Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah مُحْرِمٌ , mimnya di-dhammah, yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Adapun mahram bahasa Arabnya adalah ,مَحْرَمٌ mimnya di-fathah.
Mahram dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.
Mereka kita bagi menjadi tiga kelompok. Yang pertama, mahram karena nasab (keturunan), kedua mahram karena penyusuan, dan ketiga mahram mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan).
Kelompok yang pertama ada tujuh golongan:
- Ibu, nenek, dan seterusnya ke atas, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
- Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
- Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu.
- Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
- Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
- Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
- Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang lakilaki, dan anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan….” (an-Nisa: 23)
Kelompok yang kedua juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala,
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” (an-Nisa: 23)
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan milik dia melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih[1] bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut[2]. Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti masuk di dalamnya anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, begitu pula dua anak yang disusui oleh wanita yang sama, maka ayat ini dan hadits yang marfu’,
يَحْرُمُمِنَالرَّضَاعِمَايَحْرُمُمِنَالنَّسَبِ
“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma)
Keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Ibu dari orang tua susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.
Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.
Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu, dan seterusnya ke bawah, adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.
Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur (mayoritas) dan dipilih oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullah, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia dua tahun, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ
“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (al-Baqarah: 233)
Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhamuttafaqun ‘alaihi menerangkan bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa suatu penyusuan tidaklah mengharamkan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan, setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan (meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali).
Adapun kelompok yang ketiga maka jumlahnya 4 golongan sebagai berikut.
- Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat an-Nisa ayat 22.
- Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan an-Nisa ayat 23.
- Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan an-Nisa ayat 23.
- Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah)[3], cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan an-Nisa ayat 23.
Golongan 1, 2, dan 3 menjadi mahram hanya dengan sekadar akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri), adapun yang keempat maka dipersyaratkan terjadinya jima’ bersama dengan akad yang sah, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.
Mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati, rabibah misalnya tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya.
Selain dari apa yang disebutkan di atas, bukan mahram, jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.
Begitu pula saudara perempuan istri atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan; bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, boncengan motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi, tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri sampai kalau seandainya dia dicerai atau meninggal, baru boleh dinikahi. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ
“Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama).” (an-Nisa: 23)
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhumuttafaqun ‘alaihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istri secara bersama-sama.
Wallahu a’lam bish-shawab. (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir as-Sa’di, asy-Syarhul Mumti’, 5/168—210)
✍? Ditulis oleh al-Ustadz Abu Abdiilah Muhammad as-Sarbini
[1] Istilah dalam ilmu ushul fiqih yang artinya penyebutan sesuatu yang dengannya menunjukkan kepada yang lain yang serupa hukumnya.
[2] Ini adalah pendapat jumhur dan ini yang rajih (kuat). Lihat Syarah Shahih Muslim (10/18)
[3] Adapun anak lelaki istri dari suami lain namanya rabib