Oleh :
? Al Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewed –hafidzahullah–
Shalat tarawih sangat dianjurkan oleh Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam-walaupun beliau tidak mewajibkannya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa siapa yang menegakkan qiyamur ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Disyariatkan qiyamur ramadlan atau shalat tarawih secara berjama’ah, maka inilah yang lebih utama daripada shalat tarawih sendirian.
Diriwayatkan dari Abu Dzar bahwa dia berkata:
“Kami berpuasa bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada bulan Ramadhan, maka beliau tidak menegakkan qiyamul lail bersama kami hingga tersisa tujuh hari. Kemudian menegakkan qiyamul lail bersama kami ketika sudah tersisa sepertiga malam terakhir. Kemudian ketika tersisa enam hari, beliau tidak menegakkan qiyamul lail bersama kami. Kemudian ketika tersisa lima hari, beliau menegakkan qiyamul lail bersama kami, hingga lewat pertengahan malam. Kemudian aku (Abu Dzar) berkata: “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya sekiranya engkau menambahi shalat sunnah pada sisa malam ini untuk kami!.” Maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya seseorang jika shalat bersama imam hingga selesai, maka dicatat baginya sebagai shalat seluruh malam”. Kemudian ketika tersisa empat hari, beliau tidak menegakkan qiyamul lail bersama kami. Kemudian ketika tersisa tiga hari, beliau mengajak isteri-isterinya dan seluruh manusia, kemudian menegakkan shalat lail bersama kami. Hingga kami khawatir kehilangan falah. Maka berkatalah seseorang kepada Abu Dzar: “Apakah falah?” beliau menjawab: “Sahur”. Kemudian Nabi tidak menegakkan pada sisa-sisa hari di bulan Ramadlan tersebut”. (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits di atas, kita mendapatkan beberapa pelajaran penting. Diantaranya :
1. Keutamaan shalat tarawih.
2. Keutamaan shalat berjamaah pada shalat tarawih, karena Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- menegakkannya secara berjama’ah. Bahkan menyatakan seorang yang shalat malam bersama imam, maka dicatat seakan-akan shalat semalam suntuk.
3. Adapun tidak terus-menerusnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk shalat tarawih secara berjamaah adalah karena kekhawatiran beliau untuk diwajibkan shalat tarawih dan kemudian umatnya tidak mampu.
4. Disyariatkannya shalat tarawih berjamaah bagi para wanita juga, karena Rasulullah pada malam ke dua puluh tujuh mengajak para isterinya.
Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Adapun jumlah rakaat shalat tarawih adalah tidak lebih dari 11 rakaat. Karena Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-pun tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat sampai wafat beliau, tidak pada bulan Ramadlan dan tidak pula di luar bulan Ramadlan.
Diriwayatkan dari Aisyah -Radhiallahu ‘anha- ketika beliau ditanya bagaimana shalat malam Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau menjawab :
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا
”Rasulullah tidak pernah melebihi dari 11 rakaat, apakah pada bulan Ramadlan atau di luar bulan Ramadlan. Beliau shalat 4 rakaat, dan jangan tanya bagaimana tentang bagus dan panjangnya. Kemudian shalat 4 rakaat, dan jangan tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat”. (H.R. Bukhari)
Hadits Aisyah ini berbicara tentang jumlah rakaat shalat tarawih. Maka beliau menyatakan 11 rakaat: empat, empat dan kemudian tiga. Bukan berbicara tentang kaifiyah (tata cara) shalatnya.
Adapun kaifiyahnya diriwayatkan dalam hadits lain dari Abdullah bin Umar :
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ مَا تَرَى فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ قَالَ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ الصُّبْحَ صَلَّى وَاحِدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى وَإِنَّهُ كَانَ يَقُولُ اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ وِتْرًا فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِهِ
“Seseorang bertanya kepada Nabi sedangkan beliau di atas mimbar: “Bagaimana pendapatmu tentang shalat lail?” Maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda : “Dua rakaat, dua rakaat, hingga jika engkau khawatir datang shubuh, maka shalatlah satu rakaat. Maka engkau telah menutupnya dengan witir”. Dan bahwasanya beliau (Abdullah ibnu Umar) pun berkata: “Jadikan akhir shalat kalian adalah witir, karena sesungguhnya Nabi memerintahkannya”. (HR. Bukhari)
Perlu diperhatikan dua hadits di atas, dalam tinjauan fiqih sangat berbeda. Hadits Aisyah adalah berbicara tentang jumlah, dan hadits Ibnu Umar berbicara tentang tatacara. Maka pendapat yang paling tepat dalam masalah shalat tarawih adalah sebelas rakaat dengan cara dua rakaat, dua rakaat, dan kemudian ditutup dengan witir.
Hanya saja dalam masalah shalat witir Rasulullah pernah melakukannya dengan 1 rakaat, 3 rakaat, 5 rakaat dan lain-lain sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. (Lihat Qiyamur Ramadlan, Syaikh al-Albani)
Sebagian kaum muslimin yang hanya melihat hadits Aisyah, maka mengira shalat tarawih dikerjakan empat rakaat, empat rakaat, dan mereka dalam keadaan ragu berapa tahiyat yang harus dilakukan dalam empat rakaat tersebut, karena mereka tidak mendapatkan dalil yang jelas dalam masalah itu, bahkan menyelisihi hadits Ibnu Umar di atas.
