PELAJARAN BERHARGA DALAM KISAH TOBAT KAAB BIN MALIK
|
Pelajaran dari Kisah Tobatnya Kaab bin Malik |
Pendahuluan
Kisah tobat Kaab bin Malik atas kesalahan beliau tidak ikut dalam perang Tabuk memberikan banyak pelajaran berharga bagi kaum muslimin. Bagi yang membaca dengan seksama, bercampur aduk perasaan yang timbul: keharuan, perasaan iba, dan juga turut berbahagia di akhirnya. Teladan mulia dari bimbingan Nabi dan para Sahabatnya.
Tulisan ini adalah serial penyampaian hadits dan kutipan sebagian pelajaran berharga tersebut. Semoga kita mendapatkan manfaatnya.
Pada bagian pertama ini akan disebutkan haditsnya secara lengkap berdasarkan lafadz riwayat Muslim dalam Kitabut Taubah. Haditsnya panjang, terabadikan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Pada tulisan ini tidak dikutip lafadz haditsnya dalam bahasa Arab, hanya disebutkan terjemahannya. Agar lebih mudah dipahami, disertakan pula sub-sub judul tambahan dalam terjemahan tersebut.
Kemudian insyaallah pada bagian-bagian selanjutnya akan disebutkan sebagian pelajaran berharga yang bisa dipetik.
Terjemah Hadits Riwayat Muslim
Kaab bin Malik radhiyallahu anhu mengisahkan:
Aku tidak pernah tertinggal dari peperangan lain sebelumnya kecuali pada perang Tabuk. Aku memang juga tidak ikut dalam perang Badr, namun tidak ada yang dicela kalau tidak ikut saat itu. Karena tujuan semula Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan kaum muslimin keluar ke Badr hanyalah (menghadang) kafilah dagang Quraisy. Namun ternyata Allah pertemukan mereka dengan musuh mereka (dalam pertempuran dahsyat) tanpa perjanjian sebelumnya. Aku turut menyaksikan bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam malam (perjanjian) Aqobah ketika kami berjanji setia di atas Islam. Aku tidak suka jika keikutsertaanku di dalamnya ditukar dengan peristiwa (perang) Badr, meskipun perang Badr lebih banyak disebut (dikenang) oleh orang-orang.
Kondisi yang Menyulitkan untuk Berjihad: Cuaca Panas dan Jarak Tempuh yang Jauh
Kisahku saat tertinggal dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dalam perang Tabuk adalah: Aku tidak pernah merasa lebih kuat dan berkelapangan dibandingkan saat aku tertinggal dalam perang tersebut. Demi Allah, aku tidak pernah mengumpulkan dua kendaraan. Justru untuk perang itu aku sudah persiapkan dua kendaraan. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (merencanakan) keberangkatan untuk berperang dalam cuaca yang sangat panas dengan tujuan safar yang jauh untuk menghadapi pasukan musuh (yang diperkirakan) berjumlah banyak.
Beliau memperjelas rencana itu kepada kaum muslimin agar mereka mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk pertempuran mereka tersebut. Beliau juga mengabarkan arah yang akan dituju. Kaum muslimin yang bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sangat banyak. Tidak ada catatan khusus tentang daftar orang-orang yang ikut dalam perang itu. Ka’ab berkata: Sedikit orang yang ingin tidak ikut dan ia menyangka bahwa ketidakhadirannya itu tidak diketahui. Selama tidak diturunkan wahyu dari Allah Azza Wa Jalla. Dan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam akan berjihad dalam pertempuran itu ketika sedang tumbuh buah-buahan dan sedang rindang-rindangnya tanaman. Akupun cenderung menyukai hal itu.
Akibat Menunda-Nunda Pekerjaan Baik
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan kaum muslimin yang bersama beliau pun mempersiapkan dengan baik perlengkapannya. Pada pagi harinya aku sempat berniat untuk mempersiapkan diri bersama mereka, namun aku kembali tidak melakukan persiapan apapun. Aku berkata dalam diriku: Aku mampu untuk berbuat demikian kapan saja aku mau. Hal itu terus berlangsung aku menunda-nundanya hingga manusia sudah benar-benar siap.
