Tokoh kita kali ini dapat menjadi inspirasi agar kita mampu menjalani hidup dengan penuh kepercayaan pada Allah selama niatan baik masih tersimpan dalam kalbu.
Mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan tokoh SyababSalafy pada edisi kali ini.
***
Sebut saja Hatim, ia memiliki julukan ‘Si Tuli’, atau, dalam Bahasa Arab lebih familiar dengan sebutan “Hatim Al-Asham”. Ia merupakan salah satu pemuka orang-orang saleh di masa itu.
Julukan ‘Si Tuli’ memang agak terdengar aneh.
Karena, julukan tersebut berhasil tersemat bukan karena ia benar-benar tuli. Ada sedikit cerita menakjubkan tentang julukan yang disandangnya ini.
***
Suatu hari, datanglah seorang wanita kepada Hatim. Ia ingin bertanya beberapa persoalan agama. Pertanyaan demi pertanyaan ia lontarkan dengan seksama.
Hatim pun mendengarkan dengan penuh kekhusyukan.
Namun, alangkah celaka sang wanita tadi.
Di tengah-tengah pertanyaan yang ia lontarkan pada Hatim, tiba-tiba ‘berhembuslah angin’ dari sang wanita. Ia mengeluarkan angin disertai dengan suara yang membuatnya begitu malu tersipu.
Hatim sebagai alim besar pun menunjukkan sikap hebatnya.
Ia berusaha menjaga perasaan sang wanita. Ia tidak ingin membuat wanita tadi harus tersipu malu dengan suara ‘hembusan anginnya’ yang tiba-tiba ‘tercium’ tanpa permisi.
“Apa?! Kamu tadi bilang apa? Coba diulang!”, kata Hatim kepada sang wanita sesaat setelah suara ‘hembusan angin’ itu ‘bertiup’.
Hatim ingin mengesankan dirinya sebagai seorang yang tuli.
Ia kesankan seakan suara ‘hembusan angin’ tadi terdengar olehnya bagai lontaran-lontaran pertanyaan yang tidak begitu jelas dari sang wanita.
Berhasil. Sang wanita pun luntur rasa segan karena kesalahannya tadi.
Ia benar-benar menyangka bahwa Hatim memiliki pendengaran yang lemah. Sehingga, suara ‘hembusan angin’ tadi dikira pertanyaan dari sang wanita.
Selamat. Hatim sang alim pun benar-benar telah menjaga perasaan sang wanita, meskipun ia harus mendapat julukan ‘Si Tuli’ di saat kisah ini menyebar luas di masyarakat.
Luar biasa, Hatim!
Nah, apa kisah menakjubkan yang pernah beliau alami semasa hidupnya?Mari kita lanjutkan.
***
Sama sekali tak terbayangkan, di saat kerinduan pada tanah suci begitu menggebu di dalam hati. Namun, apalah daya, hartapun tak punya.
Sedangkan, dirinya juga mempunyai tanggungan nafkah keluarga. Bagaimana bisa dia memberanikan diri menempuh padang sahara yang begitu tandus?
Sudah, percaya saja pada Allah. Dia tiada pernah menyia-nyiakan niat baik hamba-Nya. Hingga, suatu ketika kejaiban itupun datang..
***
Bulan haji masih beberapa saat lagi. Namun, hati Hatim telah dipenuhi dengan jutaan rindu pada tanah suci.
Dirinya merasa terpanggil untuk mendekat, bermunajat kepada Sang Pencipta di depan rumah-Nya. Ia utarakan itikad baiknya ini kepada keluarganya.
Namun, apalah daya. Hatim bukanlah orang berharta. Hidupnya pas-pasan. Sebenarnya, haji bukanlah kewajiban bagi dirinya.
Namun, bilamana tekad telah bulat dan menancap kuat dalam dada, siapa yang dapat menghalangi langkahnya?! Biidznillah..
***
Suatu ketika, Hatim terpuruk dalam kesedihan. Air matanya pun mengalir deras membasahi pipinya. Saat itu, tiba-tiba putrinya menghampiri Sang Ayahanda, ia mendekat.
