Fiqih

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum menyembelih hewan qurban lebih dari satu

BOLEHKAH MENYEMBELIH LEBIH DARI SATU HEWAN QURBAN, dan HUKUM BERSERIKAT DALAM SEEKOR KAMBING -------------------------------------------- Apakah boleh bagi seorang yang mampu untuk menyembelih lebih dari satu hewan qurban untuk dirinya? Karena ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibas? Apakah boleh suami dan istrinya berserikat pada satu hewan qurban, dari suaminya separuh dan dari istrinya separuh? Dari dua hal di atas, mana yang sebaiknya dilakukan oleh seseorang? ………………………………………… Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah menjawab: Yang afdhal (lebih utama) adalah seseorang tidak berqurban melebihi satu ekor kambing untuk dirinya dan keluarganya. Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dulu berqurban dengan satu ekor kambing untuk beliau dan keluarga beliau. Sudah dimaklumi bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk yang paling mulia dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling besar kecintaannya untuk beribadah kepada Allah dan mengagungkan-Nya. dapun fakta bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor kambing kibas, maka kambing yang kedua itu bukan diperuntukkan bagi keluarga dan ahli bait beliau, tetapi diperuntukkan bagi umat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Atas dasar ini, maka yang afdhal (lebih utama) adalah mencukupkan dengan satu ekor kambing untuk seseorang dan keluarganya. Lalu barang siapa yang memiliki kelebihan harta, maka hendaklah dia menginfakkan dirham atau makanan atau yang semisalnya di negeri lain yang membutuhkan atau untuk orang-orang di negerinya yang membutuhkan. Karena setiap negeri tidaklah lepas dari adanya orang-orang yang membutuhkan. Selanjutnya, jika seorang laki-laki dan istrinya berserikat dalam membeli seekor kambing, maka ini TIDAK SAH. Karena sesungguhnya tidak boleh dua orang berserikat dalam membeli hewan qurban satu ekor kambing. Hanyalah diperbolehkan berqurban bersama sejumlah orang pada unta dan sapi. Pada unta boleh berqurban bersama dengannya tujuh orang, demikian pula sapi boleh tujuh orang. Adapun kambing, maka tidak boleh untuk dua orang berqurban bersama berserikat sama sekali. Namun dalam pahala qurban satu ekor kambing tersebut, tidak ada batasan. Boleh baginya mengatakan, “Ya Allah ini dariku dan istriku,” atau, “dariku dan keluargaku.” Tetapi jika masing-masing dari suami istri membayar separuh harga untuk membeli satu hewan qurban berupa kambing, maka ini TIDAK SAH. Majmu' Fatawa wa Rasail Ibn 'Utsaimin(25/46) ************** HUKUM MEMPERBANYAK UDHIYYAH (HEWAN QURBAN) DALAM SATU RUMAH Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah "Apakah termasuk sunnah memperbanyak udhiyyah(hewan qurban) dalam satu rumah?" Jawab : "Yang sunnah adalah TIDAK BERMEGAH-MEGAHAN dalam udhiyyah dengan banyaknya jumlah. Karena ini termasuk BERLEBIHAN. Karena di kalangan sebagian manusia sekarang: kamu dapati seorang suami menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya sebagaimana dulu dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, demikian juga Salafush Shalih juga melakukan itu. Namun kemudian istrinya mengatakan, "aku juga ingin berqurban sendiri." Anak perempuannya juga mengatakan, "Aku juga ingin berqurban." Saudari perempuannya juga mengatakan, "Aku juga ingin berqurban." Sehingga terkumpullah banyak hewan qurban dalam satu rumah. ini menyelisihi apa yang diamalkan oleh para Salafush Shalih. Karena makhluk termulia Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam tidaklah berqurban kecuali seekor kambing diperuntukkan bagi beliau dan keluarganya. Sebagaimana yang sudah diketahui, bahwa beliau memiliki sembilan isteri, yakni berarti ada sembilan rumah. MESKIPUN DEMIKIAN, BELIAU TIDAKLAH BERQURBAN KECUALI SEEKOR KAMBING diperuntukkan bagi beliau dan keluarganya. kemudian beliau berqurban seekor lagi, diperuntukkan bagi umatnya. Demikian pula dulu di kalangan para sahabat pun, seseorang berqurban dengan seekor kambing diperuntukkan baginya keluarganya. Maka apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang pada hari ini, maka itu adalah PEMBOROSAN. Kami katakan kepada mereka yang berqurban dengan cara tersebut: 'jika kalian memiliki kelebihan uang, maka di sana masih banyak kaum muslimin di muka bumi yang sangat membutuhkannya.' ari Silsilah Liqa Al-Bab al-Maftuh, Al-Imam Al-'Utsaimin, kaset no 92. ---------------------- Majmu'ah Manhajul Anbiya ~~~~~~~~~~~~~~~~~~
