Cerita

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

semangat thalabul ilmi syaikh ubaid al jabiri

 .(167) Semangat Thalabul Ilmi Syaikh Ubaid Al Jabiri Di sini, di Mekkah, 400 km lebih dari arah utara sana, di kota Madinah, saya hanya bisa berdoa lalu terdiam. Tak bisa mensalatkan dan tak dapat turut memakamkan beliau di Pekuburan Baqi'. Entah disebut apa rasa di hati ini. Dibilang dekat, namun jauh dan terkendala. Dikata jauh, tetapi masih dalam jarak tempuh. Berita wafatnya Syaikh Ubaid Al Jabiri tersebar cepat dalam waktu singkat. Menyebar ke berbagai penjuru dunia. اِنّا لِلّهِ وَاِنّا اِلَيه ْراَجِعُوْنَ ...اللهُمَّ، اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ - أَوْ مِنْ عَذَابِ النَّارِ  Kurang lebih 10 tahun yang lalu, Syaikh Ubaid Al Jabiri yang telah lanjut usia, kisaran 70 tahun, rela menempuh jarak jauh dari Arab Saudi untuk mengunjungi umat Islam di Indonesia.  Tidak ada sama sekali mengeluh lelah. Tidak terucap satu kata pun yang menunjukkan capek. Di usia yang lanjut, Syaikh Ubaid mengajarkan untuk kita bagaimana cara merawat semangat berdakwah. Syaikh Ubaid Al Jabiri lahir pada tahun 1357 H. Di sebuah desa bernama Al Faqir di Lembah Al Far'i, provinsi Madinah. Ayah beliau yang bergabung perusahaan tambang emas di wilayah lain, mau tak mau membuat Syaikh Ubaid yang masih berusia 7 atau 8 tahun ikut berpindah. Setelah 8 tahun, perusahaan tersebut berhenti beroperasi atau dinyatakan bangkrut. Syaikh Ubaid beserta keluarga pulang kampung di Lembah Al Far'i. Karena alasan keluarga dan hal yang lain, pendidikan Syaikh Ubaid sempat terhenti bertahun-tahun. Namun, semangat belajar beliau tidak menguap. Tahun 1381, di usia yang ke- 24, Syaikh Ubaid melanjutkan pendidikan agama di Darul Hadis Kota Madinah.  Setelah 2 tahun, thalabul Ilmi beliau lanjutkan di Ma'had Al Ilmi selama 5 tahun. Di usia 31 tahun, Syaikh Ubaid memilih untuk kuliah di Universitas Islam Madinah dan lulus 4 tahun kemudian. Semasa menjadi dosen di Universitas Islam Madinah - di kurun tahun 1407-1414 H -, semangat thalabul ilmi beliau tidak pudar. Program magister beliau selesaikan.  Andaikan dihitung dari tahun pertama beliau menjadi dosen, paling tidak di usia 47 tahun beliau baru mengambil program magister. Usia yang tak lagi muda. Tetapi, bukan alasan surut langkah thalabul ilmi. Beliau yang telah puluhan tahun berdakwah dan menjadi pengajar, seperti tak kenal henti untuk belajar. Walaupun telah pensiun sebagai dosen Universitas Islam Madinah di usia 60 tahun, Syaikh Ubaid tetap aktif dan produktif dalam berkarya. Dakwah tetap berjalan. Kajian-kajian beliau di berbagai masjid selalu penuh oleh para penuntut ilmu. Tidak hanya di Arab Saudi, Syaikh Ubaid juga menyempatkan diri untuk memenuhi undangan Kajian di berbagai negara, termasuk Indonesia. t.me/anakmudadansalaf
2 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah : mengikuti jejak sang komandan

Mengikuti Jejak Sang Komandan Di pagi hari yang cerah, ditemani kicauan burung pipit yang bersahut-sahutan di atas dahan, kuingin menorehkan tinta bukan berharap pujian. Kuingin memutar kembali memori masa lalu agar ia tak begitu saja berlalu. Aku ingin berbagi faedah agar saudara-saudari seimanku berkenan mendulang ibrah. . Baiklah, aku anak sulung dari 3 bersaudara. Masa kanak-kanakku kuhabiskan dengan sia-sia. Jauhnya keluargaku waktu itu dari bimbingan agama, membuat kami terbiasa terjerumus dalam kehidupan sehari-hari, bernyayi, menari, dan mendengarkan musik. Di rumah, siaran televisi adalah hiburan kami. Bagiku waktu itu menonton televisi adalah sebuah kenikmatan. Astagfirullah… Konon, katanya, ayahku pernah berguru dengan setan. Allahumusta’aan. Pada masa mudanya dulu, beliau gemar mengenakan cincin akik di jari jemarinya yang katanya pada setiap cincin tersebut ada penunggunya. Beliaupun berlatih bela diri dilengkapi dengan ‘ilmu hitam’. Tujuannya agar ketika mendapat pukulan dari lawannya beliau tidak merasakan kesakitan. Meskipun, setelah setan pergi dari tubuh beliau, barulah kemudian rasa sakit itu mendera. Subhanallah sebuah kehidupan yang jauh dari bimbingan.  Namun dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit ayah mulai meninggalkan ‘dunia hitam’. Hingga kemudian Allah takdirkan ayah mengenal dakwah salafiyyah sehingga akhirnya beliau menjadi seorang ‘salafi’. Serta kemudian beliau pun berjuang menuntun keluarganya agar mengikuti jejaknya meniti jalan kebenaran. Alhamdulillah. Tahun demi tahun berlalu, tak terasa aku telah memasuki usia sekolah. Ayah mendaftarkan aku untuk mulai sekolah di salah satu pondok ahlus sunnah di daerahku. Maka aku pun resmi menjadi murid baru di pondok tersebut. Saat masuk kelas, aku sangat terkejut karena teman sekelasku wanita semua. Tidak ada yang laki-laki kah? pikirku. Wajar aku terkejut, karena sejak kecil aku hanya terbiasa bermain dengan anak laki-laki seusiaku di sekitar rumahku. Kebetulan teman sepermainanku laki-laki semua, tidak ada yang wanita.  Kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Aku belum terbiasa dengan situasi belajar. Aku hanya diam saja jika tidak diajak bicara. Padahal aku bukanlah anak pendiam, bahkan aku anak yang cerewet, banyak bicara dan tergolong pemarah. Astaghfirullah.. . Setiap hari ayah menjemputku sambil terkadang membawa adik perempuanku. Aku senang jika ayah membawa adik karena teman-temanku gemas jika melihatnya. Seolah-olah itulah salah satu sebab mencairnya pergaulanku dengan teman-teman baru di sekolah.  