Nasehat

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

beribadah di rumah saat terjadi wabah

BERIBADAH DI RUMAH SAAT TERJADI WABAH Berdasarkan himbauan Pemerintah yang mempertimbangkan seluruh aspek dan dampaknya terkait pencegahan sebaran virus corona lebih meluas, maka sebagai warga negara yang baik tidak ada alasan untuk mengatakan tidak dalam merealisasikan himbauan-himbauan tersebut. Ahlus Sunnah wal Jama’ah memegang teguh prinsip as sam’u wat tho’ah (mendengar dan taat) kepada pemerintah, apalagi untuk kemaslahatan umat dan kepentingan orang banyak. Ulama telah menerbitkan fatwa yang sejalan, selaras dan saling menguatkan dengan himbauan-himbauan pemerintah tersebut, antara lain beribadah di rumah, termasuk shalat jum’at dan shalat berjama’ah. Shalat lima waktu dikerjakan di rumah, sedangkan shalat jum’at maka diganti dengan shalat zhuhur 4 rakaat di rumah. Ada beberapa hal yang bersifat pertanyaan dan cukup mengganjal di hati, bahkan sampai muncul kerancuan, bagaimanakah sebenarnya? Kerancuan Pertama Ketika pecah perang, ada rasa takut muncul, rasa takut tersebut nyata dan realita, shalat jamaah tidak lantas gugur. Kenapa shalat jamaah gugur hanya karena kekhawatiran virus corona yang masih bersifat kemungkinan ? Jawaban : Justru wabah virus corona lebih nyata! Dalam perang musuh dapat terlihat, sedangkan virus corona tidak terlihat Ketika perang, posisi musuh dapat diperkirakan dan diperhitungkan, sementara virus corona susah ditebak. Wabah virus corona bukan lagi sebuah kekhawatiran tanpa alasan, korban meninggal dunia telah banyak berjatuhan. Orang Dalam Pengawasan (ODP) , Pasien Dalam Pengawasan (PDP) dan status suspect pun meningkat tajam. Banyak negara telah menerapkan lockdown (isolasi wilayah), sehingga wabah virus corona adalah sesuatu yang nyata. Terkait praktek shalat khauf (shalat di saat pecah perang), ada juga opsi shalat sendiri-sendiri, tidak berjama’ah ketika situasi tidak memungkinkan. Al-Hafizh Ibnu Katsir (Tafsir 2/398) telah mengulas : ”Praktek shalat khauf itu banyak caranya, terkadang arah musuh dari arah kiblat, bisa juga dari arah berlawanan kiblat. Shalat itu sendiri ada yang 4 rakaat, 3 rakaat seperti Maghrib, 2 rakaat semacam Shubuh dan shalat musafir. Kadang-kadang ditegakkan secara berjamaah. Saat perang berkecamuk kadang-kadang mereka tidak bisa melaksanakan shalat berjama’ah, maka shalatlah sendiri-sendiri, menghadap ke arah kiblat maupun tidak ke arah kiblat” Kerancuan kedua Wabah virus corona terjadi karena dosa-dosa hamba, kenapa justru meninggalkan shalat jum’at dan shalat jama’ah? Jawaban : Benar! Apapun yang terjadi pada diri kita dikarenakan dosa-dosa kita sendiri. Oleh sebab itu kita diperintahkan untuk banyak-banyak bertaubat dan beristighfar. Apakah taubat dan istighfar itu tidak bisa dilakukan di rumah ? Apakah taubat dan istighfar itu harus dikerjakan di masjid ? Dalam kondisi semacam ini, yaitu shalat dikerjakan di rumah justru semakin membantu untuk semangat taubat dan istighfar, kenapa ? Bagi yang cinta masjid, untuk yang senang berjamaah di masjid, dengan shalat di rumah terasa berat dan susah di hatinya. Ia bisa menghayati betapa efek buruk dan dampak negatif dari dosa-dosa itu sangat menakutkan Beberapa kondisi Syariat Islam memberikan rukhsah (keringanan). Sementara Rasulullah memerintahkan supaya kita melaksanakan rukhsah tersebut, beliau bersabda : هُوَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا رُخصَتَهُ Artinya : “Itu adalah sedekah yang Allah sedekahkan untuk kalian, terimalah keringanan yang Allah berikan” Hadits Umar bin Khatab dishahihkan Al Albani dalam At Ta’liqaatul Hisan 2729 BERIBADAH DI RUMAH SAAT TERJADI WABAH (Bagian #2) Shalat berjama’ah di masjid disepakati sebagai amalan yang memiliki keutamaan besar. Sebagian ulama mengatakan hukumnya sunnah muakkadah, dan sebagian yang lainnya menegaskan bahwa hukumnya wajib. Namun ulama juga menjelaskan adanya udzur (alasan-alasan syar’i) yang membolehkan pelaksanaannya di rumah, antara lain ketika tersebarnya wabah penyakit. Al Mardaawi Al Hanbali (Al Inshaf 4/464) menjelaskan : ”Ada udzur untuk meninggalkan shalat jum’at dan shalat jama’ah bagi orang sakit, tidak ada perselisihan dalam hal ini. Ada udzur juga untuk tidak ikut shalat jum’at dan shalat jama’ah karena khawatir tertular penyakit” Kerancuan ketiga Kita beriman kepada qadha dan qadar. Oleh sebab itu, kita tidak boleh meninggalkan kewajiban karena kekhawatiran terhadap wabah penyakit. Jawaban : Beriman kepada qadha dan qadar tidak menafikan ikhtiar, berusaha malah menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dari beriman kepada qadha dan qadar Orang sakit misalkan, Ia diperintahkan untuk berobat, bahkan Rasulullah pernah ditanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh berobat ketika sakit?”. Beliau menjawab : ”Wahai hamba-hamba Allah, berobatlah! Sungguh, tidaklah Allah turunkan satu penyakit melainkan Allah turunkan obatnya, kecuali satu jenis penyakit” Beliau maksudkan adalah penyakit tua, penyakit yang tidak dapat diobati. (HR Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan Al Albani) Adapun keterangan yang menjelaskan secara khusus terkait wabah penyakit adalah ketika kita membaca riwayat khalifah Umar bin Khatab yang disebutkan oleh Bukhari (5729) Muslim (2219) : Beliau bersama rombongan sedang menuju Syam, di tengah perjalanan, ada informasi bahwa wabah penyakit tha’un sedang menjangkit di negeri Syam. Khalifah Umar lalu meminta pendapat kaum muhajirin, sahabat Anshar dan sesepuh-sesepuh Quraisy. Setelah mendengar berbagai pendapat, Khalifah Umar memutuskan untuk pulang, tidak melanjutkan perjalanan Abu Ubaidah bin al-Jarrah bertanya, “Apakah untuk menghindari takdir Allah?” Khalifah Umar menjawab, “Kalau saja bukan engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah (tentu aku tidak akan heran –pen.). Ya, kita lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain Apa pendapatmu seandainya engkau mempunyai seekor unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki dua lereng, salah satunya subur dan yang kedua tandus. Jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, bukankah engkau menggembalakannya dengan takdir Allah? Begitu pun sebaliknya. Kalau engkau menggembalakannya di tempat yang tandus, bukankah engkau menggembalakannya juga dengan takdir Allah?” Dengan demikian, usaha yang dilakukan dengan membatasi kontak fisik dengan orang banyak pun termasuk taqdir yang kita jalani, termasuk tidak shalat jamaah dan tidak shalat jum’at. Kerancuan keempat Rasulullah telah menjelaskannya cara penanganan saat wabah penyakit tersebar yaitu dengan karantina, namun beliau tidak pernah mengajarkan umatnya untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jama’ah akibat wabah virus. Jawaban : Jangan karena tidak ada keterangan eksplisit, lantas disimpulkan demikian! Bimbingan Rasulullah adalah menerapkan sistem isolasi dan konsep karantina. Apa tujuannya? Mencegah penyebaran wabah. Jika di suatu daerah sudah dipastikan wabah penyakit telah masuk, bukankah bimbingan Rasulullah untuk isolasi harus dilakukan? Isolasi itu termasuk isolasi individu dengan tetap tinggal di rumah. Cobalah berlapang dada dengan menyimak fatwa-fatwa ulama yang menjabarkan keterangan Rasulullah. Fatwa-fatwa ulama menunjukkan bahwa shalat jum’at dan shalat jama’ah dapat ditinggalkan ketika wabah penyakit menyebar. Baca Juga : Kisah Umar bin Khaththab Saat Memasuki Wilayah Wabah InsyaAllah Bersambung… Sumber : .https://www.inifaktabukanfitnah.com/menjawab-kerancuan-beribadah-di-rumah-saat-terjadi-wabah/