“Ayah, apa yang membuat Anda menangis?”, tanya sang putri keheranan.
“Musim haji telah tiba”, jawab ayahnya singkat.
“Lantas, mengapa ayah tidak segera berangkat saja?”, usul sang putri.
“Tidak ada bekalnya, Nak!”, kata ayah.
“Allah pasti akan memberikan rezeki kepadamu, Ayah!”, sahut sang putri dengan penuh percaya.
“Tentu. Namun, bagaimana dengan nafkah kalian nanti (jika ayah berangkat haji)?”, kata Hatim mengasihani putrinya.
Hmm.. kira-kira apakah yang akan menjadi jawaban putri Hatim? Akankah ia merasa akan kekurangan nafkah keluarga karena kehilangan sang ayah untuk beberapa waktu.
“Allahlah pasti yang akan memberi rezeki kepada kami, Ayah!”, jawab sang putri salehah dengan penuh kepercayaan kepada Sang Pencipta.
“Baiklah, Nak! Namun, keputusan tetap ada pada ibumu.”
***
Akhirnya, sang putri pun pergi menghampiri ibunya. Sang putri berusaha mengingatkan bahwa musim haji telah tiba. Ayah dahulu memiliki tekad untuk bisa berangkat haji pada tahun ini.
Dialog panjang pun terjadi. Hingga sang putri berhasil meyakinkan ibu sekaligus saudara-saudaranya bahwa mereka akan baik-baik saja.
“Pergilah untuk berhaji, duhai suamiku! Allah yang akan mencukupi rezeki kita”, ucap sang ibu mengizinkan suaminya tercinta.
Maka, Hatim bergegas menyiapkan segala perbekalan yang ia miliki untuk menempuh perjalan suci ini.
Tak lupa, ia tinggalkan nafkah kepada keluarganya sebatas yang ia miliki.
Ia hanya mampu meninggalkan nafkah yang cukup untuk memenuhi kehidupan keluarganya selama 3 hari saja. Selebihnya, serahkan saja kepada Allah!.
***
Perjalanan Dimulai!
Hatim memulai rihlahnya. Ia berjalan seorang diri dengan penuh keyakinan tinggi bahwa “Allahlah Sang Pemberi rezeki.” Ia memilih untuk berjalan di belakang rombongan haji yang ada di depannya.
Namun, tiba-tiba ada suatu kejadian mengejutkan.
Di awal rute perjalanan yang ia lalui, tak disangka. Pemimpin rombongan haji yang berada di depannya disengat seekor kalajengking.
Mereka kebingungan mencari tabib yang mampu menyembuhkan luka sengatan yang dideritanya.
Akhirnya, Allah takdirkan mereka menemui Hatim yang sedari tadi sudah berjalan membuntuti di belakang rombongan.
Dengan izin Allah, Hatim meruqyah orang tersebut hingga sembuh. Luar biasa, Hatim!
“Sungguh, saya akan menanggung biaya perjalanan Hatim selama berangkat dan pulangnya nanti!”, kata sang pemimpin rombongan yang baru saja sembuh.
Ia begitu berterima kasih kepada Hatim yang berhasil meruqyahnya. Inilah keajaiban pertama bagi Hatim.
Saat awal berangkat, ia tidak membawa bekal yang cukup. Ia serahkan semuanya pada Allah.
Namun, siapa sangka, ternyata di awal rute perjalanannya ia mendapat rezeki dari Allah melalui sengatan kalajengking tadi?! Subhanallah..
Di sisi lain, Hatim masih saja teringat akan keluarga yang baru saja ia tinggalkan di kampung halaman. Ia masih ingat betul bahwa nafkah yang ditinggalkannya hanya mencukupi untuk keperluan selama 3 hari saja. Maka, Hatim pun melangitkan doa,
“Ya Allah, semua keajaiban ini adalah pengaturan-Mu. Maka, aku memohon kepada-Mu, perlihatkanlah keajaiban-Mu untuk keluargaku, ya Allah..”
