Nasehat

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

mensyukuri keringanan allah dalam beribadah di rumah

MENSYUKURI KERINGANAN ALLAH DALAM BERIBADAH DI RUMAH (RENUNGAN IBADAH SAAT PANDEMI CORONA) Setiap muslim seharusnya memahami bahwa Nabi dan para Sahabat adalah teladan utama dalam semangat ibadah. Namun, dalam kondisi tertentu, mereka mengambil rukhshah (keringanan) untuk menghindar dari kemudaratan yang lebih besar dan kasih sayang mereka untuk kaum muslimin. Bagaimana semangat para Sahabat Nabi untuk mendatangi shalat 5 waktu berjamaah di masjid, terekam dalam ungkapan Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu: وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ Dan sungguh aku melihat keadaan kami (para Sahabat Nabi) tidaklah tertinggal darinya (shalat berjamaah di masjid) kecuali seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya. Sungguh, ada seorang laki-laki yang sampai dipapah oleh dua orang laki-laki (lain) hingga diberdirikan di shaf (H.R Muslim) Jadi, jangankan shalat Jumat, shalat 5 waktu berjamaah di masjid saja para Sahabat Nabi begitu bersemangat. Namun, ketika turun hujan lebat, lafadz adzan ada sedikit perubahan. Terdapat anjuran untuk tidak usah mendatangi masjid shalat Jumat, namun diperintahkan untuk shalat di rumah saja (shalat Zhuhur). Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhu pernah menerapkan hal itu sebagai sunnah dari Nabi shollallahu alaihi wasallam. Pada saat hari Jumat, beliau perintahkan kepada muadzin untuk mengganti lafadz hayya alash sholaah menjadi sholluu fii buyuutikum, yang artinya: sholatlah di rumah-rumah kalian. . Bagi banyak orang yang belum mengenal sunnah Nabi tersebut, tentu keheranan dan menganggap sebagai sesuatu yang aneh. Kemudian Ibnu Abbas menyampaikan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا قَالَ فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمْعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ Ibnu Abbas berkata kepada muadzdzinnya di hari (Jumat) yang hujan: Jika engkau selesai mengucapkan ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ROSULULLAH, janganlah mengucapkan: HAYYA ‘ALAS SHOLAAH. Ucapkanlah: SHOLLUU FII BUYUUTIKUM (Sholatlah di rumah-rumah kalian). Maka seakan-akan orang-orang menganggap itu hal yang sangat aneh. Ibnu Abbas pun berkata: Hal itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku (maksud Ibnu Abbas adalah Rasulullah, pent). Sesungguhnya (shalat) Jumat (secara asal) adalah kewajiban. Namun aku tidak suka membuat kalian kesulitan berjalan di tanah liat dan (permukaan) yang licin (H.R al-Bukhari dan Muslim, lafadz sesuai riwayat al-Bukhari).  Subhanallah, demikianlah orang yang ‘alim, lautan ilmu. Tidak sekedar ngerti, tapi paham benar dengan pemahaman yang mendalam dan luas. Tidak sekedar berilmu, beliau memiliki perasaan kasih sayang kepada kaum muslimin. Benar-benar Ulama Robbaniy. Ibnu Abbas paham benar bahwa shalat Jumat itu suatu kewajiban bagi laki-laki muslim yang mukim dan tidak sakit. Namun, hujan lebat yang bisa berpotensi menyulitkan, sudah merupakan keringanan untuk tidak menghadirinya. Padahal, sebenarnya sekedar hujan tidaklah otomatis membuat orang sakit. Tapi berpotensi menyebabkan orang sakit. Sakitnya pun bisa jadi tidak langsung saat terkena hujan, tapi baru beberapa waktu kemudian. Sedangkan Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallahu anhu juga pernah mengumandangkan adzan dengan lafadz: Shollu fi rihaalikum (shalatlah di tempat-tempat tinggal kalian). Beliau menilai ada 3 keadaan yang membuat seseorang tidak harus menghadiri panggilan adzan ke masjid, yaitu: cuaca sangat dingin, hujan, dan angin kencang. Mari kita simak hadits berikut: عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ أَوْ ذَاتُ رِيحٍ فِي السَّفَرِ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ Dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar mengumandangkan adzan untuk shalat pada malam yang sangat dingin disertai angin kencang. Kemudian di akhir adzannya, Ibnu Umar mengucapkan: ALAA SHOLLU FII RIHAALIKUM... ALAA SHOLLU FII RIHAALIKUM... ALAA SHOLLU FII RIHAALIKUM...(Sholatlah di tempat tinggal...sholatlah di tempat tinggal..sholatlah di tempat tinggal)...Karena sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memerintahkan muadzin jika malam yang sangat dingin, atau hujan, atau angin kencang, di saat safar, untuk mengumandangkan: ALAA SHOLLUU FIR RIHAAL (sholatlah di tempat tinggal) (H.R Ahmad dan Ibnu Awaanah, dinilai sanadnya shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir) Asy-Syaukaaniy rahimahullah menyatakan: وفيه أن كلا من الثلاثة عذر في التأخر عن الجماعة ونقل ابن بطال فيه الإجماع Dan dalam hadits ini (terdapat pelajaran) bahwasanya seluruh dari ketiga hal itu (sangat dingin, hujan, dan angin kencang) adalah udzur untuk tidak menghadiri shalat berjamaah. Dan Ibnu Baththol menukilkan ijmak (kesepakatan ulama) akan hal itu (Nailul Authar (3/190)).  