Setibanya di rumah apa yang kulakukan? Belajar? Mengulang pelajaran? Menghafal? Tidak! Bahkan aku langsung menyetel televisi. Mengapa bisa? Bukankah ayahku sudah mengaji? Mengapa memiliki televisi? Jangan salah sangka. Itu semua karena kami masih serumah dengan kakek. Televisi itu milik kakek. Tapi aku suka menonton televisi. Bahkan boleh jadi sudah masuk dalam kategori kecanduan. Aku selalu berusaha menonton film kesukaanku. Aku selalu khawatir ketinggalan episode-episodenya. Lalu apa kegiatanku di rumah selain menonton televisi? Jika film favoritku telah usai tayang, maka aku pun segera menemui teman-teman mainku. Iya teman lelaki tetanggaku. Jika ayah mengetahui aku bermain dengan laki-laki beliau memarahiku. Namun aku tidak jera. Aku masih tetap bermain dengan mereka. Bahkan terkadang aku harus diam-diam mengendap agar tidak terlihat ayah. Astaghfirullah… Kejahilan masih terus bersarang dalam diriku sampai beberapa tahun berikutnya. Bahkan ketika aku sudah berpindah ke sekolah baru di sebuah pondok ahlus sunnah salafi di lain daerah. Meskipun aku disekolahkan di pondok ahlus sunah salafi namun tidak seperti pada umumnya mereka. Aku masih seperti dulu ketika belum mengenal mereka. Berbagai kemaksiatan masih melekat pada diriku. Astagfirullah… Di sekolah yang kupikirkan hanya film-film yang tak berujung pangkal itu. Sehingga pelajaran –pelajaran yang disampaikan banyak yang tidak kupahami. Itu semuanya karena aku kurang perhatian. Pikiranku sibuk dengan angan-angan kosong. Terbawa film-film yang setiap hari kusaksikan di layar televisi. Namun di tengah-tengah kelalaian itu semua, rupanya Allah masih menyayangiku. Secara alamiah ternyata aku menyukai beberapa pelajaran. Termasuk yang paling aku sukai sejak kecil adalah pelajaran bahasa Arab dan kemudian tata bahasanya. Semoga itu menjadi pengikat ketertarikanku dengan ilmu syariat.  Namun secara keseluruhan, waktu itu aku masih bergelut dengan kejahilan. Aku belajar ilmu agama tetapi belum mampu mengamalkannya. Sebagai contoh, sehari-hari aku memang belajar ilmu syariat, menghafal Al Quran, dan memurajahnya. Namun waktu itu aku tidak mengerjakan shalat 5 waktu kecuali jika disuruh oleh ayah atau ibu. Allahu mustaan… Hingga penyesalan itu datang…Seiring dengan berjalannya waktu, hidayah dan taufik dari Allah mulai menyapa diriku. Kesadaran mulai memenuhi kalbuku. Rasa bersalah kepada Rabbku mulai membuat air mata mengalir deras…Aku mulai sadar bahwa suatu ketika pasti aku pun akan menemui ajal. Apa jadinya ketika datang ajal, aku belum menyiapkan bekal?  Aku mulai berbenah. Pakaianku mulai kuperbaiki. Sebelumnya aku tidak suka memakai baju dan kerudung yang serba lebar. Bagiku waktu itu mengenakan pakaian syar’i tersebut sangat memberatkan, gerah, dan panas. Namun kini aku sadar bahwa itu adalah pakaian kemuliaan. Tak, apalah merasakan panas dan gerah ketika mengenakannya. Semoga keringat yang menetes dicatat Allah sebagai pahala. Semoga panasnya di dunia Allah gantikan dengan sejuknya surga. Aku bertekad untuk tetap mengenakan pakaian yang mulia ini meskipun ada yang mencelanya. Ketika di rumah kakek, terkadang ada teman lamaku yang menyeletuk, “Woi teroris!” atau ”eh, ada ninja warior.” Pada awalnya aku sempat kesal dan kecewa. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku hanya berusaha memahami bahwa mereka berkata seperti itu mungkin hanya karena belum tahu ilmunya. Kemudian, sedikit demi sedikit aku pun mulai meninggalkan televisi, musik, dan tarian-tarian. Hingga kini aku sudah terbiasa hidup tanpa musik dan TV. Dan ternyata ‘hidup asyik gak berisik nikmat tanpa musik’ benar adanya. Bagiku sekarang tarian-tarian tak lebih dari semacam gerakan-gerakan orang-orang aneh. Yang paling membuatku bergembira adalah ketika doa yang selalu ayah panjatkan untuk ibu, kini Allah ijabahi. Walaupun membutuhkan waktu yang cukup panjang, perubahan pendirian ibu adalah sesuatu yang sangat aku syukuri.  Dulu ibu tampak enggan mengenakan penutup wajah, kini beliau selalu mengenakannya ketika keluar rumah. Jika dulu tidak mau menghadiri majelis taklim, kini selalu menghadirinya kecuali jika ada halangan. Yang paling membuatku terharu adalah ibu kini mau mengambilkan raportku dan adikku di sekolah. Dulu beliau tidak mau mengambilkan raport kami sehingga orang lain yang mengambilkan. Masya Allah, hidayah Allah terasa mahal nan indah rasanya… Waktu terus berjalan, sementara aku menikmati hidup yang indah di bawah sunnah. Aku masih menjadi penuntut ilmu dengan belajar dan belajar mengisi kesibukanku sehari-hari. Namun di tengah-tengah kesibukanku menuntut ilmu, kemudian aku mulai mendengarkan pembicaraan teman-temanku tentang wabah virus corona yang sedang melanda dunia. Hingga ketika bel istirahat berbunyi aku tidak sengaja membaca judul artikel tentang virus Covid-19 di papan pengumuman. Karena tertarik, aku pun membaca semuanya dari awal sampai akhir. Subhanallah, ternyata banyak negara-negara yang kelabakan menghadapi virus yang satu ini.  Beberapa hari setelah itu, tiba-tiba ibu memberitahuku,”Kak, nggak jadi berangkat jam 09.00. Jadinya libur.” “Lho kok gitu Mi?” tanyaku heran. “Lah kan ini sedang ada virus. Pak Presiden memerintahkan untuk meliburkan anak-anak sekolah. Tapi nanti tetap mengerjakan tugas. Jadi belajar online.” “Ya, Allah, serasa mimpi,” batinku. Hatiku seperti tersayat-sayat mendengarnya. Aku masih ingin bertemu dan menuntut ilmu bersama kawan seperjuangan. Namun, aku harus bersabar. Aku yakin di balik semua ini pasti Allah menyediakan hikmah yang indah. Sudah berlalu 14 hari sejak pengumuman belajar online dimulai. 