Saat pagi hari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sudah siap berangkat dan kaum muslimin bersama beliau, aku belum mempersiapkan perlengkapanku sama sekali. Kemudian aku pun pergi dan kembali tidak melakukan persiapan sama sekali. Terus menerus aku menunda-nundanya hingga mereka telah berangkat.
Aku berniat untuk mengejarnya namun tidak bisa kulakukan. Duhai seandainya aku melakukan itu. Kemudian tidaklah ditakdirkan terjadi padaku hal itu. Kalau aku keluar saat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sudah berangkat, hal yang membuatku bersedih adalah aku tidak menemukan teladan kecuali orang yang tenggelam dalam kemunafikan atau orang yang Allah berikan udzur kepadanya karena ia termasuk orang yang lemah.
Nabi Menanyakan Keadaan Kaab bin Malik Saat di Tabuk
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tidak menyebutkan tentang aku hingga sampai di Tabuk. Beliau berkata saat duduk bersama orang-orang di Tabuk: Ada apa dengan Ka’ab bin Malik? Seorang dari Bani Salimah berkata: Wahai Rasulullah, ia tertahan dengan burdahnya dan sibuk memandang kedua ketiaknya (isyarat akan sikap ujub terhadap diri dan berbangga dengan pakaiannya, pent). Kemudian Muadz bin Jabal berkata: Sungguh buruk apa yang engkau ucapkan. Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui keadaan dia kecuali kebaikan. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam diam.
Ketika dalam kondisi seperti itu, Nabi melihat sosok laki-laki putih yang tersamarkan dengan fatamorgana. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: << Sepertinya itu Abu Khoytsamah >>. Ternyata itu memang Abu Khoytsamah al-Anshariy. Dia adalah orang yang bersedekah sebanyak 1 sho’ kurma saat dicela oleh orang-orang munafik.
Sempat Muncul Keinginan Berdusta
Ka’ab berkata: Ketika sampai informasi kepadaku bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah dalam perjalanan pulang dari Tabuk, timbul perasaan sedih yang sangat dalam diriku. Aku pun sempat ingin berdusta. Aku berkata: Bagaimana caranya agar aku tidak mendapat kemurkaan dari beliau esok. Aku pun meminta pertimbangan kepada sebagian keluargaku yang dipandang berpandangan bijak. Ketika dikatakan kepadaku bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah dekat, hilanglah kebatilan (keinginan berdusta) dalam diriku. Hingga aku menyadari bahwasanya aku tidak akan bisa selamat dari beliau selamanya. Aku kumpulkan keberanian untuk berkata jujur.
Jujur Menyampaikan Kesalahan Tidak Ikut Berjihad Tanpa Udzur
Pada pagi harinya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam datang. Jika beliau datang dari safar, beliau memulai di masjid, shalat dua rakaat. Kemudian beliau duduk menunggu orang-orang. Dalam kondisi seperti itu datanglah orang-orang yang tertinggal (tidak ikut perang), mereka menyampaikan udzurnya dan bersumpah. Ada (sekitar) 80-an orang munafik. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menerima pengakuan mereka yang nampak secara zhahir dan membaiat mereka serta memohonkan ampunan untuk mereka. Beliau juga menyerahkan urusan batin mereka kepada Allah.
Hingga aku datang. Ketika aku mengucapkan salam, beliau tersenyum dengan senyum kemarahan. Kemudian beliau berkata: Mari ke sini. Aku pun datang berjalan hingga duduk di depan beliau. Nabi bertanya: Apa yang menyebabkan engkau tidak ikut perang? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?
Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya demi Allah kalau aku duduk di sisi orang selain anda dari kalangan ahli dunia, niscaya aku mampu untuk menghindar dari kemurkaannya karena aku pandai berdiplomasi. Namun aku demi Allah, sungguh Dia mengetahui bahwasanya seandainya aku menyampaikan berita hari ini dengan hal yang dusta, anda ridha kepada saya, niscaya dalam waktu dekat Allah akan membuat anda murka kepada saya. Jika saya jujur dalam berbicara kepada anda, anda mungkin merasa marah pada saya, namun saya benar-benar berharap akibat (baik) dari Allah. Demi Allah, saya tidak memiliki udzur. Kondisi saya tidak pernah lebih kuat dan lebih berkelapangan saat tertinggal tidak ikut berperang bersama anda tersebut.
