fadhilah

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

6 pembahasan seputar puasa syawal

ENAM PEMBAHASAN SEPUTAR PUASA 6 HARI DI BULAN SYAWWAL Bagi seorang muslim, perputaran waktu berarti momen pergantian dari satu ibadah pada ibadah lain. Tak terkecuali dengan berakhirnya ramadhan dan masuknya syawal, mereka pun kembali bersiap dengan beragam amal shalih yang ada di bulan syawal. Baik amal shalih umum yang dilakukan sepanjang tahun seperti shalat lima waktu, tilawatul Qur'an, menghadiri pengajian, dll. Maupun yang sifatnya khusus di bulan syawal, seperti puasa enam.  .#1   FADHILAH (KEUTAMAAN) PUASA 6 HARI BULAN SYAWAL Dengan menjalankan puasa enam setelah berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, seseorang akan mendapatkan pahala berpuasa setahun penuh. Dalam haditsnya, Rasulullah ﷺ bersabda, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتّاً مِنْ شَوَّال كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ "Siapa saja yang telah menjalankan puasa Ramadhan, lalu dia susulkan dengan berpuasa enam hari pada bulan syawal, maka seolah dia telah berpuasa setahun penuh lamanya." HR. Muslim #2 MENGAPA DAPAT PAHALA PUASA SETAHUN PENUH? Alasannya, karena Allah melipatgandakan satu kebaikan menjadi sepuluh kali lipat. Satu hari berpuasa sama dengan sepuluh hari berpuasa, tiga hari berpuasa sama dengan tiga puluh hari (satu bulan). Maka tiga puluh [ dari puasa ramadhan ] + enam hari × 10 = tiga ratus enam puluh hari (setahun). Mari kita perhatikan gambaran yang diberikan Rasulullah ﷺ berikut ini, مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ، وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ، فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ  "Siapa yang berpuasa ramadhan; maka terhitung berpuasa sepuluh bulan. Dan puasa enam hari di bulan syawal menyempurnakan jadi puasa setahun penuh." -SHAHIH- (Takhrij Musnad, 22412 dan Shahih Al-Jami', 3094) HR. Ahmad dengan lafazh ini, diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan ad-Darimi  #3   KAPAN MULAI BOLEH PUASA ENAM? Puasa enam boleh dilakukan di sepanjang bulan syawal, dari tanggal dua hingga akhir. Dan ;tidak ada keharusan untuk langsung berpuasa** setelah hari raya (dua syawal). Dalam fatwa Lajnah (X/391) disebutkan, لا يلزمه أن يصومها بعد عيد الفطر مباشرة، بل يجوز أن يبدأ صومها بعد العيد بيوم أو أيام، "Tidak ada keharusan untuk puasa enam langsung setelah idul fitri. Bahkan diperbolehkan melakukannya selang sehari atau beberapa hari setelah id."  #4   BAGUSKAH BERSEGERA DARI TANGGAL 2 SYAWAL? Dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, وكره بعضهم صوم الست من شوال عقب العيد مباشرة؛ لئلا يكون فطر يوم الثامن كأنه العيد، فينشأ عن ذلك أن يعده عوام الناس عيدا آخر "Sejumlah ulama memakruhkan pelaksanaan puasa enam langsung setelah hari raya (baca : 2 Syawal); agar jangan sampai ketika puasa enam usai lantas dianggap (tanggal delapan) ada hari raya lagi. Yang kemudian dikira oleh orang awam sebagai hari raya lain." (Mukhtashar Al Fataawaa Al Mishriyyah, hlm. 290) Yang disebut oleh Syaikhul Islam di atas, ialah hari raya ketupat dalam istilah masyarakat kita. Dikenal dengan 'Idul Abrar, para ulama mengingkari hari raya jenis ini karena termasuk perkara baru dalam agama. Atas dasar ini, sejumlah ulama menilainya makruh. Alasan lain, awal-awal hari raya masih bagian dari waktu bersenang-senang. Karena itulah, saat Imam Ma'mar bin Rasyid Al-'Azdi ketika ditanya oleh 'Abdurrazaq Ash-Shan'ani tentang puasa sehari setelah hari raya 'Idul Fithri, beliau menyatakan, معاذ الله إنما هي أيام عيد وأكل وشرب "Aku berlindung pada Allah dari melakukannya! Sesungguhnya awal-awal hari raya masih waktu 'id, makan-makan, dan minum." (Al-Mushannaf, 7922) - Namun ulama lain berpendapat, bahwa baik bila dia segerakan. Masuk dalam bab bersegera dalam kebaikan. Sehingga seseorang tinggal melihat, mana yang lebih mudah dan bermaslahat bagi dirinya. wabillaahi at-taufiiq. #5   HARUS BERTURUT-TURUTKAH? Tidak. Berkata Imam Nawawi rahimahullah (Al-Majmu', VI/427), "Berkata ulama Syafi'iyah, 'Di sunnahkan untuk puasa enam secara berturut-turut pada awal-awal bulan syawal, namun seandainya dia pisah-pisah dan dilakukan pada akhir syawal ini pun boleh."  #6   MESTI QADHA' RAMADHAN DULU? Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Dan nampaknya, keterangan Al 'Allamah Muqbil bin Hadi Al Wadi'i rahimahullah berikut bisa menjadi penjelas yang menenangkan hati kita. إن كان يستطيع أن يقضي الأيام التي أفطرها في رمضان ثم يصوم الست فهذا أمرٌ حسن ، وإن كان لا يستطيع أن يصوم هذا وهذا فيجوز له أن يصوم الست .. لماذا قلنا هذا ؟ لأن وقت القضاء موسع ، بخلاف صوم الست فليس لها محل إلا في شوال .   أما وقت القضاء فقد جاء عن عائشة رضي الله تعالى عنها أنها قالت : ما كنت أقضي إلا في شعبان ، أي لأنها تشغل برسول الله - صلى الله عليه وعلى آله وسلم - .  "Bila seseorang mampu men-qadha puasa ramadhan yang dia tinggalkan lebih dulu baru setelah itu melaksanakan puasa enam; maka tentu ini hal yang baik. Namun bila dia tidak mampu; maka boleh baginya untuk melaksanakan puasa enam lebih dulu. Mengapa demikian? Karena waktu qadha' puasa bersifat luas. Berbeda dengan puasa enam yang waktunya hanya pada bulan syawal. Terkait waktu qadha' yang panjang, ditunjukkan dalam hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau menyatakan, 'Tidaklah aku men-qadha' puasa melainkan di bulan Sya'ban.' Ini terjadi, lantaran kesibukan beliau melayani Rasulullah ﷺ." (Transkrip dari As-ilah minal Maharoh, rek suara beliau bisa didengarkan di sini : http://muqbel.net/files/fatwa/muqbel-fatwa2278.mp3) -- Hari Ahadi, 05 Syawal 1438 (selesai dimuraja'ah dan tambahan sejumlah nukilan pada 02 Syawal 1439 / 16 Juni 2018) @nasehatetam https://bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF] www.alfawaaid.net
4 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hadits keutamaan mejelis ilmu

Hadirilah Majelis Ilmu Oleh Al Ustadz Abu Ruhmaa Sufyan Alwi . Hadits Keutamaan Mejelis Ilmu Suatu hal yang memprihatinkan, berbagai kemudahan yang muncul senyatanya malah menjadikan manusia semakin bermalas-malasan untuk menghadiri majelis ilmu. Mereka kini mencukupkan diri dengan mengaji melalui gadget yang dimiliki. Bermudah-mudahan untuk tidak menghadiri majelis ilmu dan bersandar kepada streaming, atau yang semisalnya. Padahal mengaji dengan langsung hadir di majelis ilmu memiliki berbagai keutamaan besar yang tidak dapat diraih oleh orang-orang yang hanya mengaji dengan melalui perantara streaming.  Pada lembaran kali ini, kita akan mengkaji bersama salah satu kisah menarik yang terjadi di masa Nabi Muhammad. Kisah kali ini disampaikan oleh Shahabat Abu Waqid Al-Laitsi:  بَيْنَمَا الَّسُوْلُ  فِي الْمَسْجِدِ ، فَأَقْبَلَ ثَلَاثَةُ نَفَرٍ، فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إلَى رَسُوْلِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَذَهَبَ وَاحِدٌ، قَالَ: فَلَم وقفا على رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فَأَمًّا أَحَدَهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً في الحَلْقَةِ فَجَلَسَ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ، فَلَمَّا فَرَغَ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: (أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنِ الثَّلَاثَةِ: أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللهِ فَآوَاهُ اللهُ، وَأَمَّا الآخَر ُفَاسْتَحْيَى الله مِنْهُ، وَأَمَّا الآخَرُ فأَعْرَضُ فَأَعْرَضَ الله عَنْه Ia menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah ada di dalam masjid. Lalu datanglah 3 orang. Dua orang diantara mereka menghadiri majelis Rasulullah. Sementara yang satu pergi begitu saja. (Ketika keduanya telah berdiri dekat dengan majelis Nabi, keduanya pun mengucapkan salam). Salah satu diantara keduanya melihat adanya satu celah di halaqah maka ia pun duduk di tempat tersebut. Sementara yang lain duduk di belakang halaqah.  