2 pekan; itulah waktu yang dijanjikan libur sekolah untuk belajar online. Aku bertanya kepada ibu, “Ummi, kok belum ada pengumuman untuk masuk sekolah lagi? Kan sudah 14 hari?” “Diperpanjang kak belajar online nya, nggak jadi masuk lagi hari ini.” Seakan-akan aku tak percaya dengan ini semua. Aku sudah rindu dengan kelas, teman-teman, dan ustadzah-ustadzahku. Akhirnya, minggu demi minggu berlalu, bulan demi bulan pun juga telah berlalu. Aku masih saja harus belajar di rumah. Terkadang rasa jenuh menghampiri. Namun, aku selalu berusaha untuk membangkitkan semangat juang untuk menuntut ilmu. Di sinilah mungkin Allah ingin menguji hamba-Nya. Peringatan dari-Nya agar manusia segera kembali dan bertobat kepada-Nya. Yang harus kita lakukan saat ini adalah ikhtiar, ber’khusnuzhan’ dan berdoa kepada Allah agar segera mengangkat wabah virus ini. Amiin. Kini aku bukanlah diriku 14 tahun yang lalu. Saat ini aku telah beranjak dewasa. Aku akan ikuti jejak Sang Komandan dalam meniti jalan kebenaran. Iya, Ayahlah komandan dalam keluargaku. Beliau lah yang menuntun kami. Sehingga dengan rahmat Allah, kami bisa menjadi seperti sekarang ini. “Perjuanganmu dalam mendidik keluargamu membuahkan hasil, Ayah! Aku akan mengikuti jejakmu ini hingga hayat tak lagi dikandung badan. Insya Allah.”  Walau kulihat berat beban di punggungmu, engkau selalu meringankannya dengan senyuman indah di wajahmu, Ayah…Semoga kerja kerasmu ini menjadi amal kebajikan di akhirat kelak.  Ya, Allah jagalah hidayah yang telah bersemai di hati kami, hingga kami berjumpa dengan-Mu di surga kelak. AamiinYa Mujibas Saailin…. Sumber : Buku Secercah Harapan Untuk Masa Depan. https://telegra.ph/Mengikuti-Jejak-Sang-Komandan-03-26
3 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

cerita daurah di lampung, "tidak harus di mimbar"

 .( 99 ) Tidak Harus Di Mimbar Ada sesi perkenalan antar peserta dalam kajian di Pondok As Sunnah Blambangan Umpu, Way Kanan, Lampung. Kenapa? Rupanya sesama peserta kajian, tidak semua saling mengenal. Merinding dan terharu saat mengikuti sesi yang masing-masing menyebut nama dan daerah asalnya. Banyak peserta dari Kotabumi dan Batumarta. Tentunya dari Way Kanan sendiri lah yang paling dominan. Ada peserta dari Liwa, dari Ranau, juga dari Kalianda. Saya baru pertama kali mendengar sebuah pulau kecil bernama Legundi, saat berkenalan dengan seorang peserta. Untuk sampai di Pulau Legundi, perjalanan laut kurang lebih 1,5 jam mesti ditempuh dari Dermaga Ketapang, Lampung. " Ada salafy di sana? ", saya bertanya. " Ada satu. Kakak saya. Karena saya sendiri sudah menetap di Way Kanan ", katanya. Subhanallah! Dakwah Salaf benar-benar telah tersebar. Semuanya semata-mata karunia dari Allah Ta'ala. Media sosial memiliki peran yang tak bisa dikecilkan. Persebaran info-info kajian Salaf begitu cepat menjalar. Poster-poster, potongan-potongan audio, dan artikel-artikel ilmiah bisa menembus batas. Walhamdulillah Untukmu yang sendirian di Pulau Legundi; bersabarlah dan teruslah berdakwah. Ingatlah, berdakwah tidak harus di atas mimbar. Berdakwah yang terbaik adalah dengan akhlak mulia. As Syaikh Rabi' bin Hadi al Madkhali menegaskan,  " Berhias dengan akhlak Islam yang luhur akan berpengaruh besar dan luas dalam penyebaran Islam di tengah-tengah masyarakat. Seperti ; jujur, amanah, rendah hati, dan bersikap bijak dalam meniti dakwah ilallah" " Jangan engkau kira, Islam dapat tersebar dengan pedang saja. Sebagaimana tergambar oleh sebagian orang", lanjut beliau. Syaikh Rabi' menambahkan, " Islam dapatlah tersebar luas melalui akhlak mulia yang melekat pada diri para sahabat. Mereka dididik oleh Rasulullah untuk berakhlak terluhur dan tertinggi, melalui proses terbaik. Hal itu menjadi faktor pendorong terbesar dan daya tarik terkuat umat manusia mau menerima Islam" ( Al Lubab 11/12) Ibnu Katsir saat menafsirkan surat Al Fath 29, menyebutkan pernyataan Imam Malik, " Telah sampai berita kepadaku bahwa orang-orang Nasrani jika mensaksikan para sahabat Nabi yang ikut menaklukan wilayah Syam, mereka mengatakan, " Demi Allah! Mereka (para sahabat Nabi) lebih baik dibandingkan kaum hawaariyyin, menurut berita yang kami terima" Dalam kitab yang sama halaman 288, Syaikh Rabi' mengatakan, " Akhlak luhur seperti ; jujur, senang berbuat baik, suka membantu, takwa, sabar, berlapang dada, bersikap luwes termasuk saat praktek jual beli, dan dalam semua aktivitas" Beliau melanjutkan, " Hal-hal di atas sangat luar biasa. Pengaruhnya begitu luas dalam kehidupan umat Islam. Jangan meremehkan nya! Mari kita laksanakan sebagaimana ajaran Islam lainnya kita laksanakan" " Banyak orang meremehkan urusan akhlak. Wal 'iyaadzu billah" Saudaraku, apabila engkau telah berusaha sebagaimana arahan ulama untuk berdakwah melalui akhlak mulia, maka janganlah takut walau engkau sendirian. Jangan bersedih, meski engkau sendirian. Berdakwahlah dengan akhlak yang baik. Jadilah pribadi yang jujur, terpercaya, dan amanah. Jadilah figur yang senang membantu dan menolong orang lain. Jadilah orang yang santun dan sopan dalam berbicara dan bersikap. Semoga Allah membukakan pintu hidayah melalui dirimu. Bakauheni, 8 Jumadal Akhir 1443 H/ 11 Januari 2022 t.me/anakmudadansalaf
3 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah haru : ibu yang aku banggakan!

