Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

fatawa tentang kurban

9 tahun yang lalu
baca 16 menit

FATAWA KURBAN 1: HUKUM BERKURBAN DAN MENIATKANNYA UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL


Oleh:
Asy-Syaikh al-'Allaamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah-

                                          ✹✹✹


P E R T A N Y A A N:

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin ditanya tentang hukum berkurban, dan apakah boleh mengkhususkannya untuk keluarga yang telah meninggal?


J A W AB A N:

Beliau menjawab,

“Udhiyah (menyembelih hewan kurban,pen) adalah sunnah mu’akkadah bagi orang yang mampu melakukannya. Maka dia hendaknya menyembelih hewan kurban untuk dirinya dan keluarganya.

Adapun meniatkan berkurban khusus untuk anggota keluarga yang telah meninggal, maka hal itu TIDAK PERNAH teriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, menurut yang saya tahu, bahwa beliau menyembelih hewan kurban khusus untuk orang yang telah meninggal. hal ini juga tidak (pernah diriwayatkan) dari para shahabat ketika di masa NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam .

Akan tetapi hendaknya seseorang di dalam berkurban meniatkan untuk dirinya dan keluarganya, dan bila ia meniatkan juga untuk anggota keluarganya yang telah meninggal maka tidak mengapa (yang dilarang adalah mengkhususkan untuk mayit,pen).” (Majmu Fatawa wa Rasail25/10)

__________________
Didalam fatwa berikutnya beliau menambah keterangan tentang larangan mengkhususkan berkurban bagi anggota keluarga yang telah meninggal, beliau berkata,

“Kemudian berkurban bukan bagi orang yang telah meninggal, tapi berkurban bagi orang yang masih hidup. Dan berkurban tidak sunnah bagi orang yang telah meninggal.

Dalilnya adalah, bahwasanya syari’at ini hanya bersumber dari sisi Allah dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan as-sunnah telah datang menjelaskan bahwasanya berkurban hanya bagi orang yang masih hidup.

❗Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga memiliki kerabat-kerabat yang telah meninggal, akan tetapi beliau tidak pernah berkurban KHUSUS bagi mereka. Semua putra dan putri Nabi telah meninggal sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Diantara mereka ada yang meninggal sebelum usia baligh, dan sebagian yang lain setelah usia baligh. Anak laki-laki beliau semuanya meninggal sebelum baligh, sedangkan putri-putri beliau meninggal di usia baligh, kecuali Fathimah yang masih hidup sepeninggal beliau.

Juga ada dua isteri Nabi yang meninggal sebelum beliau yaitu Khadijah dan Zainab bintu Khuzaimah Radhiallahu ‘anhuma.

Demikian pula paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthallib telah terbunuh sebagai syahid, akan tetapi tidak pernah beliau (mengkhususkan) berkurban bagi mereka. Maka (dapat diketahui bahwa) beliau tidak mensyari’atkan berkurban bagi orang yang telah meninggal, dan tidak mendakwahkan hal tersebut.

Atas dasar ini kami katakan, tidak termasuk sunnah (mengkhususkan) berkurban bagi mayit, karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan aku juga tidak mengetahui ada riwayat dari shahabat .

Baik, jika si mayit telah berwasiat untuk disembelihkan hewan kurban baginya maka ditunaikan wasiatnya dengan disembelihkan hewan kurban baginya, dalam rangka menunaikan wasiatnya.

Demikian pula bila si mayit digabungkan bersama orang-orang yang masih hidup, contohnya seseorang menyembelih hewan kurban dengan niat untuk dirinya dan keluarganya, dia meniatkan keluarga yang masih hidup dan yang sudah meninggal (maka tidak mengapa).

Adapun mengkhususkan berkurban untuk orang yang sudah meninggal, maka perbuatan itu bukan sunnah. (Majmu Fatawa wa Rasail 25/11)

                                          ✺✺✺

Sumber:
http://bit.ly/1JCg1CH
____________________
مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www.alfawaaid.net



FATAWA KURBAN 2: SYARAT HEWAN KURBAN DAN PEMBAGIAN DAGINGNYA


Oleh:
Asy-Syaikh al-'Allaamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah-

                                          ✹✹✹

Asy-Syaikh Al-Utsaimin berkata, “Kemudian berkurban memiliki beberapa syarat, di antaranya ada syarat terkait waktunya, dan ada syarat terkait hewan kurban itu sendiri.

Adapun waktunya:

Sesungguhnya berkurban memiliki waktu yang telah ditentukan, yang tidak disyari’atkan untuk dilakukan sebelum atau setelahnya.

Waktunya adalah dimulai sejak selesai dilaksanakannya shalat ‘ied sampai terbenamnya matahari di malam 13 (DzulHijjah). Sehingga waktunya ada 4 hari, yaitu hari Ied dan 3 hari setelahnya.