10 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum puasa di 10 hari pertama bulan dzulhijjah

DISYARI'ATKANNYA BERPUASA 10 HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH. Oleh: Ustadz Abu Rufe' Abdul Mu'thi حفظه الله . Merupakan kenikmatan yang besar yang telah Allah ta'ala karuniakan kepada kaum muslimin, yaitu disaat mereka diberikan kesempatan untuk mendapati hari-hari yang telah dinyatakan oleh Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam sebagai hari-hari yang terbaik jikalau seorang hamba melakukan amalan-amalan keta'atan didalamnya. Karena sungguh telah datang riwayat yang shahih dari sabda Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Al Imam At Tirmidzi dari sahabat yang mulia 'Abdullah bin 'Abbas Radiyallahu 'anhu, bahwasanya beliau 'alaihi ash shalatu wa assalam bersabda : مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ "Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala, melainkan sepuluh hari ini. Maka para sahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, tidak pula jika seorang berjihad di jalan Allah?", maka beliau menjawab : "Walaupun dia berjihad di jalan Allah, kecuali jika seorang yang pergi untuk berjihad dengan membawa jiwa dan hartanya kemudian ia tidak kembali lagi dengan sesuatu apapun darinya." Maka dalam hadits diatas menunjukkan kepada kita betapa mulianya hari-hari yang kita berada diatasnya saat ini, karena yang dimaksudkan sabda beliau (Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala melainkan sepuluh hari ini), yaitu sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah. Begitu pula dalam hadits yang mulia ini, ketika Rasulullah 'alaihi asshalatu wa assalam menyatakan (yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih), maka yang demikian mencakup seluruh amalan shalih dan keta'atan yang telah Allah ta'ala syari'atkan kepada para hamba-Nya di muka bumi ini. Apakah hal tersebut direalisasikan dengan senantiasa berusaha melaksanakan perintah-perintah-Nya ataukah dengan menjauhi seluruh perbuatan yang telah dilarang oleh-Nya. Dan diantara amalan shalih yang telah Allahu 'azza wa jalla anjurkan kepada segenap hambanya adalah berpuasa pada hari-hari yang mulia ini (sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah), maka dalam tulisan yang ringkas ini, kami ingin meluruskan sebahagian keyakinan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin yang meyakini bahwa puasa yg dilakukan dan dikhususkan pada sepuluh hari pertama di bulan dzul hijjah ini merupakan amalan baru yang tidak pernah di amalkan oleh Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam dan tidak pernah pula dianjurkan oleh beliau. Dan konsekwensi dari perkara baru yang ada di dalam agama ini jika diamalkan oleh seorang muslim, maka tertolak apa yang dia kerjakan dari amalan tersebut. Allahul Musta'an. Dengan memohon petunjuk dan pertolongan dari sisi Allah subhanahu wa ta'ala, kami akan menyebutkan permasalahan ini dari beberapa sisi, yaitu : 1. Maksud dari puasa di sepuluh hari pertama pada bulan dzul hijjah. Yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah puasa yang dikerjakan mulai tanggal satu hingga tanggal sembilan dari bulan tersebut. Karena tanggal sepuluh dzul hijjah merupakan hari raya kaum muslimin ('iedul adha), yang diharamkan bagi mereka untuk berpuasa padanya dan pada tiga hari setelahnya, yang dikenal dalam bahasa syar'i dengan hari-hari tasyrik, kecuali bagi mereka yang dikecualikan oleh syari'at islam maka diperbolehkan berpuasa pada hari-hari tasyrik tersebut. Dan Al Imam An Nawawi telah menjelaskan maksud ini dalam kitab beliau "Syarh Shahih Muslim" (8/320/1176). Al Imam Ibn Rajab Al Hanbali berkata : " Perkara ini telah dikenal dengan berpuasa pada sepuluh hari (pertama) di bulan dzul hijjah, padahal puasa yang dilakukan hanyalah sembilan hari. Oleh karena itu Al Imam Ibnu Siriin membenci ketika disebut dengan puasa sepuluh hari di bulan dzul hijjah, bahkan beliau rahimahullah mengatakan bahwa (yang sesuai) dalam penyebutan adalah puasa sembilan hari. Tetapi mayoritas dari kalangan para ulama tidak membenci hal tersebut, karena penyandaran sepuluh hari pada bulan dzul hijjah maksudnya adalah puasa yang mungkin dilakukan oleh seseorang, selain dari hari raya ('iedul adha) tentunya, dan penyebutan sepuluh hari tersebut adalah secara mutlak, karena hari-hari yang diperbolehkan untuk berpuasa padanya lebih banyak dari hari yang dilarang." (Latha"if Ma'arif/279). 