Perhatikan hal ini...Keluar rumah untuk menghadiri panggilan adzan di masjid saat cuaca sangat dingin, tidaklah otomatis membuat orang sakit. Ada orang yang sudah biasa dengan dingin, tidak terpengaruh. Ada pula yang sangat terpengaruh. Jadi, ia berpotensi menyebabkan seseorang sakit. Biidznillah. Namun panggilan adzan dengan tambahan lafadz itu menganjurkan agar semua yang mendengar adzan untuk shalat di rumah.  Kita kembali lagi tentang hujan sebagai udzur untuk tidak menghadiri panggilan adzan ke masjid. Kita perlu melihat perbuatan Sahabat lain sebagai saksi sejarah bagaimana penerapannya di masa Nabi. Ternyata, sekedar hujan rintik saja, sudah membuat lafadz adzan yang sebelumnya panggilan agar datang ke masjid berubah menjadi anjuran untuk shalat di rumah. Mari perhatikan pemahaman Sahabat Nabi Usamah bin Umair radhiyallahu anhu berikut ini: عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ قَالَ خَرَجْتُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ فَلَمَّا رَجَعْتُ اسْتَفْتَحْتُ فَقَالَ أَبِي مَنْ هَذَا قَالَ أَبُو الْمَلِيحِ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ وَأَصَابَتْنَا سَمَاءٌ لَمْ تَبُلَّ أَسَافِلَ نِعَالِنَا فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ Dari Abul Malih beliau berkata: Aku pernah keluar (menuju masjid) pada malam yang hujan. Ketika aku kembali ke rumah, aku meminta dibukakan pintu. Kemudian ayahku (Usamah bin Umair) bertanya (dari balik pintu): Siapa? Aku menjawab: ‘Abul Malih’. Kemudian ayahku berkata: Sungguh aku pernah bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Hudaibiyah kemudian kami ditimpa hujan yang tidak sampai membasahi bagian bawah sandal-sandal kami, kemudian berserulah muadzin Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam: SHOLLUU FII RIHAALIKUM (‘Sholatlah di tempat tinggal kalian’) (H.R Ibnu Majah, Ahmad) Saat hujan masih belum sampai membasahi bagian bawah sandal, artinya belum deras, sudah ada pengubahan lafadz adzan. Justru dianjurkan shalat di tempat masing-masing. Padahal itu masih hujan rintik. Belum deras. Ada 2 kemungkinan. Setelah itu menjadi deras, atau justru berhenti hujannya. Tapi kumandang adzan sudah bisa diubah. Memang di sini ada pembahasan Ulama tentang hal itu. Sebagian Ulama memandang beda antara adzan shalat 5 waktu dengan adzan untuk shalat Jumat. Kalau shalat 5 waktu, cukup hujan rintik saja sudah ada keringanan untuk tidak hadir di masjid. Tapi kalau shalat Jumat, harus berupa hujan lebat. Tentang masalah ini kita tidak membahasnya lebih jauh. Karena itu sebagian Ulama menilai bahwa kekhawatiran akan terjadinya kemudaratan pada diri, harta, maupun keluarga, adalah udzur untuk tidak menghadiri shalat berjamaah atau bahkan shalat Jumat di masjid. Ibnu Qudamah al-Maqdisiy rahimahullah (wafat 620 Hijriyah) menyatakan: وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِهِمَا الْخَائِفُ ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { الْعُذْرُ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ } وَالْخَوْفُ ، ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ ؛ خَوْفٌ عَلَى النَّفْسِ ، وَخَوْفٌ عَلَى الْمَالِ ، وَخَوْفٌ عَلَى الْأَهْلِ Dan termasuk udzur dalam meninggalkan keduanya (shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid) adalah orang yang takut (khawatir). Berdasarkan sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam (yang artinya): udzur itu adalah perasaan takut dan sakit. Perasaan takut (kekhawatiran itu) ada 3 macam, yaitu takut terhadap diri sendiri (jiwa), takut terhadap harta, dan takut terhadap keluarga (al-Mughniy (3/110)) Alaauddin Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Mirdaawiy (wafat tahun 885 Hijriyah) rahimahullah menyatakan: وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوْثِ الْمَرَضِ Dan termasuk udzur juga untuk meninggalkan keduanya (shalat Jumat dan shalat berjamaah) adalah karena kekhawatiran terjadinya penyakit (al-Inshaaf fii Ma’rifatir Raajih minal Khilaaf ‘alaa Madzhabil Imaam Ahmad bin Hanbal (2/210)) Ibnun Najjaar rahimahullah (wafat 972 Hijriyah) menyatakan: يُعْذَرْ بِتَرْكِ جُمْعَةٍ وَجَمَاعَةٍ مَرِيْضٌ وخَائِفٌ حُدُوثَ مَرَضٍ لَيْسَا بِالْمَسْجِدِ Memiliki udzur untuk meninggalkan (shalat) Jumat dan jamaah adalah orang yang sakit dan orang yang takut terjadinya sakit yang keduanya tidak berada di masjid (Muntahaa al-Iroodaat (1/319)). Kekhawatiran sakit, karena dugaan kuat atau bahkan keyakinan, membuat adanya keringanan dalam pelaksanaan ibadah. Sebagai contoh, saat cuaca sangat dingin, seorang yang junub boleh untuk tidak mandi janabah diganti dengan tayammum. Kalau ia khawatir bisa sakit. Sebagian Ulama memberi