Thaharah

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

pengertian thaharah dan pembagiannya

1. PENTINGNYA THAHARAH dan MACAM-MACAMNYA Thaharah adalah kunci shalat, dan syaratnya yang paling ditekankan, dan syarat harus didahulukan dari yang dipersyaratkan (yakni thaharah harus didahulukan dari shalat, pen) . THAHARAH TERBAGI MENJADI DUA MACAM 1) Thaharah Maknawi: Yaitu sucinya hati dari syirik, maksiat, dan segala yang mengotorinya. Ia lebih penting dari thaharah badan. Dan thaharah badan tidak mungkin terwujud dengan adanya najis syirik, sebagaimana Allah ta'ala berfirman, إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ  "Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis." (At-Taubah: 28) 2) Thaharah Hissiyah (indrawi): Akan dijelaskan secara terperinci dalam baris-baris berikut. 2. DEFINISI THAHARAH ~ Menurut bahasa = bersih dan suci dari kotoran ~ Menurut istilah = mengangkat hadats dan menghilangkan khabats/najis. KETERANGAN PADA CATATAN KAKI HADATS = suatu sifat yang menempel  pada badan yang menghalangi shalat dan ibadah semisalnya yang disyaratkan harus thaharah, ia ada dua: 1) Hadats Kecil  Yaitu hadats yang ada pada anggota wudhu seperti, sesuatu yang keluar dari dua jalan berupa kencing atau kotoran (BAB) dan ia hilang dengan cara berwudhu. 2) Hadats Besar  Yaitu hadats yang ada pada seluruh tubuh seperti junub, dan ini hilang dengan cara mandi. Maka bersuci dari hadats besar dengan cara mandi. Dan bersuci dari hadats kecil dengan cara berwudhu. Sedangkan pengganti keduanya ketika ada udzur adalah tayammum. (Lihat Asy-Syarh Al-Mumti', 1/19, dan Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1/2328) KHUBUTS adalah najis, keterangannya akan hadir pada pembahasan berikutnya. (Selesai catatan kaki). Yang dimaksud dengan mengangkat hadats adalah: Menghilangkan sifat yang menghalangi shalat dengan menggunakan air yang disiramkan ke seluruh badan jika berhadats BESAR. Jika berhadats KECIL, maka cukup dengan membasuh anggota-anggota wudhu disertai niat. Jika tidak mendapati air atau tidak mampu menggunakan air (karena sakit), maka dia bisa menggunakan pengganti air yaitu DEBU sesuai dengan cara yang diperintahkan secara syar'i. Keterangannya akan dijelaskan lebih lanjut dalam Bab Tayamum, insya Allah. Yang dimaksud dengan 'hilangnya khabats' adalah: Menghilangkan 'najis' dari: badan, pakaian, dan tempat shalat. Maka thaharah hissiyah (indrawi) terbagi menjadi dua: 1) Thaharah/bersuci dari hadats, dan dikhususkan pada badan. 2) Thaharah dari khabats (najis), yang ada pada badan, pakaian, dan tempat shalat. HADATS ADA DUA: 1) Hadats kecil, yaitu yang mewajibkan wudhu. 2) Hadats besar,  yaitu yang mewajibkan mandi. KHABATS/NAJIS TERBAGI TIGA: 1) Najis yang wajib dicuci 2) Najis yang wajib diperciki air 3) Najis yang wajib diusap. Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab bintu Ali Bahmid hafizhahallah Dikutip dari Kitab Al Fiqhul Muyassar https://t.me/NAmuyassar
3 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

wudu dan salat menghapus dosa-dosa yang telah lalu

