Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

bertobat bukan sekedar hiasan bibir

5 tahun yang lalu
baca 6 menit

Bertobat Bukan Sekedar Hiasan Bibir

Oleh : Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafrudin حفظه الله تعالى

Bertobat Bukan Sekedar Hiasan Bibir
Bertobat Bukan Sekedar Hiasan Bibir
An-Nawawi رحمه الله menyebutkan bahwa bertobat memiliki syarat. Di antara syarat itu, meninggalkan kemaksiatan yang telah  dilakukannya, tumbuh penyesalan mendalam atas kemaksiatan yang dilakukannya, dan berazam, bertekad untuk tak menceburkan diri lagi dalam lembah maksiat itu.

Ya. Bertekad tak mengulangi kemaksiatan. Ini salah satu ciri seseorang bertobat. Karenanya, kala seseorang bertobat, akan dilihat keseriusannya. Apakah tobat yang ia tautkan merupakan perbuatan yang sungguh-sungguh atau cuma di bibir. Allah سبحانه وتعالى berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

”Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya (taubatan nashuha)." [Q.S. At-Tahrim: 8].

Telisiklah kisah shahabat mulia, Ka'ab bin Malik رضي الله عنه. Sebuah tobat yang sebenarnya. Maka beliau tetap kokoh dalam mewujudkannya. Setelah ia bertobat, ujian pun mendera. Lima puluh malam ia hidup dalam penantian. Seakan bumi yang dipijak tak ia kenali lagi. Terasa tersingkir dirinya di muka bumi. 

Teman-teman yang mencintainya, kini menjauh darinya. "Aku datang ke pasar, namun tak seorang pun mau menyapa." kisah Ka'ab. Bahkan, Abu Qatadah رضي الله عنه sebagai shahabat lekat, rekan seiring yang teramat mencintainya, saudara sepupu yang paling dekat, diam membisu kala disapanya. Dingin.

Kehangatan yang dulu ia rasakan, kini memudar. Hampa terasa. Salam yang ia ucapkan tak berbalas. ”Wahai Abu Qatadah, bukankah dirimu mengetahui bahwa aku ini mencintai Allah dan Rasul-Nya?" lirih Ka'ab bin Malik. Namun, Abu Qatadah cuma diam. Ka’ab pun lantas mengulangi kata-kata itu. Abu Qatadah pun cuma membisu seribu bahasa.

Bagi Ka'ab, dunia terasa sunyi. Sepi tiada terperi. Semua orang menjauh darinya. Tiada salam tiada kalam menyapa. Tak hanya itu. Sang istri yang biasa menemani dalam keseharian, tempat melabuhkan cinta dan mencurahkan isi hati, pun harus menjauhinya. "Menghindar dan jangan dekati dia." ltulah kata yang diingatnya saat sang istri harus bersikap padanya. Jika istri sebagai belahan hati tak lagi boleh ada di sisinya, lantas bagaimana dengan orang lain?

Walau demikian, ia tetap jujur dalam tobatnya. la tak melakukan suatu perbuatan yang menjadikan tobatnya ternista. Ia jauhi perilaku yang bisa menodai pertobatannya. Ia buktikan tobatnya yang tak cuma di bibir. Ka'ab bin Malik, shahabat mulia. 

Kisah Ka’ab bin Malik رضي الله عنه memberi pelajaran betapa tekad bertobat harus benar-benar kokoh. Walau badai menerpa, tobat tak lantas kandas. Sekali layar terkembang pantang surut ke pantai. Sekali tobat dinyatakan, pantang diri untuk menodainya.

Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudri رضي الله عنه menuturkan, bahwa Nabiyullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam pernah menyebutkan sebuah kisah berharga tentang tobat. 

"Dulu, ada seorang laki-Iaki dari umat sebelum kalian. Laki-Iaki itu telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa. Setelah itu, ia pun Iantas bertanya perihal penghuni bumi yang paling berilmu. Ditunjukkanlah padanya seorang rahib.