Konsekuensi Kejujuran: Merasakan Pahit di Awal
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: << Adapun orang ini sungguh ia telah jujur. Bangkitlah hingga Allah memutuskan perkara tentangmu >>. Aku pun bangkit dan bangkit pula para lelaki dari Bani Salimah mengikuti aku. Mereka berkata kepadaku: Demi Allah, kami tidak mengetahui bahwasanya engkau melakukan suatu dosa sebelum ini. Mengapa engkau tidak menyampaikan udzurmu kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sebagaimana orang-orang lain yang tertinggal juga menyampaikan udzur. Cukup bagimu permohonan ampunan Rasulullah terhadap dosamu itu.
Demi Allah mereka terus mencelaku hingga sempat terbetik dalam pikiranku untuk kembali kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam guna meralat ucapanku. Kemudian aku berkata kepada mereka: Apakah ada orang lain yang seperti aku (jujur menyampaikan tidak adanya udzur)? Mereka berkata: Ya. Ada 2 orang laki-laki sepertimu. Mereka berdua juga berucap seperti ucapanmu. Kemudian dikatakan kepada mereka berdua seperti yang dikatakan kepadamu. Aku berkata: Siapa mereka berdua? Mereka berkata: Murooroh bin Robi’ah al-‘Aamiriy dan Hilal bin Umayyah al-Waqifiy. Mereka menyebutkan kepadaku 2 orang laki-laki shalih yang pernah ikut dalam perang Badr. Pada keduanya terdapat teladan yang baik. Aku pun terus mantap (untuk tetap jujur) ketika mereka menyebutkan dua orang itu kepadaku.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam Melarang Kaum Muslimin Berbicara dengan Kaab dan Dua Rekannya
Kemudian Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan kami bertiga yang tidak ikut berangkat perang (yang jujur tidak menyampaikan alasan/udzur). Manusia pun meninggalkan kami. Mereka berubah sikapnya terhadap kami hingga bumi ini terasa asing bagiku. Aku seperti berada di bumi yang tidak aku kenal. Kami mengalami hal itu selama 50 malam.
Kedua rekanku itu merasa hina dan duduk di rumahnya terus menangis. Adapun aku adalah yang paling muda dan paling kuat di antara kami bertiga. Aku masih keluar untuk hadir shalat (berjamaah di masjid), berkeliling di pasar-pasar, namun tidak ada seorang pun yang berbicara denganku.
Aku datang menemui Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengucapkan salam kepada beliau saat masih di posisi duduk beliau setelah shalat. Aku berkata dalam diriku: Apakah beliau menggerakkan kedua bibir beliau untuk menjawab salamku atau tidak. Kemudian aku sengaja shalat mengambil posisi dekat dengan beliau. Aku mencuri-curi pandang. Ketika selesai shalat, beliau sempat memandang ke arahku. Ketika aku menoleh ke arah beliau, beliau berpaling dariku.
Sikap Abu Qotadah, Orang yang Paling Dicintainya
Hingga berlangsung lama sikap kaku dari kaum muslimin terhadapku, aku berjalan dan menaiki dinding pembatas kebun Abu Qotadah. Ia adalah anak pamanku. Dia orang yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam kepadanya. Demi Allah, ia tidak menjawab salamku. Aku berkata kepadanya: Wahai Abu Qotadah, aku memintamu demi Allah (dan mengingatkanmu kepada Allah), bukankah engkau benar-benar mengetahui bahwasanya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya? Ia terdiam. Aku ulangi lagi meminta kepadanya dengan Allah. Ia hanya diam. Aku ulangi lagi meminta kepadanya dengan Allah. Kemudian dia berkata: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Aku pun menangis. Aku berpaling hingga menaiki dinding pagar kebunnya (untuk keluar).