Maka siapa saja yang menyembelih hewan kurbannya dalam kurun waktu tersebut baik di waktu siang atau malam hari maka sembelihannya adalah sah, ini ditinjauh dari sisi waktu.

Dan barangsiapa menyembelihnya sebelum shalat ‘Ied maka hewan kurbannya adalah hewan kurban lahm (yaitu daging biasa,pen) dan tidak bisa dijadikan sebagai hewan kurban, dia boleh menyembelih hewan kurban lain sebagai pengganti yang pertama.

Barangsiapa menyembelih setelah matahari terbenam di malam ke 13 (DzulHijjah) maka hewan kurbannya tidak sah, kecuali jika ada udzur.


Sedangkan syarat terkait hewan kurbannya, maka syaratnya adalah:


P E R T A M A:

Harus dari bahimatul an’am (hewan ternak), yaitu Onta, sapi, dan kambing domba atau kacang. Barangsiapa yang berkurban dengan selain hewan tersebut maka kurbannya tidak sah.

Misalnya seseorang berkurban dengan kuda, kijang, atau burung unta, maka kurbannya tidak diterima darinya, karena hewan kurban hanyak berlaku bagi hewan-hewan ternak.

Udhiyah adalah ibadah dan syari’at, sehingga tidaklah seseorang menjadikan sebuah syari’at dan tidak beribadah kecuali yang telah ditetapkan di dalam syari’at. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

“من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد”

“Barangsiapa melakukan sebuah perbuatan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalannya tertotak.”(HR. Muslim no.1718) yakni ditolak tidak diterima.


K E D U A:

Telah mencapai usia yang cukup menurut syari’at.

  •     Bagi kambing domba usia 6 bulan, 
  •     kambing kacang/jawa 1 tahun, 
  •     sapi 2 tahun, 
  •     dan unta 5 tahun.

Barangsiapa menyembelih di bawah usia tersebut maka tidak sah kurbannya. Seandainya ia menyembelih kambing domba berusia 5 bulan maka tidak sah kurbannya, atau menyembelih sapi usia 1 tahun lebih 10 bulan juga tidak sah kurbannya, atau menyembelih unta usia 4 tahun lebih 6 bulan juga tidak sah kurbannya. Maka harus telah sampai usia yang telah ditentukan. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

(لا تذبحوا إلا مُسِنَّة- يعني ثنيّة- إلا أن تعْسُرَ عليكم فتذبحوا جَذَعة من الضأن “

“Janganlah kalian menyembeli (hewan kurban) kecuali musinnah (yaitu tsaniyyah). Kecuali jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka boleh menyembelih jadza’ah dari domba.”

(Keterangan tambahan: Musinnah adalah Tsaniyah. Tsaniyah pada Unta adalah unta yang genap berumur lima tahun. Tsaniyah pada Sapi adalah sapi yang genap berumur dua tahun. Tsaniyah pada Kambing (baik dari jenis dha’n maupun ma’iz) adalah yang genap berumur satu tahun. Adapun jadza’ dari jenis dha’n adalah yang genap berumur setengah tahun.)


K E T I G A:

Terbebas dari ‘aib yang membuatnya tidak sah.

‘Aib pada hewan kurban ada empat: (keempatnya) telah dijawab oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau ditanya, “Apa yang harus dihindari dari hewan kurban?

Maka beliau menjawab, “yang buta dan jelas butanya, yang sakit dan jelas sakitnya, yang pincang dan jelas pincangnya, yang kurus tidak bersumsum.” (HR. Malik)

Hewan-hewan seperti di atas atau bahkan lebih parah lagi maka dihukumi sama. Inilah 3 syarat yang kembalinya kepada hewan kurban, dan 1 syarat sebelumnya kembali kepada waktu pelaksanaannya, dan telah dijelaskan sebelumnya.



CARA PEMBAGIANNYA

Adapun mengenai bagaimana cara pembagiannya, maka Allah telah berfirman,

“ليَشهَدُوا مَنافِعَ لَهُم وًيذكرُوا آسمَ اللهِ فِى أيامٍ معلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم من بَهِيمَةِ اَلأنعامِ فَكُلُواْ مِنْهَا وَأطْعِمُوا آلْبَآئِسَ اَلفَقِيرَ “

“supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj:28)

Allah juga berfirman,

وَالبُدنَجَعَلْنَاهَا لَكْم مٍنّ شَعَائِرِ اللهِ لَكْمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاَذْكُرُوا اَسمَ اَللهِ عَلَيها صَوَآفَّ فَإذَا وَجَبَت جُنُوبُهَا فَكُلْواْ مِنْهَا وَأطعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعتَرَّ كَذَالِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكْمْ لَعَلَّكم تَشْكُرُونَ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj:36)

Jadi hendaknya seseorang memakan sebagian dagingnya, menyedekahkan sebagiannya kepada fuqoro’, dan menghadiahkan sisanya kepada orang yang mampu, dalam rangka melembutkan hati dan menumbuhkan rasa cinta. sehingga di dalam udhiyah tersebut terkumpul tiga perkara yang dimaukan oleh Syari’at, yaitu:

   ▪Bersenang-senang dengan nikmat Allah dengan memakan sebagiannya.
   ▪Mengharap pahala Allah dengan menyedekahkannya.
   ▪Saling mencinta di antara hamba Allah dengan cara menghadiahkannya.