2. Derajat Hadits Bahwasanya hadits ini merupakan hadits yang shahih, yang telah diriwayatkan dari beberapa jalur riwayat dengan beberapa lafadz yang telah datang pada masing-masing riwayatnya. Hadits ini pun telah di shahihkan oleh sejumlah para 'ulama hadits. Diantara yang menshahihkan hadits ini adalah Al Imam Muslim, Al Imam At Tirmidzi, Al Imam Ibnu Khuzaimah, Al Imam Ibn Hibban, Al Imam An Nawawi, Al Imam Ibnul Qayyim, Al Imam Ibn Katsir, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy Syaikh Al Albani, dan Asy Syaikh Ibn Utsaimin. Adapun pendalilan yang diambil dari hadits ini adalah pada kalimat (العمل الصالح), yang artinya amalan shalih. Maka ketika disebutkan hal itu secara umum oleh Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam, tentu mencakup ibadah puasa. Karena puasa merupakan bagian dari amalan shalih tersebut. 3. Perkataan Sebagian Para 'Ulama Berkaitan Dengan Hadits Abdullah bin Abbas Radiyallahu 'anhu : ويستحب صيام عشر ذي الحجة، لِما روى ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ... )).اهـ “Berkata Al Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi : "Disunnahkan bagi seseorang untuk melakukan puasa pada sepuluh hari pertama dari bulan bulan dzul hijjah, karena disana telah datang satu riwayat dari Abdullah bin Abbas, bahwasanya Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam bersabda (yang artinya) : "Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala melainkan sepuluh hari ini." (Al Kafi Fi Fiqhil Imam Al Mubajjal Ahmad bin Hanbal : 1/362). فليس في صوم هذه التسعة كراهة، بل هي مستحبة استحباباً شديداً لاسيما التاسع منها، وهو يوم عرفة، وقد سبقت الأحاديث في فضله، وثبت في "صحيح البخاري" أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (( ما من أيام العمل الصالح فيها أفضل منه في هذه )) يعنى: العشر الأوائل من ذي الحجة.اهـ Berkata Al Imam An Nawawi : "Maka berpuasa sembilan hari (dzul hijjah) ini bukan perkara yang dibenci, bahkan sangat disunnahkan, terlebih lagi pada tanggal sembilan (dzul hijjah), yang merupakan hari arafah, dan telah dijelaskan apa-apa yang berkaitan dengan keutamaan hari tersebut. Dan telah diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, bahwasanya Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam bersabda : "Tidak ada hari-hari yang lebih utama ketika seorang beramal shalih didalamnya dibandingkan dengan hari-hari ini." Yaitu, sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah." (Syarh Shahih Muslim : 8/320/1176). "ما رأي سماحتكم في رأي من يقول صيام عشر ذي الحجة بدعة؟" هذا جاهل يعلم، فالرسول صلى الله عليه وسلم حضَّ على العمل الصالح فيها، والصيام من العمل الصالح، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: (( ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر، قالوا: يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله ولم يرجع من ذلك بشيء )) رواه البخاري في الصحيح.اهـ Telah ditanya Asy Syaikh Abdul Azis bin Baz rahimahullah yang berkaitan dengan masalah ini ; "Apa pendapat anda dengan mereka yang menyatakan bahwa berpuasa pada sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah merupakan perkara bid'ah?", Beliau menjawab : "Ini adalah pendapat yang keliru yang harus diluruskan. Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam bersabda : "Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala melainkan sepuluh hari ini. Maka para sahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, tidak pula jika seorang berjihad di jalan Allah?", maka beliau menjawab : "Walaupun dia berjihad di jalan Allah, kecuali jika seorang yang pergi untuk berjihad dengan membawa jiwa dan hartanya kemudian ia tidak kembali dengan sesuatu apapun darinya." (HR.Al Bukari) (Majmu' Fatawa : 15/418-419). وقد دل على فضل العمل الصالح في أيام العشر حديث ابن عباس المخرج في "صحيح البخاري"، وصومها من العمل الصالح، فيتضح من ذلك استحباب صومها. Dan beliau rahimahullah berkata : "Hadits Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari telah menunjukkan tentang keutamaan  beramal shalih pada sepuluh hari ini,dan berpuasa didalamnya termasuk dari amalan shalih yang disebutkan oleh beliau 'alaihi ashshalatu wa assalam. Maka jelas,berpuasa pada hari-hari ini merupakan perkara yang disunnahkan." (Majmu' Fatawa :15/418) وهذا الحديث يعم الصيام والقراءة والتكبير "Dan (amalan shalih) dalam hadits ini mencakup berpuasa, membaca (Al Quran), dan bertakbir." (Ad Durarul Bahiyyah minal Fawaid Al Baziah : 1/91/2438). 