Fiqih

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

menjamak shalat sebelum berangkat safar, bolehkah?

TIDAK MENJAMAK SHOLAT SEBELUM BERANGKAT SAFAR, KECUALI JIKA KONDISI YANG MENYULITKAN Salah satu kemudahan yang Allah berikan kepada seorang musafir adalah kebolehan menjamak sholat, menggabungkan 2 sholat dalam satu waktu, yaitu Dzhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Namun, kemudahan ini baru boleh dilakukan saat seseorang sudah meninggalkan daerah mukimnya atau dalam perjalanan safar. Saat seorang masih berada di rumah kediamannya saat mukim, secara asal menjamak sholat belum boleh dilakukan. Di antara beberapa hadits tentang kebolehan menjamak sholat saat safar adalah hadits-hadits berikut ini: عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي السَّفَرِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلُ وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا Dari Anas –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam jika ingin menjamak dua sholat dalam safar, beliau mengakhirkan waktu Dzhuhur hingga masuk waktu Ashar kemudian menjamak di antara keduanya (H.R Muslim) عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ ذَلِكَ إِنْ غَابَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا Dari Muadz bin Jabal -semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ketika berada pada pertempuran Tabuk, jika matahari tergelincir sebelum beliau pergi, beliau menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar. Jika beliau pergi sebelum tergelincir matahari beliau mengakhirkan Dzhuhur hingga beliau turun di waktu Ashar. Dan pada waktu Maghrib juga seperti itu. Jika matahari terbenam sebelum beliau pergi, beliau menjamak antara Maghrib dan Isya. Jika beliau pergi sebelum matahari tenggelam, beliau mengakhirkan Maghrib hingga turun di waktu Isya’, kemudian menjamak keduanya (H.R Abu Dawud) Keringanan menjamak sholat tersebut adalah karena safar. Barulah boleh dilakukan saat sudah menyandang predikat sebagai musafir. Atau, ia sudah dalam proses perjalanan meninggalkan bangunan-bangunan yang ada dalam wilayah mukimnya. Saat itu ia sudah boleh menqoshor maupun menjamak sholat. Sebagaimana Nabi shollallahu alaihi wasallam dan Umar bin al-Khoththob mulai mengqoshor sholat dan mengambil keringanan-keringanan safar saat sudah meninggalkan bangunan-bangunan di wilayah mukimnya. Pada saat itu, jika perjalanan sudah menempuh sekitar 3 mil, sudah terpisah dari pemukiman di wilayah mukimnya. Satu mil jika dikonversikan dalam meter adalah sekitar 1.600 meter atau 1,6 km (Taudhihul Ahkam syarh Bulughil Maram karya Syaikh Abdullah al-Bassam (2/539)). Sehingga, setidaknya saat sudah menempuh 3 mil atau sekitar 4,8 km dari kediaman mukimnya, seseorang sudah boleh melakukan keringanan-keringanan dalam safar. عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ‏ الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ‏ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ‏قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ‏كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ‏ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ‏ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ (شَكَّ شعبة) صَلَّى رَكْعَتَيْنِ Dari Yahya bin Yazid al-Hanaa-i beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqoshor dalam sholat. Beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika keluar sejarak 3 mil atau 3 farsakh – keraguan pada perawi bernama Syu’bah- beliau sholat 2 rokaat” (H.R Muslim) عَنِ اللَّجْلاَجِ, قَالَ : كُنَّا ‎نُسَافِرُ مَعَ عُمَرَ بْنِ ‏الْخَطَّابِ فَيَسِيرُ ثَلاَثَةَ ‏أَمْيَالٍ فَيَتَجَوَّزُ فِي ‎الصَّلاَة وَيَفْطُرُ Dari al-Lajlaaj beliau berkata: Kami pernah safar bersama Umar bin al-Khottob. Beliau melakukan perjalanan sejauh 3 mil mengqoshor sholat dan berbuka” (riwayat Ibnu Abi Syaibah no 8221 juz 2 halaman 445) Namun, jika seseorang masih berada di tempat kediamannya, atau masjid yang dekat dengan rumah tempatnya bermukim, ia masih hendak akan berangkat safar, belum boleh melakukan keringanan-keringanan yang dilakukan musafir, termasuk menjamak sholat. Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daaimah nomor 8136 disebutkan tentang hal itu. Terjemahan fatwanya adalah sebagai berikut: Pertanyaan: “Ada seseorang yang hendak safar, ia masih berada di tempat tinggalnya. Bolehkah bagi dia untuk menjamak sholat Dzhuhur dengan Ashar tanpa qoshor? Dalam keadaan ia tidak bisa sholat Ashar hingga sampainya ia di tempat yang dituju bersamaan dengan masuknya waktu Maghrib (di sana)?” Jawaban al-Lajnah adDaimah: Tidak boleh menjamak sholat Ashar dengan Dzhuhur atau Isya dengan Maghrib bagi orang yang berniat safar selama ia masih berada di tempat tinggalnya, belum mulai melakukan perjalanan (safar). Karena belum adanya kondisi yang memperbolehkannya untuk menjamak, yaitu safar. Namun, keringanan dalam mengqoshor dan menjamak (sholat) adalah saat ia sudah meninggalkan (deretan) pemukiman tempat tinggalnya (Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah (8/107)) Demikianlah keadaan secara asal. Tidak boleh menjamak sholat jika ia belum menjadi musafir. Namun, apabila dirasa kesulitan bagi seseorang yang mukim (hendak safar) kalau tidak menjamak sholatnya, boleh bagi dia menjamak saat masih di kediaman tempat tinggalnya. Hal itu khusus dalam kondisi yang menyulitkan. Ia menjamak sholat bukan karena sebagai musafir, namun sebagai mukim yang mengalami kesulitan melakukan sholat masing-masing pada waktunya. Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah menjamak sholat di Madinah bukan karena takut dan juga bukan karena hujan: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ Dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya di Madinah bukan karena takut, dan juga bukan karena hujan. Dalam hadits Waki’ dinyatakan: Aku (Said bin Jubair) berkata kepada Ibnu Abbas: Mengapa Nabi melakukan hal itu? Ibnu Abbas berkata: Agar tidak memberatkan umatnya (H.R Muslim) Ada pertanyaan kepada Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah bagi seorang yang hendak safar dan dirasa menyulitkan jika ia melakukan sholat di pesawat dalam perjalanan yang panjang. Beliau membolehkan menjamak sholat sebelum berangkat safar karena sebab kesulitan itu. Bukan karena keringanan dalam safar. Berikut ini terjemahan fatwa beliau: Pertanyaan : Seseorang yang hendak safar perjalanan udara jauh, bolehkah menjamak Ashar dengan Dzhuhur dengan jamak taqdim di negerinya untuk menghindarkan kesulitan sholat di pesawat karena sulitnya tempat pelaksanaan sholat, atau kesulitan menghadap kiblat, atau karena gangguan kegaduhan atau guncangan dalam pesawat, dan semisalnya? Jawaban Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah: Ya, hal itu diperbolehkan. Namun ia menjamak saja tanpa mengqoshor. Karena sebab kesulitan. Bukan karena sebab safar. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkhutbah di hadapan manusia sejak Ashar. Telah terbenam matahari dan telah nampak bintang-bintang, ada yang mengatakan: (mari menegakkan) sholat... Ibnu Abbas berkata: Aku lebih tahu tentang hal itu dibandingkan engkau. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya di Madinah bukan karena takut, tidak pula karena hujan. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas: Mengapa beliau melakukan hal itu? Ibnu Abbas menyatakan: Agar tidak menyulitkan umatnya (Tsamarootut Tadwiin min Masaail Ibn Utsaimin yang disusun Dr. Ahmad bin Abdirrahman al-Qodhiy(1/40)) Catatan: Pada buku “Fiqh Bersuci dan Sholat” yang saya tulis di cetakan pertama, dalam Bab Sholat Musafir saya menjelaskan bolehnya menjamak sholat saat akan berangkat safar berdasarkan hadits Muadz di atas. Padahal sebenarnya hadits itu menjelaskan kondisi Nabi saat safar di Tabuk. Penjelasan tersebut adalah suatu kesalahan yang saya bertaubat kepada Allah Ta’ala tentang hal itu, dan tulisan ini adalah sekaligus sebagai ralat dari penjelasan di buku itu. (Abu Utsman Kharisman) WA al I'tishom Foto : Car Dashboard | Sumber: Pixabay
