virus Corona (SARS-CoV-2) bisa menjangkiti seseorang tanpa disadari. Seseorang bisa menjadi pembawa virus itu tanpa terpantau gejalanya. Orang yang sebenarnya membawa virus Corona tersebut tapi tidak menunjukkan gejala, disebut dengan OTG (Orang Tanpa Gejala). Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, pada 14 Mei 2020 di Gedung FMIPA Unpad mengungkapkan bahwa 70% pasien yang terkonfirmasi COVID-19 di Jawa Barat saat itu adalah OTG (Orang Tanpa Gejala). Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengingatkan potensi penyebaran virus Covid-19 melalui orang tanpa gejala (OTG) mencapai 75 persen. Hal itu beliau sampaikan dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta pada 10 Mei 2020. Bahaya Covid-19 ini sudah demikian nyata. Hingga 19 Mei 2020 tercatat yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 18.496 orang. Jumlah yang sudah meninggal dunia dengan sebab itu adalah 1.221 orang. Sedangkan di dunia, tercatat 4,81 juta jiwa terkena Covid-19 dan telah meninggal sebanyak 319 ribu jiwa. Kalau seseorang memilih untuk tidak shalat di masjid sementara waktu selama bahaya pandemi Corona ini masih mengancam, itu adalah langkah yang bijak. Sikapnya akan bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, maupun kaum muslimin yang lain. Untuk hujan, cuaca sangat dingin, maupun angin kencang saja, bisa menjadi rukhshah (keringanan) untuk tidak mendatangi masjid. Padahal itu bukanlah sesuatu yang otomatis langsung membuat orang sakit. Hanya berpotensi membuat orang menjadi sakit. Apalagi dengan virus Corona yang berpotensi tidak hanya membuat satu orang menjadi sakit, tapi ia bisa membawa dan menularkannya –dengan izin Allah- kepada orang-orang yang juga tidak hadir di masjid saat itu. Bisa membahayakan anak kecil, orang lanjut usia, ataupun orang dengan penyakit bawaan lainnya, dengan dampak risiko yang lebih besar. Saudaraku, tidaklah selalu perbuatan yang lebih besar perjuangannya, lebih membuat capek, membawa pahala yang lebih besar. Dalam kondisi tertentu, mengambil keringanan, itulah yang diharapkan. إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ  Sesungguhnya Allah suka keringanannya diambil, sebagaimana ia suka kewajiban-kewajiban terhadap-Nya ditunaikan (H.R al-Bazzar dan atThobaroniy dari Ibnu Abbas, dishahihkan Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albaniy) إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ Sesungguhnya Allah suka diambil keringanan-keringanan dari-Nya sebagaimana Dia benci dilakukan kemaksiatan-kemaksiatan terhadap-Nya (H.R Ahmad dari Ibnu Umar, dinyatakan sanadnya shahih oleh oleh al-Mundziri dan Syaikh Ahmad Syakir) Bahkan Nabi shollallahu alaihi wasallam mencela seseorang yang memaksakan diri untuk beribadah dalam kondisi menyulitkan dirinya bahkan kemudian merepotkan orang lain, padahal ada keringanan pada dia untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut. عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا هَذَا فَقَالُوا صَائِمٌ فَقَالَ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ (رواه البخاري ومسلم) Dari Jabir bin Abdillah –semoga Allah meridhai mereka- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam saat safar melihat kerumunan orang dan ada satu laki-laki yang dinaungi (agar tidak terkena terik panas langsung). Nabi bertanya: Mengapa ini? Para Sahabat berkata: Ia berpuasa. Nabi bersabda: Bukanlah termasuk kebaikan, berpuasa saat safar (H.R al-Bukhari dan Muslim) Artinya, ia tetap memaksa berpuasa saat safar, dalam kondisi menyulitkan dia. Kemudian justru ia pingsan dan merepotkan orang lain. Nabi menyatakan bahwa tidak ada kebaikan untuk yang memaksa berpuasa dalam kondisi demikian. Karena semestinya ia mengambil keringanan tidak berpuasa saat safar. Ada seseorang yang bernadzar untuk berjalan kaki menuju Masjidil Haram. Ternyata, untuk memenuhi nadzarnya itu ia sampai harus dipapah oleh dua orang. Ia menyusahkan dirinya sendiri dan merepotkan orang lain. Nabi pun mencela perbuatan tersebut dan menyatakan bahwa Allah tidak butuh dengan sikap dia menyiksa dirinya sendiri tersebut, serta menyuruh orang itu untuk naik kendaraan. عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى شَيْخًا يُهَادَى بَيْنَ ابْنَيْهِ قَالَ مَا بَالُ هَذَا قَالُوا نَذَرَ أَنْ يَمْشِيَ قَال َ إِنَّ اللَّهَ عَنْ تَعْذِيبِ هَذَا نَفْسَهُ لَغَنِيٌّ وَأَمَرَهُ أَنْ يَرْكَبَ Dari Anas –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Nabi shollallahu alaihi wasallam melihat seorang tua dipapah oleh kedua anak lelakinya. Nabi bertanya: Mengapa orang ini? Mereka berkata: Ia bernadzar untuk berjalan. Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah sangat tidak butuh dengan sikap dia menyiksa dirinya sendiri. Nabi pun memerintahkan kepadanya untuk naik kendaraan (H.R al-Bukhari) Seseorang yang memaksakan diri ke masjid padahal ada keringanan untuk tidak melaksanakan hal itu, dikhawatirkan justru ia tercela. Jika ternyata menyebabkan kesulitan untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Terakhir, berhati-hatilah untuk mengimbau atau menganjurkan agar tetap melaksanakan ibadah tertentu, padahal ada keringanan terhadapnya. Apalagi jika bisa menyebabkan kematian bagi seseorang. Apabila kita memerintahkan sesuatu hal yang asalnya wajib, namun sebenarnya dalam kondisi itu ada keringanan, hati-hati untuk mewajibkannya. Apalagi jika nantinya berimplikasi tanpa kita sadari menjadi sebab kematian orang lain. Ada seorang Sahabat Nabi yang saat dalam suatu safar perang di jalan  Allah mengalami luka di kepalanya. Kemudian Sahabat yang luka kepalanya ini mengalami ihtilam (mimpi basah), sehingga ia mengalami junub. Ia pun bertanya kepada orang lain:  هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً  Apakah kalian mendapati adanya keringanan padaku untuk tidak mandi wajib? Orang yang ditanya saat itu menjawab: Tidak ada keringanan bagimu. Akhirnya Sahabat itu tetap mandi wajib, dan menyebabkan ia meninggal dunia. Ketika sampai berita itu kepada Nabi, Nabi pun marah dan menyatakan: قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّه Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka (H.R Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah) Nabi menganggap mereka yang memfatwakan masih harus mandi wajib seperti biasa dalam kondisi seperti itu adalah sebagai pembunuh orang tersebut. Karena dengan sebab fatwa dan anjuran dia kemudian orang itu meninggal dunia.  Maka berhati-hatilah untuk menyatakan keharusan sesuatu, padahal dalam kondisi tertentu sesuatu itu ada keringanan untuk tidak dilaksanakan. Apalagi tanpa kita sadari kemudian hal itu menjadi sebab meninggalnya muslim lain.  Nyawa seorang muslim sangat berharga di sisi Allah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, pertolongan, ‘afiyat, dan ampunan-Nya kepada segenap kaum muslimin. BACA JUGA : KESALAHAN-KESALAHAN SELAMA WABAH COVID-19 (Abu Utsman Kharisman) WA al I'tishom
5 tahun yang lalu
baca 17 menit

Tag Terkait