4.  Penukilan dari sebagian ulama salaf dalam hal ini, حدثنا معاذ بن معاذ عن ابن عون، قال: ( كَانَ مُحَمَّدٌ يَصُومُ الْعَشْرَ عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ كُلِّهِ ) Yang dinukilkan dari Al Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwasanya beliau melaksanakan puasa pada sepuluh hari pertama di bulan dzul hijjah. ( Mushannaf Ibn Abi Syaibah : 9221). عن جعفر بن سليمان عن هشام عن الحسن قال: ( صِيَامُ يَوْمٍ مِنَ الْعَشْرِ يَعْدِلُ شَهْرَيْنِ ) Penukilan dari Al Imam Hasan Al Bashri rahimahullah, bahwasanya beliau berkata : "Berpuasa satu hari pada sepuluh hari pertama di bulan dzul hijjah setara dengan berpuasa selama dua bulan." (Mushannaf Abdir Razzaq : 8216). Dan sanadnya hasan insya Allah ta'ala. 5. Jawaban dari hadits Aisyah Radiyallahu 'anha, (( مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ )). "Sungguh aku tidak pernah melihat Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam berpuasa satu hari pun pada sepuluh (hari pertama bulan dzul hijjah)." Telah dijelaskan maksud dari perkataan Aisyah diatas oleh para ulama, dan sebagian mereka menyebutkan bahwasanya perkataan tersebut memiliki beberapa kemungkinan, diantaranya adalah : Pertama : Bahwa Rasul shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan ibadah puasa tersebut disebabkan karena sebab-sebab syar'i yang beliau miliki, seperti sakit, ataukah Safar atau sebab lain yang menjadikan beliau tidak berpuasa. Dan diantara mereka yang menjelaskan hal ini adalah Al Imam Muslim dalam "Syarh Shahih Muslim : 8/320/1176", dan Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam "Majmu' Fatawa: 15/418". Kedua : Bahwa ibunda kita Aisyah radiyallahu 'anha tidak mengetahui puasa yang dilakukan oleh Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam, karena beliau memiliki waktu pembagian untuk bermalam di rumah-rumah istri beliau. Oleh karena itu, boleh jadi ketika bermalam di sisi Aisyah radiyallahu 'anha, beliau 'alaihi ash shalatu wa assalam tidak berpuasa pada hari tersebut. Dan kemungkinan ini telah disebutkan oleh beberapa Ahlul Ilm, diantaranya adalah Al Imam Abu Bakr Al Atsram dalam (Nasikhul Hadits Wa Mansukhih : 1176),dan Al Imam Ath Thabari dalam (Ghayatul Ihkam Fi Ahadits Al Ahkam : 4/472/8406). Ketiga : Bahwa yang dimaksud oleh Aisyah radiyallahu 'anha adalah Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam tidak berpuasa pada sepuluh hari tersebut secara keseluruhan. Akan tetapi beliau hanya mengerjakannya pada hari-hari tertentu saja. Dan yang menjelaskan hal ini adalah Al Imam Ahmad bin Hanbal dalam (Lathaiful Ma'arif : 368). Dan pada akhirnya, kami cukupkan penjelasan yang ringkas ini yang berkaitan dengan disyari'atkannya berpuasa pada sepuluh hari pertama di bulan dzul hijjah dan puncak dari kemuliaan yang akan didapati oleh seorang muslim adalah ketika ia melaksanakan ibadah ini pada hari arafah yang jatuh pada tanggal sembilan dzulhijjah. Sungguh telah datang hadits yang shahih, ketika Rasulullah 'alaihi ash shalatu wa assalam bersabda : عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال :" صيام يوم عرفه أحتسب على الله أنه يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده " [ رواه مسلم ] "Berpuasa pada hari arafah, aku harapkan balasan dari Allah ta'ala berupa pengampunan dosa yang telah dilakukan setahun yang lalu, dan setahun yang akan datang." (HR.Muslim) Maka apabila didalam tulisan yang ringkas ini terdapat kebenaran, sungguh hal tersebut datangnya dari Allah ta'ala dan pertolongan-Nya. Dan apabila disana terdapat kesalahan serta kekeliruan, sungguh hal tersebut dari kami sendiri yang hanya, merupakan manusia biasa yang tidak akan pernah luput dari kesalahan dan kedhaliman. Wallahu Ta'ala A'lam bi As Shawab Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina wa 'ala Alihi wa Ashabihi wa Man Tabi'ahum bi Ihsan ila Yaum Addin. http://salafybpp.com/index.php/fiqh-islam/135-disyari-atkannya-berpuasa-10-hari-pertama-bulan-dzulhijjah TIS | طلب العلم الش عي
