Fiqih

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

fikih sahur dan keutamaannya

FIKIH SAHUR DAN KEUTAMAANNYA DEFINISI MAKAN SAHUR ▪️ Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, وَقْتُ السَّحُورِ بَيْنَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ "Waktu sahur ialah dari pertengahan malam sampai waktu subuh." (Al-Majmu', VI/360) Jadi yang makan sahur secara sengaja sebelum pertengahan malam maka secara hukum dia tidak mendapatkan pahala makan sahur meski tentu saja puasanya tetap sah, akan datang penjelasan tentang ini di akhir pembahasan mengakhirkan makan sahur. Tentang disunnahkannya makan sahur, ada beberapa hal yang penting untuk kita ketahui. MAKAN SAHUR IALAH PEMBEDA ANTARA PUASANYA AHLUL HAQQ DENGAN AHLI BATIL • Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam bersabda, فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ “Perbedaan antara puasa kita (umat Islam) dengan puasa ahlul kitab terletak pada makan sahur.” HR. Muslim (1096) ▪️ Asy-Syaikh Zaid al-Madkhali menjelaskan, وهذا أعظم ترغيب وأبلغ حث على ملازمة هذه السنة النافعة المفيدة التي جعلت علامة فارقة بين صوم أهل الحق أتباع محمد صلى الله عليه وسلم وبين صوم عباد الهوى والشيطان من أهل الكتاب الذين ضلوا وأضلوا عن سواء السبيل "Hadits ini berisikan motivasi terbesar dan anjuran mendalam untuk selalu menjalankan sunnah (makan sahur) yang bermanfaat ini. Sebab sunnah ini ditetapkan sebagai pembeda antara puasa Ahlul Haqq pengikut Muhammadshallallahu alaihi wasallamdengan puasanya penyembah hawa nafsu dan setan dari kalangan ahli kitab yang sesat dan menyesatkan dari jalan yang benar." (Al-Afnan an-Nadiyyah, III/141) TERDAPAT BERKAH PADA MAKAN SAHUR • Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam bersabda, تَسَحَّرُوا ؛ فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً "Makan sahurlah kalian! Karena padanya terdapat keberkahan." HR. Al-Bukhari (1923) dan Muslim (1095) ▫️Seorang sahabat Nabi berkata, دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ، فَقَالَ : " إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ اللَّهُ إِيَّاهَا فَلَا تَدَعُوهُ " "Saya masuk menemui Nabishallallahu alaihi wasallam ketika beliau sedang makan sahur, lalu beliau bersabda, 'Sesungguhnya makan sahur adalah berkah yang Allah berikan untuk kalian, maka jangan kalian tinggalkan.'" -SHAHIH- (Ghayah al-Muna, XX/366) HR. An-Nasa'i (2162) ▫️ Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu mengatakan, دَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى السُّحُورِ فِي رَمَضَانَ فَقَالَ : " هَلُمَّ إِلَى الْغَدَاءِ الْمُبَارَكِ " "Rasulullahshallallahu alaihi wasallam memanggil saya untuk makan sahur di bulan Ramadhan, beliau berkata, 'Kemarilah menuju makanan yang penuh berkah.'" -SHAHIH LI GHAIRIHI- (Shahih at-Targhib, 1067) HR. Abu Dawud (2344), an-Nasa'i (2163) BENTUK BERKAH MAKAN SAHUR Di antara berkah makan sahur, orang yang melakukannya akan mendapat; - limpahan rahmat dari Allah, - dan para Malaikat akan mendoakan dan memohonkan ampun kepada Allah untuk mereka yang sahur. Tentang dua poin ini, • Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam mengabarkan, السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ "Pada makan sahur terdapat berkah. Maka janganlah kalian tinggalkan sahur meski hanya minum seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mencurahkan shalawat untuk orang-orang yang sahur." -HASAN- (Shahih al-Jami', 3683) HR. Ahmad (11101) Juga termasuk bentuk berkah makan sahur ialah beberapa hal yang disebutkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, ▪️ beliau berkata, أَنَّ الْبَرَكَةَ فِي السُّحُورِ تَحْصُلُ بِجِهَاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ وَهِيَ اتِّبَاعُ السُّنَّةِ وَمُخَالَفَةُ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالتَّقَوِّي بِهِ عَلَى الْعِبَادَةِ وَالزِّيَادَةُ فِي النَّشَاطِ وَمُدَافَعَةُ سُوءِ الْخُلُقِ الَّذِي يُثِيرُهُ الْجُوعُ وَالتَّسَبُّبُ بِالصَّدَقَةِ عَلَى مَنْ يَسْأَلُ إِذْ ذَاكَ أَوْ يَجْتَمِعُ مَعَهُ عَلَى الْأَكْلِ وَالتَّسَبُّبُ لِلذِّكْرِ وَالدُّعَاءِ وَقْتَ مَظِنَّةِ الْإِجَابَةِ وَتَدَارُكُ نِيَّةِ الصَّوْمِ لِمَنْ أَغْفَلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنَامَ "Berkah makan sahur didapatkan dari beberapa bentuk; - Menjalankan sunnah, - menyelisihi puasanya ahli kitab, - menguatkan badan orang yang berpuasa untuk beribadah dan menambah semangatnya, - menjauhkan perilaku jelek yang bisa muncul akibat rasa lapar, - dapat menjadi sebab untuk bersedekah kepada yang membutuhkan makanan sahur, atau makan sahur bersamanya, - menjadi bisa berdzikir dan berdoa pada waktu dikabulkannya doa [waktu sahur termasuk waktu mustajab untuk berdoa], - waktu sahur juga menjadikan seseorang sempat berniat puasa bagi yang lupa meniatkan sebelum tidur (bahwa besok berpuasa)." (Fathul Bari, IV/140) ▪️ Asy-Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah juga menjelaskan, ومن بركة السحور صلاة الفجر مع الجماعة، وفي وقتها الفاضل، ولذا تجد المصلين في صلاة الفجر في رمضان أكثر منهم في غيره من الشهور؛ لأنَّهم قاموا من أجل السحور "Termasuk berkah makan sahur ialah bisa shalat subuh secara berjamaah di waktu yang utama, oleh karenanya kamu mendapati orang-orang yang mengerjakan shalat subuh (di masjid) pada bulan Ramadhan lebih banyak daripada di bulan-bulan lain di bulan-bulan di bulan-bulan lain karena mereka bangun untuk makan sahur." (Taudhih al-Ahkam, III/474) BERSEMANGAT UNTUK BANGUN MAKAN SAHUR Oleh karena banyaknya kebaikan yang bisa didapatkan dari makan sahur maka sepantasnya seseorang memiliki semangat dan antusias tinggi untuk menjalankannya. ▪️ Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, لا يترك السحور، بل يحرص الإنسان على أن يتسحر، ولو كان لا يشتهي الطعام فينبغي أن يحاول أن يأكل شيئاً ولو يسيراً عملاً بالسنة "Hendaknya seseorang tidak meninggalkan makan sahur, bahkan seharusnya dia bersemangat untuk makan sahur meskipun sedang tidak ingin makan, hendaklah dia tetap berusaha untuk makan walaupun hanya sedikit dalam rangka mengamalkan sunnah." (Tashil al-Ilmam, III/214) ADAKAH DZIKIR YANG DIBACA PADA SAAT MAKAN SAHUR ▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah menerangkan,  تناول السحور كتناول غيره، يعني يجب على الإنسان أن يسمي عند الأكل؛ لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أمر بالتسمية عند الأكل، وأخبر أن من لم يسم شاركه الشيطان في أكله، لكن لما كان السحور مأموراً به فإنه ينبغي للإنسان أن يستحضر عند تناول السحور بأنه إنما تسحر امتثالاً لأمر الرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم، واقتداء به صلى الله عليه وعلى آله وسلم، واستعانة بذلك على الصيام، وإذا فرغ من منه حمد الله، فإن الله تعالى يرضى عن العبد يأكل الأكلة يحمده عليها، ويشرب الشربة فيحمده عليها، وليس هناك ذكر مخصوص للسحور "Makan sahur sama seperti makan biasanya, artinya seseorang wajib untuk membaca bismillah sebelum makan, karena Nabi memerintahkan untuk membaca bismillah sebelum makan dan beliau mengabarkan orang yang tidak membaca bismillah maka setan akan ikut makan bersamanya.  Namun karena makan sahur ini ialah amalan yang diperintahkan selayaknya seseorang menghadirkan dalam hatinya ketika sedang makan sahur bahwa; - dia melakukannya dalam rangka mematuhi perintah Rasulullah ﷺ,  - meneladani beliau,  - dan untuk membantunya agar ringan ketika menjalani ibadah puasa.  