Maka ketika Rasulullah usai menyampaikan ilmunya, beliau pun berujar, "Maukah kalian Kuberitahu mengenai tiga orang tadi? Adapun yang pertama ia berlindung kepada Allah maka Allah pun melindunginya. Adapun yang kedua dia malu kepada Allah maka Allah pun malu kepadanya. Adapun yang ketiga dia berpaling, maka Allah pun berpaling darinya." Hadis di atas diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada No 64 dan 454. Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim pada no: 4042. Tambahan di dalam kurung di atas diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Targhib no: 2724.  Hadis di atas menggambarkan kepada kita bahwa manusia dalam menyikapi majelis taklim yang mereka ketahui terbagi menjadi tiga golongan:  Golongan pertama, orang yang ketika mendapati majelis ilmu mereka berpaling dan meninggalkan begitu saja majelis ilmu tersebut tanpa udzur dan alasan yang jelas. Orang yang semacam ini, maka ia terancam bahwa Allah juga akan berpaling darinya. Sehingga Allah serahkan segala urusannya kepadanya dan Allah sedikitpun tidak akan membantu dan menolongnya. Golongan yang kedua, orang-orang yang ketika mendapati majelis ilmu, maka ia merasa malu dan minder untuk menghadirinya. Akan tetapi terus ia paksa dirinya untuk tetap menghadirinya. Orang yang semacam ini, yang rasa malunya tetap tidak membuatnya berpaling dari ketaatan dan amal saleh, maka Allah pun malu kepadanya.  Golongan yang ketiga, golongan yang terbaik. Mereka adalah orang-orang yang sangat bersemangat untuk menghadiri majelis ilmu dan berusaha semaksimal mungkin mendapatkan faedah dan pelajaran dari majelis yang ia hadiri tersebut. Sebagai balasan atas kesungguhan mereka dalam thalabul ilmi (menuntut ilmu), maka Allah pun menjamin akan menjadi pelindungnya. Allah akan melindunginya.  Dari ketiga golongan di atas, di manakah keberadaan kita?!  Hadis di atas menjelaskan kepada kita salah satu keutamaan menghadiri majelis ilmu. Bahwa orang-orang yang menghadiri majelis ilmu. Duduk dan hadir di tengah-tengah mereka. Maka mereka akan mendapatkan keutamaan berupa perlindungan dari Allah. Keutamaan di atas sekali lagi hanya berhak didapatkan oleh orang-orang yang benar-benar hadir dan datang di majelis ilmu.  Banyak sekali faedah yang bisa kita petik dari kisah diatas. Satu, disunnahkan bagi seorang alim untuk duduk-duduk bersama murid-muridnya dan orang lain di tempat yang terbuka dan tampak bagi manusia. Dan masjid adalah tempat yang paling utama. Maka si alim pun menyampaikan ilmu dan kebaikan kepada mereka di tempat tersebut.  Kedua, bolehnya membuat halaqah-halaqah dan majelis ilmu di dalam masjid. Bahkan Ibnu Bathal menjelaskan bahwa para ulama bersepakat mengenai bolehnya membuat halaqah-halaqah ilmu dan duduk-duduk di masjid untuk berzikir kepada Allah atau untuk menuntut dan menyampaikan ilmu.  Ketiga, disunnahkan untuk masuk dan bermujalasah atau ikut duduk bersama mereka. Dengan ikut serta di majelis ilmu, maka berbagai keutamaan akan ia dapatkan.  Keempat, dibencinya perbuatan meninggalkan majelis ilmu tanpa udzur (alasan). Meninggalkan majelis ilmu tanpa udzur padahal ia memiliki waktu luang, kesempatan, dan tidak ada alasan apapun untuk meninggalkannya, sungguh ia telah menghalangi dirinya sendiri dari mendapatkan berbagai kebaikan dan keutamaan menghadiri majelis ilmu. Kelima, disunnahkan untuk mendekat kepada pengisi halaqah tersebut agar dapat mendengarkan ucapannya dengan jelas dan bisa mencontoh adab dan perilakunya. Ini termasuk adab yang baik dalam menuntut ilmu. Keenam, seseorang yang hendak masuk ke dalam majelis ilmu, jika ia mendapati ada celah di majelis tersebut hendaknya menempati celah longgar tersebut. Tentunya dengan penuh adab dan tidak membuat jamaah terganggu dengan tindakannya. Adapun apabila ia tidak mendapatkannya, maka ia duduk di belakang mereka. Ketujuh, pujian bagi orang yang melakukan suatu perbuatan yang baik sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika memuji dua orang tersebut. Artinya siapa yang melakukan kebaikan dan kebajikan maka kita boleh memujinya. Tentu dengan tujuan agar ia terus melakukan kebaikan tersebut, sekaligus diharapkan orang lain pun ikut dan mencontoh apa yang telah dilakukannya.  