10 tahun yang lalu
baca 11 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

silsilah fiqih jual beli

Silsilah Fiqih Mu'amalah Bab Pertama: Tentang Jual-beli, dan padanya ada beberapa permasalahan: 1. Masalah Pertama: Definisi jual-beli dan hukumnya: A. Definisinya: Jual-beli secara bahasa: mengambil sesuatu, dan memberi sesuatu. Secara istilah: tukar menukar harta dengan harta sekalipun dalam bentuk jaminan atau manfaat yang mubah untuk selamanya, tanpa ada unsur riba maupun pinjaman. B. Hukumnya: Jual-beli adalah boleh. Berdasarkan firman Alloh Ta'ala: وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ .. سورة البقرة 275 "Dan Allah menghalalkan jual-beli" [Qs. Al-Baqoroh: 275] Dan berdasarkan apa yang diriwayatkan Ibnu Umar rodhiallohu 'anhuma, bahwa rasulullah -shollallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: إذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعا "Jika dua orang melakukan jual beli maka masing-masingnya punya hak khiyar (pilihan) atas jual belinya selama keduanya belum berpisah dan keduanya sepakat". (Muttafaq 'alaihi: diriwayatkan oleh Bukhari pada nomer (2112), dan Muslim pada nomer (1531).) Dan kaum muslimin sepakat atas bolehnya jual-beli secara garis besarnya. Dan hajat manusia mendorong kepada adanya jual-beli. karena setiap insan membutuhkan kepada apa yang ada di tangan orang lain, dan berkaitan dengannya kemaslahatannya, dan tidak ada media baginya untuk sampai kepada hal itu dan untuk mendapatkannya dengan jalan yang shahih, kecuali dengan jual-beli, maka hikmah itulah yang mengharuskan bolehnya jual-beli, dan disyariatkannya jual-beli; untuk dapat mencapai kepada tujuan yang diinginkan. -------------------- Al-Fiqh Al-Muyassar Fi Dhow Al-Kitab wa As-Sunnah [juz 1/ hlm. 211] Alih Bahasa: Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh حفظه الله 〰 Teks Arabic 〰 الباب الأول: في البيوع، وفيه مسائل: المسألة الأولى: تعريف البيع وحكمه: أ- تعريفه: البيع في اللغة: أخذ شيء، وإعطاء شيء. وفي الشرع: مبادلة مال بمال ولو في الذمة، أو منفعة مباحة على التأبيد، غير ربا وقرض. ب- حكمه: البيع جائز. لقوله تعالى (وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ) [البقرة: 275]. ولما روى ابن عمر رضي الله عنهما، أن رسول الله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قال: (إذا تبايع الرجلان فكل واحدٍ منهما بالخيار ما لم يتفرقا وكانا جميعاً) (1). وأجمع المسلمون على جواز البيع في الجملة. وحاجة الناس داعية إلى وجوده؛ لأن الإنسان يحتاج إلى ما في يد غيره، وتتعلق به مصلحته، ولا وسيلة له إلى الوصول إليه وتحصيله بطريق صحيح، إلا بالبيع، فاقتضت الحكمة جوازه، ومشروعيته؛ للوصول إلى الغرض المطلوب. ---------------- 1 متفق عليه: رواه البخاري برقم 2112، ومسلم برقم 1531. الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة [جزء 1 / صفحة 211] http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230 Bab Pertama: Tentang Jual-beli, dan padanya ada beberapa permasalahan: Masalah Kedua: Rukun-rukun jual-beli: Rukunnya ada 3: ■ 'Aqid (orang yang melakukan akad jual-beli), ■ Ma'qud 'alaih (barang yang diperjualbelikan) dan ■ Shighoh (ungkapan jual-beli). Maka "Al-'Aqid" mencakup penjual dan pembeli, sedangkan "Al-Ma'qud 'alaih" adalah barang dagangan, sedangkan "As-Shighoh" yaitu ijab-kabul. Dan ijab (maknanya): lafazh yang muncul dari penjual, seperti mengatakan: aku jual. Sedangkan kabul (ialah): lafazh yang muncul dari pembeli, seperti mengatakan: aku beli. Dan inilah yang dinamakan dengan "As-shighoh Al-Qouliyyah" Adapun "As-Shighoh Al-Fi'liyyah" yaitu serah terima, yaitu mengambil dan memberikan, seperti seorang pembeli memberikan senilai barang dagangan kepada penjual, kemudian barang dagangan tersebut diberikan kepada pembeli tanpa ada ucapan. Al-Fiqh Al-Muyassar Fi Dhow Al-Kitab wa As-Sunnah [juz 1/ hlm. 211-212] Alih Bahasa: Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh حفظه الله 〰 Teks Arabic 〰 المسألة الثانية: أركان البيع: أركانه ثلاثة: عاقد، ومعقود عليه، وصيغة. فالعاقد يشمل البائع والمشتري، والمعقود عليه المبيع، والصيغة هي الإيجاب والقبول. والإيجاب: اللفظ الصادر من البائع، كأن يقول: بعتُ. والقبول: اللفظ الصادر من المشتري، كأن يقول: اشتريتُ. وهذه هي الصيغة القولية. أما الصيغة الفعلية فهي المعاطاة، وهي الأخذ والإعطاء، كأن يدفع المشتري ثمن السلعة إلى البائع، فيعطيه إياها بدون قول. الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة [جزء 1 / صفحة 211-212] http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230 Bab Pertama: Tentang Jual-beli, dan padanya ada beberapa permasalahan: Masalah Ketiga: Persaksian atas jual-beli: Persaksian atas jual-beli adalah mustahab (dianjurkan) dan bukan wajib, berdasarkan firman Allah Ta'ala: وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ  ..سورة البقرة 282 "Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli". [Qs. Al-Baqoroh: 282] Maka Allah ta'ala perintahkan dengan persaksian ketika jual-beli, hanya saja perintah ini untuk suatu anjuran, dengan dalil firman Allah ta'ala: فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ .. سورة البقرة 283 "Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutang)". [Qs. Al-Baqoroh: 283] Maka (ayat tersebut) menunjukkan bahwa perintah hanyalah merupakan perintah berupa pengarahan; untuk memberikan kepercayaan dan kemaslahatan. Dan dari 'Ammaroh bin Khuzaimah, bahwa pamannya -dan dia termasuk sahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli seekor kuda dari seorang Arab dusun, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meminta kepada Arab dusun tersebut untuk mengikutinya sehingga beliau bisa membayar kuda yang dibelinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berjalan cepat sementara orang Arab dusun tersebut berjalan lambat. Setelah itu orang-orang datang kepada Arab dusun itu dan menawar kudanya, dan mereka tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah membelinya. (1) dan makna: يسومونه yaitu meminta untuk bisa dibeli darinya. Dan sisi pendalilannya ialah bahwa Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam telah membeli seekor kuda dari seorang Arab dusun, dan antara keduanya belum ada kejelasan (bukti), dan kalau sekiranya wajib dalam jual-beli tentulah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tidak akan membeli kecuali setelah ada saksi. Dan adalah para sahabat rodhiallohu 'anhum mereka saling berjual-beli di zaman Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam di pasar-pasar, dan tidak pernah terpikirkan dari mereka perbuatannya. Dan dikarenakan jual-beli termasuk perkara banyak terjadi dikalangan orang-orang di Pasar dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan kalau sekiranya mereka bersaksi atas segala sesuatunya, karena akan menghantarkan kepada beban dan kesulitan. Akan tetapi apabila barang dagangannya termasuk dari transaksi yang besar yang pembayarannya secara tempo, yang memang membutuhkan kepada penguat (bukti), maka seharusnya hal itu ditulis, dan dipersaksikan; untuk dapat merujuk kepada surat kesepakatan bersama apabila terjadi perselisihan diantara kedua pihak. ----------------- (1) HR. Ahmad (5/215), dan Abu Dawud dengan nomer (3607), Nasaai (7/301), dan dishahihkan oleh syaikh Albani (Shahih Sunan Nasaai no. 4332. Al-Fiqh Al-Muyassar (juz.1 / hlm: 212) Alih Bahasa: Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh حفظه الله 〰 Teks Arabic 〰 المسألة الثالثة: الإشهاد على البيع: الإشهاد على البيع مستحب وليس بواجب، لقوله تعالى: وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ.. البقرة: 282، فأمر الله تعالى بالإشهاد عند البيع، غير أن هذا الأمر للاستحباب، بدليل قوله تعالى: فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ.. البقرة: 283، فدلَّ على أن الأمر إنما هو أمر إرشادٍ؛ للتوثيق والمصلحة. وعن عمارة بن خزيمة، أن عمّه حدَّثه -وهو من أصحاب النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أنه عليه الصلاة والسلام ابتاع فرساً من أعرابي، واستتبعه ليقبض ثمن فرسِه، فأسرع النبيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وأبطأ الأعرابي، وطفق الرجال يتعرضون للأعرابي فَيَسُومُونَه بالفرس، وهم لا يشعرون أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ابتاعه. 