Tanya Jawab

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

apakah berdosa meninggalkan istri selama 7 bulan?

APAKAH SESEORANG BERDOSA JIKA MENINGGALKAN ISTRINYA SELAMA TUJUH BULAN DENGAN ALASAN UNTUK MENGUMPULKAN HARTA? Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazرحمه الله Pertanyaan: Sebuah surat pertanyaan disampaikan melalui sebuah program ditulis dari ‘Ali Az-Zahrani dari Kementrian Dalam Negeri, ia bertanya: Seseorang telah meninggalkan istrinya lebih dari satu tahun di Al-Badiyah tanpa ‘udzur (alasan) syar’i untuk semata-mata mengumpulkan uang karena kecintaannya pada dunia dan keinginan berbangga diri dengannya. Dan sekarang ia telah meninggalkan istrinya itu selama lebih dari tujuh bulan di Al-Badiyah bersama keluarganya, dalam keadaan tidak ada pria (dewasa) di dalam keluarganya itu, untuk semata-mata mengumpulkan uang. Maka apakah perbuatan yang seperti ini diperbolehkan ataukah tidak? Kami mengharapkan segera jawaban/faidah dan semoga Allah mengaruniakan ketepatan/kebenaran kepadamu. Jawaban: Sesungguhnya pada hakikatnya perbuatan tersebut merupakan suatu kerendahan dari orang tersebut. Karena sesungguhnya di antara yang penting atau yang dituju oleh seseorang dari pengumpulan dunia adalah bernikmat-nikmat dalam mengikuti keinginan syahwatnya. Dan sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mendahulukan penyebutan “wanita-wanita” sebelum “harta yang banyak” dalam firmannya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan dari wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, hewan-hewan ternak, dan sawah ladang..”. (QS. Ali ‘Imran: 14) Maka aku tidak tahu bagaimana orang tersebut dapat bersabar selama itu dari (tidak menggauli) istrinya dengan alasan mengumpulkan dunia yang mana dunia itu tidak akan berguna baginya jika dia tidak mengindahkan pencapaian kenikmatannya? Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Dunia itu kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah wanita yang shalihah”. Sehingga jika wanita/istrinya itu ridha terhadap apa yang dilakukan suaminya itu, maka suami itu tidak berdosa. Hal ini karena haknya adalah pada wanita/istri itu. Kecuali jika pada penelantaran baik bagi pihak suami atau pada pihak istri itu terdapat kekhawatiran akan timbulnya fitnah pada keduanya. Maka dalam hal ini wajib bagi suami tersebut untuk menjaga kehormatan istrinya. Jika sang istri menuntut keberadaan suaminya dan tidak ridha terhadap kepergian suaminya selama itu, maka wajib bagi sang suami untuk menunaikan hak-hak istri dan tidak meninggalkannya dengan safar/kepergiannya tersebut. Sumber: Silsilah Fatawa Nur ‘alad Darb >. Kaset No. 17 Alih bahasa : Syabab Forum Salafy WSI http://forumsalafy.net/apakah-seseorang-berdosa-jika-meninggalkan-istrinya-selama-tujuh-bulan-dengan-alasan-untuk-mengumpulkan-harta/ WhatsApp Salafy Indonesia Channel Telegram || http://bit.ly/ForumSalafy
9 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