catatan, selama ia tidak memungkinkan mandi dengan air hangat. Mari kita simak pernyataan dari al-Imam al-Bukhari berikut ini, beliau menyatakan dalam kitab yang masyhur dikenal sebagai Shahih al-Bukhari: بَاب إِذَا خَافَ الْجُنُبُ عَلَى نَفْسِهِ الْمَرَضَ أَوْ الْمَوْتَ أَوْ خَافَ الْعَطَشَ تَيَمَّمَ وَيُذْكَرُ أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ أَجْنَبَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فَتَيَمَّمَ وَتَلَا { وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا } Bab: Jika seorang yang junub mengkhawatirkan pada dirinya sakit atau mati atau takut kehausan, ia boleh bertayammum. Dan disebutkan bahwasanya Amr bin al-Ash pernah mengalami junub di malam yang sangat dingin, kemudian beliau bertayammum. Beliau pun membaca ayat: وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha Pengasih terhadap kalian (Q.S anNisaa’ ayat 29)(Shahih al-Bukhari, Kitab ke-7: Tayammum, Bab ke-6) Secara lebih lengkap, haditsnya ada dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim dan lainnya. Bahwa Sahabat ‘Amr bin al-‘Ash ditunjuk sebagai pimpinan pasukan dalam perang Dzatus Salaasil. Pada malam harinya beliau mimpi basah, sehingga mengalami junub. Namun, cuaca sangat dingin sekali. Beliau khawatir, jika mandi junub, bisa menyebabkan beliau mati. Maka beliaupun bertayammum. Sebagian riwayat menjelaskan bahwa beliau berwudhu’ saja, tidak mandi janabah. ‘Amr bin al-‘Ash ini menjadi imam shalat Subuh dalam kondisi demikian. Hal itu diketahui oleh Sahabat yang lain dan disampaikan kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ketika Nabi menanyakan alasannya kepada ‘Amr bin al-Ash, beliau berdalil dengan firman Allah surah anNisaa’ ayat 29 itu, bahwa Allah melarang membunuh diri kalian karena Allah Maha Penyayang terhadap kalian. Nabi pun tersenyum dan diam sebagai pembenaran terhadap sikap itu. Perhatikan kefakihan Sahabat Nabi tersebut.... Kalau kita perhatikan keadaan kita di masa pandemi Corona seperti saat tulisan ini dibuat, banyak Ulama dan pemerintah muslim yang menganjurkan kaum muslimin untuk beribadah shalat di rumah saja. Hal ini adalah sikap yang benar. Karena, sifat virus Corona (SARS-CoV-2) bisa menjangkiti seseorang tanpa disadari. Seseorang bisa menjadi pembawa virus itu tanpa terpantau gejalanya. Orang yang sebenarnya membawa virus Corona tersebut tapi tidak menunjukkan gejala, disebut dengan OTG (Orang Tanpa Gejala). Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, pada 14 Mei 2020 di Gedung FMIPA Unpad mengungkapkan bahwa 70% pasien yang terkonfirmasi COVID-19 di Jawa Barat saat itu adalah OTG (Orang Tanpa Gejala). Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengingatkan potensi penyebaran virus Covid-19 melalui orang tanpa gejala (OTG) mencapai 75 persen. Hal itu beliau sampaikan dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta pada 10 Mei 2020. Bahaya Covid-19 ini sudah demikian nyata. Hingga 19 Mei 2020 tercatat yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 18.496 orang. Jumlah yang sudah meninggal dunia dengan sebab itu adalah 1.221 orang. Sedangkan di dunia, tercatat 4,81 juta jiwa terkena Covid-19 dan telah meninggal sebanyak 319 ribu jiwa. Kalau seseorang memilih untuk tidak shalat di masjid sementara waktu selama bahaya pandemi Corona ini masih mengancam, itu adalah langkah yang bijak. Sikapnya akan bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, maupun kaum muslimin yang lain. Untuk hujan, cuaca sangat dingin, maupun angin kencang saja, bisa menjadi rukhshah (keringanan) untuk tidak mendatangi masjid. Padahal itu bukanlah sesuatu yang otomatis langsung membuat orang sakit. Hanya berpotensi membuat orang menjadi sakit. Apalagi dengan virus Corona yang berpotensi tidak hanya membuat satu orang menjadi sakit, tapi ia bisa membawa dan menularkannya –dengan izin Allah- kepada orang-orang yang juga tidak hadir di masjid saat itu. Bisa membahayakan anak kecil, orang lanjut usia, ataupun orang dengan penyakit bawaan lainnya, dengan dampak risiko yang lebih besar. Saudaraku, tidaklah selalu perbuatan yang lebih besar perjuangannya, lebih membuat capek, membawa pahala yang lebih besar. Dalam kondisi tertentu, mengambil keringanan, itulah yang diharapkan. إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ  Sesungguhnya Allah suka keringanannya diambil, sebagaimana ia suka kewajiban-kewajiban terhadap-Nya ditunaikan (H.R al-Bazzar dan atThobaroniy dari Ibnu Abbas, dishahihkan Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albaniy) إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ Sesungguhnya Allah suka diambil keringanan-keringanan dari-Nya sebagaimana Dia benci dilakukan kemaksiatan-kemaksiatan terhadap-Nya (H.R Ahmad dari Ibnu Umar, dinyatakan sanadnya shahih oleh oleh al-Mundziri dan Syaikh