Wudu dan Salat Menghapus Dosa-dosa Yang Telah Lalu بسم الله الرحمن الرحيم Wudu dan Salat Menghapus Dosa-dosa Yang Telah Lalu Saudara-saudara sekalian, sungguh berwudu adalah amalan yang sangat mulia dalam Islam, bahkan bisa menjadi penyebab dosa-dosa hamba diampuni. Pada kesempatan kali ini, kami akan membawakan beberapa faedah dari ulama tentang hal ini. Semoga dapat bermanfaat untuk kaum muslimin. Disebutkan dalam hadis dari Humran, bekas budak ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوْءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِيْنَهُ فِي الْوَضُوْءِ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلىَ الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ، ثُمَّ غَسَلَ كِلْتَا رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا وَقَالَ: مَنْ تَوَضَّئَا نَحْوَ وُضُوْئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَينِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ Dia pernah melihat ‘Usman meminta diambilkan air wudu. Karena itu, dituangkanlah air dari bejana ke atas dua telapak tangannya lalu membasuhnya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam air, lalu berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan mengeluarkannya. Setelah itu, beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali dan kedua lengannya sampai siku tiga kali. Setelahnya, beliau mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali. Setelah selesai dari semua itu, beliau berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudu seperti wuduku ini. Beliau bersabda, Barang siapa yang berwudu seperti wuduku ini, kemudian salat dua rakaat dan tidak berbicara pada jiwanya (urusan-urusan dunia), maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Al-Bukhari, no. 164 dan Muslim, no. 226). Banyak faedah yang dapat dipetik dari hadis ini. Di antaranya adalah disunahkan untuk mengerjakan dua rakaat atau lebih setelah seseorang berwudu. Al-Imam al-Nawawi rahimahullah menjelaskan, وفيه استحباب صلاة ركعتين فأكثر عقب كل وضوء وهو سنة مؤكدة “Di dalam hadis ini (terdapat) anjuran salat dua rakaat atau lebih setiap selesai berwudu dan hukumnya adalah sunah muakadah” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 3, hlm. 108). Seorang hamba akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu tatkala wudunya sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah yang dimaksud dengan ampunan di sini? Apakah diampuni semua dosanya, baik yang kecil maupun yang besar? Para ulama kita menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar, maka seseorang harus bertobat karenanya. Al-Imam al-Nawawi rahimahullah menerangkan, والمراد بالغفران الصغائر دون الكبائر “Yang dimaksud dengan ampunan dalam hadis ini adalah diampuninya dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar” (Syarh Shahih Muslim, Jilid 3, hlm. 108). Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, أما الكبائر فلا ينفع فيها إلا التوبة “Adapun dosa-dosa besar, tidak akan bermanfaat untuk menghilangkannya kecuali dengan tobat” (Syarh Riyadh al-Shalihin, Jilid 1, hlm. 80). Di dalam hadis ini disebutkan lafaz “salat dua rakaat,” yakni salat sunah. Namun, tidak terkecuali dari itu salat fardu. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan, هكذا أطلق صلاة الركعتين وهو نحو رواية ابن شهاب الماضية في كتاب الطهارة وقيده مسلم في روايته من طريق نافع بن جبير عن حمران بلفظ ثم مشى إلى الصلاة المكتوبة فصلاها مع الناس أو في المسجد وكذا وقع في رواية هشام بن عروة عن أبيه عن حمران عنده فيصلي صلاة وفي أخرى له عنه فيصلي الصلاة المكتوبة وزاد إلا غفر الله له ما بينها وبين الصلاة التي تليها “Demikian disebutkan secara mutlak dengan penyebutan dua rakaat. Penyebutan ini seperti riwayat Ibnu Syihab yang lalu dalam pembahasan Kitab Taharah. Al-Imam Muslim menyebutkan dengan batasan dalam riwayatnya melalui jalur Nafi‘ bin Jubair dari Humran dengan lafaz: ‘Kemudian dia berjalan menuju salat wajib, maka dia salat bersama