1 ومعنى "يسومونه": يطلبون شراءه منه. ووجه الدلالة: أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - اشترى الفرس من الأعرابي، ولم يكن بينهما بَيِّنة، ولو كانت واجبة في البيع لم يشتر النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إلا بعد الإشهاد. وكان الصحابة رضي الله عنهم يتبايعون في عصره - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - في الأسواق، ولم يُنقل عنه أنه أمرهم بالإشهاد، ولا نُقِل عنهم فعله. ولأن الشراء والبيع من الأمور التي تكثر بين الناس في الأسواق في حياتهم اليومية، فلو أشهدوا على كل شيء، لأدَّى إلى الحرج والمشقة. لكن إن كان المعقود عليه من الصفقات الكبيرة المؤجلة الثمن، مما يحتاج إلى توثيق، فينبغي كتابة ذلك، والإشهاد عليه؛ للرجوع إلى الوثيقة إذا وقع خلاف بين الطرفين. ---------------- 1 رواه أحمد 5/ 215، وأبو داود برقم 3607، والنسائي 7/ 301، وصححه الشيخ الألباني صحيح سنن النسائي برقم 4332. الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة جزء 1 / صفحة 212 &127758; http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230 Masalah Keempat: Pilihan Dalam Jual-beli: Pilihan (Khiyar): yaitu bagi setiap masing-masing dari penjual dan pembeli memiliki hak dalam melangsungkan akad jual-beli atau membatalkannya. Maka hukum asal dalam akad jual-beli adalah lazim (harus ditunaikan), bilamana terjadi nya akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya, dan tidak berhak bagi siapa pun dari kedua belah pihak yang membuat akad untuk menarik kembali darinya. Hanya saja agama islam adalah agama yang murah hati dan mudah, yang menjaga kemaslahatan dan keuntungan bagi setiap individunya. Dan diantaranya ialah bahwa seorang muslim apabila dia membeli sebuah barang atau menjualnya oleh karena sebab tertentu, kemudian dia menyesal atas pembeliannya itu, maka syariat telah membolehkan baginya untuk memilih (khiyar) hingga dia memutuskan perkaranya, dan melihat kepada kemaslahatannya, sehingga dia melanjutkan jual-belinya atau mengembalikannya, berdasarkan apa yang dia lihat sesuai baginya. Pembagian pilihan (khiyar): Khiyar terbagi beberapa bagian, paling pentingnya: PERTAMA: Khiyarul Majlis: yaitu tempat terjadinya jual-beli, sehingga bagi setiap masing-masing dari pelaku transaksi memiliki pilihan (khiyar) selama keduanya masih dalam majelis akad (jual-beli) dan keduanya belum berpisah dari majelis tersebut; berdasarkan hadits Ibnu 'Umar rodhiallohu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: البيعان بالخيار ما لم يتفرقا "Dua orang yang melakukan akad jual-beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah". [1] KEDUA: Khiyar As-Syarth: yaitu kedua pelaku jual beli membuat persyaratan (kesepakatan), atau salah satu dari keduanya melakukan khiyar hingga waktu yang sudah ditentukan, untuk melangsungkan akad atau membatalkannya, maka apabila masa yang telah ditentukan habis antara keduanya yang dimulai dari permulaan akad, dan dia tidak melakukan pembatalan maka jadilah (jual beli tersebut) harus ditunaikan. Contohnya: seseorang membeli dari orang lain sebuah mobil, pembeli mengatakan: "saya melakukan khiyar hingga satu bulan penuh, maka jika dia mengembalikan barang dari pembelian ditengah-tengah bulan tersebut maka boleh baginya untuk membatalkan, dan jika tidak maka wajib baginya untuk membeli mobil tersebut hanya dengan habisnya batas waktu satu bulan. KETIGA: Khiyarul 'Aib, yaitu yang dibenarkan bagi pembeli apabila dia temukan sebuah cacat pada barang dagangan, yang tidak diberitahukan oleh penjual, atau yang tidak diketahui oleh penjual dari barangnya, dan dengan sebab cacat ini menjadikan nilai jual barang tersebut menjadi berkurang, dan dikembalikan pengetahuan akan hal cacat tersebut kepada para ahli dari para pedagang yang kompeten, maka apabila para ahli menilainya hal itu sebuah cacat maka dibolehkan bagi pembeli melakukan khiyar, dan jika tidak maka tidak boleh melakukan khiyar. Dan khiyar ini dibenarkan bagi pembeli, maka jika dia ingin dia boleh melanjutkan jual belinya, dan mengambil kompensasi dari cacat tersebut, yaitu berupa perbedaan antara harga barang yang bagus dengan nilai harga barangnya yaitu yang cacat, dan jika dia mau maka boleh dia kembalikan barangnya, dan dikembalikan uang yang sudah dia berikan kepada penjual. KEEMPAT: Khiyar At-Tadlis, yaitu penjual melakukan tadlis (pengkaburan) kepada pembeli yang menyebabkan bertambahnya nilai harga, dan perbuatan ini HARAM; berdasarkan sabda beliau ﷺ : من غَشَّنا فليس مِنَّا "Barangsiapa yang menipu kami maka bukan bagian dari kami". [2] Contohnya: dia memiliki sebuah mobil, pada mobil tersebut terdapat cacat yang banyak di dalamnya, kemudian