Bikin Air Mata Tumpah: Ibu Yang Aku Banggakan! Untuk yang sedang terjadi, cukup jalani dan nikmati. Kepada yang belum terjadi, serahkan kepada Sang Ilahi. Namun yang telah terjadi, aku ingin mengenang.. Sragen, 11 September “Ya udah kalau masih mau di sana”, ucap Ayah dari sebrang sana yang bertolak dari rencana.“Pulanglah ke rumah..”, ucap Ibu dengan nada yang terdengar memohon. Aku yang mendengar perkataan mereka berdua yang bertolak belakang menjadi bimbang. Beberapa pertanyaan muncul di benakku. “Akankah aku membatalkan kepulanganku? Apakah aku akan egois dengan mementingkan keinginanku untuk tetap bertahan di sini? Padahal tiket sudah dibeli dan perjuangan mencari jadwal pesawat pun bukan hanya sehari dua hari. Tidak! Aku tidak boleh egois, aku akan tetap pulang!”, gumamku. Telepon ditutup setelah aku meyakinkan mereka bahwa aku akan tetap pulang. “Aneh, berapa bulan lalu padahal Ayah yang ingin aku pulang, kenapa sekarang jadi Ibu yang mohon-mohon gini ya?”, batinku setelah telepon ditutup. “Ah, mungkin Ayah berusaha merelakan saja, sedangkan Ibu sudah tak ingin lagi merasakan rindu berkepanjangan”, husnuzanku. Belitung, 14 September “Ibu, kenapa beda sendiri lauknya?”, tanyaku saat makan malam. “Ah, biasalah orang sudah tua ada saja penyakitnya”, jawab beliau santai. “Oh”, jawabku ringan. “Tapi, sakit apa ya? Perasaan beliau selalu menjaga pola makannya. Ah, mungkin kolesterol. Biasakan orang tua punya sakit itu meski terlihat sehat-sehat saja?”, gumamku santai. Tak ketinggalan pula setelah makan, beliau minum obat herbal. Pesantren Dhiyaul Qur’an Belum genap satu bulan di rumah, aku berangkat menuju tempat yang dilakukan kegiatan belajar-mengajar di dalamnya. Ya, pondok pesantren. Sama seperti saat aku merantau ke luar pulau. Hanya saja, di sini statusku bukan seperti di tempat sebelumnya. Meski jarak keberadaanku dengan keluarga bisa dikatakan dekat, tapi menghubungi keluarga adalah hal rutin yang aku lakukan. “Gimana Bu kabarnya? Sehat?”, begitulah pertanyaan yang selau aku lontarkan kala berbicara lewat jaringan seluler. “Alhamdulillah, ya sehat-sehat begitulah, doakan saja biar Ibu selau sehat”, begitulah selalu jawaban beliau ketika aku bertanya keadaannya. Libur Semester Beberapa bulan terlewati, hingga tiba libur semester satu. Aku pun kembali ke rumah. Beberapa hari terlewati seperti biasanya. Ya, membantu pekerjaan di rumah. Seperti biasa, malam itu, selepas shalat Maghrib aku berbincang ringan dengan Ibu. Entah berawal dari apa perbincangan kami, tiba-tiba Ibu berkata, “Kamu tau, Nak, Ibu sakit apa selama ini?”, tanya Ibu yang membuatku mengerutkan dahi. “Memang sakit apa, Bu? Kolestrol?”, tanyaku cukup penasaran. Selama ini, aku hanya menerka-nerka saja. “Bukan, Nak!”, jawab beliau dengan raut wajah yang sulit aku artikan. “Lalu?”, jawabku singkat. “Ibu sakit tumor, Nak! Ketika pertama kali periksa, kata dokter sudah stadium tiga..”, jawab beliau cukup hati-hati. Seketika mataku terasa panas dan mengalir air darinya tanpa lagi permisi. Meski tak terisak, tetapi serasa hatiku ada yang meremas. “Beneran, Bu?”, tanyaku meyakinkan. “Ya!”, jawab beliau sambil mengangguk dan mengusap-usap punggungku. Lemas. Itulah yang aku rasakan setelah mendengar pengakuan beliau. Ku usap-usap mataku yang basah. . Namun percuma, air yang keluar tak kunjung surut. Pikiranku pun mulai melayang. Aku cemas. “Apakah hidup beliau tak lagi lama? Realitanya, banyak orang yang mengidap penyakit tersebut berakhir ajal. Tidak! Tidak mungkin Allah membebaniku diluar kemampuanku. Aku yakin, Allah tidak akan membebani seorang hamba diluar kemampuannya”, kata hatiku menghibur diriku sendiri. “Sebenarnya sudah lama Ayah dan kakak-kakakmu menyuruh Ibu memberi tau kepadamu tentang ini, tapi Ibu tak sampai hati untuk mengungkapkan ke kamu, Nak!”. “Mereka bilang, ‘Kasih tau saja, biar yang lain juga ikut mendoakan’, tetapi Ibu tak ingin kamu kepikiran, Ibu ingin mengatakannya pada waktu yang tepat, karena Ibu tauperempuan itu terlalu perasa”, ucap Ibu sambil mengusap punggungku. “Allah memberi sakit ini ke Ibu karena Allah tau Ibu pasti mampu menghadapinya. Dia yang tau segala sesuatu. Dia yang memberi sakit ini ke Ibu, Dia pula yang akan menyembuhkannya. Allah ingin menguji Ibu, bagaimana sikap Ibu ketika diberi ujian. Selama ini kan Ibu selalu sehat, dalam hal rezeki pun alhamdulilah selalu cukup. Iya kan?”, ucap Ibu panjang lebar sambil mengusap-usap punggungku. Aku masih mengelap-ngelap air mata yang tak kunjung reda. Mata beliau pun berkaca-kaca. Dirangkulnya tubuhku ke dalam dekapnya. Bermaksud menenangkan hatiku yang beliau tau pasti kalut. “Sudahlah, Nak! InsyaAllah Ibu bisa melewati ujian ini..”, ucap beliau lirih. “Alhamdulillah, ini juga sudah ada perubahannya”, sambung beliau. Semenjak mengetahui sakit yang sebenarnya beliau alami, hari-hariku seakan mendung. “Bu, apa Ibu tidak merasakan sakit?”, tanyaku di sela-sela perbincangan kami ketika aku masih di rumah. Karena nyatanya beliau terlihat sehat-sehat saja tanpa ada sakit yang menimpanya. “Alhamdulillah Ibu masih bisa mengerjakan pekerjaan Ibu seperti biasa, sakitnya ketika mau pecah saja. Kalau lagi sakit Ibu bawa zikir..”, terang beliau. Libur usai. Aku kembali lagi ke ma’had (pesantren).  