Apabila dia sudah selesai maka dia memuji Allah,  إنَّ الل‍َّهَ لَيَرضى عَنِ العبْدِ يأكُلُ الأكْلةَ فيحمَدُهُ عليها، ويشرَبُ الشَّرْبةَ فيحمَدُهُ عليها "Sesungguhnya Allah benar-benar ridha kepada seorang hamba yang makan lalu dia memuji Allah atas nikmat makanan tersebut dan dia minum lalu memuji Allah atas nikmat minuman tersebut." HR. Muslim (2734)  Tidak ada dzikir khusus yang dibaca ketika makan sahur." (Fatawa Nur 'alad Darb, VII/284) ▪️ Beliau juga mengatakan,  وأما ما يفعله بعض العامة عند انتهائه من السحور، فيقول: اللهم إني نويت الصيام إلى الليل، فإن هذا من البدع، لأن التكلم بالنية في جميع العبادات بدعة؛ لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال، أو أنه كان يقول عند فعل العبادة: نويت أن أفعل كذا وكذا  "Yang dilakukan oleh sebagian orang awam ketika selesai dari makan sahur lalu membaca, 'Allahumma inni nawaytush shiyaam ilal lail' maka sesungguhnya ini termasuk bid'ah/amalan baru dalam agama. Karena melafazhkan niat dalam seluruh ibadah hukumnya bid'ah, tidak pernah Nabishallallahu alaihi wasallam mengucapkan ketika ingin melakukan ibadah, 'saya berniat untuk melakukan ibadah ini, ini..'." (Fatawa Nur 'alad Darb, VII/288)  Mengakhirkan waktu makan sahur Di samping makan sahur adalah sunnah, juga ada sunnah lain yang terkait makan sahur, yaitu makan sahur tidak terlalu jauh dengan waktu shalat subuh.  Sebagai gambaran, selesainya makan sahur Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam ialah sekitar 5 sampai 15 menit sebelum beliau mengerjakan shalat subuh.  ▫️ Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu,  أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ تَسَحَّرَا فَلَمَّا فَرَغَامِنْ سَحُورِهِمَا قَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَصَلَّى، قُلْنَا لِأَنَسٍ : كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلَاةِ ؟ قَالَ : قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً "Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur bersama. Setelah mereka selesai Nabishallallahu alaihi wasallam pun bangkit untuk shalat subuh dan beliau pun shalat." Kami bertanya kepada Anas, 'Berapa jarak waktu antara selesainya sahur beliau berdua dengan waktu masuk mengerjakan shalat?'  قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً "Seukuran orang membaca lima puluh ayat." HR. Al-Bukhari (576) Tidak disebutkan hitungan menitnya dikarenakan di masa itu belum dikenal satuan detik, menit, atau yang semisal.  ▪️ Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah menyebutkan bahwa 50 ayat berkisar antara 5 hingga 10 menit (Fatawa Nur 'alad Darb, XVI/41),  ▪️ Asy-Syaikh al-Utsaimin memperkirakan di kisaran 10 sampai 15 menit (Syarah Riyadhus Shalihin, V/285). BAGAIMANA GAMBARAN MENGAKHIRKAN MAKAN SAHUR YANG BENAR ▪️ Asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,  يؤخره ما لم يخش طلوع الفجر، فإن خشي طلوع الفجر فليبادر، فمثلاً إذا كان يكفيه ربع ساعة في السحور فيتسحر إذا بقي ربع ساعة، وإذا كان يكفيه خمس دقائق فيتسحر إذا بقي خمس دقائق "Ukuran mengakhirkan pelaksanaan makan sahur ialah seukuran dia tidak khawatir masuk waktu subuh. Apabila dikhawatirkan waktu subuh masuk maka hendaklah bersegera.  Seandainya 15 menit cukup untuk waktunya makan sahur maka hendaklah dia makan sahur ketika subuh tersisa 15 menit lagi.  