Kedelapan, seseorang yang melakukan kejelekan atau hal yang tercela yang ia terang-terangan melakukannya, maka boleh bagi kita untuk menisbahkan perbuatan tersebut kepadanya dan sekaligus kita juga menasehatinya agar meninggalkan perbuatan jelek yang ia lakukan tersebut. Kesembilan, penetapan sifat 'malu' bagi Allah. Akan tetapi tentunya malu yang Allah miliki berbeda dengan rasa malu yang dimiliki makhluk. Malu yang dimiliki oleh Allah adalah sifat malu yang sempurna lagi layak dengan Allah. Di dalam hadis yang lain Nabi Muhammad juga bersabda yang artinya, "Sesungguhnya Allah Maha Malu dan Maha Dermawan." Juga dalam hadis lain, "Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran." Allah memiliki sifat malu akan tetapi tidak serupa dengan malu yang dimiliki oleh makhluk karena Allah menegaskan, "Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dialah Allah Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." [Terjemah Q.S. Asy-Syura:11] Kesepuluh, bahwa siapa yang ingin menuntut ilmu dan menghadiri majelis ilmu, namun ia malu terhadap orang yang hendak dia datangi tersebut, akan tetapi rasa malunya tidak menghalanginya untuk tetap menuntut ilmu dan bermajelis dengan orang-orang yang berilmu, maka Allah pun akan malu kepadanya. Inilah malu yang terpuji. Adapun malu yang tercela dalam hal menuntut ilmu adalah rasa malu yang menyeret seseorang untuk meninggalkan thalabul ilmi. Kesebelas, barang siapa yang mendatangi majelis ilmu akan tetapi kemudian dia berpaling darinya maka Allah pun akan berpaling darinya.  Kedua belas, keutamaan majelis dan halaqah ilmu bahwa siapa yang mendatanginya ia akan mendapatkan perlindungan dari Allah. Ketiga belas, anjuran untuk menutup celah yang longgar yang ditemukan di majelis ilmu. Keempat belas, bersesak-sesak di hadapan seorang alim termasuk seutama-utamanya amalan kebajikan. Kelima belas, di antara adab yang baik adalah ketika seseorang duduk di manapun ia terhenti dan tidak sampai mendirikan orang lain agar dia duduk di tempatnya tersebut. Keenam belas, seorang alim hendaknya mendahulukan penyampaian ilmu sebelum menyampaikan hal yang lainnya.  Ketujuh belas, pujian bagi sifat malu dan pujian juga bagi para pemiliknya.  Kedelapan belas, celaan bagi orang yang merasa tidak butuh dengan ilmu.  Kesembilan belas, bolehnya melangkahi pundak-pundak manusia untuk mengisi celah dan kekosongan selama hal itu tidak mengganggu mereka. Adapun Jika dia khawatir hal itu akan mengganggu mereka, maka hendaknya dia duduk di bagian belakang.  Kedua puluh, bolehnya menjelaskan kepada manusia perihal keadaan orang-orang yang bermaksiat agar manusia menghindari kemaksiatan tersebut dan hal tersebut bukanlah termasuk ghibah yang terlarang.  Kedua puluh satu, disunnahkannya mengucapkan salam bagi siapapun yang masuk ke dalam majelis ilmu.  Kedua puluh dua, disunnahkannya seseorang yang berdiri untuk mengucapkan salam kepada orang yang duduk.  