7 tahun yang lalu
baca 7 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum berpuasa pada hari tasyriq

HUKUM BERPUASA PADA HARI TASYRIQ Hari tasyriq yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah Dalam permasalahan ini para ulama terbagi menjadi tiga pendapat: 1️⃣ Haram berpuasa pada hari tasyriq bagi siapa pun. Larangan ini mencakup puasa sunnah maupun puasa wajib. . Demikian pendapat Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash, Hasan al-Bashri, Atho', Abu Hanifah, Ibnul Mundzir, dan pendapat yang terkenal dalam madzhab Syafi'i. Lihat Syarah Muslim 8/17 dan Ma'alimus Sunan 2/128 2️⃣ Boleh berpuasa bagi seorang yang haji tamatu' atau qiran bila tidak mendapati hewan sembelihan (hadyu). Adapun selain mereka dilarang. Demikian pendapat Malik bin Anas, al-Auza'i, Ishaq bin Rahawaih, Imam Syafi'i dalam salah satu pendapatnya, dan Imam al-Bukhari Lihat Syarah Muslim 8/17 dan Fathul Baari 4/242 3️⃣ Boleh berpuasa bagi siapa saja, baik puasa wajib maupun puasa sunnah.  Pendapat ini dinukilkan dari Zubair bin 'Awam, Abdullah bin Umar, Abu Talhah, dan Muhammad bin Sirin. 📖 Lihat Syarah Muslim 8/17 dan Fathul Baari 4/242 Foto:  food-peanut-nuts |  Sumber : Pixabay Dalil pendapat pertama adalah hadits Nubaisyah al-Hudzali radhiallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah shalahu alaihi wasallam bersabda, أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ "Hari tasyriq merupakan hari makan dan minum." (HR. Muslim no.1141) dan hadits Amr bin Ash, ketika ia memerintahkan anaknya yang sedang berpuasa pada hari tasyriq untuk berbuka, فَهَذِهِ الْأَيَّامُ الَّتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا بِإِفْطَارِهَا، وَيَنْهَانَا عَنْ صِيَامِهَا»، قَالَ مَالِكٌ: «وَهِيَ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ» "Hari-hari ini yang dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami untuk berbuka dan melarang kami berpuasa padanya."  Imam Malik menyatakan, "yaitu hari-hari tasyriq." (HR. Abu Daud no.2418, dishahihkan Syaikh al-Albani) Adapun dalil pendapat kedua adalah keterangan Aisyah dan Abdullah bin Umar radhiallahu 'anhum, لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ، إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الهَدْيَ "Tidak diberi keringanan untuk berpuasa pada hari tasyriq kecuali bagi seorang yang tidak mendapati hewan hadyu (hewan sembelihan bagi jama'ah haji,pen)." (HR. al-Bukhari no.1997) Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahumullah. Adapun pendapat ketiga, mereka menyatakan bahwa larangan tersebut adalah makruh saja tidak sampai tingkatan haram. Namun pendapat ini tidak dilandasai dalil yang kuat. Imam ash-Shan'ani dalam Subulus Salam berkata, وَهُوَ قَوْلٌ لَا يَنْهَضُ عَلَيْهِ دَلِيلٌ. "Ini merupakan pendapat yang tidak tegak di atas dalil." PENDAPAT YANG KUAT Jika melihat kepada kaedah "Mengamalkan dua dalil lebih baik ketimbang membuang salah satunya." maka yang lebih baik dalam permasalahan ini adalah pendapat kedua yang menggabungkan antara hadits larangan dengan hadits rukhsah. Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah berkata, "Seorang yang sedang haji qiran dan tamatu' bila tidak mendapati hewan sembelihan boleh baginya berpuasa pada tiga hari ini (yaitu 3 hari tasyriq,pen) agar tidak terlewatkan musim haji sebelum ia berpuasa. Adapun selain itu maka tidak boleh berpuasa padanya. Bahkan, seorang yang memiliki tanggungan puasa dua bulan berturut-turut (puasa kaffaroh,pen) maka ia harus berbuka pada hari 'id dan tiga hari setelahnya, lalu setelah itu ia melanjutkan puasanya lagi." (Fatawa Ramadhan hal.727) wallahu a'lam bish showab Oleh: Tim Warisan Salaf #Fawaidumum #dzulhijjah #keutamaan #amalan #10dzulhijjah #tasyriq Warisan Salaf menyajikan Artikel dan Fatawa Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah Channel kami https://bit.ly/warisansalaf Situs Resmi http://www.warisansalaf.com
7 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

mengganti nama setelah masuk islam, haruskah?