manusia atau di masjid’. Demikian pula disebutkan dalam riwayat Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari Humran: ‘Dia mengerjakan salat’. Dalam riwayat lain dengan penyebutan: ‘Kemudian dia mengerjakan salat fardu’ dan ditambahkan lafaz: ‘melainkan Allah akan mengampuninya apa yang ada di antara salat itu dan salat yang setelahnya'” (Fath al-Bāri, Jilid 11, hlm. 251). Dari penjelasan al-Hafizh di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pahala ini berlaku bagi seorang yang menunaikan salat wajib dan salat sunah, baik laki-laki maupun wanita. serta bagi seseorang yang menunaikan ibadah salat fardu di masjid sedangkan salat fardu dimasjid hukumnya wajib bagi setiap laki-laki yang balig dan berakal. Namun, tanpa diragukan lagi tatkala dia tidak menunaikan ibadah salat fardu di masjid karena uzur, tetap mendapatkan pahala ini secara sempurna. Hal itu disebutkan di dalam hadis sahih. إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ؟ قَالَ: وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ “Sesungguhnya di Madinah ada sejumlah kaum yang tidaklah kalian menempuh perjalanan dan menyeberangi lembah, kecuali mereka ikut serta bersama kalian dalam mendapatkan pahala.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, (bukankah) mereka (hanya) berdiam diri di Madinah?” Beliau menjawab, “Mereka di Madinah (dan mereka tidak ikut bersama kalian) karena mereka terhalangi oleh uzur” (Al-Bukhari, no. 4.423 dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا “Jika seorang hamba sakit atau safar, akan ditulis baginya (pahala amalan) yang biasa dia kerjakan, sebagaimana ketika dia beramal ketika mukim (tidak safar) dan dalam keadaan sehat” (Al-Bukhari, no. 2.996 dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, وهذه (قاعدة الشريعة) أن من كان عازما على الفعل عزما جازما وفعل ما يقدر عليه منه كان بمنزلة الفاعل فهذا الذي كان له عمل في صحته وإقامته عزمه أن يفعله وقد فعل في المرض والسفر ما أمكنه فكان بمنزلة الفاعل كما جاء في السنن فيمن تطهر في بيته ثم ذهب إلى المسجد يدرك الجماعة فوجدها قد فاتت أنه يكتب له أجر صلاة الجماعة “Inilah kaidah dalam syariat Islam: Barang siapa yang bertekad kuat melakukan ibadah (tetapi dia terhalangi oleh uzur) dan dia melakukan apa yang bisa dia mampu, maka dia sama dengan pelaku yang mengamalkannya tanpa uzur dari sisi pahala. Orang ini memiliki amalan semasa sehat dan mukim serta tekad (kuat) untuk mengerjakannya. Sungguh, tatkala sakit dan safar dia melakukannya sesuai dengan yang memungkinkan baginya. Oleh karena itu, dia sama dengan orang yang mendapat pahala sempurna. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab sunan tentang seseorang yang bersuci di rumahnya kemudian pergi ke masjid yang setelah sampai ternyata dia mendapati jemaah salat telah selesai, tetapi tetap ditulis baginya pahala salat berjemaah” (Al-Fatāwa al-Kubrā, Jilid 2, hlm. 277). Di dalam hadis ini disebutkan tatkala seseorang melakukan salat dua rakaat, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Hal itu disebutkan dengan frasa “dosa-dosa yang lalu” tanpa ada batasan waktunya. Dengan demikian, dengan dikumpulkannya riwayat-riwayat yang lain, maka senggang waktunya adalah antara salat yang satu dengan yang berikutnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, وفي أخرى له عنه فيصلي الصلاة المكتوبة وزاد إلا غفر الله له ما بينها وبين الصلاة التي تليها أي التي سبقتها وفيه تقييد لما أطلق في قوله في الرواية الأخرى غفر الله له ما تقدم من ذنبه وإن التقدم خاص بالزمان الذي بين