5 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

itsar, mengutamakan orang lain

lTSAR, MENGUTAMAKAN ORANG LAIN Itsar, Mengutamakan Orang Lain Itsar adalah salah satu sifat yang sangat dihasung dalam agama Islam. Yaitu mengutamakan orang Iain daripada diri sendiri dalam perkara dunia yang kita juga membutuhkannya. Tidak dipungkiri, saat ini jarang kita dapati seseorang yang berhias dengan sifat mulia ini. Maka untuk menggugah hati kita agar senantiasa mengamalkannya, kami suguhkan kisah-kisah teladan dalam hal ini. TELADAN SANG USWAH HASANAH Pernah ada seseorang mendatangi Rasulullah shallallahu alaih wasalam. Orang itu mengatakan bahwa dia kelaparan. Maka beliau datang menemui salah seorang istri beliau. Beliau shallallahu alaih wasalam .menanyakan apakah ada makanan untuk orang tersebut. Namun ternyata beliau tidak menemukan selain air. Lalu beliau datang kepada istri yang lain. Ternyata sama, beliau hanya mendapatkan air. Demikian keadaanya pada seluruh istri beliau. Kemudian beliau bertanya kepada para shahabat, apakah ada yang mau menjamu tamu beliau itu. Maka seorang dari kalangan Anshar menyanggupi. Lantas dia pulang ke rumah dan mengabarkan hal itu kepada istrinya. Dia menyuruh istrinya agar tidak menyia-nyiakan tamu Rasulullah. Tak jauh berbeda dengan keadaan Rasulullah, istrinya mengatakan bahwa mereka hanya punya makanan untuk anak-anak. Demi memuliakan tamunya, shahabat Anshar itupun menyuruh istrinya agar menidurkan anak-anak. Lalu menghidangkan makanan mereka untuk tamu tersebut. Lampu rumah pun dia perintahkan agar dimatikan. Supaya sang tamu tidak mengetahui bahwa makanan yang ada hanya untuknya. Tak hanya itu, dia juga menyuruh istrinya agar mereka berdua pura-pura ikut makan bersama tamu, agar tamu tersebut merasa nyaman. Subhanallah, Paginya, saat shahabat Anshar itu datang menemui Rasulullah, beliau mengatakan bahwa Allah merasa takjub dengan perbuatannya bersama istrinya dalam menjamu tamu tadi malam. AL-WAQIDI DAN SEKANTONG DIRHAM Al-Qadhi Iyadh رحمه الله dalam kitab beliau Tartibul Madarik menyebutkan; Al-Waqidi رحمه الله mengisahkan, ”Aku memiliki dua orang sahabat, salah satunya adalah dari Bani Hasyim. Suatu saat aku ditimpa kesempitan. Lalu istriku berkata, "Sungguh, kita bisa bersabar atas kesulitan ini. Namun, anak-anak kita, hatiku terluka melihat keadaan mereka. Apakah kita bisa melakukan sesuatu bagi mereka❓" Aku pun menulis surat kepada sahabatku dari Bani Hasyim. Aku minta tolong kepadanya tentang keadaanku. Kemudian ia mengirimkan sebuah kantong yang masih tersegel. Dia sebutkan bahwa di dalamnya ada 1000 dirham. Belum sampai aku membukanya, ternyata aku menerima surat dari temanku yang Iain. Dia juga mengalami kesulitan sama sepertiku. Aku pun serahkan kantong itu dalam keadaan sama seperti saat aku menerimanya. Kemudian aku pergi ke masjid untuk bermalam di sana, karena malu terhadap istriku. Saat aku kembali, ternyata istriku menganggap baik apa yang aku lakukan. Beberapa waktu kemudian, datanglah temanku dari Bani Hasyim membawa kantong tadi, dan masih dalam keadaan yang sama. Dia memintaku untuk jujur menceritakan apa yang terjadi. Aku pun menyampaikan kepadanya. Lalu dia berkata, “Engkau mengadu kepadaku, sementara aku tidak punya apa-apa selain kantong yang aku berikan kepadamu. Lalu aku menulis surat kepada teman kita untuk meminta pertolongan. Lalu dia mengirimkan kantong ini dan masih ada segelku.” Lalu kami membagi uang itu menjadi tiga bagian, setelah menyerahkan 100 dirham untuk istriku. Sampailah berita ini kepada Al-Makmun. Dia lalu memanggilku. Setelah aku menyampaikan peristiwa kami kepadanya, dia memberiku 7000 dinar. Masing-masing dari kami bertiga 2000 dinar dan untuk istriku 1000 dinar. Sumber || Majalah Qudwah Edisi 07https://t.me/Majalah_Qudwah/1109