Ujian Besar: Tawaran Menggiurkan dari Raja Kafir
Ketika aku sedang berjalan di pasar Madinah, ada seorang petani penduduk Syam yang datang dengan membawa makanan yang akan dijual di Madinah. Ia berkata: Siapa yang bisa menunjukkan mana Ka’ab bin Malik? Orang-orang pun menunjuk kepadaku. Hingga petani dari Syam itu datang dan menyerahkan surat dari raja Ghossaan. Aku adalah seorang yang bisa menulis sehingga bisa membacanya.
Ternyata isi suratnya adalah : Amma Ba’du. Telah sampai berita kepada kami bahwasanya sahabatmu (Rasulullah shollallahu alaihi wasallam) telah bersikap kaku terhadapmu (memboikotmu). Padahal Allah tidaklah menjadikan engkau berada di negeri yang hina ataupun tersia-siakan. Mari bergabung bersama kami, niscaya kami akan berbagi denganmu (memuliakanmu). Ketika selesai membacanya aku berkata: Ini adalah termasuk ujian juga. Aku pun menuju tungku api dan membakar surat itu.
Ujian Berikutnya: Diperintah untuk Menjauhi Istri Sendiri
Hingga saat berlangsung 40 malam dari total 50 malam, wahyu belum turun. Datang utusan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menemuiku. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memerintahkan kepadamu untuk menjauhi istrimu. Aku berkata: Apakah aku harus mentalaknya atau bagaimana? Utusan Rasulullah itu berkata: Tidak. Tapi menjauhlah darinya jangan sekali-kali mendekatinya. Kemudian utusan itu juga mendatangi dua rekanku dengan menyampaikan seperti itu. Aku berkata kepada istriku: Kembalilah kepada keluargamu, tetaplah di sisi mereka, hingga Allah memutuskan perkara ini.
Istri Hilal bin Umayyah datang menemui Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah adalah orang tua yang tidak terurus. Ia tidak memiliki pembantu (hamba sahaya). Apakah anda tidak suka jika aku (tetap) melayani dia? Nabi bersabda: Tidak. Namun, jangan sekali-kali ia mendekati engkau. Istri Hilal bin Umayyah berkata: Demi Allah, ia tidak punya keinginan apapun. Demi Allah, ia terus menerus menangis sejak keadaannya itu hingga saat ini.
Ka’ab bin Malik berkata: Sebagian keluargaku berkata kepadaku: Apakah tidak sebaiknya engkau meminta izin kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tentang istrimu. Bukankah Nabi telah memberi izin kepada istri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayani dia. Aku berkata: Aku tidak akan meminta izin dalam hal itu kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Apa nanti yang akan dikatakan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika aku meminta izin dalam hal itu, padahal aku seorang yang masih muda.
Jalan Keluar dari Allah di Malam ke-50
Kemudian aku melewati masa-masa itu 10 malam, sehingga genap menjadi 50 malam sejak kaum muslimin dilarang oleh Nabi untuk berbicara dengan kami. Kemudian aku shalat Subuh di pagi hari setelah malam ke-50 di atap rumahku.
Ketika aku duduk dalam kondisi seperti yang Allah Azza Wa Jalla sebutkan: dadaku telah sempit. Bumi yang luas terasa sempit.
Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari atas gunung. Ia berteriak: Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah. Aku pun tersungkur dalam sujud. Aku mengetahui bahwa itu berarti telah ada jalan keluar. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengumumkan bahwa Allah menerima tobat kami ketika selesai shalat Subuh. Orang-orang pun datang memberikan kabar gembira kepada kami.
Mereka pun mendatangi dua rekanku itu untuk memberikan kabar gembira. Ada yang bergegas dengan berkendara kuda. Ada pula seorang dari Aslam yang bergegas menuju aku. Ada pula yang naik gunung (dan berteriak). Suara tentunya lebih cepat (sampainya) daripada lari kuda.