cara taubat dari zina

Taubat dari Perbuatan Zina Ada pemuda-pemudi melakukan zina beberapa waktu yang lalu. Keduanya ingin bertaubat. Pertanyaan: a. Bagaimana taubatnya? b. Haruskah keduanya menikah? c. Bagaimana kalau orang tua wanita tetap tidak setuju? d. Bagaimana nanti status anak keduanya? Mohon bantuannya supaya mereka berdua dapat kembali ke jalan yang benar. Ahmad Abdullah ahm…@plasa.com Jawab: Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari Cara Taubatnya Keduanya bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha yaitu dengan memenuhi tiga syarat taubat yang disebut-kan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pertama, Keduanya harus menyesali perbuatan tersebut. . Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya penyesalan itu adalah  taubat.”1 Karena itu hendaklah keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan. Kedua, melepaskan diri dan menjauh-kan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu.  Tidak lagi mengulangi maupun mendekati apa-apa yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahram, bercengke-rama, ikhtilath/ bercampurbaur. Semuanya adalah perkara yang diharamkan syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauh-kan diri dari itu semua. Ketiga, kemudian keduanya ber-’azam/ bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Juga beristighfar kepada Allah, memohon ampunan-Nya.  Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang disyariat-kannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk shalat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Allah.2 Haruskah Keduanya Menikah? Keduanya tidak harus menikah. Namun tidak mengapa keduanya menikah dengan syarat: apabila wanita yang telah dizinai tersebut hamil karena perzinaan itu, maka tidak boleh menikahinya pada masa wanita itu masih hamil. Mereka harus menunggu sampai si wanita melahirkan bayinya, baru boleh menikahinya. Inilah pendapat yang benar yang disebutkan oleh ulama, yaitu bahwa wanita yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahi sampai melahirkan. Karena di sana ada dalil yang menuntut adanya istibra` ar-rahim (pembebasan rahim) dari bibit seseorang. Karena itu rahim harus dibebaskan terlebih dahulu dengan cara menunggu sampai lahir, sehingga rahimnya bebas tidak ada lagi bibit di dalamnya. Setelah itu baru bisa meni-kahinya. Itu pun apabila keduanya bertaubat dari perzinaan. Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, maka pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haid berikutnya. Setelah melakukan perzinaan kemudian dia haid. Dalam kasus yang seperti ini, boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haid, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Dan tentunya ini apabila keduanya bertaubat dari perzinaan. Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina) maka keduanya tidak boleh menikah. Dalilnya adalah firman Allah I: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (An-Nur: 3) Maksudnya, seorang pezina diharam-kan menikah dan sebaliknya wanita pezina juga haram dinikahi. Jadi bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina. Bagaimana Status Anak Keduanya? Ini tentunya kalau ditakdirkan bahwa wanita yang dizinai tersebut hamil akibat perzinaan tersebut. Status anak tersebut adalah anak yang lahir karena perzinaan. Anak ini tidak boleh dinasabkan pada lelaki yang berzina dengan ibunya, karena dia bukanlah ayahnya secara syariat. Oleh karena itu, sang anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian pula tidak boleh saling waris-mewarisi. Juga seandainya anak tersebut wanita, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi walinya dalam pernikahan dan juga bukan mahramnya sehingga tidak berlaku padanya hukum-hukum mahram. Sehingga laki-laki itu tidak boleh berkhalwat dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, tidak boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah bahwa si laki-laki tidak boleh menikahi anak hasil perzinaan tersebut, karena anak wanita itu berasal dari air maninya. Hanya ini satu-satunya hukum yang berlaku, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Wallahu a’lam bish-shawab. =============================== Catatan Kaki: 1 HR. Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dan yang lainnya dari Abdullah ibnu Mas’ud z, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah (4252). 2 HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (1021). http://asysyariah.com/taubat-dari-perbuatan-zina/
9 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum ayah tiri menjadi wali nikah

HUKUM AYAH TIRI MENJADI WALI NIKAH Fatwa Lajnah Daimah Lilbuhutsil Ilmiyyah wal Ifta' Pertanyaan: Bolehkah ayah tiri menjadi wali bagi anak tirinya? Dan apakah dia didahulukan atas khal (paman dari pihak ibu), perlu diketahui bahwa ayahnya tidak kami ketahui perihalnya sedikitpun dan ayahnya juga tidak bertanya tentang putrinya, sedangkan ayahnya di luar kota yang kami tinggal di dalamnya, mohon beri faedah kami beserta penjelasannya, jazakumullohu khairan. Jawaban: Ayah tiri bukanlah wali bagi anak tirinya dalam pernikahan, demikian pula khal, akan tetapi wali wanita dalam pernikahan adalah 'ashabahnya (kerabat ayahnya), dari yang paling dekat kekerabatannya dan seterusnya. Sehingga yang pertama dekat kekerabatannya dari ashabahnya adalah -ayah, -kakek, -anak lelaki, -saudara kandung, kemudian -kerabat ayahnya...dan seterusnya Wabillahittaufiq, Washallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam. 🌷Al Lajnah ad Daimah Lilbuhutsil Ilmiyyah wal Ifta' 🌾Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Wakil Ketua: Abdurrazzaq 'Afifi Anggota: Abdullah bin Ghudayyan 💻🔍 http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=100849 📁http://bit.ly/Al-Ukhuwwah 🇸🇦 س: هل يجوز لزوج الأم أن يكون وليا لربيبته؟ وهل هو مقدم على الخال، مع العلم أن والدها لا نعلم عنه شيئا، وهو لا يسأل عن البنت، وهو خارج المدينة التي نحن فيها، نرجو إفادتنا مع التوضيح وجزاكم الله خيرا. ج: زوج الأم ليس وليا لربيبته في النكاح، وكذلك الخال، وإنما أولياء المرأة في النكاح عصبتها، الأقرب فالأقرب، فأولهم الأب، ثم الجد، ثم الابن، ثم الأخ الشقيق، ثم لأب... إلخ. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم. اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء عضو نائب الرئيس الرئيس عبد الله بن غديان عبد الرزاق عفيفي عبد العزيز بن عبد الله بن باز http://www.alifta.co...rstKeyWordFound
9 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum bayi tabung menurut islam