5 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

mendidik anak dengan tidak memberi

Belajar Tidak Memberi Mendidik Anak dengan Tidak Memberi Anak itu asyik bermain dengan teman sebayanya. Namun, keasyikan yang ditemukannya berbeda dengan keasyikan yang dulu sering ditemui. Dulu, anak-anak seumuran itu berlarian ke sana ke mari, saling kejar-kejaran, atau bersembunyi agar ditemukan oleh temannya. Namun hari itu, masing-masing anak asyik sendiri-sendiri, diam seribu bahasa, tak ada kata terlontar dari mereka, hanya kadang tersungging sedikit tawa atau sedikit tanya jawab. Ponsel-ponsel pintar yang ada di tangan mereka seolah-olah menyedot dunia mereka. Jasad di tempat, tapi ruhnya entah ke mana. Tampaknya, pemandangan seperti ini tidak sedikit dari kita yang menyaksikannya. Faktanya, tak bisa kita mungkiri, smartphone memiliki efek negatif yang teramat banyak. “Setan gepeng” ini bisa menjadi pintu kepada berbagai macam kejelekan dan kejahatan hanya dengan sentuhan jari, meski di dalam tembok rumah kokoh yang sekalipun. Apalagi untuk anak yang masih labil cara berpikirnya. Namun, apa mau dikata, si anak sangat pengen punya gadget, kalau tidak dituruti, bisa ngamuk besar. Di tempat lainnya, ada anak yang meminta untuk dibelikan kendaraan sendiri. Kalau tidak dibelikan, dia mengancam tak mau kembali lagi ke pondok, tempatnya menuntut ilmu. Demi merayu anaknya, akhirnya dibelikanlah sebuah motor racing yang harganya cukup tinggi. “Tak apalah, yang penting anaknya bersedia mengikuti pendidikan di pondok pesantren,” begitu pikirnya. Namun, dengan kendaraannya, anak pun mulai senang untuk keluar. Entah kemana, sang orang tua pun kadang tak bisa menjawabnya dengan pasti. Dia tidak kerasan ketika di pondok. Pendidikan di pondok pun tidak maksimal diikutinya. Pikirannya terus melayang ke rumah, ingin segera nongkrong bersama temannya. Saat sudah di rumah, langsung keluar rumah, tidak terlihat batang hidungnya. Akhirnya, sang orang tua mulai kehilangan kontrol anaknya. Anaknya semakin sering nongkrong bersama orang-orang yang tak tahu dari mana rimbanya. Yang jelas, mereka bukanlah orang yang sering datang kajian, apalagi beribadah di masjid. Para pembaca Tashfiyah yang budiman. Sebagai manusia yang masih belum sempurna akalnya, tentulah sang buah hati banyak perlu pengarahan orang tua kepada kemaslahatannya. Tak jarang, anak memiliki keinginan kuat yang sayangnya, tidak sejalan dengan maslahat pendidikan. Berbagai cara dilakukannya agar keinginannya dituruti. Ada yang menangis sejadi- jadinya, ada yang kemudian marah kepada orang tua, ada yang lantas merayu salah satu pihak orang tua untuk meluluskan keinginannya. Nah, disinilah Orangtua diuji. Akankah kita lebih kuat pendiriannya sehingga berhasil meredam keinginan anak, ataukah kita terkalahkan dengan ketidaktegaan kita terhadap tangisan buah hati. Baca juga : Cara menghadapi bully pada anak Kadang Tidak Memberi, Tanda Cinta Buah Hati Pembaca Tashfiyah, cinta perlu pengorbanan. Demi orang yang kita cintai, kita terkadang harus mengorbankan kesenangannya, demi maslahat anak itu sendiri. Orang tua harus mengerti bahwa maslahat lebih dikedepankan daripada ridha sang anak. Sebagaimana kita harus tega untuk meminumkan obat yang pahit demi kesembuhan anak ketika sakit, kita juga harus tega untuk menolak permintaan anak yang mengandung marabahaya bagi dunia akhiratnya.  .Menuruti semua permintaan anak justru akan berkonsekuensi buruk untuk perkembangan anak. Mungkin di antara kita sering berpikir saat sang anak meminta, “Sudahlah, belikan saja, demi sang anak.” Terlebih lagi bagi orang tua yang dikaruniai rezeki berlebih. Tapi, di balik itu, justru anak terbentuk pada karakter yang tidak baik. Di antaranya, • anak menjadi keras kepala, • menjadi pribadi penuntut, • tidak mau mengalah, • tidak memiliki rasa empati kepada orang lain, dan beragam efek negatif lainnya yang akan dituai kelak saat anak sudah besar. Namun demikian, ayah bunda pun harus bijak saat menolak permintaan anak. Jangan seseorang menolak permintaan anak tanpa memberikan nasihat dan alasan. Sebab, di sinilah letak pendidikan dari penolakan tersebut. Tanamkan untuk membedakan antara kebutuhan atau keinginan. Ajarkan pula untuk mengerti dan peka terhadap kondisi serta keadaan orang tua. Berikan pula pengertian untuk memahami batasan mana yang baik dan buruk bagi mereka. Ajak anak berkomunkasi dan hindari kemarahan yang tidak beralasan. Saat kita telah menolak pun, kita perlu teguh terhadap keputusan itu. Meskipun anak menangis meronta, berguling-guling, marah, ngambek, atau tindakan kekanakan lainnya, janganlah kita membatalkan keputusan kita. Sebab, anak akan menilai dan menjadikannya sebagai ‘senjata’ jika kelak menginginkan hal lainnya. Namun, kita bisa bernegosiasi, mengarahkan pada hal-hal lain yang tidak memiliki kemudharatan. Pembaca Tashfiyah, semoga Allah menjaga kita dan anak kita semua. Anak merupakan amanah. Kita akan dimintai pertanggungjawaban mengenai mereka, apakah kita telah benar- benar mendidik mereka atau kita lebih memilih membiarkannya. Maka, barang siapa mendidiknya, dia akan menuai buah manisnya. Demikian pula, siapa yang membiarkannya, dia akan menderita disebabkan anaknya. Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan, “Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya dan buah hatinya di dunia akhirat. Hal itu dia lakukan dengan membiarkan anak, tidak menghukumnya, justru menolongnya menuruti keinginan dirinya. Dia menyangka telah memuliakan anaknya, padahal sejatinya dia menghinakannya. Dia mengira telah mengasihinya, padahal sebenarnya telah menzalimi dan menghalanginya dari kebaikan. Dia tidak bisa mengambil manfaat dari anaknya sekaligus menghalangi anak dari bagian kebaikan dunia akhirat. Jika engkau renungi kerusakan pada anak, engkau akan lihat bahwa mayoritasnya dari sang ayah.” Semoga Allah mengaruniakan kepada kita keturunan yang menyejukkan mata dengan ketaatan dan amal saleh yang mereka kerjakan. Amin. BACA JUGA : PENTINGNYA MENGAJARKAN SHALAT PADA ANAK-ANAK [Ustadz Abu Yusuf Abdurrahman] Dikutip dari Majalah Tashfiyah VOL.07 1440 H-2018 M EDISI 81 (hal. 109 – 112) https://akhwat.net/2020/02/08/__trashed/
5 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

jangan menyerang orang lain dengan menuduh niatnya