Seandainya 5 menit sudah cukup untuk waktunya makan sahur maka hendaklah dia makan sahur ketika subuh tersisa 5 menit lagi." (Asy-Syarh al-Mumti', VI/434) Penting diingat bahwa 'sempat' yang disebutkan oleh beliau di atas ialah dengan ukuran dia bisa makan dan minum dengan tenang. Dan masing-masing orang berbeda-beda dalam hal ini. Jadi sunnah mengakhirkan makan sahur ialah dengan; - Memulai makan sahur seukuran sempat menyelesaikannya tanpa terburu-buru,  - dan jarak antara selesainya dia makan sahur dengan adzan subuh tidak lama, hanya hitungan menit.  Adapun mengakhirkan dengan melakukan makan sahur di waktu yang sangat mepet sekali dengan waktu subuh sehingga menyebabkan makannya juga terburu-buru ini bukan bentuk mengakhirkan yang benar.  ▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin mengingatkan,  وينبغي للمرء أن يكون مستعداً للإمساك قبل الفجر خلاف ما يفعله بعض الناس إذا قرب الفجر جدًّا قدم سحوره زاعماً أن هذا هو أمر الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بتأخير السحور، ولكن ليس هذا بصحيح، فإن تأخير السحور إنما ينبغي إلى وقت يتمكن الإنسان فيه من التسحر قبل طلوع الفجر "Hendaklah seseorang telah dalam keadaan siap untuk memulai puasanya sebelum masuk waktu subuh. Berbeda dengan yang dilakukan oleh sebagian orang yang jika waktu subuh sudah sangat dekat sekali barulah memulai makan sahur dan dia menyangka bahwa inilah yang diperintahkan oleh Rasulullahshallallahu alaihi wasallam untuk mengakhirkan makan sahur, akan tetapi yang seperti ini tidak benar, karena mengakhirkan makan sahur ialah di waktu yang dia masih memungkinkan untuk makan sahur sebelum masuk waktu subuh." (Majmu' Fatawa wa Rasa'il, XIX/295) JIKA WAKTU SUBUH TELAH MASUK SEDANGKAN MAKANAN MASIH DI MULUT ▪️ Imam Nawawi rahimahullah menerangkan,  أَنَّ مَنْ طَلَعَ الْفَجْرُ وَفِي فِيهِ طَعَامٌ فَلْيَلْفِظْهُ وَيُتِمَّ صَوْمُهُ فَإِنْ ابْتَلَعَهُ بَعْدَ عِلْمِهِ بِالْفَجْرِ بَطَلَ صَوْمُهُ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ  "Bagi orang yang ketika fajar telah terbit (masuk awal waktu shalat subuh) sedangkan di mulutnya masih terdapat makanan maka harus dia keluarkan lalu meneruskan puasanya. Jika dia menelannya dalam kondisi tahu bahwa waktu subuh benar telah masuk maka puasanya batal. Tidak ada perselisihan dalam hal ini." (Al-Majmu', VI/311) ▪️ Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan,  وَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى اِمْتِنَاع السُّحُور بِطُلُوعِ الْفَجْر وَهُوَ قَوْل الْأَئِمَّة الْأَرْبَعَة وَعَامَّة فقهاء الأمصار وروى معناه عن عمر وابن عَبَّاس "Mayoritas ulama berpendapat sudah tidak boleh lagi melakukan makan sahur pada saat waktu shalat subuh telah masuk. Ini adalah pendapat imam madzhab yang empat serta keumuman pakar fikih di berbagai negeri. Diriwayatkan semakna ini dari Umar dan Ibnu Abbas." (Tahdzib Sunan Abu Dawud, dicetak bersama Aun al-Ma'bud, VI/341) • Sedangkan hadits yang berbunyi,  إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan wadah makan masih di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga selesai menunaikan hajatnya.” HR. Abu Dawud (2350), Ahmad (10629) Maka; - Ulama berselisih, apakah hadits ini shahih atau tidak. Pakar hadits di masa terdahulu, Imam Abu Hatim ar-Razi ialah salah satu yang berpendapat bahwa riwayat ini lemah (Al-Ilal, I/123). Jika lemah maka sudah jelas isi kandungannya tidak bisa dijadikan landasan beramal.  - Jika hadits ini benar shahih, maka dalam bentuk penerapan kandungannya pun harus dipastikan seperti apa, ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda, bahkan sampai enam pendapat, (Mir'ah al-Mafatih, VI/468-470). Atas dasar ini, maka tentu langkah yang baik jika; - dia telah berhenti dari makan sahur sebelum masuk jadwal waktu subuh yang diedarkan untuk bulan Ramadhan,  - atau dia tutup segera makannya dengan minum ketika sudah masuk jadwal, di kondisi sedang kesiangan.  