Medan pertempuran bukanlah satu-satunya ajang untuk unjuk keberanian. Sikap keberanian akan menjadi salah tafsir bila dimaknakan sebatas “berani bertempur” ataupun “beradu fisik”.
Namun, di sana ada sebuah keberanian berupa “integritas moral” yang akan terlihat pada situasi yang sulit dan diproyeksikan oleh orang-orang hebat.
Integritas moral dapat ditafsirkan sebagai kemampuan seseorang untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral yang diyakininya. Bahkan ketika tindakan tersebut menimbulkan resiko, tekanan, ataupun konsekuensi yang merugikan diri.
Salah satu cerita yang mempertontonkan aksi kesetiaan pada integritas moral adalah sebuah momen yang terjadi di masa kekhalifahan al-Manshur.
Beliau merupakan Khalifah yang dikenal dengan karakternya yang sangat tegas.
Suatu saat, al-Manshur menerima informasi bahwa salah satu pegawai dari Bani Umayyah menimbun titipan harta dan senjata milik mereka.
Maka, Khalifah pun memberikan komando kepada pasukannya untuk menangkap orang tersebut agar harta yang ditimbunnya dikembalikan ke baitul mal.
Saat orang tersebut telah tiba di hadapan al-Manshur, ia mulai menginterogasinya.
“Aku telah menerima informasi bahwa kamu menyimpan titipan harta milik Bani Umayyah. Maka, keluarkanlah itu semua dan kembalikan ke baitul mal!”, perintah Sang Khalifah dengan tegas.
Maka, dengan santai orang tadi menjawab,
“Wahai Amirul Mukminin! Apakah Anda adalah pewaris Bani Umayyah?”
“Bukan”, jawab Khalifah singkat.
“Kalau begitu, apakah Anda adalah orang yang mendapatkan wasiat dari Bani Umayyah untuk mendapatkan harta mereka?”, orang itu bertanya kembali.
“Tidak juga”, jawab Khalifah.
“Lalu, mengapa Anda memintaku untuk menyerahkan semua harta itu?”
Maka, Sang Khalifah pun terdiam dan berpikir panjang,
“Bani Umayyah dahulu berlaku jahat kepada masyarakat. Mereka merampas harta kaum muslimin. Oleh karena itu, aku harus mengambil harta mereka yang kamu simpan saat ini dan akan kukembalikan ke baitul mal”.
Maka, orang tersebut menjawab dengan tegas,
“Baiklah! Untuk merealisasikan permintaan tersebut, setidaknya ada 2 hal yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Yang pertama, Amirul Mukminin harus mendatangkan bukti yang kuat bahwa harta yang aku simpan ini memang milik Bani Umayyah.
Kedua, bila Anda memang sanggup membuktikannya, selanjutnya Anda pun harus membuktikan juga bahwa harta yang aku simpan benar-benar merupakan harta kaum muslimin yang dirampas oleh Bani Umayyah.
Hal ini disebabkan karena Bani Umayyah memang memiliki perbendaharaan yang banyak selain harta yang diklaim sebagai rampasan dari kaum muslimin.”
Maka, Khalifah al-Manshur pun tertunduk sejenak. Lalu, ia mengangkat kepalanya dan memerintahkan kepada menterinya yang bernama Ar-Rabi’,
“Wahai Rabi’! Aku akui, semua yang baru saja dikatakan orang ini benar”.
Sejurus kemudian, Sang Khalifah langsung menoleh kepada orang tersebut,
“Apakah kamu punya keperluan khusus yang bisa aku tunaikan?”, tawar Sang Khalifah.
“Ya”, jawabnya.
“Apa itu? Katakan saja!”, pinta Khalifah.
“Aku ingin agar Anda mendatangkan juga orang yang telah memberikan informasi palsu tersebut dan memfitnahku. Demi Allah, wahai Amirul Mukmini! Bani Umayyah tidak memiliki titipan apapun yang aku simpan, baik harta ataupun senjata”, terang orang tadi.
Khalifah al-Manshur terkejut atas permintaan tersebut. “Mengapa permintaanmu seperti itu?”.
“Ya, aku meminta demikian karena saat aku hadir di hadapan Anda saat ini, wahai Khalifah, aku melihat bahwa Anda adalah orang yang yang adil, gemar mengikuti kebenaran, dan menjauh dari hal yang salah. Sehingga, aku menyadari bahwa permintaanku merupakan jalan terbaik untuk membuktikan realita yang terjadi sebenarnya”.
Maka, Khalifah al-Manshur melayangkan perintah untuk menangkap penyebar berita hoaks tersebut. Saat ia didatangkan, orang tadi ternyata mengenalinya. Ia merupakan sosok pembantunya dahulu.
“Wahai Khalifah! Orang ini adalah pembantuku. Ia mencuri 500 dinar dan kabur”.
Khalifah pun langsung memandang penyebar hoaks tadi dengan tatapan tajam. Ia pun merasa cemas dan gentar atas pandangan tajam Sang Khalifah.
Akhirnya, ia pun mengaku tindak kriminal yang ia lakukan kepada majikannya.
“Benar! Aku telah memfitnah majikanku agar Anda menangkapnya, wahai Khalifah! Sehingga, ia tidak bisa menuntut harta yang telah aku curi darinya”.
Maka, dengan bijak, al-Manshur pun memberikan pilihan kepada orang yang difitnah tadi.
“Bagaimana? Apa yang kamu inginkan dari kami?”.
“Wahai Amirul Mukminin! Harta yang telah dicuri aku hibahkan saja kepadanya. Hal ini karena Anda telah bersikap sangat bijak kepadaku, juga karena ia telah hadir di majlis Anda ini”.
Maka, Khalifah al-Manshur begitu senang dengan inisiatif tersebut. “Belum pernah aku menemukan orang yang berselisih pendapat denganku sebaik orang tadi”, kata-kata ini selalu diulang oleh Khalifah karena momen tersebut begitu membekas di hatinya.