Ketika datang kepadaku orang yang aku dengar suaranya memberikan kabar gembira kepadaku, aku melepas pakaianku untuk diberikan kepadanya karena ia telah menyampaikan kabar gembira kepadaku. Demi Allah, aku (baru tersadar) bahwa aku tidak punya pakaian lain saat itu. Aku pun meminjam 2 kain. Aku memakainya.
Aku berangkat menuju Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Orang-orang berdatangan menemui aku berkelompok kelompok. Mereka menyampaikan selamat atas diterimanya tobat(ku). Mereka berkata: Selamat atas penerimaan tobatmu oleh Allah. Hingga aku masuk masjid.
Kegembiraan Besar dalam Pertemuan dengan Nabi di Masjid
Ternyata Rasulullah shollallahu alaihi wasallam duduk di masjid. Di sekeliling beliau ada orang-orang. Bangkitlah Tholhah bin Ubaidillah berlari hingga menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak ada muhajirin lainnya yang bangkit selain dia. Karena itu Ka’ab tidak melupakan kejadian yang dilakukan Tholhah tersebut.
Ka’ab berkata: Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, wajah beliau bersinar gembira dan bersabda: << Bergembiralah dengan kebaikan hari yang melewatimu sejak engkau dilahirkan oleh ibumu >>. Aku berkata: Apakah ini dari anda wahai Rasulullah, ataukah dari Allah? Nabi bersabda: Bahkan ini dari sisi Allah. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika bergembira, wajah beliau bersinar, seakan-akan potongan rembulan. Kami mengetahui hal itu.
Akhir Manis dan Indah Sebuah Kejujuran
Ketika aku duduk di hadapan beliau aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya bagian dari tobatku adalah aku akan melepaskan sebagian dari hartaku untuk sedekah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya shollallahu alaihi wasallam. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: << Tahanlah sebagian hartamu, itu lebih baik bagimu >>. Aku pun berkata: Aku akan menahan bagianku yang di Khaibar. Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkan aku dengan kejujuran. Dan bagian dari perwujudan tobatku adalah aku tidak akan berbicara kecuali secara jujur selama sisa masa hidupku. Demi Allah, aku tidak mengetahui ada seorang muslim yang Allah uji karena kejujurannya sejak aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sampai hari ini dengan ujian yang lebih baik dibandingkan ujian Allah terhadapku. Demi Allah, aku tidak pernah menyengaja untuk berdusta sejak aku berkata demikian kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sampai hari ini. Aku pun berharap Allah menjagaku tetap demikian pada sisa usiaku. Kemudian Allah Azza Wa Jalla menurunkan (firman-Nya):
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (117) وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (118) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (119)
Sungguh Allah telah memberikan taufik kepada Nabi-Nya Muhammad shollallahu alaihi wasallam menuju inabah (dan taat kepada-Nya). Allah juga menerima tobat kaum muhajirin dan Anshar yang mengikuti beliau di masa-masa sulit (perang Tabuk) setelah hati sebagian kelompok menyimpang (ada keinginan untuk tidak ikut berperang). Kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Penyantun lagi Maha Penyayang (117) dan terhadap 3 orang yang ditangguhkan (tobatnya) hingga bumi yang luas terasa sempit bagi mereka dan diri mereka sendiri terasa sempit, namun mereka yakin bahwa tidak ada tempat berlindung dari Allah kecuali menuju Allah. Kemudian Allah memberi mereka taufik untuk bertobat sehingga merekapun bertobat dan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang (118) Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur (119)(Q.S atTaubah ayat 117-119)
Ka’ab berkata: Demi Allah tidak ada kenikmatan dari Allah kepadaku setelah Allah berikan hidayah aku kepada Islam yang lebih besar bagiku dibandingkan kejujuranku kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Sungguh suatu nikmat yang besar ketika aku tidak berdusta terhadap beliau sehingga aku binasa sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah berfirman kepada orang-orang yang dusta dengan ungkapan yang terburuk ketika Dia turunkan wahyu. Allah berfirman:
سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
Mereka akan bersumpah atas nama Allah kepada kalian jika kalian sudah kembali kepada mereka agar kalian berpaling terhadap mereka. Berpalinglah terhadap mereka, sesungguhnya mereka itu najis. Tempat kembali mereka di Jahannam sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka perbuat. Mereka bersumpah kepada kalian agar kalian ridha kepada mereka. Jika kalian ridha kepada mereka, sungguh Allah tidak ridha terhadap kaum fasik (Q.S atTaubah ayat 95-96)
Ka’ab berkata: Kami bertiga ditangguhkan dari urusan mereka itu. Mereka diterima (ucapannya) ketika bersumpah kepada beliau. Beliau pun membaiat mereka dan memohonkan ampunan (Allah) untuk mereka. Dan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menangguhkan urusan kami hingga Allah memberikan keputusan demikian. Allah Azza Wa Jalla berfirman:
وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا…
Dan kepada tiga orang yang ditangguhkan…(Q.S atTaubah ayat 118)
Allah menyebutkan takholluf (tertinggal atau ditangguhkan), bukanlah karena kami tertinggal dari perang, namun itu adalah penundaan dan penangguhan urusan kami terhadap orang-orang (munafik) yang sudah bersumpah dan meminta maaf kepada Nabi dan beliau menerimanya'.