MENGGUNAKAN JADWAL YANG DIKELUARKAN OLEH DEPAG SETEMPAT IALAH BENTUK KEHATI-HATIAN YANG PADA TEMPATNYA  Ada penjelasan bagus dan lengkap dari Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah tentang masalah ini, inti pembahasan yang kita angkat berada di paragraf terakhir.  ▪️ Beliau mengatakan,  "Wajib atas seorang mukmin untuk mulai menahan dari pembatal puasa seperti makan, minum, dan yang lainnya ketika sudah jelas fajar telah terbit (masuk waktu subuh) jika puasa itu ialah puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar, atau kaffarah, berdasarkan firman Allah 'azza wa jalla,  وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ  "Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." QS. Al-Baqarah: 187 Apabila dia mendengar adzan dan telah tahu bahwa muadzin melakukan adzan tepat pada saat masuk waktu subuh maka dia wajib untuk memulai puasanya saat itu. Tapi jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum masuknya waktu subuh maka dia belum wajib untuk menahan dari pembatal puasa, dia masih boleh untuk makan dan minum sampai betul-betul jelas fajar telah terbit.  Jika dia tidak mengetahui kondisi muadzin apakah melakukan adzan sebelum masuknya subuh atau ketika sudah masuk subuh maka yang lebih utama dan lebih hati-hati ialah dia sudah menahan ketika adzan telah terdengar, tapi tidak masalah jika dia minum atau makan ketika sedang adzan tersebut karena dia belum mengetahui waktu subuh telah masuk. Dimaklumi bahwa orang-orang yang tinggal di kota yang telah ada pencahayaan listrik tidak mampu untuk melihat terbitnya fajar dengan mata kepalanya secara langsung tepat pada waktunya, akan tetapi hendaklah dia berhati-hati dengan bersandar pada adzan atau jadwal yang telah ada yang menetapkan waktu subuh dengan jam dan menitnya dalam rangka pengamalan  • sabda Nabi ﷺ,  دع ما يريبك إلى ما لا يريبك 'Tinggalkanlah yang membuatmu ragu kepada perkara yang tidak membuatmu ragu.' • Dan sabda beliau ﷺ,  من اتقى الشبهات فمد استبرأ لدينه وعرضه 'Barang siapa yang menjaga diri dari perkara yang samar maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya." Hanya kepada Allah kita memohon petunjuk." (Majmu' Fatawa wa Maqalat, XV/285-286) CATATAN: Batas akhir makan dan minum sebelum berpuasa ialah masuknya waktu shalat subuh. Bukan 10 atau sekian menit sebelum waktu subuh. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengingatkan tentang perkara ini,  ▪️ beliau berkata,  تَنْبِيهٌ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ مَا أُحْدِثَ فِي هَذَا الزَّمَانِ مِنْ إِيقَاعِ الْأَذَانِ الثَّانِي قَبْلَ الْفَجْرِ بِنَحْوِ ثُلُثِ سَاعَةٍ فِي رَمَضَانَ وَإِطْفَاءِ الْمَصَابِيحِ الَّتِي جُعِلَتْ عَلَامَةً لِتَحْرِيمِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ عَلَى مَنْ يُرِيدُ الصِّيَامَ “Peringatan: Termasuk hal baru yang mungkar adalah apa yang terjadi di zaman ini yaitu adanya pengumandangan adzan kedua sekitar ⅓ jam (± 20 menit) sebelum waktu subuh di bulan Ramadhan serta memadamkan lampu-lampu sebagai pertanda telah tiba waktu haram untuk makan dan minum bagi yang berpuasa." (Fathul Bari, IV/199) MAKAN SEBELUM TENGAH MALAM DENGAN MAKSUD MAKAN SAHUR ▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin menjelaskan,  أن أولئك القوم الذين يأكلون السحور في أول الليل ثم ينامون لم يمتثلوا هذا الحديث؛ لأن السحور هو ما أكل في السّحَر، وهؤلاء يتسحرون وينامون قبل نصف الليل، فنقول: هؤلاء لم يحصلوا على الأجر، ولكن حصلوا على ملء بطونهم "Orang-orang yang makan sahur di awal malam kemudian setelah itu mereka tidur ini tidak teranggap