Ahmad Syakir) Bahkan Nabi shollallahu alaihi wasallam mencela seseorang yang memaksakan diri untuk beribadah dalam kondisi menyulitkan dirinya bahkan kemudian merepotkan orang lain, padahal ada keringanan pada dia untuk tidak melaksanakan ibadah tersebut. عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا هَذَا فَقَالُوا صَائِمٌ فَقَالَ لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ (رواه البخاري ومسلم) Dari Jabir bin Abdillah –semoga Allah meridhai mereka- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam saat safar melihat kerumunan orang dan ada satu laki-laki yang dinaungi (agar tidak terkena terik panas langsung). Nabi bertanya: Mengapa ini? Para Sahabat berkata: Ia berpuasa. Nabi bersabda: Bukanlah termasuk kebaikan, berpuasa saat safar (H.R al-Bukhari dan Muslim) Artinya, ia tetap memaksa berpuasa saat safar, dalam kondisi menyulitkan dia. Kemudian justru ia pingsan dan merepotkan orang lain. Nabi menyatakan bahwa tidak ada kebaikan untuk yang memaksa berpuasa dalam kondisi demikian. Karena semestinya ia mengambil keringanan tidak berpuasa saat safar. Ada seseorang yang bernadzar untuk berjalan kaki menuju Masjidil Haram. Ternyata, untuk memenuhi nadzarnya itu ia sampai harus dipapah oleh dua orang. Ia menyusahkan dirinya sendiri dan merepotkan orang lain. Nabi pun mencela perbuatan tersebut dan menyatakan bahwa Allah tidak butuh dengan sikap dia menyiksa dirinya sendiri tersebut, serta menyuruh orang itu untuk naik kendaraan. عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى شَيْخًا يُهَادَى بَيْنَ ابْنَيْهِ قَالَ مَا بَالُ هَذَا قَالُوا نَذَرَ أَنْ يَمْشِيَ قَال َ إِنَّ اللَّهَ عَنْ تَعْذِيبِ هَذَا نَفْسَهُ لَغَنِيٌّ وَأَمَرَهُ أَنْ يَرْكَبَ Dari Anas –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Nabi shollallahu alaihi wasallam melihat seorang tua dipapah oleh kedua anak lelakinya. Nabi bertanya: Mengapa orang ini? Mereka berkata: Ia bernadzar untuk berjalan. Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah sangat tidak butuh dengan sikap dia menyiksa dirinya sendiri. Nabi pun memerintahkan kepadanya untuk naik kendaraan (H.R al-Bukhari) Seseorang yang memaksakan diri ke masjid padahal ada keringanan untuk tidak melaksanakan hal itu, dikhawatirkan justru ia tercela. Jika ternyata menyebabkan kesulitan untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Terakhir, berhati-hatilah untuk mengimbau atau menganjurkan agar tetap melaksanakan ibadah tertentu, padahal ada keringanan terhadapnya. Apalagi jika bisa menyebabkan kematian bagi seseorang. Apabila kita memerintahkan sesuatu hal yang asalnya wajib, namun sebenarnya dalam kondisi itu ada keringanan, hati-hati untuk mewajibkannya. Apalagi jika nantinya berimplikasi tanpa kita sadari menjadi sebab kematian orang lain. Ada seorang Sahabat Nabi yang saat dalam suatu safar perang di jalan  Allah mengalami luka di kepalanya. Kemudian Sahabat yang luka kepalanya ini mengalami ihtilam (mimpi basah), sehingga ia mengalami junub. Ia pun bertanya kepada orang lain:  هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً  Apakah kalian mendapati adanya keringanan padaku untuk tidak mandi wajib? Orang yang ditanya saat itu menjawab: Tidak ada keringanan bagimu. Akhirnya Sahabat itu tetap mandi wajib, dan menyebabkan ia meninggal dunia. Ketika sampai berita itu kepada Nabi, Nabi pun marah dan menyatakan: قَتَلُوهُ قَتَلَهُمْ اللَّه Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka (H.R Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah) Nabi menganggap mereka yang memfatwakan masih harus mandi wajib seperti biasa dalam kondisi seperti itu adalah sebagai pembunuh orang tersebut. Karena dengan sebab fatwa dan anjuran dia kemudian orang itu meninggal dunia.  Maka berhati-hatilah untuk menyatakan keharusan sesuatu, padahal dalam kondisi tertentu sesuatu itu ada keringanan untuk tidak dilaksanakan. Apalagi tanpa kita sadari kemudian hal itu menjadi sebab meninggalnya muslim lain.  Nyawa seorang muslim sangat berharga di sisi Allah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, pertolongan, ‘afiyat, dan ampunan-Nya kepada segenap kaum muslimin. BACA JUGA : KESALAHAN-KESALAHAN SELAMA WABAH COVID-19 (Abu Utsman Kharisman) WA al I'tishom
5 tahun yang lalu
baca 17 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kesalahan-kesalahan di masa virus corona (covid 19)