***
Rupanya, rihlah itu telah ia tempuh selama 3 hari perjalanan. Di saat yang sama, keluarga di rumah benar-benar telah kehabisan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kini, keluarga Hatim sedang dilanda kelaparan. Timbullah konflik kecil di tengah-tengah mereka.
Apa gerangan yang akan terjadi selanjutnya?
***
Rupanya, rihlah itu telah ia tempuh selama 3 hari perjalanan. Di saat yang sama, keluarga di rumah benar-benar telah kehabisan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kini, keluarga Hatim sedang dilanda kelaparan. Timbullah konflik kecil di tengah-tengah mereka. Mereka menyalahkan dan mencerca sang putri.
Menurut saudara-saudaranya, sang putri merupakan ‘kambing hitam’ atas semua musibah kelaparan ini.
Karena sang putri merupakan tokoh utama yang mengizinkan ayah untuk berangkat menuju rihlah suci.
Namun, sang putri menanggapi dengan santai. Ia masih kokoh di atas pendiriannya bahwa hanya Allah saja Sang Pemberi rezeki.
Sang putri hanya tertawa. Ya, tertawa saja.
”Apa-apaan?! Kenapa kamu justru tertawa begitu saja. Sementara derita kelaparan ini hampir membunuh kita semua!”, tanya saudara-saudaranya dengan nada jengkel.
Sang putri benar-benar menunjukkan jati dirinya yang salihah.
Ia benar-benar yakin atas pertolongan Allah. Sehingga, ia pun mampu menjawab pertanyaan saudara-saudaranya dengan kata mutiara yang sangat pantas ditulis dengan tinta emas.
“Duhai saudara-saudaraku! Ayah kita itu adalah pemakan rezeki (seperti kita) ataukah dia Sang Pemberi rezeki?!”
Menohok! Benar-benar mengena di hati saudara-saudaranya. Sebuah jawaban singkat.
Namun, setidaknya berhasil mengingatkan kita semua bahwa ayah bukanlah segalanya. Allahlah yang memberikan segalanya kepada ayah.
“Tentu ayah kita adalah pemakan rezeki (sama seperti kita). Adapun Sang Pemberi rezeki adalah Allah, bukan ayah”, jawab saudara-saudaranya dengan kompak.
“Jika demikian, sungguh. Sang pemakan rezeki sedang pergi. Namun, Sang Pemberi rezeki akan selalu ada bersama kita”, pungkas sang putri mengalahkan perdebatan dengan saudara-saudaranya sembari ia melanjutkan ‘ceramahnya’ kepada mereka.
***
Namun, tiba-tiba “Tok tok tok..”, rupanya ada yang mengetuk pintu rumah dari luar. Sejenak mereka terdiam. Duhai, ada apa gerangan.
“Siapa, ya?”, tanya mereka.
Duhai, apakah pertolongan Allah datang.
Apakah ada orang di luar sana yang mengetahui derita kelaparan ini. Atau inikah keajaiban Allah pada keluarga tersebut. Mungkin saja, saat itu sejuta asa bergelayutan dalam benak mereka. Atau??
Apa yang akan terjadi?!
***
“Amirul-Mukminin (sedang singgah di tempat ini), ia meminta air minum kepada kalian”, kata orang tak dikenal dari di balik pintu.
Rupanya, memang tak disangka, ternyata yang datang hanya ingin meminta air kepada keluarga yang hampir mati kelaparan.
Namun, sesempit apapun kondisinya, mereka tetap saja ingin berbuat baik kepada orang lain.
Sang putri mengambil wadah air, lalu mengisinya hingga penuh.
***
Amirul-Mukminin menerima air dari utusannya.
“Glek-glek..”, ia teguk perhalan sembari menikmati segarnya air minum dari rumah keluarga Hatim.
Sebentar, rupanya sang Khalifah merasakan sesuatu. Ia merasakan air tersebut ada rasa manis-manisnya. Sama sekali ia belum pernah merasakan air sesegar air itu.