الصلاتين وأصرح منه في رواية أبي صخرة عن حمران عند مسلم أيضا ما من مسلم يتطهر فيتم الطهور الذي كتب عليه فيصلي هذه الصلوات الخمس إلا كانت كفارة لما بينهن وتقدم من طريق عروة عن حمران إلا غفر له ما بينه وبين الصلاة حتى يصليها “Disebutkan dalam riwayat lain: ‘Dia mengerjakan salat’ dan terdapat tambahan ‘melainkan akan diampuni dosa-dosanya diantara salat itu dan salat yang setelahnya’. Di dalam hadis ini terdapat pembatasan pada riwayat lain yang telah disebutkan secara mutlak dengan lafaz: ‘Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu’. Adapun waktu yang telah lalu di sini dikhususkan dengan waktu di antara dua salat. Yang lebih jelas dari ini adalah dalam riwayat Abu Shakhrah dari Humran yang diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dengan lafaz: ‘Tidaklah seorang muslim pun yang dia bersuci dengan sempurna, sebagaimana yang diwajibkan atasnya, kemudian dia salat lima waktu melainkan salat-salat itu menjadi penebus dosanya di antara salat-salat tersebut’. Telah berlalu penyebutan hadis melalui jalur ‘Urwah dari Humran dengan lafaz: ‘melainkan akan diampuni dosa-dosanya antara waktu itu dan waktu salat berikutnya sampai dia mengerjakannya'” (Fath al-Bāri, Jilid 11, hlm. 251). BACA JUGA : SEDANG LUKA, BAGAIMANA CARA WUDHUNYA? ✍🏻 Oleh: Abu Fudhail Abdurrahman bin Umar غفر الرحمن له. Sumber : https://www.alfudhail.com/wudu-dan-salat-menghapuskan-dosa-dosa-yang-telah-lalu/
4 tahun yang lalu
baca 8 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

air itu sebab dari air الماء من الماء

 .Air Itu Sebab dari Air Pembaca Al-Faidah yang budiman Menilik judul di atas, mungkin akan memunculkan pertanyaan pada sebagian di antara kita, apa gerangan maksud judul tersebut? Namun perlu diketahui bahwasanya judul di atas diambil dari salah satu sabda Rasulullah itts, yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim اَلْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ  "Air itu, sebab dari (adanya) air". [HR. Muslim: 343] Secara harfiyah, kedua kata 'air' pada sabda baginda Nabi Muhammad di atas adalah sama, akan tetapi mengandung pengertian yang berbeda. Para ulama menjelaskan maksud dari kedua kata 'air' tersebut. Maka kata 'air' yang pertama mengandung pengertian air (yang dipakai untuk) mandi, adapun kata air yang kedua bermakna air mani. Dari sabda baginda Nabi di atas dipahami diwajibkannya mandi disebabkan karena keluarnya mani yang disertai syahwat, baik karena mimpi basah, berangan (berkhayal), bertemunya dua wajah atau karena sebab menyentuh istri (jima') Dan Allah menamakan mani dengan sebutan "air". Sebagaimana firman Allah di dalam surat Al Anbiya ayat 30 : وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ "Dan kami jadikan setiap sesuatu yang hidup itu (berasal) dari air" Dan di dalam surat At Thariq ayat 6, Allah menamakan mani dengan "air yang terpancar" خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ "(Manusia itu) diciptakan dari air yang terpancar" (QS. At-Thariq:6) Pembaca Al Faidah yang budiman, Selain dari keluarnya mani sebagai sebab diwajibkannya mandi, adapula sebab lain dimana seseorang diwajbkan mandi yakni bertemunya dua kemaluan (bersetubuh), walaupun tidak sampai keluar mani. Hal ini didasarkan pada sabda bagi Nabi yang mulia sebagaimana diriwayatkan Al Imam Muslim rahimahullah : عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِذَ جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الغُسْلُ وَإِنْ لِمْ بُنْزِلْ "Apabila (seseorang) telah duduk di