KESALAHAN-KESALAHAN DI MASA COVID 19 Ditulis oleh : Al-Ustadz Muhammad Afifuddin حفظه الله تعالى Kesalahan-kesalahan di Masa Virus Corona (Covid 19) Bismillah. Sengaja kita menulis tentang kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa pandemi covid 19 supaya bisa diambil ibrohnya lalu ditinggalkan karena Allah dan menggantinya dengan kebaikan dan perbaikan serta hal-hal . yang benar lagi bermaslahat. 1. Menganggap remeh dan mengentengkan pandemi covid 19 dengan beragam stetmen dan tindakan yang bisa membahayakan dirinya atau orang lain, akan disebutkan diantaranya dalam poin-poin  berikutnya. 2. Terlalu berlebihan dalam menyikapi pandemi covid 19 sampai shock, depresi, ketakutan yang sangat, ada yg sampai stroke, kena jantung, darah tinggi dan tidak bisa aktifitas sama sekali. 3. Menyakini bahwa covid 19 yang mematikan korban. Ini adalah aqidah yg rusak karena meyakini ada yg mematikan dan menghidupkan selain Allah, juga secara riil korban covid 19 beragam kondisi, ada yang mati, ada yg masih berjibaku dalam sakit, ada yg sembuh. Semua itu dengan taqdir Allah. Yang benar adalah bahwa covid 19 salah satu virus yg bisa menyebabkan kematian dengan taqdir Allah. Jangan meremehkan,  namun jangan pula memiliki aqidah yang rusak. 4. Tidak menghiraukan bahkan terkesan menentang himbauan-himbauan pemerintah terkait covid 19, seperti : himbauan sholat 5 waktu dirumah, jum'atan diganti dhuhur 4 rokaat di rumah, sholat taraweh di rumah, sholat ied di rumah tanpa khotbah, menghindari kerumunan baik dalam moment olah raga, keagamaan, pengajian, pernikahan, takziyah, pemakaman jenazah dll  yang sudah diedarkan pemerintah pusat maupun daerah terutama tuk wilayah-wilayah zona merah. Padahal himbauan-himbauan tersebut : a. Sesuai dengan fatawa kibar ulama. b. Datang dari pemerintah yg mana muslimin diperintah tuk patuh dan taat. c. Tuk kemaslahatan bersama dan perbaikan bersama. d. Upaya pencegahan dan ikhtiyar mubah bahkan syar'i dalam memutus mata rantai covid 19. Oknum atau pihak yang tidak menghiraukan bahkan terkesan menentang himbauan pemerintah sengaja atau tidak telah melakukan tindakan-tindakan  yang tercela : a. Mengancam keselamatan diri bahkan nyawanya. b. Membahayakan orang lain dengan tindakannya. c. Tidak adanya kepatuhan dan ketaatan kepada penguasa muslim, ini merupakan kerusakan aqidah menyerupai faham khowarij dan link-linknya. d. Menyelisihi bimbingan ulama kibar dalam NAWAZIL, ini adalah tanda penyimpangan. 5. Optimisme tinggi dan berfikir positif yang berujung kepada : a. Sikap meremehkan dan menyepelekan pandemi covid 19. b. Tidak ada usaha PHBS dan CTPS pada diri dan keluarganya. c. Tidak mengindahkan imbauan-imbauan pemerintah bahkan cenderung menyelisihi dan menentang. d. Bahkan melakukan dengan sengaja(nekat) atau kelalaian akut hal-hal yang membahayakan diri dan lingkungannya, seperti : membuat kerumunan dan semisalnya. e. Bahkan menganggap tidak ada pandemi covid 19 dan meyakininya sebagai sebuah makar atau strategi perang atau politik atau strategi ekonomi dll dari pihak-pihak  tertentu. Adapun optimisme dan berfikir positif yang disertai dengan : a. Rasa tawakkal yang tinggi kepada Allah semata. b. Berdo'a dan ta'awwudz kepada Allah dari pandemi dan ragam penyakit. c. Ikhtiyar maksimal secara syar'i dan mubah sesuai arahan medis dan pemerintah. d. Meningkatkan kewaspadaan terhadap covid 19. e. Memberi sumbangsih yg dia mampu tuk masyarakatnya baik itu edukasi-edukasi atau bantuan sosial. f. Lebih menyemangati diri tuk melakukan yang syar'i atau hal-hal positif dan mensuport lingkungannya tuk berbuat yang sama, maka sikap seperti ini yang seharusnya ditunjukkan oleh setiap muslim dan semua lapisan anak bangsa dalam menghadapi covid 19. 6. Menyibukkan diri dengan berita tentang covid 19 yang berefek : a. Mencari info dari sumber-sumber yang tidak jelas atau tidak bertanggung jawab. b. Semakin membuat dirinya shock, depresi dan ketakutan yan berlebih. c. Pudarnya semangat tawakkal kepada Allah dan tidak ada selera berikhtiyar syar'i atau mubah sesuai arahan medis dan pemerintah. d. Tidak ada semangat hidup, pasrah untuk mati, hilang selera makan dll. Namun bila sibuk terkait covid 19 yang membawa kemaslahatan diri dan lingkungan, seperti : a. Mengambil info-info dari  sumber resmi pemerintah atau sumber-sumber yang  dapat dipertanggung jawabkan. b. Yang dengan itu maklumat dan gambaran tentang covid 19 semakin jelas baginya. c. Lalu dia bergerak dengan segenap kemampuannya untuk : ➡️1. Waspada akan bahaya covid 19. ➡️2. Semakin patuh dan taat dengan imbauan pemerintah. ➡️3. Memberi arahan2-arahan kepada keluarga dan masyarakatnya terkait covid 19 sesuai arahan ulama, medis dan pemerintah. ➡️4. Peka terhadap kondisi masyarakatnya sehingga dia memberi sumbangsih dg edukasi-edukasi dan dana sosial. ➡️5. Dan hal-hal  lain yang positif. Maka kesibukan tersebut termasuk dalam ta'awun alal birri wat taqwa dan bernilai dakwah dan ibadah. 