MENGUBAH NAMA SETELAH MEMELUK AGAMA ISLAM Fatwa Ibnu Baz rahimahullah Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz kepada saudara yang terhormat, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Amma Ba'du: Sebagai jawaban atas surat Anda tertanggal 13/9/1409 H, yang berisi pertanyaan tentang hukum mengganti nama bagi yang baru memeluk agama Islam dari nama aslinya ke dalam nama yang islami. Apakah itu merupakan sebuah keharusan atau bukan? Saya beritahukan bahwa tidak ada dalil syar'i yang mewajibkan untuk mengganti nama, bagi orang yang telah diberi hidayah oleh Allah untuk masuk Islam. Kecuali ada hal yang mengharuskannya secara syar'i. Sebagai contoh, nama yang bermakna penghambaan kepada selain Allah, seperti: Abdul Masih dan sebagainya, atau nama yang tidak pantas untuk disebut dan ada nama lain yang lebih baik dari itu, seperti nama huzn (sedih) diganti dengan sahl (mudah), dan nama-nama lainnya yang tidak pantas untuk disebut. Namun, mengganti nama yang bermakna penghambaan kepada selain Allah hukumnya adalah wajib, dan yang selainnya adalah baik dan utama untuk dilakukan. Termasuk dalam kategori kedua adalah nama-nama yang masyhur di kalangan orang-orang Nasrani (Kristen). Apalagi bila terdengar nama tersebut, diidentikkan dengan seorang Nasrani, maka sepantasnya nama tersebut diubah. Semoga Allah senantiasa memberikan taufik kepada semuanya untuk melakukan hal yang Dia cintai dan ridhai, dan menganugerahkan kepada kita semuanya akan pemahaman yang benar tentang agama dan senantiasa teguh di jalannya. Wassalamu`alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh http://www.binbaz.org.sa/article/77 http://t.me/ukhwh Syaikh bin Baz rahimahullah dalam kesempatan lain menjawab pertanyaan serupa. Apabila orang kafir telah masuk Islam apakah diharuskan untuk merubah namanya? Jawaban beliau : Apabila namanya bukan nama yang baik, maka disyariatkan baginya untuk merubah namanya setelah masuk Islam. Karena perubahan namanya akan memberikan kesan yang jelas dan nampak bahwa ia telah berpindah memeluk agama Islam. Karena dia akan ditanya tentang sebab perubahan namanya sehingga orang-orang akan mengetahui bahwa dia telah masuk Islam. Dan pada umumnya nama-nama mereka ketika masih kafir terkadang tidak sesuai syariat. Maka hendaknya diganti dengan nama-nama yang islami seperti Shalih, Ahmad, Abdullah, Abdurrahman, Muhammad dan nama-nama yang semisalnya. Sumber : Nur .'alad Darb 96. WhatsApp : KITA SATU https://bit.ly/KajianIslamTemanggung dari web : ilmusyari.com Foto : Daun Kering | Sumber : Pixabay
7 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum sedekah seberat rambut bayi yang baru lahir

SEPUTAR POTONG RAMBUT BAYI Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ditanya dengan pertanyaan berikut "Apakah benar bahwa di antara hukum terkait dengan bayi yang dilahirkan adalah potong rambut dan bersedekah sesuai dengan beratnya? Beliau menjawab: "Adapun yang pertama yaitu tentang menggundul rambut, maka ini khusus berlaku untuk bayi laki-laki saja bukan bayi perempuan Adapun bayi perempuan maka tidak digundul rambutnya. Kemudian setelah dipotong, maka bersedekah dengan perak seberat rambutnya yang dipotong. Inilah pendapat yang benar." Selesai jawaban beliau. (Sumber: Liqa al-Bab al-Maftuh 89) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah putrinya, Fatimah radhiallahu ‘anha, untuk menyedekahkan perak atas nama anaknya seberat rambut bayi yang digundul. Ini disebutkan oleh hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ia mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi al-Hasan radhiallahu ‘anhu dengan seekor kambing, lalu bersabda, “Wahai Fatimah, gundullah kepalanya dan bersedekahlah seberat rambutnya berupa perak.” Ali radhiallahu ‘anhu berkata, "Kami menimbang (rambut)nya. Beratnya satu dirham atau beberapa dirham.” (Shahih Sunan at- Tirmidzi no. 1519) Maka dari itu, menjadi keharusan bagi yang memiliki keluasan untuk menyedekahkan perak seberat rambutnya. Jika tidak mampu, Allah ‘azza wa jalla tidak membebani suatu jiwa lebih dari kemampuannya. Hal lain yang perlu diperhatikan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Talkhis (4/148), seluruh riwayat sepakat menyebutkan (sedekah dengan) perak. Tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan emas. Bersedekah dengan perak ini dilakukan pada hari ketujuh, sebagaimana yang dipahami dari hadits. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah. (Ahkamul Maulud fis-Sunnah al-Muthahharah 79—80) Sebagian ulama berpendapat, jika pada hari ketujuh tidak ada tukang cukur yang bisa menggundul kepalanya, berat perak yang disedekahkan bisa ditentukan dengan perkiraan. (asy-Syarhul Mumti’ 7/321) Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله pada kesempatan lain ditanya "Apakah tsabit (ada hadits  .shahih) dalam sunnah yang shahih bahwasannya bayi dicukur rambutnya pada hari yang ketujuh kelahirannya dan bersedekah seberat emas? Jika benar, apakah ini dilakukan terhadap anak lelaki saja ataukah anak lelaki dan perempuan keduanya sama pada yang demikian itu?" Jawaban: Telah datang hadits dalam sunnah pada perbuatan tersebut yang dijadikan landasan ulama untuk mencukur di hari yang ketujuh dan bersedekah seberat perak, namun itu khusus untuk anak lelaki saja, maksud bersedekah waraq seberat rambut yakni perak dan bukan emas . Adapun perempuan tidak dicukur kepalanya -- Majmu' Fatawa wa Rasail (25/244) Dan Syaikh al-'Utsaimin berkata: "Mencukur rambut anak pada hari yang ketujuh itu sunnah, telah datang hadits dari Nabi صلى الله عليه و سلم: (Dicukur dan bersedekah seberat waraq) yakni perak namun dengan syarat dilakukan oleh pencukur rambut yang profesional, sehingga tidak melukai kepala dan tidak terjadi bahaya atas bayi pada pencukuran tersebut, adapun jika tidak didapati pencukur yang profesional, saya berpendapat hendaknya tidak mencukur dan tidak bersedekah dengan sesuatupun yang berwujud perak seberat rambutnya." -- Liqa' al-Bab al-Maftuh (120) http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=133757 Siapa yang dicukur? Bayi laki-laki saja atau perempuan juga? Dalam hal ini ada dua pendapat ulama. 1. Ada yang mengatakan dimakruhkan untuk bayi perempuan, dan ini adalah pendapat al-Mawardi. 2. Ada juga ulama yang mengatakan sama seperti bayi laki-laki. Ini adalah pendapat sebagian ulama Hanbali. (lihat Fathul Bari 9/595) Pendapat yang mengatakan digundul lebih kuat berlandaskan hadits, “Hanyalah wanita itu sama seperti laki-laki.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan at-Tirmidzi dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’ no. 333) Dengan demikian, tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan kecuali jika memang ada dalil yang membedakannya. Misalnya, untuk tahallul (keluar) dari amalan haji dan umrah serta beberapa kondisi yang lain, wanita tidak boleh menggundul kepalanya berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wanita tidak ada keharusan menggundul, hanyalah bagi mereka memendekkan (rambut).” ( HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al- Jami’) Asy Syeikh Al Utsaimin rahimahullah memberikan faedah dalam Fatawa Ahkamil Maulud (14-15): Rambut bayi yang baru lahir dicukur pada hari ke tujuh jika bayinya laki laki. Adapun bayi perempuan maka tidak dicukur rambutnya. Apabila rambut bayi laki laki dicukur maka setelah itu ditimbang seharga perak sebagaimana datang didalan hadist. Beliau juga berkata: "Dengan syarat ada tukang cukur yang bisa mencukur rambut bayi yang sekiranya tidak melukai kepala bayi dan tidak memudhoroti si bayi. Kalau tidak ada maka aku berpandangan si bayi tidak dicukur rambutnya, hanya dianjurkan untuk disedekahkan seharga perak dengan dikira kira berat rambut sang bayi. Begitupula Syaikh bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa yang dianjurkan dipotong rambutnya adalah bayi laki-laki, namun tidak untuk perempuan. (Fatawa Tarbiyatul Aulad) Allahu a'lam bishshawab Foto: baby-handle-tiny-father-family | Sumber : Pixabay Referensi : - Channel telegram : t.me/KajianIslamTemanggung - Channel telegram : t.me/ukhwh - Channel telegram : t.me/tarbiyatulaulad - Web : http://asysyariah.com/mencukur-rambut-bayi/ - Web : www.ilmusyari.com - Web : direktori.ahlussunnahkendari.com - Web : fawaaidwa.blogspot.co.id
7 tahun yang lalu
baca 5 menit