shalat

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum shalat tahiyatul masjid

بسم الله الرحمن الرحيم . HUKUM SHALAT TAHIYATUL MASJID Shalat tahiyyatul masjid pada hakikatnya terjadi silang pendapat dikalangan fuqaha'(ulama fiqih) , Akan tetapi sekumpulan fuqaha' berpandangan tidak ada perselisihan tentang disunnahkannya tahiyyatul masjid, ini adalah pendapat imam 4 (Assyafi'i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah) demikian pula ini pendapat Ibnu Hazm adz-Dzahiri, diantara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah: Hadits dari sahabat Abu qatadah yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya: إذا دخل أحدكم المسجد فليركع ركعتين قبل أن يجلس "Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum duduk"  Al Imam adz Dzahabi rahimahullah mengatakan didalam kitabnya Tadzkiratul Huffadz : هذا حديث صحيح متفق على أن الأمر فيه أمر الندب Ini adalah hadits yang shahih yang disepakati bahwa perintah disini adalah bermakna anjuran. Dan juga hadits Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu , جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم : اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ  Seorang laki-laki datang pada hari Jumat lalu melangkahi punggung-punggung jamaah yang sedang duduk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda, Duduklah! Sungguh engkau telah mengganggu (menyakiti)  Berkata ulama :  Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak memerintahkannya untuk shalat, kalau seandainya hukumnya wajib beliau tidak akan mengatakan اِجْلِسْ (  Duduklah) tentu beliau akan memerintahkan shalat terlebih dahulu, Dan juga diantara dalilnya adalah hadits ka'ab Ibnu Malik, Kisahnya yang masyhur di dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim, ketika beliau datang kemasjid ingin menemui Rasulullah dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melihatnya tersenyum marah, kemudian memanggil nya dan memerintahkannya duduk, kemudian menanyainya : apa yang membuat engkau tertinggal dari berperang? Berkata ulama: Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak memerintahkannya untuk shalat sebagaimana yang beliau perintahkan kepada sahabat yang lain , dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak mengingkari duduknya. Oleh karena ini Ibnu Abi Syaibah Rahimahullah menyebutkan atsar dari Zaid Ibnu Aslam al'adawiy (Aslam ini Adalah bekas budak 'umar Radhiyallahu anhu) Zaid ini adalah salah seorang alim, Faqih, termasuk ahli tafsir Al-Quran dan dia menjumpai sahabat-sahabat yang kecil, dia mengatakan: "dahulu sahabat nabi shalallahu alaihi wasallam masuk masjid kemudian keluar dan tidak melakukan shalat (tahiyyatul masjid) dan saya melihat Ibnu Umar melakukannya". Ini diantara dalil dalil yang mengatakan hukumnya adalah Sunnah,  dan mereka menguatkan bahwa dalam hal ini  ada yang menukil ijma' (kesepakatan para ulama) tentang Sunnahnya tahiyyatul masjid, diantara ulama yang menyebutkan ijma': Ibnu Abdil Barr di dalam at Tamhid, Ibnu Bathtal didalam Syarh Shahih al-Bukhari, al Qhadiy Iyadh dalam Syarhnya Muslim, al Ikmal, al Qurthubiy dalam syarhnya Shahih Muslim, an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Ibnu Rajab dan Ibnu hajar dalam Fathul bari mereka, dan al'aini dalam syarh sunan Abi Dawud. Yang menyelisihi pendapat ini bisa dihitung dan mereka dikenal, Yang dikepalai oleh Daud adz Dzhahiriy ia berpendapat tahiyyatul masjid hukumnya adalah wajib bagi orang yang masuk masjid dan ingin duduk, dan mengikutinya al Khaththabiy, ash Shan'aniy, asy Syaukaniy dan assyaikh al-Albaniy rahimahumullah. mereka berdalil dengan dzhahir perintah dalam hadits Dan hadits yang disebutkan tentang seseorang yang masuk masjid dihari Jum'at maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata kepadanya (dalam keadaan beliau sedang berkhutbah) apakah engkau sudah shalat. Maka dia menjawab: belum maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkannya shalat, hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dan disebutkan secara jelas didalam riwayat Muslim bahwa namanya adalah sulaik alghatafani, Akan tetapi para ulama menjawab: bahwa perintah disini (didalam hadits diatas) adalah perintah yang bentuknya anjuran, Bukan pengharusan, maknanya : ini adalah yang paling sempurna dan Afdhal (jika dia shalat, maka Afdhal) Pendapat yang benar adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama) yaitu hukumnya adalah Sunnah bagi yang mengatakan terjadi perselisihan , Padahal bisa kita katakan : yang menyelisihi pendapat ini telah didahului ijma' (kesepakatan ulama tentang Sunnahnya tahiyyatul masjid) Adapun yang berpendapat wajib yang paling puncak dari mereka adalah Daud adzdzhahiriy kemudian diikuti orang-orang yang setelahnya seperti alkhaththabiy di akhir kurun ke empat, ashshan'aniy dan  asysyaukaniy di kurun ke 12 dan 13. Faidah dari dars assyaikh Arafat Ibnu Hasan almuhammadi. Dalam rekaman beliau : http://bit.ly/2BIiLTQ Abu Fudhail Abdurrahman Ibnu 'umar غفر الله له Website: Salafycurup.com Telegram.me/salafycurup Hukum Shalat Tahiyatul Masjid via Pexels JANGAN TINGGALKAN SHALAT TAHIYATUL MASJID Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah Orang-orang masuk ke dalam masjid di waktu yang terlarang (untuk shalat tanpa sebab, pen.), kemudian mereka duduk di tembok atau dinding yang mana mereka bersandar padanya. Apakah perbuatan mereka teranggap sebagai duduk ataukah bukan? Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh, sebagian ikhwah dari mu`adzin (yang mengumandangkan adzan, pen.) maupun dari makmum datang ke masjid menjelang waktu tenggelamnya matahari dan ia tidak shalat tahiyyah (yakni tahiyyatul masjid, pen.). Maka ia duduk di tembok atau dinding yang mana ia bersandar padanya seraya berkata, “Sesungguhnya ini bukanlah duduk karena bukan di lantai (bumi) dan yang seperti ini tidak didapati di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam”, ia melakukan itu dengan maksud menjauhi dosa. Maka bagaimana arahanmu (ya Syaikh)? Jawaban: Arahanku, sesungguhnya aku memohon kepada Allah agar melindungiku, melindunginya, dan juga melindungi orang-orang yang mendengar ini dari syaitan yang terkutuk. Subhanallah! (Apakah) keadaan seorang mukmin sampai seperti ini?! Ia duduk di tembok atau dinding bersandar padanya dan tidak shalat (tahiyyatul masjid, pen.) dalam keadaan ia mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian masuk ke dalam masjid, maka janganlah ia duduk hingga ia shalat dua rakaat”. Dan pernyataannya “Sesungguhnya ini bukanlah duduk” maka ini dari khayal/fantasi syaitan. Jika kita katakan “ini bukanlah duduk” maka artinya semua orang yang duduk di kursi bukan termasuk orang yang duduk. Kemudian anggaplah yang seperti itu bukan duduk, maka diamnya engkau tanpa shalat merupakan sebuah kehilangan. Dan agar diketahui semua bahwa umur manusia dan pemanfaatannya di dunia ini adalah apa yang dilaluinya dalam ketaatan kepada Allah. Dan aku katakan kepada orang tersebut sebagai nasihat karena Allah: Janganlah syaithan mempermainkanmu, shalatlah (tahiyyatul masjid, pen.). Jika engkau tidak mampu untuk shalat dengan berdiri, maka duduklah di tembok atau dinding itu (dan shalatlah sambil duduk, pen.), dan ketika ruku’ maka berdiri dan ruku’-lah, hingga kemudian sujud seperti yang engkau lakukan di shalat-shalat yang lain. Dan manfaatkanlah waktu karena waktu berlalu dengan cepat dan umur akan hilang semua. Dan aku katakan: Sungguh perbuatannya itu merupakan kemaksiatan kepada Rasulullah ‘alaihish shalatu wa sallam karena semua orang mengetahui bahwa orang tersebut telah duduk, dan tidak ada yang menyangsikannya dalam hal ini. Maka bagaimana ia membuat dirinya keliru dan mengatakan bahwasanya itu bukanlah duduk? Sumber: Silsilah Al-Liqa` Asy-Syahri > Al-Liqa` Asy-Syahri [56] http://forumsalafy.net/jangan-tinggalkan-shalat-tahiyatul-masjid/ BACA: TUNTUNAN SHALAT TAHIYATUL MASJID
7 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

menjamak shalat sebelum berangkat safar, bolehkah?

TIDAK MENJAMAK SHOLAT SEBELUM BERANGKAT SAFAR, KECUALI JIKA KONDISI YANG MENYULITKAN Salah satu kemudahan yang Allah berikan kepada seorang musafir adalah kebolehan menjamak sholat, menggabungkan 2 sholat dalam satu waktu, yaitu Dzhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Namun, kemudahan ini baru boleh dilakukan saat seseorang sudah meninggalkan daerah mukimnya atau dalam perjalanan safar. Saat seorang masih berada di rumah kediamannya saat mukim, secara asal menjamak sholat belum boleh dilakukan. Di antara beberapa hadits tentang kebolehan menjamak sholat saat safar adalah hadits-hadits berikut ini: عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي السَّفَرِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلُ وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا Dari Anas –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam jika ingin menjamak dua sholat dalam safar, beliau mengakhirkan waktu Dzhuhur hingga masuk waktu Ashar kemudian menjamak di antara keduanya (H.R Muslim) عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ ذَلِكَ إِنْ غَابَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا Dari Muadz bin Jabal -semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ketika berada pada pertempuran Tabuk, jika matahari tergelincir sebelum beliau pergi, beliau menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar. Jika beliau pergi sebelum tergelincir matahari beliau mengakhirkan Dzhuhur hingga beliau turun di waktu Ashar. Dan pada waktu Maghrib juga seperti itu. Jika matahari terbenam sebelum beliau pergi, beliau menjamak antara Maghrib dan Isya. Jika beliau pergi sebelum matahari tenggelam, beliau mengakhirkan Maghrib hingga turun di waktu Isya’, kemudian menjamak keduanya (H.R Abu Dawud) Keringanan menjamak sholat tersebut adalah karena safar. Barulah boleh dilakukan saat sudah menyandang predikat sebagai musafir. Atau, ia sudah dalam proses perjalanan meninggalkan bangunan-bangunan yang ada dalam wilayah mukimnya. Saat itu ia sudah boleh menqoshor maupun menjamak sholat. Sebagaimana Nabi shollallahu alaihi wasallam dan Umar bin al-Khoththob mulai mengqoshor sholat dan mengambil keringanan-keringanan safar saat sudah meninggalkan bangunan-bangunan di wilayah mukimnya. Pada saat itu, jika perjalanan sudah menempuh sekitar 3 mil, sudah terpisah dari pemukiman di wilayah mukimnya. Satu mil jika dikonversikan dalam meter adalah sekitar 1.600 meter atau 1,6 km (Taudhihul Ahkam syarh Bulughil Maram karya Syaikh Abdullah al-Bassam (2/539)). Sehingga, setidaknya saat sudah menempuh 3 mil atau sekitar 4,8 km dari kediaman mukimnya, seseorang sudah boleh melakukan keringanan-keringanan dalam safar. عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ‏ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ‏ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ‏قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ‏كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ‏ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ‏ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ (شَكَّ شعبة) صَلَّى رَكْعَتَيْنِ Dari Yahya bin Yazid al-Hanaa-i beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqoshor dalam sholat. Beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika keluar sejarak 3 mil atau 3 farsakh – keraguan pada perawi bernama Syu’bah- beliau sholat 2 rokaat” (H.R Muslim) عَنِ اللَّجْلاَجِ, قَالَ : كُنَّا ‎نُسَافِرُ مَعَ عُمَرَ بْنِ ‏الْخَطَّابِ فَيَسِيرُ ثَلاَثَةَ ‏أَمْيَالٍ فَيَتَجَوَّزُ فِي ‎الصَّلاَة وَيَفْطُرُ Dari al-Lajlaaj beliau berkata: Kami pernah safar bersama Umar bin al-Khottob. Beliau melakukan perjalanan sejauh 3 mil mengqoshor sholat dan berbuka” (riwayat Ibnu Abi Syaibah no 8221 juz 2 halaman 445) Namun, jika seseorang masih berada di tempat kediamannya, atau masjid yang dekat dengan rumah tempatnya bermukim, ia masih hendak akan berangkat safar, belum boleh melakukan keringanan-keringanan yang dilakukan musafir, termasuk menjamak sholat. Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daaimah nomor 8136 disebutkan tentang hal itu. Terjemahan fatwanya adalah sebagai berikut: Pertanyaan: “Ada seseorang yang hendak safar, ia masih berada di tempat tinggalnya. Bolehkah bagi dia untuk menjamak sholat Dzhuhur dengan Ashar tanpa qoshor? Dalam keadaan ia tidak bisa sholat Ashar hingga sampainya ia di tempat yang dituju bersamaan dengan masuknya waktu Maghrib (di sana)?” Jawaban al-Lajnah adDaimah: Tidak boleh menjamak sholat Ashar dengan Dzhuhur atau Isya dengan Maghrib bagi orang yang berniat safar selama ia masih berada di tempat tinggalnya, belum mulai melakukan perjalanan (safar). Karena belum adanya kondisi yang memperbolehkannya untuk menjamak, yaitu safar. Namun, keringanan dalam mengqoshor dan menjamak (sholat) adalah saat ia sudah meninggalkan (deretan) pemukiman tempat tinggalnya (Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah (8/107)) Demikianlah keadaan secara asal. Tidak boleh menjamak sholat jika ia belum menjadi musafir. Namun, apabila dirasa kesulitan bagi seseorang yang mukim (hendak safar) kalau tidak menjamak sholatnya, boleh bagi dia menjamak saat masih di kediaman tempat tinggalnya. Hal itu khusus dalam kondisi yang menyulitkan. Ia menjamak sholat bukan karena sebagai musafir, namun sebagai mukim yang mengalami kesulitan melakukan sholat masing-masing pada waktunya. Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah menjamak sholat di Madinah bukan karena takut dan juga bukan karena hujan: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ Dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya di Madinah bukan karena takut, dan juga bukan karena hujan. Dalam hadits Waki’ dinyatakan: Aku (Said bin Jubair) berkata kepada Ibnu Abbas: Mengapa Nabi melakukan hal itu? Ibnu Abbas berkata: Agar tidak memberatkan umatnya (H.R Muslim) Ada pertanyaan kepada Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah bagi seorang yang hendak safar dan dirasa menyulitkan jika ia melakukan sholat di pesawat dalam perjalanan yang panjang. Beliau membolehkan menjamak sholat sebelum berangkat safar karena sebab kesulitan itu. Bukan karena keringanan dalam safar. Berikut ini terjemahan fatwa beliau: Pertanyaan : Seseorang yang hendak safar perjalanan udara jauh, bolehkah menjamak Ashar dengan Dzhuhur dengan jamak taqdim di negerinya untuk menghindarkan kesulitan sholat di pesawat karena sulitnya tempat pelaksanaan sholat, atau kesulitan menghadap kiblat, atau karena gangguan kegaduhan atau guncangan dalam pesawat, dan semisalnya? Jawaban Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah: Ya, hal itu diperbolehkan. Namun ia menjamak saja tanpa mengqoshor. Karena sebab kesulitan. Bukan karena sebab safar. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkhutbah di hadapan manusia sejak Ashar. Telah terbenam matahari dan telah nampak bintang-bintang, ada yang mengatakan: (mari menegakkan) sholat... Ibnu Abbas berkata: Aku lebih tahu tentang hal itu dibandingkan engkau. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya di Madinah bukan karena takut, tidak pula karena hujan. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas: Mengapa beliau melakukan hal itu? Ibnu Abbas menyatakan: Agar tidak menyulitkan umatnya (Tsamarootut Tadwiin min Masaail Ibn Utsaimin yang disusun Dr. Ahmad bin Abdirrahman al-Qodhiy(1/40)) Catatan: Pada buku “Fiqh Bersuci dan Sholat” yang saya tulis di cetakan pertama, dalam Bab Sholat Musafir saya menjelaskan bolehnya menjamak sholat saat akan berangkat safar berdasarkan hadits Muadz di atas. Padahal sebenarnya hadits itu menjelaskan kondisi Nabi saat safar di Tabuk. Penjelasan tersebut adalah suatu kesalahan yang saya bertaubat kepada Allah Ta’ala tentang hal itu, dan tulisan ini adalah sekaligus sebagai ralat dari penjelasan di buku itu. (Abu Utsman Kharisman) WA al I'tishom Foto : Car Dashboard | Sumber: Pixabay
7 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Unknown

adakah shalat & puasa pengganti bagi yang meninggalkan secara sengaja?