7. Berdebat sengit terkait covid 19, membuat polemik dan perseteruan yang berakibat saling memusuhi, bertikai, saling caci, saling menyalahkan, rusak tali persaudaraan dan hal-hal negatif lainnya. Padahal di masa pandemi seperti ini semua pihak seyogyanya bersepakat : a. Pandemi covid 19 sangat berbahaya dan bisa membawa kepada kematian dengan taqdir Allah. b. Semua pihak harus PHBS dan CTPS, dimulai dari diri sendiri lalu keluarga inti dan kemudian masyarakat. c. Semua pihak semestinya mematuhi arahan-arahan ulama, pemerintah dan medis terkait covid 19, untuk kemaslahatan bersama. d. Bersinergi dengan kemampuan masing-masing untuk peduli sesama di masa pandemi ini, yang kaya mengambil kesempatan untuk berinfaq dan bershodaqoh, tim medis berjibaku menangani korban-korban covid 19, para muballigh memberi edukasi dan bimbingan syar'i dan masyarakat mematuhi arahan, semua itu adalah tugas dan amalan mulia di masa-masa seperti ini. Waffaqol jamii' limaa yuhibbu wa yardhoo. 8. Terlena dengan kondisi sebagian masyarakat atau pihak yang masih sering keluar rumah, masih berkerumun dan lainnya yang berujung kepada tindakan menyepelekan bahaya covid 19 : a. Keluar rumah tanpa masker. b. Tidak perhatian dengan  PHBS dan CTPS. c. Sering berkerumun di cafe atau warung-warung. d. Berkerumun di pojok-pojok  kampung atau ujung-ujung  gang. e. Berkerumun  bahkan berdesakan di pasar-pasar tradisional atau modern. f. Nekat melakukan acara-acara yang mendatangkan kerumunan orang baik itu pernikahan atau semisal. g. Nekat keluar masuk wilayah-wilayah zona merah walau mungkin niatannya baik. Padahal kalau kita cermati orang-orang yang ada di luaran sana kondisi mereka beragam : a. Ada yang sedang mengerjakan tugas mulia terkait covid 19, seperti : 1. Para tenaga medis yang terus berjibaku menangani korban covid 19, mereka dengan tulus berjuang mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama, bahkan mengorbankan nyawa. Mereka ini adalah para pahlawan tanpa tanda jasa di masa pandemi covid 19. Semoga Allah memberi ketabahan, kesabaran dan pahala besar kepada mereka yang ikhlas dalam berjuang di masa covid 19. 2. TNI/POLRI  yang juga tidak kalah sibuknya mengatur masyarakat dan mengayomi mereka, baik di jalan raya, di rumah sakit rujukan covid 19, mengawal para medis yang menangani korban dan tugas mulia lainnya. 3. Petugas yang membawa jenazah covid 19 dan yang memakamkannya. Mereka juga bertaruh nyawa untuk mengurusi tugas mulia ini, karena bukan jenazah biasa dan tidak semua mau melakukannya. Dan pihak-pihak lain yang tidak disebutkan disini yang punya tugas mulia dimasa covid 19. b. Orang-orang pemerintahan yang kadang harus keluar rumah untuk menangani ragam problem masyarakat terkait covid 19, musyawarah, koordinasi dan lainnya dengan tetap memperhatikan protokoler covid 19. Mereka semua adalah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya. Harus disuport dan didoakan dengan kebaikan. c. Orang-orang yang terpaksa harus keluar rumah untuk hajat mendesak pribadi dan atau keluarganya dengan tetap memperhatikan protokoler covid 19. d. Atau oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang tidak mengindahkan imbauan pemerintah dan protokoler covid 19. Mereka ini pihak yg harus diarahkan dan banyak diberi pengertian tentang bahaya covid 19 bukan dijadikan sebagai hujjah untuk ditiru dan dicontoh. KALAU KITA TIDAK BISA MEMBERI ANDIL DAN SUMBANGSIH TUK MUSIBAH COVID 19 SEPERTI PARA PAHLAWAN DIATAS MAKA PALING TIDAK JANGAN MENJADI OKNUM ATAU PIHAK YG MEMBAHAYAKAN DIRI DAN ORANG LAIN. 9. Melemparkan masalah-masalah ilmiyyah untuk dijadikan syubhat yang berujung kepada meremehkan bahaya covid 19 dan melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan diri dan orang lain, seperti : a. Tidak jujur dalam menyampaikan riwayat perjalanan saat menjalani pemeriksaan. b. Masih nekat keluar masuk wilayah-wilayah zona merah. c. Melanggar imbauan pemerintah yang memberlakukan PSBB dibeberapa daerah. d. Ketika statusnya ODP atau PDP yang seharusnya isolasi justru nekat keluar rumah, atau tidak mau dirawat ditempat karantina bahkan kabur atau pulang kampung. e. Bahkan ketika statusnya sudah positif covid 19 yang harus diisolasi ketat dia justru kabur pulang kampung, atau masih keluar rumah interaksi dengan banyak pihak. Padahal tindakan nekat yg dia lakukan sangat berdampak negatif bagi banyak pihak dan masyarakatnya, seperti : a. Membuat orang-orang, masyarakat bahkan tenaga medis yang sangat diperlukan tenaganya untuk menangani covid 19 menjadi ODP atau PDP bahkan positif COVID 19. b. Membuat sebuah wilayah yang tadinya zona aman menjadi zona kuning bahkan zona merah, berakibat aktifitas masyarakat dalam hal ibadah, ekonomi dll terganggu bahkan terhenti. c. Memperpanjang dan memperluas penyebaran covid 19 di tengah masyarakat atau sebuah bangsa yang membuat banyak pihak semakin panik dan kondisi semakin runyam. Di antara masalah ilmiyyah yang dijadikan syubhat adalah : A. TIDAK ADA PENYAKIT MENULAR, JANGAN TAKUT DENGAN CORONA, KALAU WAKTUNYA SAKIT ATAU MATI PASTI MATI JUGA TIDAK ADA KAITANNYA DENGAN CORONA. Jawabannya: 1. Di dalam prinsip islam memang tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya semua dengan taqdir Allah semata. Dalam hadits : ~{ لا عدوى }~ "Tidak ada penyakit menular". 