Ini adalah kandungan mulia yang dimaukan oleh syari’at. Oleh karenanya sebagian ulama menyukai daging hewan kurban dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga dimakan, sepertiga disedekahkan, dan sepertiga lagi dihadiahkan.


                                          ✺✺✺

Sumber:
Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/12-14.

Dinukil dari http://bit.ly/1g4iACR

____________________
مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
✆ WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www.alfawaaid.net


------------

FATAWA KURBAN 3: BERHUTANG UNTUK KURBAN


Oleh:
Asy-Syaikh al-'Allaamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah-

                                          ✹✹✹

P E R T A N Y A A N :
Apa Hukum berkurban dan apakah boleh seseorang berhutang untuk berkurban?


J A W A B A N:

Asy-Syaikh Al-Utsaimin menjawab,
“(hukum) berkurban adalah sunnah muakkadah bagi orang yang mampu. Bahkan sebagian ahlul ilmi menyatakan, hukum berkurban adalah wajib.

Di antara ulama yang berpendapat wajib adalah Abu Hanifah dan pengikutnya ­–semoga Allah merahmati mereka, juga dalam satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal –semoga Allah merahmati beliau-. Dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmati beliau-. Atas dasar ini maka tidak sepantasanya bagi orang yang mampu untuk tidak berkurban.

Adapun orang yang tidak memiliki uang, maka tidak sepantasanya dia berhutang hanya untuk berkurban, karena hutang akan membebani dirinya, sedangkan dia tidak tahu apakah mampu untuk membayar hutang itu atau tidak?!

Akan tetapi bagi orang yang mampu maka jangan meninggalkan berkurban karena itu adalah sunnah.

Dan hakekat berkurban adalah (1 ekor) mencukupi seorang (yang berkurban) dan keluarganya, ini yang sunnah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Beliau dahulu menyembelih satu ekor domba dengan niat dari beliau dan keluarga beliau. Dan seseorang jika menyembelih satu ekor domba dengan niat dari dirinya dan keluarganya, maka hal itu sudah mencukupi bagi keluarganya yang masih hidup dan yang sudah meninggal.

Sehingga tidak perlu berkurban khusus untuk keluarga yang telah meninggal sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang, dimana mereka mengkhususkan kurban untuk keluarga yang telah meninggal tapi membiarkan diri-diri mereka dan keluarga yang hidup tidak berkurban.

Adapun berkurban bagi orang yang telah meninggal jika itu adalah wasiat darinya maka harus dilaksanakan wasiat tersebut. Wallahu ‘alam.

                                          ✺✺✺

Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/34-35.
Dinukil dari http://bit.ly/1UDmfp3

____________________
مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www.alfawaaid.net


------------

FATAWA KURBAN 4:
HUKUM BERKURBAN LEBIH DARI 1 EKOR DALAM SATU KELUARGA


Oleh:
Asy-Syaikh al-'Allaamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah-

                                          ✹✹✹

P E R T A N Y A A N :

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya tentang seseorang yang sudah berkeluarga akan tetapi masih tinggal bersama orang tuanya, dan dia memiliki harta. Apakah dia mencukupkan dengan kurban orang tuanya?



J A W A B A N:

“Yang sesuai dengan sunnah ialah seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya, baik yang masih kecil atau yang sudah besar (yakni cukup satu ekor saja,pen).

Adapun jika dia tinggal secara terpisah dari ayahnya, yaitu dia tinggal di rumah sendiri dan ayahnya di rumahnya sendiri, maka masing-masingnya berkurban sendiri-sendiri. Si ayah berkurban untuk dia dan keluarganya (yang serumah dengan dia) dan si anak berkurban untuk dia dan keluarganya.

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa yang disebutkan ini adalah yang sesuai dengan sunnah, bukan maksudnya diharamkan bagi si anak yang tinggal bersama orang tuanya untuk berkurban sendiri. Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwasanya mencocoki sunnah itu lebih baik daripada tidak.

Aku akan berikan sebuah permisalan: ada dua orang, yang satu menegakkan shalat sunnah fajar secara ringkas dan yang satunya memanjangkannya, mana dari keduanya yang lebih mencocoki sunnah?