“Kalian dapat air ini darimana?”, tanya khalifah kepada ajudannya.
“Dari rumah keluarga Hatim”, jawab mereka.
“Tolong undang dia kemari. Akan aku beri hadiah!”, pinta Sang Khalifah.
“Tidak bisa wahai Amirul-Mukminin. Dia sedang melaksanakan haji.”
Saat itulah, detik-detik keajaiban pun tiba. Allah tidak pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang berniat baik.
Dia tiada pernah menelantarkan hamba-Nya yang beriman dan percaya penuh atas kekuasaan-Nya. Sungguh, apa yang akan terjadi?
***
Tiba-tiba, Amirul-Mukminin melepas sabuk kebesarannya. Sabuk tersebut rupanya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Pasalnya, ia terbuat dari bahan kain unggulan. Bertahtakan bebatuan berlian yang berharga miliaran. Begitu mewah sabuk itu.
“Ini saja. Tolong berikan kepada keluarga Hatim!”, pinta Sang Khalifah.
Kaget! Mungkin itulah yang akan dirasakan keluarga Hatim.
Pasalnya, mereka tidak menyangka akan mendapatkan oleh-oleh dari sang khalifah di tengah derita kelaparan yang hampir saja merenggut nyawa mereka.
“Siapa yang menghormati diriku? (Silakan ikuti apa yang kulakukan!)”, Sang Khalifah menguji kesetiaan para menterinya.
Spontan, para menteri pun mengikuti petuah sang khalifah. Kompak. Mereka menanggalkan sabuk-sabuk kebesaran yang mengikat perut mereka.
Hingga berhimpunlah tumpukan sabuk-sabuk mewah bernilai miliaran rupiah. Atau bahkan, trilyunan! Laa haula wa laa quwwata illa billah…
***
Seorang pedagang besar menaksir harga tumpukan sabuk para pejabat tadi. Ternyata, hal itu setara dengan tumpukan uang dinar sepenuh rumah.
Tentu saja, hal itu dapat mencukupi nafkah keluarga Hatim sampai mati. Ya, benar, sampai mati!
Akhirnya, kini keluarga Hatim dapat membeli makanan berkat harta pemberian Amirul-Mukminin. Mereka semua tertawa ceria.
Namun, ada sebuah keanehan yang membuat kita semua terheran-heran. Sang putri justru menangis tersedu-sedu. Sungguh, ada apa gerangan?
“Duhai putriku! Kamu benar-benar membuatku merasa heran. Tadi kami menangis karena tertimpa kelaparan. Namun, dirimu justru tertawa seorang diri. Dan saat ini, Allah telah memberikan jalan keluar yang terbuka begitu lebar kepada kita semua. Lantas, kenapa engkau justru menangis tersedu?!”, tanya sang ibu dengan penuh keheranan.
***
Maka, untuk yang kesekian kalinya, sang putri kembali mengeluarkan kata-kata mutiara yang seharusnya ditulis dengan tinta emas.
Sebuah kata-kata yang membuat kita merenung dan mengagumi betapa besarnya jiwa seseorang apabila dia mampu mempercayakan hidup ini sepenuhnya hanya kepada Allah.
“Makhluk ini —maksudnya sang khalifah–, duhai ibuku! Sejatinya ia sama sekali tidak bisa mencegah setiap bahaya yang akan meneror dirinya. Ia juga tiada bisa mendatangkan manfaat untuk diri sendiri.
Namun, biarpun demikian keadaannya, ia masih bisa memiliki pandangan belas kasih terhadap kita.
Sehingga, ia menghadiahkan perbendaharaan yang dimilikinya untuk kita. Semua itu bisa untuk menanggung beban hidup keluarga kita sampai kematian datang.
Lalu, kiranya bagaimana (dengan kasih sayang) dari Sang Raja Diraja?!”, pungkas sang putri kepada ibunda tercinta.
Referensi:
Thabaqat al-Auliya’ karya Ibnu al-Mulaqqin.