2. Sesuatu yang wajib diyakini dalam islam adalah bahwa semua yang Allah taqdirkan ada sebabnya dan secara syar'i kita diperintah untuk menjalankan sebab. Dalam hadits : ~{ فرّ من المجذوم فرارك من الاسد }~ "Larilah kamu dari orang yg kena lepra seperti engkau lari dari singa". 3. Pemahaman yang benar adalah taqdir kita imani, prinsip bahwa tidak ada penyakit menular dengan sendirinya kita yakini dan bimbingan syar'i untuk menjauh dari penyakit bahkan wabah dan orang-orang yang menjadi korban wajib kita laksanakan. 4. Upaya-upaya yang dilakukan ulama dan pemerintah serta para medis dalam menangani civid 19 bukan menentang taqdir namun justru bentuk iman kepada taqdir dan sekaligus mengamalkan bimbingan islam dalam menjalankan sebab syar'i atau mubah. Bahasa sahabat umar  رضي الله عنه : "Kita lari dari taqdir Allah menuju taqdir Allah yang lain". B. KENAPA AKTIFITAS KEBAIKAN SEPERTI : DAKWAH, PENGAJIAN ATAU IBADAH SEPERTI : JAMA'AH 5 WAKTU DAN JUM'ATAN DILARANG KARENA CORONA ? BUKANKAH PANDEMI SEPERTI INI DIHILANGAKAN DENGAN BANYAK IBADAH KEPADA ALLAH ?! Jawabannya : 1. Setiap musibah besar atau fenomena mengerikan yang terjadi berbeda-beda dalam menanganinya sesuai dengan sebab dan kondisinya : a. Kalau yang terjadi adalah semisal tsunami, gempa, gunung meletus, banjir bandang dan semisal maka diantara solusinya adalah memakmurkan tempat-tempat ibadah dengan kegiatan-kegiatan dan amal sholih sesuai syariat. b. Kalau yang terjadi adalah pandemi pada binatang semisal : flu burung, mars pada onta dan tidak bermutasi pada manusia maka di antara solusinya adalah penanganan khusus terkait hewan tersebut dan sebagai manusia harus waspada dan ikhtiyar. Kegiatan ibadah dan ekonomi normal saja. c. Tapi kalau yang terjadi adalah pandemi pada binatang yang bermutasi kepada manusia atau pandemi pada manusia itu sendiri seperti kasus covid 19 yang dampaknya sudah mendunia maka diantara solusinya adalah dengan MEMUTUS MATA RANTAI COVID 19. Upaya-upaya dunia dan imbauan-imbauan dunia terkhusus ulama dan pemerintah serta para medis adalah langkah syar'i dan mubah dalam menangani covid 19, diantaranya adalah melarang adanya kerumunan baik ditempat ibadah, tempat wisata atau yang lain termasuk larangan jama'ah dan jum'atan bagi umat islam. 2.kasus pandemi seperti ini bukan kali pertama dalam sejarah dunia dan secara khusus sejarah islam, sudah terjadi sebelumnya ragam pandemi yang merenggut nyawa jutaan manusia. Kalau membaca litelatur-literatur  yang ada kita temukan kenyataan yang sama atau lebih dahsyat di antaranya adalah penutupan tempat-tempat ibadah dalam kurun waktu yang lama, diberlakukannya PSBB bahkan lockdown. 3. Dalam fiqh islam dan ini merupakan fatwa Ulama-ulama besar sekarang bahwa dalam kondisi pandemi covid 19 saat ini : a. Ada udzur tidak berjama'ah sholat 5 waktu dimasjid. b. Ada udzur tidak jum'atan dan diganti dhuhur 4 rokaat dirumah. c. Ada udzur tidak taraweh di masjid. d. Ada udzur tidak ada sholat ied di lapangan dan dikerjakan di rumah pada waktunya dengan tata cara yang sama namun tanpa khotbah. e. Bahkan ketika kondisinya sangat membahayakan bukan saja ada udzur namun sampai pada tingkatan DILARANG jama'ah dan jum'atan. Jangankan di masjid-masjid muslimin secara umum larangan ini diberlakukan di masjid-masjid tanah suci makkah dan madinah, adanya ketentuan ketat untuk masjid haromain bahkan tidak ada thowaf di depan ka'bah, ada aturan ketat dalam thowaf. 4. Umat islam masih mungkin ibadah, taubat dan mendekatkan diri kepada Allah di rumah-rumah mereka tanpa membahayakan diri dan masyarakatnya. Umat islam masih bisa dakwah dari rumahnya melalui tulisan-tulisan dan media-media yang ada tanpa membahayakan diri dan masyarakatnya. JANGAN MERASA PALING SHOLIH DAN BERTAQWA DENGAN TINDAKAN YANG JUSTRU MEMBAHAYAKAN DIRI DAN MASYARAKAT. IBADAH DAN TAQWA SERTA DAKWAH BUKAN DENGAN PERASAAN DAN AKAL SEMATA. NAMUN HARUS DENGAN BIMBINGAN ISLAM DAN ARAHAN ULAMA DAN PEMERINTAH. 