Hukum Bayi Tabung Tanya : Bagaimana menurut pandangan Syariat tentang bayi tabung? Jawab, Alhamdulillah Wash Sholatu Wassalamu 'ala Rasulillah. Bayi tabung merupakan produk kemajuan teknologi kedokteran yang demikian canggih yang ditemukan oleh pakar, Kedokteran barat yang notabene mereka adalah kaum kuffar (Orang kafir). Bayi tabung adalah proses pembuahan sperma dengan ovum, dipertemukan diluar kandungan pada satu tabung yang dirancang secara khusus.setelah terjadi pembuahan yang dirancang secara khusus. setelah terjadi pembuahan lalu menjadi Zygot, kemudian dimasukkan kedalam rahim sampai dilahirkan. Jadi prosesnya tanpa melalui jima'(Hubungan suami istri). Pertanyaan ini telah di tanyakan kepada salah seorang imam abad ini, yaitu Asy Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani Rohimahulloh. Maka beliau menjawab: Tidak boleh, karena proses pengambilan mani(Sel telur wanita) tersebur berkonsekuensi minimalnya sang dokter(laki laki) akan melihat aurat wanita lain(Bukan istri sendiri). Hukumnya adalah haram menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat. Sementara tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki memindahkan maninya keistrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita tersebut, dan inipun tidak boleh. Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban orang orang barat (Kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau (sebaliknya) mereka hindari. Sesorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (yang dianjurkan syariat) berarti ia tidak ridho dengan takdir dan ketetapan Allah ta'ala atasnya. Jikalau saja Rosulullah Shollallohu 'Alaihi Wasallam saja menganjurkan dan membimbing kaum muslimin untuk mencari rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang halal, maka lebih lebih lagi tentunya Rosululloh menganjurkan dan membimbing mereka untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat (Halal) dalam mendapatkan Anak. (Fatawa Al Mar'ah Al Muslimah hal.288) Asy Syariah No.31/III/1428H)2007 Bandung 7 Robi'ul Awal 1437 H/ 19 Desember 2015. www.salafymedia.com Fadhlul Islam Bandung
9 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum ucapan "shadaqallahul 'adzim" setelah membaca al-quran