menjalankan hadits (perintah untuk makan sahur), karena makan sahur ialah makanan yang dimakan di waktu sebelum subuh, sedangkan mereka melakukan makan sahur kemudian tidur sebelum tengah malam, maka kami katakan, mereka yang melakukannya tidak mendapatkan pahala makan sahur, mereka hanya mengisi penuh perut mereka." (Fath Dzil Jalali wal Ikram, VII/124) ✍️ -- Jalur Masjid Agung @ Kota Raja -- Hari Ahadi [ Penggalan pembahasan Risalah Fushul fish Shiyam ] _________________ ▶️ Mari ikut berdakwah dengan turut serta membagikan artikel ini, asalkan ikhlas insyaallah dapat pahala. 📡 https://t.me/nasehatetam 🖥 www.nasehatetam.net
5 tahun yang lalu
baca 16 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum shalat id (idul fitri / idul adha) di rumah

TENTANG SHALAT ID (SHOLAT IEDUL FITRI/IEDUL ADHA) DI RUMAH Hukum Shalat Id (Idul Fitri / Idul Adha) di Rumah Sebelum masuk pada pembahasan ini, alangkah baiknya kita simak penjelasan ulama tentang hukum mengqadha salat Id bagi yang terluputkan. Diantara ulama ada yang berpendapat shalat Id tetap dikerjakan, sebagaimana sifatnya bagi yang tertinggal shalat bersama imam. Ini adalah pendapat al-Lajnah al-Da’imah. ومن فاتته صلاة العيد وأحب قضاءها استُحب له ذلك فيصليها على صفتها من دون خطبة بعدها “Barang siapa yang luput padanya shalat Id dan dia ingin mengqadanya, maka disunahkan baginya mengqadha. Hendaknya dia kerjakan sesuai dengan sifatnya tanpa khotbah setelahnya” (Fatawa al-Lajnah al-Da’imah, Jilid 8, hlm. 306). Diantara ulama ada yang berpendapat tidak disyariatkan qadha. Ini adalah pendapat al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, صلاة العيد شرعت على وجه الاجتماع فلا تقضى إذا فاتت كصلاة الجمعة لكن صلاة الجمعة وجب أن يصلي الإنسان بدلها صلاة الظهر لأنها فريضة الوقت أما صلاة العيد فليس لها بدل فإذا فاتت مع الإمام فإنه لا يشرع قضاءها وهذا هو اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وهو عندي أصوب من القول بالقضاء والله أعلم “Shalat Id disyariatkan dengan berkumpul dan tidak diqadha jika terluputkan, sebagaimana shalat Jumat. Akan tetapi, shalat Jumat jika terluputkan, wajib bagi seseorang untuk menggantinya dengan shalat Zuhur karena shalat itu adalah kewajiban pada waktunya. Adapun shalat Id tidak ada gantinya. Apabila seseorang terluput mengerjakannya bersama imam, maka tidak disyariatkan qadha. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan pendapat ini menurutku lebih benar daripada yang berpendapat qadha” (Majmu‘ Fatawa, Jilid 16, hlm. 255–256). Berdasarkan fatwa al-Lajnah al-Da’imah di atas, asy-Syaikh al-Mufti ‘Abdul‘aziz bin ‘Abdillah bin Muhammad Alu asy-Syaikh hafizhahullah berpendapat bahwa shalat Id disyariatkan untuk dikerjakan di rumah pada masa-masa wabah Covid-19 sekarang ini. Beliau hafizhahullah mengatakan, “Adapun shalat Id, apabila keadaan ini (wabah Covid-19) terus berlanjut sehingga tidak mungkin menegakkannya di tanah lapang dan di masjid yang menjadi tempat khusus terhadap pelaksanaannya, maka dikerjakan di rumah tanpa khotbah setelahnya. Telah terbit Fatwa dari al-Lajnah al-Da’imah, yaitu : "Barangsiapa yang luput padanya shalat Id dan dia ingin mengqadhanya, maka disunahkan baginya mengqadha. Hendaknya dia kerjakan sesuai dengan sifatnya tanpa khotbah setelahnya. Apabila qadha disunahkan bagi yang luput padanya shalat Id bersama imam dan kaum muslimin, tentu lebih pantas lagi dilakukan bagi yang tidak ditegakkan shalat Id di negara mereka. Yang demikian itu adalah menegakkan syiar agama sesuai dengan kemampuan” (http://www.spa.gov.sa/ 2075735). Diantara ulama kita pula ada yang berpendapat bahwa shalat Id tidak