10. Mengangkat masalah yang diikhtilafkan ulama dan fuqoha sejak zaman dahulu untuk : a. Menggembosi atau menyelisihi atau menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dan ulama masa kini dalam menangani covid 19. b. Bahkan menghujat pemerintah dan membodohkan ulama. Merasa dirinya yang paling 'alim dan faqih. c. Lalu melanggar aturan dan edaran pemerintah dalam pencegahan covid 19. d. Tetap bandel dan ngeyel dengan apa yang dia pegangi walau sudah banyak jatuh korban dengan taqdir Allah dari pihaknya atau kelompoknya atau orang lain. Dampaknya sangat nyata jelas negatif, covid 19 menyebar ke banyak daerah bahkan pelosok yang dahulunya zona aman di antara sebabnya adalah adanya tipe-tipe oknum seperti ini. Masalah yang dimaksud adalah hadits yang berkaitan dengan wabah THO'UN, apakah itu khusus wabah tho'un sebagaimana pendapat banyak fuqoha? ataukah umum baik tho'un maupun wabah semisal secara umum sebagaimana pendapat sebagian ulama dan ini yang diamalkan ulama zaman ini dalam menangani covid 19 ? Penjelasannya : 1. Kalau sekedar mengkaji masalah ilmiah dan mencari pendapat yang rojih dengan dalil tanpa memunculkan polemik apalagi fitnah dan kegaduhan tidaklah masalah. Masalahnya adalah bila pendapatnya tidak sama dengan praktik ulama dan umaro saat ini lalu dia melakukan tindakan-tindakan tercela seperti diatas. 2. Terlepas mana yang rojih dari 2 pendapat di atas, ada hal penting yang perlu diperhatikan yaitu : TIDAK SEMUA PENDAPAT YANG KITA ROJIHKAN DALAM MASALAH KHILAF BISA KITA AMALKAN DI TENGAH MASYARAKAT. Adakalanya kita mengamalkan pendapat yang kita anggap lemah di tengah masyarakat dalam rangka melembutkan hati mereka atau menjaga persatuan di antara mereka atau untuk meredam fitnah, bahkan hal ini sangat dianjurkan ulama dan termasuk hikmah dalam dakwah. SELAMA TIDAK MENINGGALKAN YANG WAJIB ATAU MENERJANG YANG HARAM. Seperti : sholat pakai sandal. Haditsnya sangat banyak menunjukkan bolehnya bahkan sunnahnya, namun bila kita lakukan akan menimbulkan fitnah maka tidak kita lakukan dalam rangka meredam fitnah. Sementara masalah covid 19 ini terkait dengan nyawa banyak manusia dan sudah nyata bahayanya serta sudah banyak memakan korban. Tentu orang yang beriman dan berakal sehat serta bijak akan melaksanakan arahan pemerintah dan bimbingan ulama dalam menangani covid 19 walau dia tidak merojihkan pendapat mereka. 3. Pandemi covid 19 sekarang sudah masuk dalam kerangka NAWAAZIL (masalah besar kontemporer). Bimbingan islam dalam bab ini adalah kembali kepada ulama besar masa kini dan penguasa, seperti nash al-Quran surat an-nisa ayat : 83. Apa yang menjadi fatwa dan bimbingan ulama kibar masa kini tentang covid 19 itulah yang dipegang dan diamalkan dengan nash dalil di atas. Apa yang  menjadi keputusan dan kebijakan pemerintah dalam menangani covid 19 itulah yang menjadi pegangan dan pedoman dalam menangani covid 19 selama bukan perkara yg melanggar syar'i. 4. Dengan ulasan di atas menjadi jelas bahwa sikap hikmah yang benar dalam bimbingan islam adalah MENJADI WARGA YANG PATUH DAN TAAT KEPADA ULAMA DAN PEMERINTAH DALAM MASALAH COVID 19. BARANGSIAPA YANG MENJALANINYA DENGAN IKHLAS DAN JUJUR MAKA DIA MENDAPATKAN PAHALA, MENJAGA KEAMANAN DIRI, KELUARGA DAN MASYARAKAT, DAN TIDAK MENJADI SEBAB KEMADHOROTAN BAGI MASYARAKAT DAN BANGSANYA. 1. Sesungguhnya masih banyak kesalahan yang muncul dan terjadi di masa covid 19 baik dari pribadi maupun komunitas. Kita cukupkan dengan 10 poin. Semoga bisa menjadi acuan untuk bisa menilai yang selainnya. Intinya semua kesalahan kembali kepada dua hal : a. Menyepelekan dan meremehkan pandemi covid 19. b. Ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan terhadap covid 19. Semoga Allah ta'ala memberi taufiq dan hidayah kepada kita semua ke jalan dan sikap yg benar. 2. Masyarakat dalam menanggapi pandemi covid 19 ada 3 tipe : a. Masyarakat yang menyepelekan bahaya covid 19. b. Masyarakat yang terlalu berlebihan dalam menanggapi covid 19. Masing-masing dari dua jenis di atas secara riil melakukan tindakan-tindakan yang bisa membahayakan diri dan orang lain. c. Masyarakat yang bijak dalam melihat pandemi covid 19, selalu waspada, mematuhi imbauan ulama dan pemerintah, berikhtiyar secara syar'i dan medis yang mubah. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita untuk bisa bersikap bijak. 3. Sebagai seorang muslim wajib memberi apresiasi terhadap upaya dan usaha pemerintah dalam menangani covid 19. Bentuknya adalah dengan mematuhi dan mentaati imbauan-imbauan mereka dengan penuh ikhlas, jujur dan  mengharap pahala dari Allah  ta'ala. 4. Para medis yang berjibaku menangani pasien covid 19 adalah pahlawan bangsa masa pandemi ini, kita harus suport mereka, do'akan kebaikan untuk  mereka. 5. Sebagai seorang muslim, ujian covid 19 ini harus disikapi dengan : a. Sabar dan tabah atas musibah. b. Banyak taubat dan istighfar dari semua dosa. c. Perbanyak amal kebajikan dan tinggalkan kemaksiatan terutama saat momen ramadhan. d. Memberi sumbangsih dan andil positif semampunya. e. Ikhtiyar secara syar'i dengan ta'awwudz dan doa, dan secara medis dengan PHBS dan CTPS. Semoga Allah ta'ala segera mengangkat wabah ini dan kita semua bisa aktifitas ibadah lainnya secara normal. Aamiin yaa mujiibas saailiin. [selesai] Baca juga : Kita Harus Mengetahui Situasi Wabah Virus Corona Sumber : https://t.me/MAHADALBAYYINAH
5 tahun yang lalu
baca 17 menit