Yaitu, seorang ahli ibadah dari kalangan Bani lsrail. Laki-laki itu pun lantas menemui sang rahib. Disingkaplah apa yang telah ia perbuat kepada sang rahib. Bahwa dirinya telah membunuh sembilan puluh sembilan orang. "Apakah ada tobat bagiku" tanya Iaki-laki itu pada sang rahib. Jawab sang rahib, "Tidak." Sang rahib pun lantas dibunuh. Genaplah sudah dirinya menghabisi seratus nyawa.

Kembali ia mencari, menanyakan lagi perihal penduduk muka bumi ini yang paling alim. Ditunjukkanlah padanya terhadap seorang yang alim. Pada orang alim ini, ia ajukan masalah yang sama, bahwa dirinya telah membunuh seratus jiwa. "Apakah masih ada tobat bagi diriku❓" tanyanya kepada sang alim. Jawab sang alim, "Ya, tentu."

Kata sang alim, “Siapa yang akan bisa menghalangi antara seseorang dengan tobatnya? Bertolaklah engkau ke satu tempat tertentu yang di sana masyarakatnya beribadah kepada Allah سبحانه وتعالى. Beribadahlah kepada-Nya bersama mereka. Jangan kembali ke daerah asalmu, karena daerah asalmu itu buruk."

Maka, laki-laki itu pun bertolak ke daerah yang ditunjukkan sang alim. Hingga, setelah setengah perjalanan ia tempuh, Iaki-lak itu direnggut maut. Malaikat Rahmah dan Malaikat Azab pun bertikai terkait laki-laki ini. Kata Malaikat Rahmah, "Ia telah datang sebagai seorang yang bertobat. Hatinya telah menghadap kepada Allah سبحانه وتعالى.”

Malaikat Azab mengatakan, "Sesungguhnya ia belum melakukan amal kebaikan apapun.” Lantas, datanglah malaikat dalam bentuk manusia berusaha menengahi kedua malaikat itu. Kata malaikat berwujud manusia ini, ”Ukurlah jarak antara dua tempat. Mana jarak yang lebih dekat dengan Iaki-laki yang meninggal ini, maka itulah yang ia dapat.” 

Diukurlah jaraknya. Maka, didapati bahwa laki-Iaki yang meninggal itu Iebih dekat ke jarak yang ingin ia tuju. Lantas, malaikat rahmah itu membawa mayat laki-Iaki tersebut."

Hadits ini diriwayatkan oleh AI Imam Al Bukhari, no. 3470 dan AI Imam Muslim, no. 46. Dalam riwayat lain dalam Kitab Ash-Shahih, disebutkan, "Laki-laki itu lebih dekat sejengkal ke daerah yang shalih. Laki-Iaki itu pun digolongkan ke dalam penduduk yang shalih tersebut."

Riwayat lainnya dalam Kitab As-Shahih, ”Allah سبحانه وتعالى lantas mewahyukan ke tempat ini agar menjauh dan ke tempat lainnya agar mendekat. Allah سبحانه وتعالى berfirman, ”Ukurlah jarak antara keduanya." Maka, mereka dapati laki-laki tersebut lebih dekat sejengkal ke tempat yang shalih. Diampunilah dosa-dosanya.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Bahwa orang itu bergeser dengan dadanya ke tempat yang shalih." 

Hikmah yang dipetik dari kisah di atas, betapa untuk menggapai tobat senyatanya memerlukan kesugguhan nan membaja. Karena sesungguhnya tobat tak semata di bibir. Seseorang yang bertobat dengan penuh kesungguhan, akan nampak dari perilakunya. Tobatnya akan memberi pengaruh pada hati, lisan, dan anggota tubuhnya kala berperilaku.

Pelajaran yang lain, setelah seseorang bertobat, tentu hatinya lebih cenderung untuk senantiasa ingin bersama orang-orang yang shalih. Bukan malah tetap bercengkerama dengan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.

Sumber : Majalah Qudwah Edisi 05 || Sumber : t.me/Majalah_Qudwah
Oleh:
Atsar ID