dia sengaja menampilkannya dengan warna yang cantik, dan jadilah penampilan luarnya mengkilat hingga pembeli tertipu bahwasanya mobil tersebut bagus sehingga membelinya. Maka dalam keadaan demikian bagi pembeli memiliki hak untuk mengembalikan barang tersebut kepada penjual dan meminta kembali uangnya. __________ [1] Muttafaq 'alaih: HR. Bukhari no. (2110), dan Muslim no. (1532). [2] HR. Muslim no. (101). Al-Fiqh Al-Muyassar Fi Dhow Al-Kitab wa As-Sunnah [juz 1 / hlm. 213-214] Alih Bahasa: Al-Ustadz Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh حفظه الله 〰 Teks Arabic 〰 المسألة الرابعة: الخيار في البيع: الخيار: أن يكون لكل من البائع والمشتري الحقُّ في إمضاء عقد البيع، أو فسخه. فالأصل في عقد البيع أن يكون لازماً، متى انعقد مستوفياً أركانه وشروطه، ولا يحق لأي من المتعاقدين الرجوع عنه. إلا أنَّ الدين الإسلامي دينُ السماحة واليسر، يراعي المصالح والظروفَ لجميع أفراده. ومن ذلك أنَّ المسلم إذا اشترى سلعة أو باعها لسبب ما، ثم ندم على ذلك، فقد أباح له الشرع الخيار حتى يفكر في أمره، وينظر في مصلحته، فيقدم على البيع أو يتراجع عنه، على ما يراه مناسباً له. أقسام الخيار: للخيار أقسام، أهمها: أولاً: خيار المجلس: وهو المكان الذي يجري فيه التبايع، فيكون لكل واحدٍ من العاقدين الخيار ما داما في مجلس العقد ولم يتفرقا منه؛ لحديث ابن عمر رضي الله عنهما، أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قال: (البيعان بالخيار ما لم يتفرقا) (1). ثانياً: خيار الشرط: وهو أن يشترط المتعاقدان، أو أحدهما الخيار إلى مدة معلومة، لإمضاء العقد أو فسخه، فإذا انتهت المدة المحددة بينهما من بداية العقد، ولم يُفسخ صار لازماً. مثاله: أن يشتري رجل من آخر سيارة، ويقول المشتري: لي الخيار مدة شهر كامل، فإن تراجع عن الشراء خلال الشهر فله ذلك، وإلا لزمه شراء السيارة بمجرد انتهاء الشهر. ثالثاً: خيار العيب، وهو الذي يَثْبُت للمشتري إذا وجد عيباً في السلعة، لم يخبره به البائع، أو لم يَعْلم البائعُ به، وتنقص بسبب هذا العيب قيمة السلعة، ويُرجع في معرفة ذلك إلى أهل الخبرة من التجار المعتبرين، فما عدّوه عيباً ثبت به الخيار، وإلا فلا. ويثبت هذا الخيار للمشتري، فإن شاء أمضى البيع، وأخذ عِوض العيب، وهو الفرق بين قيمة السلعة صحيحة وقيمتها وهي معيبة، وإن شاء ردَّ السلعة، واسترد الثمن الذي دفعه إلى البائع. رابعاً: خيار التدليس، وهو: أن يدلس البائع على المشتري ما يزيد به الثمن، وهذا الفعل محرم؛ لقوله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (من غَشَّنا فليس منَّا) (2). مثاله: أن يكون عنده سيارة، فيها عيوبٌ كثيرة في داخلها، فيعمد إلى إظهارها بلون جميل، ويجعل مظهرها الخارجي براقاً حتى يخدع المشتري بأنها سليمة فيشتريها. ففي هذه الحالة يكون للمشتري الحق في رد السلعة على البائع واسترجاع الثمن. ---------------- 1 متفق عليه: رواه البخاري برقم 2110، ومسلم برقم 1532. 2 رواه مسلم برقم 101. الفقه الميسر في ضوء الكتاب والسنة جزء 1 / صفحة 213-214 http://shamela.ws/browse.php/book-22726/page-230 WA Salafy Kendari &128225;
10 tahun yang lalu
baca 13 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

fatwa jumat ke-01 - bolehkah shalat jumat di masjid yang jauh

FATWA PILIHAN SEPUTAR IBADAH JUM’AT BAGIAN-1 ASY SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-UTSAIMIN RAHIMAHULLAH Tanya: Apakah diperbolehkan bagi seorang yang hendak shalat Jum’at meninggalkan masjid yang ada di daerahnya kemudian pergi ke masjid lainnya yang jaraknya jauh? Hal ini karena khatibnya lebih luas pembahasnnya dan lebih bagus penyampaiannya. Jawab: Yang lebih baik bagi penduduk suatu kampung untuk shalat di masjid mereka, agar saling mengenal, berlemah lembut di antara mereka dan member semangat sebagian mereka kepada sebagian yang lain. Namun, apabila dia pergi ke masjid yang lain untuk suatu kebaikan dalam agama, seperti memperoleh ilmu, mendengarkan khutbah yang lebih membekas dalam hatinya, lebih banyak ilmunya, maka hal ini tidak mengapa. Adalah para shahabat radhiyallahu ‘anhum shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjidnya untuk memperoleh keutamaan imam dan masjidnya, kemudian mereka kembali dan shalat di kampungnya. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu pada masa hidupnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beliau mengetahuinya dan tidak mengingkarinya. Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 16/50-51 Alih bahasa: Abdulaziz Bantul Ma’had Ibnul Qoyyim, Balikpapan Sumber : .http://www.thalabilmusyari.web.id/2014/12/bolehkan-seorang-shalat-jumat.html
10 tahun yang lalu
baca 2 menit