disyariatkan untuk dilakukan di rumah, sebagaimana pendapat al-‘Allamah ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah yang terekam (https://bit.ly/2KxqLtd). Demikian pula asy-Syaikh Fu’ad al-Zintani hafizhahullah yang condong dengan pendapat ini, yaitu shalat Id tidak disyariatkan dikerjakan di rumah (https://bit.ly/2zfpFzV. https://bit.ly/3b6sxwe). Dengan demikian, kesimpulan dari pendapat ini adalah jika dimudahkan untuk shalat Id di tanah lapang atau di masjid, maka itulah yang dilakukan. Jika tidak, karena kesulitan seperti masa-masa wabah seperti sekarang ini, maka tidak dikerjakan. Allah Subhanahu wa taala berfirman, لا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Al-Baqarah: 285). Pendapat kedua ini mengisyaratkan pada pendapat yang dipilih oleh Syaikul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah di atas, yaitu dengan landasan bahwa shalat Id itu dilakukan dengan bentuk perkumpulan. Apabila terluputkan, maka tidak ada gantinya seperti shalat Jum'at. Pendapat ini yang kami lebih cenderung padanya. Wal-‘ilmu ‘indallah. Ditulis Oleh: Abu Fudhail Abdurrahman bin Umar غفر الرحمن له @alfudhail https://bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF] www.alfawaaid.net PELAKSANAAN SHALAT ID APABILA WABAH COVID-19 MASIH BERLANJUT Kutipan Rangkaian Fatwa dari Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullah (Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi) Pertanyaan kedua: هل مشروعية صلاة العيد في البيوت؟ Apakah disyariatkan shalat id di rumah masing-masing? Jawaban: أما صلاة العيد إذا استمر الوضع القائم ولم تمكن إقامتها في المصليات والمساجد المخصصة لها فإنها تصلى في البيوت بدون خطبة بعدها Apabila keadaan saat ini berlanjut sehingga shalat id tidak mungkin dilakukan di lapangan-lapangan dan masjid-masjid yang khusus untuk melaksanakannya, shalat id hendaklah dilaksanakan di rumah masing-masing tanpa disertai khutbah setelahnya. وسبق صدور فتوى من اللجنة الدائمة للفتوى جاء فيها: (ومن فاتته صلاة العيد وأحب قضاءها استُحب له ذلك فيصليها على صفتها من دون خطبة بعدها Telah terbit fatwa dari Lembaga Tetap Urusan Fatwa yang di dalamnya menyebutkan, ‘Barang siapa yang tertinggal dari shalat id dan dia ingin mengqadhanya, disunnahkan baginya untuk melaksanakannya sesuai tata cara shalat id tanpa disertai khutbah setelahnya.’ فإذا كان القضاء مستحباً في حق من فاتته الصلاة مع الإمام الذي أدى صلاة العيد بالمسلمين ، فمن باب أولى أن تكون إقامتها مشروعة في حق من لم تُقم صلاة العيد في بلدهم لأن في ذلك إقامة لتلك الشعيرة حسب الاستطاعة Mengqadha shalat id bagi makmum yang tertinggal dari shalatnya imam, hukumnya sunnah. Maka dari itu, melaksanakan shalat id (di rumah) bagi orang-orang yang tidak ditegakkan shalat id di negerinya tentu lebih disyariatkan. Hal itu merupakan penegakan terhadap syiar Islam sesuai dengan kadar kemampuan. Allah subhanahu wa taala berfirman, فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ “Bertakwalah kalian kepada Allah (semaksimal mungkin) sesuai kesanggupan kalian.” Nabi shalallahu alaihi wasallam juga bersabda إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Apabila aku memerintahkan kalian untuk melaksanakan sesuatu, lakukanlah (semaksimal mungkin) sesuai kemampuan kalian.” Sumber || http://www.spa.gov.sa/2075735 Kunjungi || https://forumsalafy.net/pelaksanaan-shalat-id-apabila-wabah-covid-19-masih-berlanjut/ SHALAT IED BERJAMA'AH DI RUMAH KARENA UDZUR Dahulu Anas bin Malik radliyallahu 'anhu apabila beliau terluput (terlambat) shalat Ied bersama imam, beliau mengumpulkan keluarganya. Lalu beliau shalat bersama mereka seperti shalatnya imam dalam shalat Ied Shahih Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan ta'liq (mu'allaq) 2/23 Ibnu Abi Syaibah meriwayatkannya dengan maushul (bersambung sanadnya sampai rawi terakhir) 5853 Dan lafazh ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi 6307 Thuwailibul 'Ilmisy Syar'i (TwIS) https://telegram.me/salafysitubondo 🔎 Muraja'ah (korektor): al-Ustadz Kharisman hafizhahullah