antara dua tangan dan dua kaki wanita, kemudian dia bersungguh-sungguh padanya, maka wajib baginya untuk mandi, meskipun tidak sampai keluar mani" (HR. Muslim : 348) Hadits di atas merupakan kiasan dari jima' (bersetubuh). Dan dari hadits di atas dipahami pula bahwa bila dua insan yang halal melakukan jima' meskipun tidak sampai keluarnya mani, maka telah wajib bagi keduanya untuk mandi. Pembaca Al Faidah yang budiman, Mandi yang dilakukan karena sebab keluarnya mani yang disertai syahwat atau karena sebab bertemunya dua kemualuan, disebut dengan mandi besar atau mandi junub . Dinamakan demikian karena menjauhkan dari sebagian ibadah atau tempat-tempatnya. Sebagaimana firman Allah di dalam surat An-Nisa :  مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا "Dan janganlah (kamu menghampiri / masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja mandi, hingga kamu mandi" (QS. An-Nisa : 43) Dan hikmah disyariatkan mandi besar atau mandi junub adalah dalam rangka bersuci. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا "Dan apabla kalian junub, maka bersucilah" (QS. Al-Maidah : 6) Juga di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang mandi junub, beliau menjawab: هذَا أَزْكَى وَ أَطْهَرُ "(Hal) ini lebih baik, lebih bersih dan lebih suci" Pembaca Al-Faidah yang budiman, Mungkin sebagian di antara kita ada yang bertanya, mengapa diwajibkannya mandi ketika keluarnya mandi dan mengapa tidak diwajibkan mand ketika keluarnya air seni (kencing) padahal keduanya keluar dari satu anggota tubuh yang sama? Perlu diketahui bahwasanya air seni (kencing) merupakan unsur dari sisa proses metabolisme makanan atau minuman. Adapun mani merupakan unsur yang terbentuk dari kesatuan seluruh elemen anggota tubuh. Sehingga manakalah keluarnya mani dapat dirasakan efek atau pengaruh yang ditimbulkan pada seluruh anggota tubuh. Adapun keluarnya air seni, efek yang dirasakan tidak sebagaimana efek yang ditumbulkan dari keluarnya mani. Kekuatan tubuhpun menjadi melemah. Sehingga dengan di syariatkan mandi besar atau mandi junub dapat mengembalikan kekuatan tubuh. Pembaca Al Faidah yang budiman, Dalam pengalamannya mandi besar atau mandi junub memiliki tata cara yang khusus sebagaimana yang dibimbingkan oleh baginda Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam/ Dan seorang yang mukallaf (seorang yang telah terkena beban kewajiban syariat) perlu mengetahui tata cara mandi junub ni. Baca : Tata Cara Lengkap Mandi Junub Diriwayatkan dari istri beliau yang Allah sucikan dari atas langit, Ummul mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata "Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam manakala beliau mandi sebab junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanannya ke tangan kirinya dan mencuci kemaluannya menggunakan tangan kirinya.. Kemudian beliau melakukan wudhu sebagaimana wudhu untuk (melakukan) shalat. Kemudian beliau mengambil air dengan tangannya dan memasukkan (menyela) jari-jari tangannya hingga mencapai pangkal rambutnya (yakni menyentuh kulit kepala), hingga beliau meyakini telah basah (lembap) seluruh kepalanya). Kemudian beliau mengguyurkan kepalanya sebanyak 3 kali. Lalu beliau menuangkan air ke sisi anggota tubuh lainnya" HR. Bukhari dan Muslim Penulis : Al Akh Luqman Referensi : Fathu Dzil Jalaali wal Ikram Bi Syarhi Buluughil Maraam Dikutip dari Buletin Al Faidah Edisi 80/Vol.2/5/1440 Air Itu Sebab dari Air الماء من الماء
6 tahun yang lalu
baca 6 menit

Tag Terkait