===================
Beberapa pelajaran berharga yang bisa diambil dari hadits tobatnya Kaab bin Malik radhiyallahu anhu tersebut (dirangkum dari penjelasan para Ulama) di antaranya adalah:
Pertama: Bolehnya menceritakan keadaan diri sendiri di masa lalu yang kurang dalam menerapkan perintah agama, diiringi dengan penyebutan sebab dan akibatnya, agar menjadi pelajaran bagi orang lain.
Kedua: Keutamaan Sahabat Nabi Kaab bin Malik radhiyallahu anhu. Beliau adalah salah seorang yang ikut dalam Baiatul Aqobah, tidak pernah absen dalam pertempuran bersama Nabi kecuali pada perang Badr dan perang Tabuk. Penerimaan tobatnya diabadikan dalam alQuran oleh Allah Ta’ala dalam surah atTaubah.
Ketiga: Keutamaan Sahabat Nabi Hilal bin Umayyah dan Murooroh bin Robi’ah al-‘Aamiriy. Keduanya ikut dalam perang Badr. Penerimaan tobatnya diabadikan dalam alQuran oleh Allah Ta’ala dalam surah atTaubah.
Keempat: Keburukan sikap menunda-nunda. Membuat seseorang bisa terhalangi untuk mendapatkan kebaikan. Bahkan bisa membuatnya terjatuh dalam dosa.
Kelima: Jika pemimpin muslim memerintahkan kaum muslimin untuk keluar berjihad secara umum, wajib diikuti oleh setiap laki-laki dewasa yang mampu dan tidak memiliki udzur.
Keenam: Disyariatkannya menjauhi orang-orang yang melakukan dosa besar maupun kebid’ahan. Tidak terbatas hanya dalam batasan 3 hari. Hal itu jika dipandang adanya maslahat bagi diri orang yang menjauhinya ataupun pihak yang dijauhi.
Ketujuh: Disunnahkannya shalat sunnah dua rakaat di masjid saat baru tiba dari safar. Sebagaimana yang dilakukan Nabi sepulang dari perang Tabuk, beliau singgah di masjid untuk shalat sunnah dua rakaat terlebih dahulu kemudian duduk menunggu orang-orang datang.
Kedelapan: Kejujuran akan menghasilkan akibat akhir yang baik, meskipun mungkin pahit di awalnya. Sebaliknya, kedustaan akan mengantarkan pada akibat akhir yang buruk, meskipun seakan-akan manis di awal. Tiga Sahabat Nabi tersebut bersikap jujur, sehingga mereka mendapat kemurkaan dari Nabi dan tidak diajak bicara oleh kaum muslimin dalam waktu 50 malam. Itu terasa pahit di awal. Namun, hasil akhirnya adalah kebaikan yang terus berlangsung, diabadikan dalam alQuran. Sebaliknya, orang-orang munafik itu berdusta sehingga tidak mendapat hukuman di awal. Namun mereka mendapatkan celaan yang diabadikan dalam alQuran.