Untuk melengkapi pembahasan mengenai keutamaan menghadiri majelis ilmu, baik kiranya kita sebutkan keutamaan lain dari menghadiri majelis ilmu. Diantara keutamaan menghadiri majelis ilmu ialah: Orang-orang yang menghadiri majelis ilmu akan dibanggakan oleh Allah di hadapan para Malaikat-Nya. Hal ini berdasarkan hadis Muawiyah, "Suatu ketika Rasulullah keluar mendatangi halaqah yang para shahabat berkumpul di tempat tersebut. Maka Nabi bertanya (yang artinya), 'Apa gerangan yang membuat kalian bermajelis di tempat ini?' Mereka menjawab, 'Kami duduk di sini untuk berdzikir kepada Allah, memuji-Nya atas hidayah Islam yang telah Ia karuniakan kepada kami dan apapun yang telah Ia berikan kepada kami.' Nabi Muhammad bertanya lagi, "Demi Allah, apakah memang tidak ada alasan lain yang membuat kalian bermajelis selain itu?!' Para shahabat menjawab, 'Ya, demi Allah tidak ada yang membuat kami bermajelis disini melainkan alasan itu." Nabi pun menimpali, 'Adapun aku tidaklah meminta sumpah kalian bukan karena berburuk sangka kepada kalian hanya saja barusan Jibril datang menemuiku dan mengabarkan kepadaku bahwa Allah membanggakan kalian di hadapan para malaikatnya." [H.R. Muslim].  Orang-orang yang menghadiri majelis ilmu akan diampuni kesalahan-kesalahannya. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda yang artinya, "Tidaklah suatu kaum yang berkumpul untuk mengingat Allah dan tidak ada yang mereka inginkan darinya selain wajah-Nya melainkan penyeru dari langit menyeru kepada mereka, 'Bangkitlah kalian dalam keadaan kalian telah diampuni. Sungguh Aku telah ganti kejelekan-kejelekan kalian dengan kebaikan-kebaikan." [H.R. hmad, Abu Ya'la, Al Bazzar, Ath Thabarani dan di Shahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Shahih Targhib no:1504]. Orang-orang yang menghadiri majelis ilmu akan dinaungi oleh para malaikat.  Orang-orang yang menghadiri majelis ilmu akan diturunkan sakinah atau ketenangan kepada hati-hati mereka. Orang-orang yang menghadiri majelis ilmu akan dipenuhi oleh rahmat Allah Hal-hal diatas berdasarkan hadis Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda yang artinya, "Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan mempelajarinya antara satu sama lainnya melainkan malaikat akan menaungi mereka, turun kepada mereka sakinah dan ketenangan, rahmat Allah memenuhi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan para malaikat-Nya." [H.R. Muslim] Orang-orang yang menghadiri majelis ilmu berhak mendapatkan pahala haji yang sempurna. Hal ini berdasarkan hadis Abu Umamah Al Bahili dari Nabi Muhammad bahwa beliau bersabda yang artinya, "Barangsiapa yang keluar menuju masjid dan tiada yang ia inginkan melainkan hendak mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, melainkan baginya pahala seperti pahalanya seorang yang telah berhaji dengan haji yang sempurna." [H.R. Ath Thabarani dan Asy Syaikh Al Albani menilainya sebagai hadis Hasan Shahih di dalam Shahih Targhib no:86] Orang-orang yang menghadiri majelis ilmu akan teranggap sebagai mujahidin fi sabilillah. Hal iniberdasarkan hadis Abu Hurairah bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda yang artinya, "Siapa yang mendatangi masjidku ini dan ia tidak mendatanginya melainkan karena untuk kebaikan yang ingin ia pelajari atau ia ajarkan, maka ia menduduki kedudukan orang yang berjihad dijalan Allah." [H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani didalam Shahih Targhib no:87]  Artinya siapapun yang bermalas-malasan untuk menghadiri majelis ilmu dan mencukupkan diri dengan taklim hanya melalui rekaman, streaming dan yang semisalnya, sungguh ia merugi karena terhalang mendapatkan berbagai keutamaan di atas. Kita selalu memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada kita untuk bisa menghadiri majelis-majelis kebaikan. Wallahu a'lam Referensi: Syarah Shahih Muslim karya An Nawawi Syarah Riyadus Shalihin karya Muhammad bin  Shalih Al Utsaimin Umdatul Qari karya Badruddin Al 'Aini Fathul Bari karya Ibnu Hajar Syarah Shahih Al Bukhari karya Ibnu Bathal Shahih Targhib wat Targhib karya Al Albani Sumber : Majalah Qudwah Edisi 63 Vol 06 1440 H halaman 56 | Disalin oleh tim Atsar ID
5 tahun yang lalu
baca 11 menit