JANGAN MENYERANG ORANG LAIN DENGAN MENUDUH NIATNYA بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله والصلاة والسلام على أشرف خلق الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد: Jangan Menyerang Orang Lain dengan Menuduh Niatnya Termasuk buruknya pengaruh fitnah terakhir ini –dan alangkah banyaknya– adalah mereka menyerang niat orang-orang yang mereka musuhi. Jadi tidaklah seorangpun bangkit membantah sebuah kebatilan yang dia ketahui kecuali mereka menghujaninya dengan tuduhan ingin tampil (bahkan tuduhan ini bisa saja muncul walaupun si penulis/penerjemah tidak mencantumkan jati dirinya –pent) dan memiliki niat buruk. Maka saya berfikir untuk membahas secara tersendiri perkara yang berbahaya ini dalam tulisan ringkas. Mudah-mudahan mereka mengambil manfaat lalu menghentikan lisan mereka dari berbicara dengan kebatilan. Dan Allah saja yang memberi taufik dan menunjukkan ke jalan yang lurus. Termasuk yang bagus untuk memulai di sini adalah mengingatkan keadaan para ulama salaf dalam membenahi niat-niat mereka. Contohnya Sufyan ats-Tsauri, dan siapa yang tidak kenal dengan Sufyan ats-Tsauri?! Beliau pernah mengatakan, . "Aku tidak pernah membenahi sesuatu yang lebih berat dari niatku, karena niatku selalu berubah-ubah." Jika sebesar imam yang seperti gunung ini niat beliau selalu berubah-ubah dan berat membenahinya, bahkan beliau merasa tidak ada yang lebih berat untuk dibenahi darinya, maka seharusnya orang yang menuduh niat orang lain lebih pantas untuk mengoreksi niatnya dan membenahinya, bukan malah menyerang niat orang-orang yang dia musuhi dengan tuduhan memiliki tujuan yang buruk dan menganggap mereka tidak ikhlas dan tidak bertujuan baik, karena keadaan dia seakan-akan mengungkapkan, "Aku orang yang ikhlas." Sesungguhnya termasuk perkara yang telah diketahui dari sejarah hidup para ulama salaf adalah menilai manusia berdasarkan lahiriah dan menyerahkan urusan hati kepada Allah. Bahkan Ibnu Abdil Barr menukil adanya ijmak atas perkara tersebut dengan mengatakan: أجمعوا أن أحكام الدنيا على الظاهر وأن أمر السرائر إلى الله. "Mereka ijmak bahwa hukum-hukum dunia berdasarkan lahiriah dan urusan hati diserahkan kepada Allah."  (At-Tamhid, 10/32) Makna seperti ini telah dihikayatkan dalam sebuah hadits yang marfu' namun tidak shahih. Sedangkan yang shahih adalah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mauquf dari Umar radliyallahu anhu: إِنَّمَا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالوَحْيِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّ الوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ، وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمُ الآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ. "Sesungguhnya dahulu manusia hanyalah dinilai dengan wahyu di masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan sesungguhnya wahyu telah berhenti, dan sekarang kami menilai kalian hanyalah berdasarkan apa yang nampak bagi kami dari perbuatan kalian." (Shahih al-Bukhari no. 2641) Jadi konsekuensi dari ijmak yang dinukil tadi adalah bahwa orang yang menyerang niat orang lain telah merebut dari Allah sesuatu yang tidak bisa mengetahuinya kecuali Dia. Memang, terkadang nampak berbagai indikasi kuat pada seseorang yang menyebabkan buruk sangka kepadanya sebagai bentuk hati-hati darinya. Namun perkecualian ini tidak boleh dijadikan sebagai prinsip dasar, dan alangkah banyaknya penyimpangan yang menyerang manusia melalui pintu ini karena mereka mengabaikan hukum yang pasti yang tetap sebagai dasar, lalu mereka menggunakan yang sifatnya darurat yang dikecualikan sebagai gantinya tanpa rambu-rambu. Walaupun demikian jangan sampai buruk sangka kepada siapapun menyeretmu untuk menuduhnya tidak memiliki keikhlasan untuk Allah! Jika hal ini telah diketahui dan diterima dengan baik, maka termasuk perkara yang sangat tercela jika seseorang mengatakan tentang sebagian masyayikh atau saudara kita bahwa dia tidak memiliki keikhlasan niat untuk Allah dalam makalah maupun tulisan mereka  serta kepentingan-kepentingan pribadi dan hawa nafsu