Kesembilan : Menetapkan hukum di dunia berdasarkan yang nampak secara zhahir. Sebagaimana Nabi menerima pernyataan secara zhahir dari orang-orang munafik itu, tanpa harus menduga hal yang tersimpan dalam hatinya.
Kesepuluh: Nabi tidak mengetahui hal yang ghaib. Beliau tidak bisa membaca isi hati manusia, kecuali yang diberitahukan oleh Allah Taala.
Kesebelas: Nabi adalah manusia yang paling sempurna secara kemampuan fisik maupun akhlaknya. Penglihatan beliau sangat tajam. Saat berada di Tabuk, dari kejauhan beliau melihat sosok yang masih belum terlihat dalam pandangan kebanyakan orang, tapi beliau sudah bisa menebak bahwa itu Abu Khoytsamah.
Keduabelas : Ketundukan para Sahabat dalam menjalankan perintah Nabi. Para Sahabat bersegera menjalankan perintah Nabi untuk tidak berbicara kepada 3 Sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabuk itu, meskipun mereka adalah orang-orang dekatnya. Seperti Abu Qotadah yang sangat dekat dengan Kaab bin Malik, tidak mau berbicara sepatah katapun dengannya, kecuali setelah didesak dengan menyebut Nama Allah 3 kali. Itupun sekedar menyatakan: Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Tidak lebih dari itu.
Ketigabelas : Memusnahkan media yang bisa menyeret seseorang terjatuh dalam dosa. Ajakan dari raja Ghossan kafir saat Kaab dijauhi Nabi dan para Sahabat lain adalah suatu ujian. Suratnya kemudian dibakar agar tidak ada celah lagi dalam mengikuti tawaran itu.
Keempatbelas : Bagian dari bentuk tobat adalah penyesalan yang sebenar-benarnya. Hilal bin Umayyah dan Murooroh bin Robi’ah al-‘Aamiriy demikian larut dalam kesedihan dan penyesalan sebagai bentuk kesungguhan tobatnya. Terus menangis di rumahnya.
Kelimabelas: Pernyataan seorang suami pada istrinya: “Pulanglah ke rumah orangtuamu” tidaklah selalu bermakna talak. Tergantung apa yang diniatkan suami kepada istrinya saat mengucapkan hal itu. Kaab bin Malik menyuruh istrinya untuk tinggal sementara bersama orangtuanya sampai Allah menetapkan keputusannya. Hal itu tidaklah bermakna talak.
Keenambelas: Dianjurkannya bersedekah sebagai bentuk tobat. Sebagaimana Kaab bin Malik menyedekahkan hartanya sebagai bentuk tobat yang disetujui oleh Nabi. Namun Nabi mengarahkan agar jangan semua hartanya disedekahkan. Kemudian Kaab menahan hartanya yang diterima dalam perang Khaibar, tidak termasuk yang disedekahkan.
Ketujuhbelas: Meyakini bahwa tidak ada jalan lain untuk menghindar dari kemurkaan Allah kecuali dengan inabah (kembali) kepada Allah Ta’ala.
Kedelapanbelas: Disukainya menyampaikan kabar gembira kepada seorang muslim. Para Sahabat Nabi berlomba-lomba menyampaikan kabar gembira diterimanya tobat ketiga Sahabat itu selepas Nabi mengumumkannya selepas shalat Subuh setelah malam ke-50.
Kesembilanbelas: Bolehnya berdiri untuk menghampiri seseorang yang baru datang kemudian menjabat tangannya, sebagaimana yang dilakukan Sahabat Nabi Tholhah bin Ubaidillah terhadap Kaab bin Malik.
Keduapuluh: Tobat yang dilakukan seseorang adalah taufik dari Allah Ta’ala.
Keduapuluh satu: Jika Allah menerima tobat seseorang, itu suatu anugerah yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Nabi menyebut bahwa hari saat Allah menerima tobat Kaab bin Malik sebagai hari terbaik baginya sejak ia dilahirkan.
(Abu Utsman Kharisman)
WA al I’tishom