Aku jalani hari-hariku tanpa terlihat bahwa senyumku tak semanis apa yang tersimpan di benakku. Akhir bulan, aku kembali lagi ke rumah. Kebetulan, kakak pertamaku dengan keluarga kecilnya juga menginap. Tepatlah pada suatu malam, kami sekeluarga sedang berbincang-bincang, “Sekarang kondisi Ibu menurun. Gimana kalau kalian pulang ke rumahnya gantian; Senin sampai Kamis Abang yang disini, Kamis sampai Senin Z*** yang di rumah?”, saran Ayah kepada aku dan kakakku kerena memang keadaan Ibu sekarang mudah lelah. “Ya, nanti diatur lagi jadwal mengajarnya”, jawab kakakku. Februari Hari pertama masuk setelah libur, aku dan kakakku kembali ke ma’had, untuk bermusyawarah dengan para pengajar lain terkait jadwal pelajaran yang kami pegang karena kami tidak bisa hadir satu pekan penuh. Baru beberapa hari, aku kembali pulang, tepatnya hari Kamis siang. Sampai di rumah, Ibu terlihat lesu. Tenyata beliau belum makan. Lauk untuk beliau sendiri pun belum beliau masak. Akhirnya, aku yang baru datang pun memasakkan makanan untuk beliau. Semakin hari kondisi beliau semakin tidak baik. Nafsu makan yang turun drastis dan badan beliau pun semakin kurus. Alhamdulillah, kakak pertamaku menawarkan kepada Ayah agar Ibu meminum air rebusan benalu pohon jeruk. Agar tumornya cepat mengering. Kedua kakakku pun berusaha mencarinya. Ibuku sendiri pun juga berusaha mencarinya. Meski kondisi beliau yang sudah menurun, tetapi beliau masih berusaha untuk bisa mengendarai motor sendiri. Meski keadaan beliau yang tak lagi sekuat dulu, beliau masih tetap mengerjakan pekerjaan rumahnya semampu beliau. Beliau tidak ingin terlalu merasakan penyakitnya. Beliau tidak ingin sampai merepotkan orang lain. Beberapa hari setelahnya, alhamdulilah obat yang dimaksud pun didapat. Di samping minum obat herbal, beliau juga minum rebusan benalu tersebut. Hari Senin, kakakku datang, dan aku pun kembali ke ma’had. Para santriwati pun bertanya-tanya kepadaku, “Kholah, kenapa pulang?”, “Mau nikah ya, Kholah?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang jauh dari apa yang sebenarnya terjadi. Sampai-sampai diantara mereka ada yang bertanya kepada musyrifah (pengasuh santri di pesantren) yang lain perihal kepulanganku yang sering. “Birrul walidain, membantu orang tua”, begitulah jawabannya jika ada yang bertanya perihalku. Ya memang, tentang sakit yang menimpa beliau, beliau menutupnya dengan rapat. Beliau ingin terlihat selalu baik-baik saja. Beliau tak ingin orang lain merasa iba. Kamis hadir kembali, aku kembali lagi ke rumah. Sampai di rumah, kulihat Ibu yang semakin terlihat lemah. Malam Sabtunya, kakakku mampir sendirian ke rumahku, melihat keadaan Ibu dan berbincang-bincang dengan Ayah. “Gimana kalo Z*** gak usah ke ma’had lagi, biar dia aja yang bantuin Ibu? Jadi Abang gak perlu bolak-balik ke sini lagi. Kasihan juga anak-anakmu kalo sering bolak-balik lagi covid begini. Ibu juga susah istirahat kalo ada mereka”, terang Ayah kepada kakakku. “Ya nggak papa. Nanti jadwal Z*** biar digantikan yang lain”, jawab kakakku. Diputuskanlah, aku tidak akan ke Pondok lagi. Nafas Berat Hampir sepekan minum rebusan benalu itu, nafas Ibu seakan berat. Dan tangan kanan beliau terlihat membengkak. Akhirnya, Ibu berhenti minum rebusan benalu tersebut. Barangkali tubuh beliau tidak bisa menerima obat tersebut. Tepat hari Senin, ketika bangun tidur Ibu sesak. Ayah pun memberi pertolongan pertama. Di hari Senin itu pun aku sendiri yang menyiapkan sarapan untuk Ayah. Ibu tak lagi kuat tuk berdiri lama-lama, meski napasnya sudah cukup teratur setelah mendapat pertolongan pertama. Dan di pagi itu aku membuatkan bubur untuk Ibu. Air mataku terus mengucur sejak aku membuat sarapan untuk Ayah. Hingga Ayah telah berangkat kerja pun masih saja air mataku tak mau reda. Ibu yang tengah makan melihat air mataku yang tak henti pun bertanya, “Kenapa sayang? Kamu capek?”. Aku hanya menggeleng kepala sambil mengusap air mata. “Duduklah sini..”, lanjut beliau sambil menunjuk sofa lawas di samping beliau. Aku pun duduk di samping beliau. “Kenapa, Nak? Tak usah sedih, serahkan semuanya kepada Allah”, ucap beliau sambil megusap puncak kepalaku. Aku hanya diam memandangi beliau makan. “Ya Allah, apakah hidup beliau sebentar lagi? Sesingkat inikah pertemuanku dengan beliau”, batinku. “Kamu nggak makan? Jangan sampai sakit, kalo kamu juga sakit, siapa ntar yang bantuin Ibu?”, tanya beliau di sela-sela makannya. Aku hanya menggeleng. Nafsu makanku hilang. Tangisku telah menyambut hariku kali ini. Usai makan Ibu minta berbaring di kamar. Tak lama setelah itu dua kakak kandung Ibu datang. Lama kami tak jumpa. Tak menyangka, bertemu kembali dalam keadaan pilu. Dua bibiku itu memang baru mendapat kabar perihal sakit yang menimpa Ibu. Karena Ibu memang tidak mengabari saudara-saudaranya kecuali satu. Tangis haru pun tejadi di kamarku itu. Kata maaf pun terucap dari dua bibiku itu. Seakan pertemuan ini akan menjadi pertemuan terakhir. Esoknya, Ayah menawari Ibu untuk dirawat di Rumah Sakit. Namun, Ibu menolak. Sejak beberapa bulan lalu pun Ayah sudah menawari Ibu untuk kemoterapi. Namun, Ibu menolak. Karena tak ingin merasakan efek dari kemoterapi dan karena keadaan yang yang masih diliputi wabah. Lagi pula untuk kemoterapi harus ke luar pulau. Hari berikutnya, Ayah membawa resep dari dokter. Ayah pun mulai cuti hingga beberapa hari kedepannya. “Bu, coba pegang bagian tumornya, apakah bergerak ketika digerakkan?”, tanya Ayah. “Enggak”, jawab Ibu. “Ya sudah, Bu, pasrah aja..”, jawab Ayah dengan wajah pasrah. Mata Ibu pun berkaca-kaca. Tak tega melihat wajah lemas beliau. Mataku pun ikut berkaca-kaca. Aku menutup mulutku agar tangisku tak pecah. Didekapnya diriku. Beliau masih meyakinkanku, kalau beliau insyaallah masih bisa sembuh. Kondisi beliau semakin memburuk. Setelah ke kamar kecil yang ada di kamar pun nafas beliau terengah-engah. Hawa badan beliau pun selalu terasa gerah. Hingga hari Jum’at pagi, beliau akhirnya memakai oksigen guna membantu pernapasan beliau. Sendu. Itulah suasana rumahku hari itu.  