Syabab Salafy
Syabab Salafy oleh Admin

menikmati suasana kota madinah dari puncak uhud

6 bulan yang lalu
baca 5 menit
Menikmati Suasana Kota Madinah dari Puncak Uhud

Madinah — Melalui sebuah grup keakraban syabab Madinah di WhatsApp, Baker (bukan nama aslinya) menggagas ide cemerlang. Ia menawarkan agenda mendaki Uhud.

Sejurus kemudian, kami pun mengaminkan gagasan brilian ini. Pasalnya, agenda tersebut akan menjadi kenangan bersejerah yang tak terlupakan.

Dalam Islam, gunung Uhud menyimpan sejuta kisah dan pelajaran berharga. Sebuah perang besar pernah terjadi di tahun ketiga hijriyah.

«إِنَّ أُحُدًا جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ»

“Uhud adalah gunung yang mencintai kami. Kami pun mencintainya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Musyawarah pun bergulir apa adanya melalui “rapat dadakan” di WhatsApp. Segala persiapan yang diperlukan dan pembagian tugas diputuskan di sana.

Saat diabsen, peserta yang akan mengikuti agenda “panjat gunung” ini terhimpun sekitar 30 orang.

Kami terdiri dari mahasiswa Universitas Islam Madinah, pelajar-pelajar mandiri, dan juga beberapa “santri” yang baru saja tiba dari Negeri Yaman.

Hari Pendakian Tiba

Selasa (27/24) malam, Baker memutuskan titik lokasi kumpul di Mahras.

Mahras merupakan salah satu akses untuk menuju puncak Uhud yang berlokasi di ujung Distrik Sayyid Asy-Syuhada’.

Kami yang terbagi menjadi beberapa rombongan pun tiba satu persatu menggunakan naqel, taksi yang bisa dicegat di pinggir jalan dengan tarif sesuai negosiasi.

Dengan suara serak karena tenggorokan sedang tak bersahabat, Baker pun tetap bersemangat memberikan instruksi prapendakian kepada seluruh peserta.

Tak lupa, untuk memastikan kelengkapan peserta, kami dengan saksama mengabsen satu persatu.

Malam itu, meski suhu Kota Madinah cukup dingin, tetapi rasa keakraban di antara peserta terasa hangat.

Dengan sukarela, kami berbagi tugas untuk membawa peralatan, potongan daging ayam, dan olahan bakwan setengah ember yang rasanya tak sabar ingin kami snatap.

Memang, salah satu ujian saat merantau di tanah Arab adalah rindu makanan khas tanah air.

Pegunungan Tandus

Momen pendakian ini amat berbeda. Bila di tanah air, gunung yang kita daki selalu dipenuhi pepohonan yang rimbun dan hutan yang lebat, tetapi Gunung Uhud ini hampir tidak ada pohon sama sekali.

Di sepanjang jalur pendakian hanya terlihat pasir-pasir dan bebatuan besar yang terlihat amat kokoh.

Perjalanan pun dimulai. Langkah demi langkah kami ayunkan bersama dengan obrolan dan suasana keakraban.

Suasana Madinah malam itu amat cerah, kami berjalan tanpa lampu senter. Pasalnya, cahaya rembulan terus menemani kami hingga tiba di puncak.

Madinah Malam Hari yang Syahdu

Setelah ribuan langkah kami lewati dengan cukup lelah, tiba-tiba semangat pun kembali berkobar saat kemilau Kota Nabi ﷺ mulai terlihat.

Suasana keakraban pun bertambah syahdu. Kemerlip lampu dan bangunan-bangunan apartemen tampak indah dari kejauhan.

Ada sebuah pemandangan yang membuat lisan tak berhenti dari bertasbih, Masjid Nabawi pun mulai tampak dengan megahnya. Subhanallah!

Tanpa berucap, kami pun bersepakat untuk menjeda sejenak pendakian ini.

Kami duduk di tebing demi menikmati sebuah pemandangan yang belum pernah kami lihat sebelumnya.

Kami tidak sedang melihat keindahan Kota Jakarta dengan gemerlapnya yang memukau, tetapi ini adalah Kota Madinah yang menjadi saksi panjang sejarah Islam!

Semangat Menuju Puncak

Setelah kekutan kembali terhimpun, perjalanan pun kami lanjutkan. Sebuah tower telekomunikasi yang berada di atas merupakan tujuan kami “menggelar tikar”.

Hmm … Itu dia sudah tampak. Rasanya, sebentar lagi kami sampai.

Namun, perjuangan tidak sesederhana yang kita bayangkan. Masih harus ada “upaya lebih” dan jiwa pantang menyerah agar benar-benar sampai pada tujuan.

Terkadang, “dekat” hanya fatamorgana. Ada banyak proses lelah yang harus dilampaui dengan jiwa pantang menyerah.

“Pada mereka yang mengharapkan asa yang tinggi tanpa kesungguhan, katakanlah, ‘Sungguh, sejatinya kamu sedang mengharapkan kemustahilan’”, Ibnul Qayyim rahimahllah dalam Miftah Dar As-Sa’adah.

Menginjak Puncak

Setelah napas mulai singkat-singkat, akhirnya perjalanan pun berhasil kami taklukkan. Kini, peserta telah tiba di sebuh spot yang cukup luas dan cenderung datar.

Tak ada yang lebih baik dari ucapan tasbih saat melihat panorama semesta yang amat indah. Inilah kota Madinah, tempat hijrahnya Nabi ﷺ, tempat para shahabat berjuang mempertaruhkan nyawa demi agama.

Para peserta yang mungkin mayoritasnya telah menahan lapar pasca terkurasnya energi saat mendaki, kini telah mempersiapkan tungku perapian.

Menu di puncak Uhud malam ini adalah ayam bakar, ikan laut, dan bakwan. Hawa dingin khas puncak gunung pun mulai berembus, tetapi suasana kehangatan makin terasa antarpeserta.

Mereka bergotong royong menyalakan api, bergantian memasak, hingga menyeduh minuman untuk menghangatkan badan

Suasana ukhuwah benar-benar terpotret indah dengan bingkai panorama Kota Madinah.

>>

Sufrah Digelar, Sinyal Hidangan Siap Disantap

Layaknya masyarakat Arab, kami di sini terbiasa makan berjamaah dengan gelaran sufrah, media untuk meletakkan hidangan sebagai ganti dari piring.

Karena kami berjumlah sekitar 30 orang, gelaran sufrah pun memanjang sekitar 6 meter. Di sana, sudah tersedia nasi dengan hidangan ayam bakar dan ikan laut yang lezat.

Terlelap di Bawah Pancaran Sinar Purnama

Seusai menyantap hidangan malam, para peserta menggelar sajadah dan sarung masing-masing sebagai alas tidurnya.

Uniknya, kami memang sengaja tidak membawa perlengkapan tenda (karena memang tidak punya), kami sepakat untuk terlelap outdoor sembari memandang panorama indah Kota Madinah.