menguasai mereka. (Lihat: Nashihah wa Taujih Ila Muntada at-Tashfiyyah). Anehnya tidak ada seorangpun yang mengingkarinya, bahkan para pengikut merasa gembira dengan ucapan ini. Dan yang semisalnya adalah ucapan temannya, "Diantaranya tulisan iparmu yang telah didorong oleh fanatisme jahiliyyah." (Al-Jawab Anil Jawab, bagian pertama) Sesungguhnya saya benar-benar berulang kali membaca ucapan ini dan keheranan saya tidak habis dengan berlalunya hari-hari. Bagaimana bisa orang yang mengatakannya menghukumi sesuatu yang sifatnya ghaib dan saya bertanya-tanya apakah mungkin seseorang bisa mengetahui tanda-tanda dan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa keikhlasan telah hilang dari orang yang dia musuhi atau dia telah didorong oleh fanatisme jahiliyyah?! Dan sangat disayangkan saya jadi teringat dengan ucapan orang munafik yang mencela pembagian harta yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alahi wa sallam dengan mengatakan, "Ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah." (muttafaqun alaih) Dan saya berharap tidak ada yang menganggap bahwa saya menyamakan gurunya dengan orang-orang munafik, hanya saja ucapannya sama persis. Kemudian saya teringat dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika sampai kepada beliau perbuatan Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma ketika membunuh seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallah:  يَا أُسامةُ! أَقَتَلْتَهُ بَعْدَمَا قَالَ: لا إِلهَ إِلَّا اللَّهُ؟! "Wahai Usamah, apakah engkau masih tetap membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaha illallah?!" Usamah menjawab, "Dia mengucapkannya karena takut kepada senjata." Lalu beliau mengatakan: أَفَلا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لا؟! "Apakah engkau telah membelah hatinya hingga engkau bisa mengetahui apakah dia mengucapkannya karena itu atau tidak?! Usamah mengatakan, "Beliau terus mengulang-ulang pertanyaan tersebut hingga aku berangan-angan sekiranya aku baru masuk Islam hari itu." (muttafaqun alaihi dan ini redaksi Muslim hadits no. 96) Jadi walaupun dalam keadaan banyaknya pendorong buruk sangka terhadap seseorang dengan indikasi ketakutannya terhadap pedang ketika dia melihatnya diarahkan kepadanya, hanya saja Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menerima alasan Usamah radhiyallahu anhu. Jika demikian pada Nabi kita terdapat teladan yang baik, sehingga kami katakan kepada kalian, "Apakah kalian telah membelah hati orang-orang yang kalian musuhi hingga kalian bisa mengetahui apakah mereka menulis (bantahan) ikhlas karena Allah atau tidak?!" Wahai orang-orang yang menyerang niat-niat manusia: Berikut ini balasan surat yang sangat indah yang dinukil oleh al-Imam as-Sa'di dalam salah satu fatwa beliau tentang celaan sahabatnya terhadap niat beliau lalu beliau menjawabnya dengan surat tersebut. Perhatikan baik-baik –rahimakumullah– dan berhentilah pada setiap katanya, karena sungguh itu merupakan balsem bagi penyakit yang berbahaya yang telah menimpa kalian ini. _________________ "Wahai saudaraku, jika engkau meninggalkan perkara yang wajib atas dirimu yaitu cinta karena agama, dan engkau menempuh perkara yang haram atas dirimu yaitu menuduh saudaramu dengan niat yang buruk walaupun anggaplah dia telah melakukan kesalahan dan engkau menjauhi sikap hikmah dalam berdakwah dalam perkara-perkara seperti ini, maka sebelum masuk kepada jawaban saya kepadamu atas kritikanmu, saya ingin mengabarkan kepadamu: Saya tidak akan meninggalkan perkara yang wajib atas saya berupa menjaga kecintaan kepadamu dan terus mencintaimu berdasarkan apa yang saya