Sebagian yang lain yang hanya melihat hadits Ibnu Umar menganggap bahwa jumlah rakaat adalah bebas: dua rakaat, dua rakaat terus sampai datang waktu shubuh berapapun jumlahnya. Akhirnya mereka menyelisihi hadits Aisyah.
Bacaan Shalat Tarawih
Adapun bacaan pada shalat tarawih, tidak ada batasan tertentu. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- membaca pada shalat tarawih berbeda-beda panjang dan pendeknya. Kadang beliau membaca seukuran surat al-Muzzammil, yaitu 20 ayat dan kadang-kadang 50 ayat. (Lihat Shifat Shalat Nabi, Syaikh al-Albani, hal. 120)
Dan bahwasanya beliau bersabda:
مَنْ صَلَّى فِي لَيْلَةٍ بِمِائَةِ آيَةٍ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Barangsiapa yang shalat di malam hari dengan seratus ayat, maka dia tidak dicatat sebagai orang yang lalai”. (HR. Darimi dan Hakim. Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi; lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 120)
وَمَنْ صَلَّى فِي لَيْلَةٍ بِمِائَتَي آيَةٍ كُتِبَ مِنَ الْقَانِتِينَ الْمُخْلِصِينَ
“Barangsiapa yang shalat di malam hari dengan dua ratus ayat, maka dia dicatat sebagai orang yang khusyu’ dan ikhlas”. (HR. Darimi, Hakim. Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi; lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 120)
Namun pernah juga Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- shalat semalam dengan enam surat panjang seperti al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisaa’, al-Maaidah, al-An’aam, al-A’raaf dan at-Taubah.
Atau seperti yang diriwayatkan oleh Hudzaifah ibnul Yaman ketika beliau pernah shalat bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada satu malam. Nabi membuka bacaannya dengan surat al-Baqarah, dilanjutkan dengan an-Nisaa’ dan Ali Imran dalam satu rakaat, dalam keadaan membacanya dengan tartil dan perlahan.
Sebagaimana dikisahkan oleh Hudzaifah sendiri sebagai berikut:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ
“Aku Shalat bersama Nabi pada suatu malam. Beliau membuka dengan surat al-Baqarah. Maka aku katakan dalam hatiku: “Dia akan ruku’ pada ayat ke seratus”. Kemudian beliau melanjutkan bacaannya, maka aku katakan: “Kalau begitu beliau akan membaca surat al-Baqarah dalam dua rakaat”. Kemudian beliau melewati (pertengahan) surat al-Baqarah, maka aku katakan: “Kalau begitu beliau akan membaca surat tersebut dalam satu rakaat”. Ternyata beliau melanjutkan dengan surat an-Nisaa’, kemudian surat Ali Imran. Beliau membacanya dengan perlahan-lahan, setiap melewati ayat yang mengandung tasbih, beliau bertasbih. Jika melewati ayat tentang permintaan, beliau minta. Kalau melewati ayat perlindungan, beliau berlindung. Demikian seterusnya. Kemudian beliau ruku’”. (HR. Muslim dan Nasa’i)
Dan termasuk sunnah adalah membaca dalam shalat witir surat al-A’laa, al-Kaafirun dan al-Ikhlash. Sebagaimana diriwayatkan oleh Nasa’i dan Hakim. Kadang-kadang beliau menambahkan pada rakaat ketiga setelah al-Ikhlas surat al-Falaq dan an-Naas, sebagaimana diriwayatkan oleh Nasa’i dan Ahmad. (Lihat Shifat Shalat Nabi, Syaikh al-Albani, hal. 122)
Waktu Shalat Tarawih
Adapun waktu shalat tarawih adalah setelah shalat Isya sampai terbitnya Fajar. Karena ucapan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
إِنَّ اللَّهَ زَادَكُمْ صَلَاةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوهَا فِيمَا بَيْنَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلَاةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah menambahkan kepada kalian satu shalat, yaitu shalat witir. Maka shalatlah kalian antara shalat Isya sampai shalat fajar”. (HR. Ahmad; dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah, hadits no. 108)
Yang dimaksud dengan witir di atas adalah shalat malam seluruhnya. Sering kali shalat malam disebut dengan witir karena jumlahnya selalu ganjil.
Adapun waktu yang terbaik untuk shalat tarawih adalah pada akhir malam, bagi yang mampu untuk bangun malam. Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
مَنْ خَافَ أَنْ لَا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Barangsiapa yang khawatir tidak dapat bangun pada akhir malam, maka hendaklah witir sebelum tidur. Sedangkan siapa yang semangat untuk bangun di akhir malam, maka hendaklah witr di akhir malam. Karena shalat di akhir malam adalah disaksikan. Maka itulah yang lebih afdlal (lebih utama)”. (HR.Muslim)
? Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 5 / V /8/2011