ADAKAH SHOLAT (DAN PUASA) PENGGANTI BAGI YANG PERNAH MENINGGALKANNYA DENGAN SENGAJA ? Imam Muhammad bin Sholih alUtsaimin rahimahullah pernah ditanya: "Apakah boleh mengganti sholat yang telah terlewatkan?" Maka beliau menjawab: "Apabila anda melewatkan sholat karena udzur seperti karena lupa dan tertidur yang demikian ini diganti (qodho') berdasarkan sabda Nabi sholallallahu 'alaihi wasallam: ﻣﻦ ﻧﺴﻲ ﺻﻼﺓً ﺃﻭ ﻧﺎﻡ ﻋﻨﻬﺎ ﻓﻠْﻴﺼﻠﻬﺎ ﺣﻴﻦ ﻳﺬﻛﺮﻫﺎ ﻻ ﻛﻔﺎﺭﺓ ﻟﻬﺎ ﺇﻻ ﺫﻟﻚ Barang siapa yang lupa belum sholat atau tertidur (sehingga belum mengerjakannya), hendaklah dia mengerjakan sholat tersebut (segera) ketika mengingatnya. Tidak ada tebusan lain selain itu Adapun jika dia meninggalkan sholat dengan sengaja sampai melewati (batas) waktunya tanpa udzur maka walaupun dia berusaha mengganti seribu kali, tidak berguna baginya. Karena jika dia menunda pelaksanaannya secara sengaja tanpa udzur dan kemudian dia mengganti sholatnya setelah keluar dari batas waktunya berarti dia telah melakukan amalan yang tidak berlandaskan perintah Allah tidak pula Rasul-Nya, sehingga tertolaklah. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﻋﻤﻼ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺩ Siapapun yang beramal dengan suatu amal (ibadah) yang tidak dilandasi perintah kami, akan tertolak Sehingga dalam kondisi demikian tidak perlu diqodho' sholat yang terlewatkan, namun justru harus memperbaiki amalan dan berusaha istiqomah, serta memperbanyak amal sholeh . Semoga Allah menerima taubatnya." Sumber: Nurun 'ala adDarb Rekaman no. 108 ———— ———— ———— ﺳﺌﻞ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻌﺜﻴﻤﻴﻦ : ﻫﻞ ﻳﺠﻮﺯ ﻗﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺇﺫﺍ ﻓﺎﺗﺖ ؟ ﻓﺄﺟﺎﺏ - ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ - : ﺇﺫﺍ ﻓﺎﺗﺘﻚ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻟﻌﺬﺭ ﻛﺎﻟﻨﺴﻴﺎﻥ ﻭﺍﻟﻨﻮﻡ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻘﻀﻴﻬﺎ ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : } ﻣﻦ ﻧﺴﻲ ﺻﻼﺓً ﺃﻭ ﻧﺎﻡ ﻋﻨﻬﺎ ﻓﻠْﻴﺼﻠﻬﺎ ﺣﻴﻦ ﻳﺬﻛﺮﻫﺎ ﻻ ﻛﻔﺎﺭﺓ ﻟﻬﺎ ﺇﻻ ﺫﻟﻚ { ﻭﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﺗﺮﻛﻬﺎ ﻋﻤﺪﺍً ﺣﺘﻰ ﺧﺮﺝ ﻭﻗﺘﻬﺎ ﺑﻼ ﻋﺬﺭ ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻮ ﻗﻀﺎﻫﺎ ﺃﻟﻒ ﻣﺮﺓ ﻟﻢ ﺗﻨﻔﻌﻪ ، ﻷﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺃﺧﺮﻫﺎ ﻋﻤﺪﺍً ﺑﻼ ﻋﺬﺭ ﻭﺻﻼﻫﺎ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻮﻗﺖ ﻓﻘﺪ ﻋﻤﻞ ﻋﻤﻼ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻻ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﻣﺮﺩﻭﺩﺍً ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : } ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﻋﻤﻼ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺩ { ﻭﺣﻴﻨﺌﺬ ﻻ ﻳﻘﻀﻲ ﻣﺎ ﻓﺎﺗﻪ ﻋﻤﺪﺍً ، ﻭﻟﻜﻦ ﻳﺼﻠﺢ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﻭﻳﺴﺘﻘﻴﻢ ، ﻭﻳﻜﺜﺮ ﻣﻦ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﺔ ، ﻭﻟﻌﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺘﻮﺏ ﻋﻠﻴﻪ . ﻧﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﺭﺏ / ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﻌﺜﻴﻤﻴﻦ / ﺷﺮﻳﻂ ﺭﻗﻢ : ‏( 108 ‏) ====================== Dalam kesempatan lain, beliau juga berfatwa dengan makna senada, rahimahullah Ketika beliau ditanya: "Apabila tidak diperbolehkan qodho' bagi yang pernah meninggalkan sholat dengan sengaja, lalu apa yang mesti dilakukannya?" Maka beliau rahimahullah menjawab: "Bertaubat kepada Allah. Karena sesungguhnya taubat anda dari dosa-dosa menghapuskan yang terjadi sebelumnya. Demikian pula taubat anda dari meninggalkan sholat, akan menghapuskan yang telah terjadi sebelumnya. Dan semoga Allah mengampuni anda dengan taubat ini. Berdasarkan firman Allah tabaroka wata'ala : ﻗُﻞْ ﻳَﺎ ﻋِﺒَﺎﺩِﻱَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃَﺳْﺮَﻓُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰٰ ﺃَﻧﻔُﺴِﻬِﻢْ ﻟَﺎ ﺗَﻘْﻨَﻄُﻮﺍ ﻣِﻦ ﺭَّﺣْﻤَﺔِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ۚ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﻐْﻔِﺮُ ﺍﻟﺬُّﻧُﻮﺏَ ﺟَﻤِﻴﻌًﺎ ۚ ﺇِﻧَّﻪُ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻐَﻔُﻮﺭُ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢُ Katakanlah: "Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . Berdasarkan hal ini maka tidak perlu mengganti (qodho') yang pernah ditinggalkan (secara sengaja tanpa udzur) dari sholat ataupun puasa di masa lalu. Namun (dia ganti) dengan memperbanyak amal sholeh dan istighfar serta taubat, niscaya Allah menerima taubat orang yang bertaubat." Sumber: Nurun 'ala adDarb Rekaman no. 172 ———— ———— ———— ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻤﻦ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻤﺪﺍً ﺃﻥ ﻳﻘﻀﻴﻬﺎ ﻓﻤﺎﺫﺍ ﻋﻠﻴﻪ ؟ ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ : ﻳﺘﻮﺏ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ؛ ﻓﺈﻥ ﺗﻮﺑﺘﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻧﻮﺏ ﺗـﺠُﺐُّ ﻣﺎ ﻗﺒﻠﻬﺎ ، ﻭﺗﻮﺑﺘﻚ ﻣﻦ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺗﺠﺐ ﻣﺎ ﻗﺒﻠﻬﺎ ، ﻭﻳﻌﻔﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻚ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ؛ ﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﻗﻞ ﻳﺎ ﻋﺒﺎﺩﻱ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺃﺳﺮﻓﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻻ ﺗﻘﻨﻄﻮﺍ ﻣﻦ ﺭﺣﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻐﻔﺮ ﺍﻟﺬﻧﻮﺏ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﺇﻧﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﻐﻔﻮﺭ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ { ﻭﺑﻨﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﻠﺰﻣﻪ ﻗﻀﺎﺀ ﻣﺎ ﺗﺮﻛﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﻴﻤﺎ ﻣﻀﻰ ، ﻟﻜﻦ ﻳﻜﺜﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﻭﺍﻻﺳﺘﻐﻔﺎﺭ ﻭﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ، ﻭﻳ ﺘﻮﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺗﺎﺏ . ﻧﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺪﺭﺏ / ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺍﻟﻌﺜﻴﻤﻴﻦ / ﺷﺮﻳﻂ ﺭﻗﻢ : ‏( 172 ‏) . ======================= Bimbingan fatwa al Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albaniy rahimahullah menambahkan faidah bahwa sholat sunnah akan menambal kekurangan pada sholat fardhu. Berkata Imam alAlbaniy rahimahullah : "Telah bersabda 'alaihishsholatu wassalam : ﺃﻭﻝ ﻣﺎ ﻳﺤﺎﺳﺐ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ، ﻓﺈﻥ ﺗﻤﺖ ﻓﻘﺪ ﺃﻓﻠﺢ ﻭﺃﻧﺠﺢ ، ﻭﺇﻥ ﻧﻘﺼﺖ ﻓﻘﺪ ﺧﺎﺏ ﻭﺧﺴﺮ Pertama kali yang akan diperhitungkan (hisabnya dari) seorang hamba pada hari kiamat adalah sholat, jika lengkap (sholatnya) sungguh dia berhasil dan selamat, namun jika ada kekurangan sungguh dia celaka dan rugi . Dan hadits lainnya: ﻭﺇﻥ ﻧﻘﺼﺖ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻤﻼﺋﻜﺘﻪ : ﺍﻧﻈﺮﻭﺍ ﻫﻞ ﻟﻌﺒﺪﻱ ﻣﻦ ﺗﻄﻮﻉ ﻓﺘﺘﻤﻮﺍ ﻟﻪ ﺑﻪ ﻓﺮﻳﻀﺘﻪ Jika ada kekurangan (pada sholatnya) Allah berfirman (memerintahkan) kepada para malaikat-Nya: "Hendaklah kalin memeriksa, apakah hambaku memiliki tambahan (sholat sunnah) sehingga bisa digenapkan dengan itu (sholat) fardhunya!" Sedangkan kekurangan itu ada dua. - Jumlahnya kurang, atau - Caranya yang kurang (sempurna). Maka sama saja apakah kekurangan yang terjadi secara jumlah maupun cara penunaiannya maka sholat (sunnah) tathowwu' akan melengkapinya. Sehingga karena itu, cara memperbaiki kesalahan meninggalkan sholat dan bertaubat dari meninggalkannya bukanlah dengan kita memerintahkannya agar beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh-Nya." Sumber: Silsilah alHuda wanNur bersama al Imam alAlbani, Rekaman no. 146 ———— ———— ———— ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ - ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ - : ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : } ﺃﻭﻝ ﻣﺎ ﻳﺤﺎﺳﺐ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ، ﻓﺈﻥ ﺗﻤﺖ ﻓﻘﺪ ﺃﻓﻠﺢ ﻭﺃﻧﺠﺢ ، ﻭﺇﻥ ﻧﻘﺼﺖ ﻓﻘﺪ ﺧﺎﺏ ﻭﺧﺴﺮ { ﻭﺣﺪﻳﺚ ﺁﺧﺮ : } ﻭﺇﻥ ﻧﻘﺼﺖ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻤﻼﺋﻜﺘﻪ : ﺍﻧﻈﺮﻭﺍ ﻫﻞ ﻟﻌﺒﺪﻱ ﻣﻦ ﺗﻄﻮﻉ ﻓﺘﺘﻤﻮﺍ ﻟﻪ ﺑﻪ ﻓﺮﻳﻀﺘﻪ { . ﻭﺍﻟﻨﻘﺺ ﻧﻮﻋﺎﻥ : ﻧﻘﺺ ﻛﻢ ، ﻭﻧﻘﺺ ﻛﻴﻒ . ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﻘﺺ ﻛﻤﺎً ﺃﻭ ﻛﺎﻥ ﻛﻴﻔﺎً ﻓﺎﻹﺗﻤﺎﻡ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻄﻮﻉ ، ﻟﺬﻟﻚ ﻓﻤﻌﺎﻟﺠﺔ ﺧﻄﺄ ﺍﻟﺘﺎﺭﻛﻴﻦ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺘﺎﺋﺒﻴﻦ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺮﻙ ﻟﻴﺲ ﺑﺄﻥ ﻧﺄﻣﺮﻫﻢ ﺑﺄﻥ ﻳﺘﻌﺒﺪﻭﺍ ﻟﻠﻪ ﺑﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﺸﺮﻉ . ﺳﻠﺴﻠﺔ ﺍﻟﻬﺪﻯ ﻭﺍﻟﻨﻮﺭ / ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺍﻷﻟﺒﺎﻧﻲ / ﺷﺮﻳﻂ ﺭﻗﻢ / ‏( 146 ‏) ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ http://www.albaidha.net/vb4/showthread.php?t=10757 =========================== روى ﻣﺴﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : " ﻣﻦ ﺩﻝّ ﻋﻠﻰ ﺧﻴﺮ ﻓﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﺮ ﻓﺎﻋﻠﻪ ." Imam Muslim bersama ahli hadits lainnya meriwayatkan dari hadits Abu Mas'ud alAnshoriy, Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda: [[Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan dia berhak memperoleh pahala sebagaimana pelakunya]] Mari tebarkan kebaikan ilmu, agar kebaikannya bermanfaat bagi diri kita dan orang-orang yang diharapkan kebaikan bagi mereka. ••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• 📝 t.me/hikmahfatwaislam https://pixabay.com/en/soap-bubble-huge-large-2403673/
7 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kesalahan fatal dalam takbiratul ihram