ketahui dari agamamu semata-mata karena membela diri saya, bahkan saya akan menambahnya dengan memberikan udzur untukmu atas celaan terhadap saudaramu bahwa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu adalah niat yang baik. Hanya saja niat baik tersebut tidak disertai dengan ilmu yang membenarkannya, pengetahuan yang menjelaskan tingkatannya, dan tidak pula sikap wara' (kehati-hatian) yang menjadikan seorang hamba tidak melanggar batas yang ditetapkan oleh peletak syariat atasnya. Jadi karena baiknya niatmu maka saya memaafkan dirimu atas apa yang muncul darimu berupa tuduhan memiliki niat buruk kepada saya. Anggaplah kebenaran itu bersama dirimu secara meyakinkan, apakah kesalahan seseorang merupakan bukti buruknya niat dirinya. Jika perkaranya seperti itu niscaya wajib menuduh seluruh ulama umat ini dengan niat-niat yang buruk, karena apakah ada seorangpun yang bersih dari kesalahan?! Bukankah kelancangan yang engkau lakukan menyelisihi ijmak kaum muslimin, yaitu bahwasanya tidak halal menuduh seorang muslim memiliki niat yang buruk jika dia terjatuh dalam kesalahan?! Dan Allah telah memaafkan kesalahan yang tidak disengaja yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman dalam ucapan, perbuatan, dan semua keadaan. Kemudian kami katakan: Anggaplah boleh bagi seseorang untuk menuduh niat orang yang indikasi-indikasi kuat dan tanda-tanda menunjukkan niatnya yang buruk, apakah halal bagimu untuk mencela seseorang yang engkau memiliki bukti-bukti yang banyak yang menunjukkan baiknya niatnya dan jauhnya dari niat buruk, yang hal itu tidak membolehkan bagimu untuk membayangkan sedikitpun apa yang engkau tuduhkan kepadanya?! Sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berbaik sangka kepada saudara-saudara mereka jika dituduhkan kepada mereka hal-hal yang menyelisihi konsekuensi iman. Allah Ta'ala berfirman: لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا. "Mengapa ketika kalian mendengar berita buruk itu orang-orang yang beriman baik pria maupun wanita tidak berbaik sangka kepada diri mereka sendiri." (An-Nur: 12) Dan ketahuilah bahwa pendahuluan ini bukan bertujuan untuk membalas ucapanmu, karena sesungguhnya saya seperti yang telah saya isyaratkan kepadamu bahwa saya telah memaafkanmu jika saya memiliki hak, tetapi tujuannya adalah nasehat dan menjelaskan posisi tuduhan semacam ini menurut akal, agama, dan kehormatan manusia." (Al-Fatawa as-Sa'diyyah, hlm. 61-62) _________________ Saya katakan: Allahu akbar, alangkah bersihnya kata-kata dan alangkah bagusnya sifat-sifat tersebut, seandainya orang-orang yang membicarakan niat manusia itu mau berhias dengan sepertiganya atau seperempatnya kita tidak akan sampai seperti ini. Apakah mereka ini tidak bisa mengucapkan seperti yang diucapkan oleh beliau bahwa yang mendorong orang yang mereka musuhi untuk melakukan hal itu adalah niat yang baik. Hanya saja niat baik tersebut tidak disertai dengan ilmu yang membenarkannya, pengetahuan yang menjelaskan tingkatannya, dan tidak pula sikap wara' (kehati-hatian) yang menjadikan seorang hamba tidak melanggar batas yang ditetapkan oleh peletak syariat atasnya. Tanpa perlu menyerang niat dan memvonis tujuannya. Ya Allah, benahilah niat-niat kami dan perbaguslah tujuan kami baik dalam perkara-perkara yang kecil maupun yang besar. Baca juga : Hidup Bernafas Ketulusan Ditulis oleh: Abu Anas Abdurrahman Habak Ibukota Aljazair, selepas matahari tergelincir, Selasa 27 Rabi'ul Akhir 1441 atau 24 Desember 2019 https://www.tasfiatarbia.org/vb/showthread.php?t=24637 Sumber : https://t.me/jujurlahselamanya/1763
5 tahun yang lalu
baca 10 menit