Jawabannya adalah orang pertama yang shalatnya pendek (yang mencocoki sunnah). Akan tetapi orang kedua walaupun dia memanjangkan shalatnya dan menyalahi sunnah dia tidak dianggap berdosa.

Demikian pula, jika kita katakan bahwa yang sunnah bagi penghuni dalam satu rumah menyembelih 1 hewan kurban, dan yang akan melakukannya adalah kepala rumah tangga. Bukan berarti seandainya mereka berkurban lebih dari satu ekor maka mereka berdosa, mereka tidak berdosa. Hanya saja beramal sesuai sunnah lebih afdhal ketimbang memperbanyak amalan. Allah Ta’ala berfirman,

(لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا)

“agar Allah menguji kalian, siapakah di antara kalian yang paling baik amalannya.” (QS. Al-Mulk ayat 2)

Oleh karena itu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus dua orang dalam suatu keperluan. Ketika keduanya tidak mendapati air (untuk berwudhu), keduanya pun bertayamum dan melakukan shalat. Kemudian (ketika selesai shalat) keduanya mendapati air.

Lantas seorang dari keduanya berwudhu’ dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang satu lagi tidak berwudhu’ dan tidak mengulangi shalatnya.

Kejadian itu dilaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah benar (mencocoki sunnah,pen).” Dan kepada orang yang mengulangi shalatnya beliau katakan, “Engkau mendapat pahala dua kali.” Maka tentu saja yang afdhal dari keduanya adalah yang mencocoki sunnah.

Hanyalah orang satunya mendapat pahala dua kali dikarenakan dia melakukan dua amalan, sehingga mendapat pahala dari dua amalan tersebut. Akan tetapi pahalanya tidak seperti orang yang mencocoki sunnah.

                                          ✺✺✺

Sumber: Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/39 | Dinukil dari http://bit.ly/1JXxmq1

____________________
مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www.alfawaaid.net
------------

FATAWA KURBAN 5:
HUKUM SESEORANG BERKURBAN LEBIH DARI 1 EKOR DAN HUKUM SUAMI ISTERI URUNAN/PATUNGAN UNTUK BERKURBAN


Oleh:
Asy-Syaikh al-'Allaamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah-

                                          ✹✹✹

P E R T A N Y A A N :

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin ditanya, “Apakah boleh bagi orang yang mampu untuk berkurban lebih dari satu ekor?

Karena telah diriwayatkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah berkurban dengan dua ekor domba.

Dan apakah memungkinkan bagi seorang suami dan isterinya berserikat dalam satu hewan kurban, yakni si suami membayar separuh harga dan si isteri membayar separuhnya?



J A W A B A N:

Beliau menjawab, “yang lebih afdhal adalah seseorang tidak menambah lebih dari satu ekor domba untuk dia dan keluarganya.

❗Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu berkurban dengan satu ekor domba untuk beliau dan keluarga beliau. Dan telah diketahui bersama bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah makhluk yang paling mulia, dan beliau adalah orang yang paling cinta dan mengangungkan peribadahan kepada Allah.

Adapun apa yang disebutkan bahwa beliau pernah berkurban dengan dua ekor domba, maka domba yang kedua bukan untuk keluarga beliau tapi untuk umatnya.

Atas dasar ini, maka yang lebih afdhal adalah berkurban dengan satu ekor untuk orang tersebut (yang berkurban) dan keluarganya.

Dan barangsiapa memiliki kelebihan uang hendaknya ia sedehkankan sedikit (uang tersebut) atau dalam bentuk makanan atau yang semisalnya dan dikirim ke negeri lain yang membutuhkannya atau kepada orang yang membutuhkan di daerahnya, karena biasanya di daerahnya sendiri ada orang-orang yang membutuhkan.

Adapun apabila seorang suami berserikat (patungan) dengan isterinya dalam satu harga domba maka ini TIDAK SAH, karena tidak boleh BERSERIKAT dua orang dalam satu ekor kambing.

Berserikat beberapa orang hanya boleh bagi unta dan sapi. Bagi unta 7 orang dan bagi sapi juga 7 orang. Sedangkan kambing, maka tidak memungkinkan untuk patungan antara dua orang selamanya.

Adapun (berserikat) dalam hal pahala maka tidak ada batasannya, tidak mengapa dia mengucapkan, “Ya Allah (kurban) ini dariku dan dari isteriku” atau “dariku dan keluargaku”.

Tapi kalau masing-masingnya urunan separuh harga dan (setelah terkumpul) membeli satu ekor hewan kurban berupa kambing maka tidak sah.
                                          ✺✺✺

Sumber:
Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 25/46 | Dinukil dari http://bit.ly/1MgjZog

____________________
مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www.alfawaaid.net
Oleh:
Atsar ID
Sumber Tulisan:
Fatawa Tentang Kurban