Fatwa Asy syaikh Muhammad bin Saleh Al utsaimin rahimahullah HUKUM UCAPAN :" SHODAQOLLOOHUL 'ADZIIM " SETELAH SELESAI MEMBACA AL QUR'AN . BAARAKALLAHU FIIKUM ,( penanya) berkata: " Ketika selesai dari membaca surat Al fatihah dan surat setelahnya apakah boleh mengucapkan " shodaqolloohul 'adziim"(Maha Benar Allah Yang maha Agung) ?" JAWAB : " Ucapan shodaqolloohul 'adziim setelah selesai membaca di dalam shalat atau selainnya adalah BID'AH , karena hal itu tidaklah datang dari Nabi shalallaahu 'alaihi wa sallam tidak pula dari para shahabat beliau bahwasanya mereka apabila selesai membaca (Al Qur'an) mengucapkan "shodaqolloohul 'adziim " Dan telah di ketahui bahwasanya ucapan seseorang : "shodaqolloh" merupakan  IBADAH , karena dia memuji Allah dengan bersyukur , apabila hal itu merupakan IBADAH maka sesungguhnya TIDAK BOLEH bagi kita untuk mensyariatkan ibadah - ibadah yang tidak  di syariatkan oleh Allah dan RasulNya , jika kita mengerjakan hal itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat . Berdasarkan hal ini maka orang yang membaca apabila selesai dari bacaannya ia diam dan tidak mengucapkan "shodaqolloohul 'adziim" tidak pula mengucapkan selainnya , karena yang demikian tidak pernah datang (perintah) dari Nabi shallallahu 'alaihi wa salam tidak pula dari para shahabat beliau radhiyallohu 'anhum .Sungguh Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu telah membacakan kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa salam  sebuah ayat dari surat An Nisa hingga sampai pada ayat : فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا {Bagaimanakah jika Aku datangkan saksi untuk setiap umat, Aku datangkan kamu sebagai saksi bagi mereka semua.} Nabi sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda :" CUKUP !" Ia berkata : Ternyata kedua mata beliau berlinangan semoga sholawat dan salam atas beliau .Dan Ibnu Mas'ud tidak mengucapkan : Shodaqollooh , dan tidak pula Nabi sholallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan beliau dengan hal itu .Demikian juga Zaid Bin Tsabit pernah membaca di sisi beliau-sholallohu 'alaihi wa sallam  surat An Najm hingga selesai dan Nabi sholallohu 'alaihi wa sallam tidak berkata kepada beliau : " Ucapkanlah shodaqolloohul 'adziim." dan (Zaid bin tsabit) juga tidak mengucapkannya . Maka hal ini menunjukan bahwasanya  bukan termasuk petunjuk Nabi sholallohu 'alaihi wa salam dan juga bukan petunjuk para shahabat beliau seseorang ketika selesai membaca mengucapkan : shodaqollohul 'adziim tidak didalam sholat maupun di luar sholat ." Sumber: Silsilah fatawa nur 'alad darb ,kaset no 237 BACA : Sunnah Yang Ditinggalkan Setelah Membaca Al-Quran =========== 🔵 السؤال : بارك الله فيكم تقول : عند الانتهاء من قراءة سورة الفاتحة والسورة التي تليها هل يجوز قول صدق الله العظيم؟ 🔴 الجواب : الشيخ : قول صدق الله العظيم بعد انتهاء التلاوة في الصلاة، أو في غيرها بدعة، وذلك لأنه لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أصحابه أنهم كانوا إذا انتهوا من القراءة، قالوا : صدق الله، ومن المعلوم أن قول القائل : صدق الله عبادة؛ لأنه ثناء على الله بالشكر، وإذا كان عبادة، فإنه لا يجوز أن نشرع من العبادات ما لم يشرعه الله ورسوله، فإن فعلنا ذلك كان بدعة، وكل بدعة ضلالة، وعلى هذا فالقارئ إذا انتهى من قراءته يسكت، ولا يقول: صدق الله العظيم ولا غيرها؛ لأن ذلك لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم، ولا عن أصحابه رضي الله عنهم، وقد قرأ ابن مسعود رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم شيئاً من سورة النساء حتى إذا بلغ قول الله تعالى: ﴿فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيداً﴾. قال النبي صلى الله عليه وسلم: «حسبك». قال: فإذا عيناه تزرفان صلوات الله وسلامه عليه. ولم يقل ابن مسعود: صدق الله، ولا أمره النبي صلى الله عليه وسلم بذلك، وكذلك قرأ عنده زيد بن ثابت سورة النجم حتى ختمها، ولم يقل النبي صلى الله عليه وسلم له، قل: صدق الله العظيم. ولا قالها أيضاً، فدل هذا على أنه ليس من هدي النبي صلى الله عليه وسلم، ولا هدي أصحابه أن يقولوا عند انتهاء القراءة: صدق الله العظيم لا في الصلاة ولا خارج الصلاة. 📚المصدر : سلسلة فتاوى نور على الدرب > الشريط رقم [237]. ══════ ❁✿❁ ══════ ✏️ https://telegram.me/washayasalaf
9 tahun yang lalu
baca 5 menit

Tag Terkait