Akhirnya, di hari itu pula menjelang sholat Ashar beliau dibawa ke rumah sakit dengan mobil ambulance ditemani Ayah. Selepas shalat Ashar, aku dan kakak kedua bersiap ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata di paru-paru Ibu banyak cairan yang menyebabkan sulit bernapas. Sehingga, besok beliau akan menjalani operasi untuk menyedot cairannya. Malamnya, Ayah pulang. Aku dan kakak yang menjaga Ibu. Paginya, Ayah datang kembali. Aku dan kakak pulang ke rumah. Operasi Ibu akan dilakukan sebelum waktu zhuhur. Doa keselamatan pun kurapal. Semoga Allah memberi umur panjang kepada Ibu. Setelah sholat zhuhur, aku dan kakak kembali lagi ke rumah sakit. Tenyata operasinya belum selesai. Di ruang rawat inap Ibu aku menunggu. Tak berselang lama, datanglah Ayah dan beberapa perawat mendorong ranjang Ibu. Senyum terukir di wajah Ibu. Beliau memang tak pernah menangisi sakitnya. Tak pula mengeluh. Tapi, wajahnya kali ini menunjukkan bahwa beliau berharap besar untuk masih bisa menemani hari-hari kami lebih lama lagi. Alhamdulillah, Allah masih mengizinkan beliau tuk menghirup udara dunia. Nafsu makan beliau pun muncul kembali. Nafas juga kembali normal. Alhamdulillah. Di tubuh beliau masih terpasang selang untuk mengeluarkan cairan dari paru-paru. Setelah cairan tak ada yang keluar, Ibu baru diizinkan pulang. Kurang lebih empat malam Ibu offname. Saat akan pulang, Ibu mencoba turun dari ranjang sendirian. Ternyata beliau masih lemah, kaki beliau belum bisa menapak tanpa bantuan. Akhirnya beliau memakai kursi roda untuk menuju mobil. Di rumah, ternyata keadaan beliau semakin hari tidak semakin baik. Ya, kadang memang beliau merasa badannya enakan. Namun, tangannya masih bengkak, dan nafas beliau sesekali kembali sesak. Ya memang, kata dokter, cairan itu akan muncul lagi meski telah disedot. Kamarku pun serasa seperti ruang rawat inap. Ada tabung oksigen dan infus. Ya, selama sakit beliau tidur di kamarku bersamaku. Setelah Ibu datang dari rumah sakit, para tetangga dan saudara serta ummahat salafiyyat datang menjenguk. Mereka memberi semangat kepada Ibu untuk sembuh dan memberi saran obat yang dan makanan yang dikonsumsi guna mempercepat penyembuhan tumor. Maret Kurang lebih dua pekan ibu dirawat di rumah, akhirnya Ibu harus kembali lagi ke rumah sakit untuk sedot cairan lagi. Tepatnya hari Ahad, Ibu kembali lagi opname. Hanya saja kali ini tidak dilakukan operasi. Dokter hanya masang jarum suntik dengan selang untuk mengalirkan cairannya. Kurang lebih sehari, selang sudah dilepas, karena cairannya sudah tidak keluar lagi. Namun, Ibu belum bisa pulang karena akan sedot cairannya lagi beberapa hari kedepan. Drop Hari itu, tepatnya hari Jum’at. Sore itu, kakak keduaku terburu-buru. “Abang disuruh ke Rumah Sakit, Ibu sesak”, ucapnya sambil berjalan tanpa menoleh. Harusnya balik lagi ke sana pada malam hari bersamaku. Aku yang sedang memasak hanya terdiam melihatnya terburu-buru. “Ya Allah, semoga Ibu masih selamat”, lirihku. Khawatir. Itulah yang aku dan kakak iparku rasakan. Mendekati Maghrib, kakak pertamaku yang datang. Setiap sore dia memang mengantar lauk untuk Ibu karena lauk yang disediakan dari Rumah Sakit seringnya lauk yang harus Ibu hindari. “Bagaimana keadaan Ibu?”, tanyaku. “Pakai oksigen tekanan tinggi”, jawabannya. “Padahal siangnya beliau masih terlihat baik-baik saja”, batinku. Setelah shalat isya aku diantar kakak pertama ke Rumah Sakit. “Adek mana?”, tanya beliau kepada kakakku yang mengantarku ketika kami telah sampai di ruangan. Adek yang beliau maksud adalah anak perempuan kakak pertamaku yang baru berumur satu tahun. Ntah mengapa tiba-tiba beliau bertanya cucunya. Padahal dari kemarin-kemarin tak pernah bertanya tentang cucunya. “Ada di rumah sama umminya”, jawabnya. Tak lama di sana, kakakku pulang. Malam itu, aku tidur duluan di sofa ruang rawat inap Ibu. Bergantian dengan kakakku yang kedua yang memang mendapat jadwal jaga malam sejak Ibu dirawat di Rumah Sakit. Saat terjaga dari lelap, kulihat ternyata Ayah masih duduk di samping ranjang Ibu. “Ya Allah, ternyata Ayah tidak pulang”, batinku. Ingin kudekati, tapi ragaku menolak tuk bangkit. Mendekati waktu subuh, aku terhenyak dari lelapku. Terdengar suara berat yang mengucapkan lafaz-lafaz zikir. Pandanganku langsung tertuju kepada sumber suara. Ternyata, itu suara Ibu! Dengan mata berkaca-kaca kudekati beliau yang sendiri. Aku duduk di kursi di samping ranjang beliau. Sepertinya Ayahku meninggalkan Ibu saat dirasa Ibu telah terlelap, dan tanpa membangunkan kami. “Ayah kemana?”, tanya beliau saat menyadari kehadiranku. Ku jawab bahwa aku juga tak mengerti kemana perginya Ayah. Setelah waktu subuh, Ayah datang. “Bacakan Al-Qur’an kepada Ibu!”, perintah Ayah. “Dari setelah sesak kemarin, agak beda soalnya”, lanjut Ayah. Akhirnya aku membacakan Al-Qur’an kepada Ibu. Jam terus berputar. Ibu meminta untuk diganti dengan oksigen yang biasa. Akhirnya Ayah mengganti dengan oksigen yang biasa. Baru beberapa detik diganti, tekanan oksigen di paru-paru Ibu menurun dan nafasnya terasa berat. Terpaksa Ayah mengganti dengan oksigen yang sebelumnya lagi. Sejak kemarin sore, nafas Ibu tidak nyaman. Dibuka sebenar saja sungkup oksigennya, kadar oksigen di paru-paru beliau menurun. Beliau juga merasa tak nyaman menggunakan sungkup oksigen. Ayah pun tampak kalut melihat kondisi Ibu yang bernafas tak nyaman. Dokter yang berjanji akan menyedot cairan hari itu pun tak kunjung datang. Hari itu, sejak usai sarapan, Ibu beberapa kali bertanya “Kapan sholat zhuhur?”. Padahal sudah dijawab masih lama. Ayah juga menyuruh untuk sesekali menalqin Ibu. Menjelang zhuhur, dokter datang. Mengetahui dokter akan tiba, aku segera menarik gorden yang membatasi tempat tidur Ibu dengan sofa-sofa pengunjung. Sedangkan kakakku memilih ke lantai bawah. Adapun Ayah menemani Dokter. Di balik gorden aku mendengar Dokter bertanya keadaan Ibu. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara Ibu yang cukup keras menyebut kalimat syahadat. Kurapal doa kebaikan. Semoga Ibu masih selamat. Terdengar suara dokter samar-samar. Namun, aku tak dapat mendengar jelas apa yang dokter bicarakan dengan Ayah. Tak lama kemudian, dokter keluar lalu memanggil Ayah untuk juga ikut keluar. Kusingkap gorden yang menghijabi antara aku dan Ibu. Dan ku dekati beliau. Ternyata, penyedotan cairannya batal. Entah apa alasannya, aku tak mengerti. Aku memandangi wajah Ibu yang lemas. Beliau juga menatap wajahku. “Alhamdulillah Ibu masih bernafas”, batinku. Beberapa saat kemudian, terdengar suara engsel pintu, aku segera kembali ke tempatku semula. “Oh ternyata Ayah dan dokter“, batinku.  Setelah itu ntah apa yang dokter lakukan. Yang pasti bukan untuk melakukan penyedotan cairan. Setelah usai pemeriksaan yang dilakukan dokter, aku menghubungi kakakku. Tak lama setelah kakakku masuk ruang rawat inap Ibu, kami pamit untuk pulang dulu. Sorenya, kakakku pergi duluan ke rumah sakit. Setelah Isya’ kakak pertamaku mengantarku ke rumah sakit. Sesampai di ruang rawat Ibu, terdengar suara murattal dari handphone kakak keduaku. Sejak Ibu sesak hebat, tepatnya hari Jum’at sore itu, Ibu sering dibacakan Al-Qur’an. Kadang, beliau sendiri yang memintanya. Ya memang, sejak hari itu, keadaan beliau tak meyakinkan. Kakak pertamaku pulang. Ayah juga menyusul pulang. Malam itu aku kembali memilih untuk tidur duluan. Udara ruangan yang dingin membuatku tak mampu melawan kantuk. Malam itu, awalnya Ibu akan diuap. Beberapa perawat pun telah membawa peralatannya. Namun, Ibu menolak. Aku yang telah berbaring di sofa, hanya melihat samar-samar apa yang terjadi karena aku menutup bagian tempat sofa dengan menarik sebagian gorden. Malam itu, Ibu tidak tidur dengan nyaman. Sesekali minta dilepas sungkup oksigennya. Sikap beliau pun seakan seperti anak kecil yang memaksa untuk dituruti permintaannya. Aku dan kakakku berusaha menenangkan beliau dan menyabari beliau. “Ya Allah, akankah kami menghadapi beliau yang pikun?”, batinku. Esoknya, saat hari masih gelap, Ayah dan kakak pertamaku datang. Sepertinya, selepas shalat Subuh mereka langsung berangkat ke Rumah Sakit. Pagi itu, aku sangat mengantuk. Kutahan-tahan, tetap saja terpejam meski dalam keadaan duduk. Padahal tidurku tadi malam cukup nyenyak meski sering terbangun. Entah mengapa, jaga dua malam terakhir ini, mataku begitu berat. Hingga aku merasa hampir semalam penuh kakakku yang menjaga. Jam menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit. Dalam keadaan yang masih menahan kantuk, Ayah mengajakku pulang. “Yuk pulang, Ayah sarapan di rumah aja”, ajak Ayah. Aku pun berpamitan dengan Ibu dan dua kakakku. Ingin kucium Ibuku, tapi aku tak ingin tangisku pecah, lagi. Sampai di rumah, aku dan kakak iparku menyiapkan sarapan untuk Ayah. Setelah sarapan dan menyiapkan yang lainnya, Ayah kembali ke rumah sakit. Aku dan kakak iparku di rumah bersama dua anaknya. Hari ini aku di rumah saja. Biasanya aku baru pulang ke rumah sekitar jam sembilan pagi. Namun hari ini, masih pagi aku sudah disuruh pulang dan tidak ke Rumah Sakit lagi. Mengingat hari-hari Ibu yang tak berdaya. Hampir sebulan Ibu tak berjalan. Hanya berbaring di atas tempat tidur. Selama itu pula, tak pernah ada air mata yang beliau tumpahkan karena sakit yang beliau rasakan. Tak pula keluh kesah yang keluar dari lisan beliau. Beliau serahkan dan pasrahkan semuanya kepada Yang Kuasa dengan menempuh sebab kesembuhan. Aku bangga padamu, Ibu! Ahad Sore “Kenapa barang-barangnya udah dibawa pulang, Bang?”, tanyaku keheranan ketika kakak pertamaku sampai di rumah setelah mengantar makan malam. “Yah, keadaan Ibu aja sudah seperti itu“, jawab kakakku. “Ya, mana tau besok Ibu segar kembali”, sambungku. Sebelumnya, aku memang sudah mendapat kabar bahwa Ibu sudah tidak sadar sejak siang. Aku hanya berusaha meyakinkan diriku sendiri, bahwa tidak mungkin Allah membebaniku diluar batas kemampuanku. Aku masih merasa belum mampu melayani Ayah tanpa bantuan dari Ibu. Aku khawatir tak sempurna dalam melayani Ayah. Setelah Shalat Maghrib “Nanti aku nggak ikut ke rumah sakit, ya, Bang!”, pintaku ke kakak pertamaku. “Kenapa?”, tanyanya. “Badanku agak engegak enak, entar khawatir tambah kedinginan di sana”, jawabku. Khawatir mau ke Rumah Sakit sedang tidak enak badan, karena di sana juga ada ruang isolasi covid-19. “Gimana kabar Ibumu, Z*?”, tanya adik Ibu via telepon. Mengetahui keadaan Ibu yang kritis aku menjawab, “Do’akan saja yang terbaik, Bi..”. “Kami pasti mendo’akan yang terbaik untuk Ibumu, Z*”, “Katanya dari tadi siang gak sadar ya?”, tanya Bibi. “Siapa yang mengabari ya?”, batinku. “Iya, Bi. Do’akan saja Ibu, Bi. Semoga Allah memberi yang terbaik untuk beliau”, ucapku menjawab pertanyaan Bibi.  Setelah Azan Isya’ Aku masih berbicara dengan temanku via telepon. Hingga kakak pertamaku berangkat ke rumah sakit. Ingin rasanya aku memutus telepon saat kakak mulai menyalakan motor dan ikut ke rumah sakit. Namun, aku urungkan. Khawatir kakak malas menungguku. Aneh. Entah mengapa malam itu aku tak mau ikut ke rumah sakit. Padahal, bagaimana pun keadaannya, aku tetap harus menjaga Ibu di waktu malam. Karena itu bagian tugasku. “Biarlah, Bang F*** jaga sendiri aja, daripada aku ikut jaga, ntar tambah gak enak badan”, batinku. Aku masih dengan ponselku. Berita Duka Tak lama setelah kakak pertamaku berangkat, kurang lebih dua puluh menit, istrinya yang memang ditinggal di rumah bersama dua anaknya, mendatangiku. “Dek, Ibu udah gak ada!”, ucapnya pelan dengan wajah muram dan mata berkaca-kaca. “Beneran, kak? Ibu udah meninggal?”, tanyaku kaget. “Ya, Abang baru saja memberi tau”, jawab kakak iparku. “Innaa lillahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Allahumma’ jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa._ Alhamdulillah ‘alaa kulli haal”, ucapku lirih. Aku langsung mencari kontak kakak pertamaku, lalu menelponnya. Telepon langsung diangkat. “Bang, beneran Ibu sudah meninggal?”, tanyaku setelah ucapan salamku