KESALAHAN FATAL DALAM MEMBACA TAKBIR Penting bagi imam, mu'adzdzin maupun kita yang sholat sendiri maupun sebagai makmum untuk memperhatikan bacaan takbir. Terutama takbir pembuka sholat yang diistilahkan dengan takbirotul ihrom, sangat perlu berhati-hati dari kesalahan bacaan yang bisa mengubah makna. Akibat salah dalam bacaan yang mengubah makna disebutkan ulama dapat menjadikan sholat seseorang tidak sah. Alhafidz Abu Zakariyya Yahya bin Syarof anNawawi rahimahullah menjelaskan dalam kitab alAdzkar juz 1 hal 66: ﻭﻟﻴﺤﺮﺹ ﻋﻠﻰ ﺗﺼﺤﻴﺢ ﺍﻟﺘﻜﺒﻴﺮ، ﻓﻼ ﻳﻤﺪّ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻣﻮﺿﻌﻪ، ﻓﺈﻥ ﻣﺪّ ﺍﻟﻬﻤﺰﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﻠّﻪ، ﺃﻭ ﺃﺷﺒﻊ ﻓﺘﺤﺔ ﺍﻟﺒﺎﺀ ﻣﻦ ﺃﻛﺒﺮ ﺑﺤﻴﺚ ﺻﺎﺭﺕ ﻋﻠﻰ ﻟﻔﻆ ﺃﻛﺒﺎﺭ ﻟﻢ ﺗﺼﺢّ ﺻﻼﺗﻪ "Dan hendaklah bersungguh-sungguh dalam mengucapkan takbir secara benar, dengan tidak memanjangkan (bacaan) pada selain tempatnya. Karena sesungguhnya memanjangkan hamzah pada lafadz (jalalah) الله (hingga terbaca آلله, atau memanjangkan fathah pada huruf ba' dari أَكْبَر sehingga menjadi lafad أَكْبَار tidaklah sah sholatnya." Link cuplikan: http://islamic-books.org/cached-version.aspx?id=2836-1-66 Beliau kembali menjelaskan dalam Majmu' Syarah alMuhadzdzab 3/292 : ... ﻭَﻳَﺠِﺐُ ﺍﻟِﺎﺣْﺘِﺮَﺍﺯُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﻜْﺒِﻴﺮِ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻮَﻗْﻔَﺔِ ﺑَﻴْﻦَ ﻛَﻠِﻤَﺘَﻴْﻪِ ﻭَﻋَﻦْ ﺯِﻳَﺎﺩَﺓٍ ﺗُﻐَﻴِّﺮُ ﺍﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ ﻓَﺈِﻥْ ﻭَﻗَﻒَ ﺃَﻭْ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﺑِﻤَﺪِّ ﻫَﻤْﺰَﺓِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻭْ ﺑِﻬَﻤْﺰَﺗَﻴْﻦِ ﺃَﻭْ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺎﺭُ ﺃَﻭْ ﺯَﺍﺩَ ﻭَﺍﻭًﺍ ﺳَﺎﻛِﻨَﺔً ﺃَﻭْ ﻣُﺘَﺤَﺮِّﻛَﺔً ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻜَﻠِﻤَﺘَﻴْﻦِ ﻟَﻢْ ﻳَﺼِﺢَّ ﺗَﻜْﺒِﻴﺮُﻩُ  .... "... dan wajib selalu menjaga dalam (pengucapan) takbir agar tidak: - terjadi jeda antara dua kata yang diucapkannya, dan dari - penambahan yang mengubah makna. Sehingga jika dia berhenti (jeda) atau mengucapkan dengan memanjangkan hamzah pada أٰلله atau membaca dua hamzah (أألله) atau membaca الله أكبار atau menambahkan wau sukun maupun wau berharakat (الله وأكبر) di antara kedua kata, tidaklah sah takbirnya..." Link nukilan: https://www.sahab.net/forums/index.php?app=forums&module=forums&controller=topic&id=155479 روى ﻣﺴﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : " ﻣﻦ ﺩﻝّ ﻋﻠﻰ ﺧﻴﺮ ﻓﻠﻪ ﻣﺜﻞ ﺃﺟﺮ ﻓﺎﻋﻠﻪ ." Imam Muslim bersama ahli hadits lainnya meriwayatkan dari hadits Abu Mas'ud alAnshoriy, Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda: [[Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan dia berhak memperoleh pahala sebagaimana pelakunya]] Mari tebarkan kebaikan ilmu, agar kebaikannya bermanfaat bagi diri kita dan orang-orang yang diharapkan kebaikan bagi mereka. t.me/hikmahfatwaislam
8 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

fiqih shalat sunnah rawatib - sebelum & sesudah shalat wajib

FIQIH SHALAT SUNNAH SEBELUM DAN SESUDAH SHALAT FARDHU Shalat-shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan setelah shalat fardhu adalah sebagai berikut: 1. SUNNAH RAWATIB Shalat sunnah rawatib adalah shalat yang dilakukan sebelum dan setelah shalat fardhu, jumlahnya 12 raka’at, yaitu: ➖ Empat raka'at sebelum dzuhur (salam setiap dua raka’at). ➖ Dua raka'at setelah zhuhur ➖ Dua raka'at setelah maghrib ➖ Dua raka'at setelah Isya' ➖ Dua raka'at sebelum shalat shubuh. Dalil yang menunjukkan shalat sunnah rawatib sebelum zhuhur 4 raka’at adalah sebagai berikut, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الغَدَاةِ “Bahsawanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan shalat empat raka’at sebelum zhuhur dan dua raka’at sebelum subuh.”  .(HR. Al Bukhari no.1182) أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا لَمْ يُصَلِّ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ صَلَّاهُنَّ بَعْدَهَا “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila belum shalat empat raka’at sebelum zhuhur, beliau mengerjakannya setelah zhuhur.”  (HR. Tirmidzi no.426, hadits ini dihasankan Syaikh al Albani) Lihat  Majmu’ Fatawa Ibni Baaz (11/380) WAKTUNYA Waktu shalat rawatib mengikuti waktu shalat fardhu. Sunnah qobliyah dilakukan sejak masuknya waktu shalat hingga shalat fardhu dikerjakan, dan sunnah ba’diyah dikerjakan setelah shalat fardhu hingga akhir waktu shalat. Lihat Fatawa Arkanil Islam (hal.357) MENGERJAKAN SUNNAH RAWATIB DI LUAR WAKTU Tidak boleh mengerjakan shalat rawatib diluar waktu yang telah ditentukan. 🚫 Apabila seseorang melakukannya maka shalatnya tidak akan diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena ibadah yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya, apabila dikerjakan di luar waktunya tanpa udzur maka tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fatawa Arkanil Islam (hal.358) MENGAQADHA’ SUNNAH RAWATIB Boleh mengerjakan (qadha’) shalat sunnah qobliyah setelah shalat fardhu jika ada udzur. Sebagaimana dahulu Rasulullah Shallalalhu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan sunnah qobliyah zhuhur setelah shalat zhuhur. Adapun jika tidak ada udzur maka tidak boleh. Termasuk dalam kategori udzur adalah waktu shalat yang sempit, hanya cukup untuk berwudhu’ dan shalat fardhu saja; seperti seseorang yang baru pulang dari safar atau baru sembuh dari sakit. Maka cara pelaksanaannya adalah mendahulukan sunnah ba’diyah dua raka’at kemudian salam, setelah itu sunnah qobliyah (yaitu: yang dikerjakan lebih dahulu adalah sunnah ba’diyah). Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni Utsaimin (14/278-280) MENGQADHA’ SUNNAH RAWATIB PADA WAKTU TERLARANG Waktu terlarang yang dimaksud pada bab ini adalah: ➖ Setelah shalat shubuh ➖ Ketika matahari terbit hingga 15 menit kemudian, ➖ dan setelah ashar hingga matahari terbenam sempurna. Menurut pendapat yang kuat, mengaqadha’ sunnah rawatib boleh dilakukan pada waktu-waktu terlarang. Sehingga boleh mengerjakan sunnah qobliyah shubuh setelah shalat shubuh. Walaupun yang lebih utama adalah menunggu hingga masuk waktu dhuha. Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu Utsaimin (14/280) KEUTAMAANNYA Keutamaannya telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya, مَنْ صَلَّى فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الجَنَّةِ: أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ صَلَاةِ الْغَدَاةِ “Barangsiapa mengerjakan shalat dua belas raka’at dalam sehari semalam, akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di surga, (shalat-shalat tersebut) iaitu: empat raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at setelahnya, dua raka’at setelah maghrib, dua raka’at setelah isya’, dan dua raka’at sebelum shalat fajar.” (HR. At Tirmidzi no. 598 dari Ummu Habibah radhiallahu ‘anha, hadits ini dishahihkan Syaikh al Albani) Shalat dua belas raka’at di atas adalah sunnah rawatib yang sempurna, jika seseorang mencukupkan dengan sepuluh raka’at karena mengamalkan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, yang menerangkan shalat rawatib sebelum zhuhur hanya dua raka’at maka tidak mengapa. Selain sunnah rawatib, ada beberapa shalat yang sunnah dikerjakan sebelum dan setelah shalat fardhu, di antaranya adalah: EMPAT RAKA’AT SETELAH ZHUHUR Sunnah rawatib setelah zhuhur dua raka’at, namun jika seseorang menambah dua raka'at sehingga menjadi empat raka’at maka lebih utama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, مَنْ صَلَّى قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا وَبَعْدَهَا أَرْبَعًا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ “Barangsiapa yang shalat empat raka’at sebelum zhuhur dan empat raka’at setelahnya, Allah haramkan neraka baginya.” (HR. Tirmidzi no.427 dan Ibnu Majah no.1160, disahihkan Syaikh al-Albani rahimahullah. Lihat Shahihul Jami’ no.6364) Keutamaan ini berlaku bagi seorang yang menjaga shalat tersebut; tidak hanya melakukannya sekali atau dua kali dalam hidupnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ “Barangsiapa menjaga shalat empat raka’at sebelum zhuhur dan empat raka’at setelahnya, Allah haramkan neraka baginya.” (HR. Tirmidzi no.428, dishahihkan Syaikh al-Albani) Adapun tatacara pelaksanaannya adalah dipisah dengan salam pada dua raka’atnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى “(cara pelaksanaan) shalat (sunnah) malam dan siang hari adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Abu Daud no.1297 dan Tirmidzi no.597, dishahihkan Syaikh al-Albani) EMPAT RAKA’AT SEBELUM ASHAR Disunnahkan juga mengerjakan shalat empat raka'at sebelum ashar. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ العَصْرِ أَرْبَعًا "Allah merahmati seseorang yang shalat empat raka'at sebelum ashar."  (HR. Abu Daud no.1271 dan Tirmidzi no.430, dihasankan Syaikh al-Albani) Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَبْلَ العَصْرِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِالتَّسْلِيمِ عَلَى المَلَائِكَةِ المُقَرَّبِينَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ مِنَ المُسْلِمِينَ وَالمُؤْمِنِينَ “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat empat raka’at sebelum ashar, beliau memisahkan antara (dua raka'at)nya dengan taslim (salam) kepada malaikat yang dekat dan kaum muslimin dan mukminin yang mengikuti mereka.”  (HR. Tirmidzi no.429) Ishaq bin Ibrahim bin Rahawaih rahimahullah menjelaskan bahwa makna taslim pada hadits ini adalah duduk tasyahud. Sehingga shalat empat raka’at dilakukan dengan duduk tasyahud pada raka’at kedua. Adapun Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal lebih condong memisahkan setiap dua raka’at dengan salam, karena berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, صَلَاةُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَثْنَى مَثْنَى “(cara pelaksanaan) shalat (sunnah) malam dan siang hari adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Abu Daud no.1297 dan Tirmidzi no.597, dishahihkan Syaikh al-Albani) Jika seseorang melakukan shalat dua raka’at saja maka tidak mengapa. Al-Lajnah ad-Daimah lil Ifta’ (Komite fatwa Arab Saudi) dalam fatwanya ketika ditanya hukum shalat sunnah sebelum ashar, menjelaskan, “Shalat (sunnah) disyari’atkan untuk dikerjakan setelah adzan, berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, بين كل أذانين صلاة “Di antara dua adzan (iaitu adzan dan iqomat,pen) itu ada shalat” Dan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, رحم الله امرأ صلى أربعا قبل العصر “Allah merahmati seseorang yang melakukan shalat empat raka’at sebelum ashar.” Sehingga disunnahkan setelah adzan melakukan shalat dua raka’at atau empat raka’at berdasarkan dua hadits tersebut, dan shalat itu tidak wajib atasnya. ➖ Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ➖ Wakil Ketua: Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi ➖ Anggota: Syaikh Abdullah Ghudayyan BACA JUGA : TUNTUNAN SHALAT TAHIYATUL MASJID hyacinth-flower-blossom-bloom by Pixabay Bersambung insyaallah.... Dirangkum oleh: Tim Warisan Salaf #Fawaidumum #fikihshalat #sholatsunnah 🍉 Warisan Salaf menyajikan Artikel dan Fatawa Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah 🍏 Channel kami https://t.me/warisansalaf ☀️ Twitter: https://twitter.com/warisansalaf 💻 Situs Resmi http://www.warisansalaf.com
8 tahun yang lalu
baca 7 menit

Tag Terkait

mengakhirkan-shalattegakkanlah-shalatrambut-saat-shalatshalat-bertattoshalat-di-masa-pandemishalat-safarbergerak-dalam-shalatmenoleh-saat-shalatdzikir-shalatshalat-alfiyahrukun-shalattata-cara-shalathukum-shalat-jumatshalat-jumat-saat-wabahlarangan-dalam-shalatdzikir-setelah-shalatsunnah-shalatsifat-shalatqadha-shalatwirid-shalatshaf-shalathukum-meninggalkan-shalatlupa-dalam-shalatshalat-nabisifat-shalat-nabishalat-idul-adha-1443hshalatwirid-setelah-shalatkewajiban-shalattidak-shalatadab-shalatshalat-terlalu-cepatsyarat-sahnya-shalatpembatal-shalatimam-shalathukum-shalat-dhuhadoa-shalat-jenazahtatacara-shalatshalat-kusufshalat-berjamaahzikir-setelah-shalattaawudz-dalam-shalattanyajawab-shalatshalat-di-kuburanshalat-tarawihwajib-wajib-shalatsetelah-shalatshalat-menghadap-kuburcara-shalatshalat-dhuhashalat-gerhanashalat-khusufhukum-shalat-witirimam-shalat-wanitaterluput-dari-shalatshalat-syuruqshalat-jamakwaktu-shalat-sudah-lewatwaktu-shalat-jumatshalat-tobatwaktu-shalatmemutus-shalatshalat-tahajudmenjamak-shalatbacaan-shalatshalat-di-pesawatshalat-idshalat-jenazahshalat-jumatzikir-shalathaid-sebelum-waktu-shalat-habisshalat-wanitashalat-di-rumahadab-shalat-idhukum-shalat-iedshalat-raghaibshalat-setelah-saishalat-isyraqshalat-gaibshalat-rawatibshalat-sunnahwanita-shalat-di-masjidwanita-shalat-jumatdoa-dalam-shalatshalat-hajatshalat-saat-safarmengqashar-shalatshalat-dalam-safarjamak-shalatqashar-shalatshalat-sendirianshalat-tahajjudshalat-witirshalat-malamsyarat-shalatshalat-tahiyatul-masjidkeutamaan-shalatshalat-di-masjidsyariat-shalatpakaian-wanita-ketika-shalatshalat-memakai-pakaian-tipisanak-kecil-dalam-shaf-shalatfatwa-shalatshalat-lupa-wudhushalat-tanpa-wudhualfatihah-ketika-shalathukum-shalatkedudukan-shalat-fardhukeringanan-shalatshalat-dan-kewajibannyabidah-shalatjumlah-jamaah-shalat-jumatshalat-tasbihshalat-istikharahpembatas-shalatwaktu-shalat-zuhur-hari-jumat-bagi-wanitahukum-shalat-tarawihpenjelasan-tentang-shalat-tarawihshalat-tawarihwasiat-untuk-shalat-witirragu-di-dalam-shalatshalat-juamatshalat-jumat-berteaptan-hari-rayashalat-sunnah-fajarshalat-istisqa100-000-shalatshalat-awwabinshalat-isyroqshalat-pakai-sepatushalat-tanpa-hijabmeninggalkan-shalat-dengan-sengajaorang-sakit-meninggalkan-shalatshalat-orang-pingsanlima-ratus-kali-shalatberapa-jumlah-rakaat-dalam-shalat-tarawihjumlah-rakaat-dalam-shalat-tarawihshalat-asharshalat-iedul-fitri-1439hhukum-tertawa-saat-shalattergesa-gesa-ketika-shalathukum-mengeraskan-bacaan-niat-pada-shalatmenguap-ketika-shalatshalat-jamaahniat-shalatshalat-pakai-sendalshalat-wajibshalat-kecepetanshalat-terlambatiqamah-shalatshalat-tanpa-azan-dan-ikamahshalat-fardhulupa-menunaikan-shalatshalat-anak-kecilhukum-shalat-gerhanatata-cara-shalat-gerhanahukum-sutrah-dalam-shalatkitab-sifat-shalatshalat-istighfarshalat-iedtata-cara-shalat-gerhana-nabishalat-subuhshalat-subuh-berjamaahshalat-iedul-adhashalat-malam-nisfu-syabanhukum-seputar-sutrohpembatas-shalatcara-shalat-istisqacara-shalat-meminta-hujanbhukum-mengkhususkan-membaca-surah-as-sajdah-pada-shalat-subuh-di-hari-jumatbimbingan-ulama-menyikapi-anak-kecil-yang-bermain-dalam-shalatkegaduhan-anak-kecil-ketika-shalatmengganggu-orang-shalatmemutuskan-shalat-seseorangmenjaga-shalatshalat-tarawih-11-atau-23-rakaatshalat-tarawih-11-rakaatshalat-tarawih-23-rakaatbesarnya-dosa-lewat-di-hadapan-orang-shalatmencegah-orang-yang-hendak-lewat-di-depan-kita-saat-shalatshalat-menghadap-wajah-manusiacara-shalat-gerhanashalat-gerhana-sesuai-sunnahtuntunan-shalat-gerhana