dijawab. “Ya”, jawabnya singkat. Setelah mengucapkan salam, telepon ku tutup. Aku tidak menangis. Apakah hatiku batu? Tidak! Aku telah menyiapkan hatiku jauh-jauh hari. Aku meyakinkan diriku bahwa apa yang Allah takdirkan pasti yang terbaik, Allah tidak akan membebani hamba diluar kemampuannya, dan akan ada hikmah dari setiap kejadian. Tak berselang lama, kakak pertamaku datang. Dia langsung menyuruh menyiapkan kasur untuk jenazah Ibu. Sesaat kemudian kakak keduaku datang. Setelah dia masuk kamar, aku juga ikut masuk ke kamarnya, karena ada yang ingin aku sampaikan. Dengan air mata yang mengalir, dia memelukku. “Sabar, Bang. Namanya hidup, pasti ada perpisahan”, ucapku sambil mengusap punggungnya. Dengan mobil ambulance dan ditemani Ayah, jenazah Ibu sampai di rumah satu jam lebih setelah kabar kematiannya kudengar. Tenang dan damai. Itulah yang terlihat di wajah Ibu. Senyuman tergambar di bibir beliau. Rahimahallah. Semoga Allah merahmatimu, Ibu. Malam itu juga jenazah beliau dimandikan. Selepas sholat shubuh baru dikafani. Para tetangga, teman-teman Ayah dan Ibu, juga sanak saudara datang melayat. Sekitar pukul delapan, kami menyolatkan jenazah beliau. Setelah jam setengah sembilan, jenazah beliau dibawa ke masjid. untuk disholatkan di sana juga. Dari sebuah bilik, aku memandangi keranda yang membawa jenazah beliau hingga hilang dari pandanganku. Selamat jalan, Ibu. Semoga engkau bahagia di sana! “Tees!”. Air mataku tumpah. Lalu, aku berjongkok di atas kasur dan bersandar ke dinding. “Ya Allah, tak menyangka, ternyata pertemuan kami singkat!”, lirihku *** Kini, tak ada lagi sosok itu.. Sosok yang mencintaiku dan aku juga mencintainya.. Sosok tegar dan tak pernah berkeluh-kesah.. Sosok pejuang keras tak pula kenal putus asa.. Sosok tegas namun penuh kelembutan.. Sosok sabar lagi penuh kasih sayang.. Sosok periang lagi ramah.. Dan sosok yang suka menyambung silaturahmi lagi dermawan.. Ya, sosok itu adalah sosok Ibuku! Sosok yang aku banggakan! (Ditulis oleh Az****, Sahabat Portal Buku dari Belitung) Sumber: https://portalbuku.com/bikin-air-mata-tumpah-ibu-yang-aku-banggakan/
3 tahun yang lalu
baca 18 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

sengkang dan keajaiban sutra

Sengkang dan Keajaiban Sutra Al Hafidz Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat 21 dan 22 dari surat Al Baqarah, membawakan sekian keterangan ulama tentang bukti adanya dzat yang mencipta dan mengatur alam semesta. Antara lain jawaban Imam Syafi'i. Saat ditanya tentang bukti adanya pencipta dan pengatur alam semesta, beliau menjawab, "Daun Murbei". Ada apa dengan daun murbei? Imam Syafi'i lebih lanjut menerangkan, " Rasa daun murbei sama. Namun, jika dimakan ulat sutra akan keluar sutra. Dimakan lebah menjadi madu. Dimakan kambing dan unta menjadi kotoran. Dimakan kijang keluar minyak misik" "Padahal, obyeknya sama", beliau menyimpulkan. Subhanallah! Hal ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Pasti ada dzat yang mengatur. Siapa lagi kalau bukan Allah Ta'ala? . Sayang, tidak semua yang mengerti rububiah Allah, lantas mentauhidkan-Nya secara uluhiah. Padahal setelah menyebutkan kuasa rububiah-Nya, Allah melarang ibadah kepada selain-Nya ; الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ (Dia-lah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia-lah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (Al Baqarah 22) * Masuk kota Sengkang, ada tulisan besar di gerbang kota yang jelas terbaca "Kota Sutera". Iya! Sengkang sejak zaman dahulu dikenal sebagai sentra kerajinan sutra. Hingga kini, ikon itu coba dipertahankan bahkan dikembangkan. Pemerintah daerah berusaha untuk membudidayakan pohon Murbei menjadi perkebunan sebagai sumber makanan ulat-ulat sutra. Menyaksikan langsung di kampung produksi sutra, rupanya sejarah kain tenun sutra sudah sangat lama di Sengkang.  Dari sutra, kita bisa banyak mengambil pelajaran! Di dalam Bada'iul Fawaid (3/756), Ibnul Qayyim menganalogikan amal orang ikhlas dengan sutra, sementara amal orang riya' dengan jaring laba-laba. "Dua hal yang sangat jauh berbeda jika ingin disamakan", jelas Ibnul Qayyim. Beliau melanjutkan, "Ketika ulat sutra mulai memproduksi benang, laba-laba ingin meniru. Laba-laba mengatakan, : Kamu punya jaring. Aku pun punya jaring". Ulat sutra menanggapi, : Namun, jaringku adalah pakaian para raja sementara jaringmu untuk perangkap lalat. Ketika diperlukan, akan nampak perbedaan" Kemudian Ibnul Qayyim menukil bait syair karya al Mutanabbi ; إذا اشْتبهَت دُموعٌ في خدودٍ  تَبَيَّنَ مَن بكى مِمَّن تَباكى Jika air mata telah berlinang membasahi pipi Niscaya orang yang serius menangis dan pura-pura akan diketahui Memang!  Untuk menghasilkan selembar kain sutra berkualitas, dibutuhkan proses panjang, rumit, dan melelahkan. Mulai dari proses ngengat yang bertelur dan direkatkan di daun-daun Murbei, lalu menetas menjadi larva dan diamankan oleh induknya sambil diberi makan daun-daun Murbei, hingga berkali-kali ganti kulit lalu menjadi kepompong. Kepompong sutra direndam dan direbus dengan air panas sambil diurai dan dicari ujung pintalan benangnya lalu digulung layaknya benang. Proses membuat kain dari bahan benang-benang tadi pun masih panjang. Apalagi dilakukan secara manual dan tradisional. Maka, kepadamu, wahai anak muda!  Sabarlah dan teruslah berproses! Jangan bosan dan jangan menyerah! Jika untuk sehelai kain sutra berkualitas harus melewati tahapan panjang dan melelahkan, apalagi menjadi seorang pemuda yang baik dan saleh. Menjadi pemuda hebat dan bermanfaat serta mau berjuang untuk agama Allah, harus dijalani dengan proses panjang. Tidak ada kata berhenti. Tidak kenal istilah mundur. Semoga Allah Ta'ala memudahkan jalan kalian, wahai anak-anak muda. Wajo, 31 Oktober 2021 t.me/anakmudadansalaf
3 tahun yang lalu
baca 3 menit