5 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

niatkan 5 hal ini agar sahur lebih bermakna

🍽🌙AGAR SAHUR LEBIH BERMAKNA عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً Dari Anas bin Maalik Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Bersahurlah kalian karena dalam sahur ada keberkahan.” (Hadits riwayat Imam al-Bukhâri no. 1789 dan Imam Muslim no. 1835) 💎Al 'Allamah Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata, "Keberkahan pada makan sahur: #Pertama: Bahwasannya itu bentuk menjalankan perintah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. #Kedua: Bahwasannya itu bentuk meneladani Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. #Ketiga: Bahwasannya itu bentuk penyelisihian terhadap ahli kitab. #Keempat: Padanya mengandung perlakuan baik terhadap badan, karena seseorang jika melakukan sahur, itu artinya ia berlaku baik terhadap dirinya. #Kelima: Padanya mengandung bantuan untuk taat kepada Allah menjalankan puasa. Sedangkan apa saja yang dapat membantu di atas amal ketaatan, maka itu kebaikan dan keberkahan ✏️Oleh sebab itu, semestinya bagi seseorang saat hendak sahur, ia bisa merasakan semua hal ini yakni menjalankan perintah Rasul 'alaihish shalatu wassalam, membantunya di atas ketaatan kepada Allah, berlaku baik terhadap dirinya, dan menyelisihi ahli kitab. Maka, setiap kebaikan yang digambarkan, hendaknya dirasakan saat melakukan sahur. Ya. 🎧Kaset Syarh Shahih Muslim Kitabush Shaum Wal I'tikaf 🖥http://t.me/ukhwh 🇸🇦Teks Arab الشيخ محمد بن صالح العثيمين / صحيح مسلم حديث : ( ... عن أنس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم تسحروا فإن في السحور بركة ) الشيخ : البركة في السحور: أولاً : أنها امتثال لأمر النبي صلى الله عليه وسلم . ثانياً : أنها اقتداء به . ثالثاً : أنها مخالفة لأهل الكتاب . رابعاً : أن فيه إرفاق بالنفس فإن الإنسان إذا تسحر فإن ذلك من رفقه بنفسه . خامساً : أن فيه معونة على طاعة الله على الصيام، وما كان معين على الطاعات فهو خير وبركة . ولهذا ينبغي للإنسان إذا أراد ان يتسحر أن يستشعر هذا الأمر ، أي امتثال أمر الرسول عليه الصلاة والسلام وأنه يستعين به على طاعة الله ، ويرفق به في نفسه ، ويخالف أهل الكتاب فيه ، كل ما يتصور من الخير فليستشعر به عند تقديم السحور نعم .
5 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

silsilah fikih puasa lengkap

Silsilah Fikih Puasa Lengkap  .Bab 1: Pendahuluan Al-Imam as-Sa'di berkata, "Dalil diwajibkan ibadah puasa adalah firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian..." (Al-Baqarah: 183) Definisi Puasa Ulama menerangkan bahawa kata ash-shiyam (الصِّيَامُ) atau ash-shaum (الصَّومُ) secara makna bahasa merupakan mashdar dari kata shama (صَامَ) dan yashumu (يَصُوْمُ) yang bermakna al-imsak (اْلإمْسَاكُ), ertinya menahan. Jadi secara bahasa, puasa ertinya menahan. Definisi secara istilah syariat adalah, "Puasa adalah peribadatan kepada Allah dengan cara menahan diri dari makan, minum dan pembatal-pembatal puasa lainnya mulai terbit fajar hingga terbenam matahari." (Asy-Syarh al-Mumti' 6/310, karya Al-Imam Ibnu Utsaimin) Hukum & Kedudukan Puasa Ramadhan Dalam Islam Berpuasa Ramadhan hukumnya fardhu 'ain, artinya wajib bagi setiap hamba Allah yang memenuhi pensyaratan wajibnya puasa Ramadhan. Antara dalilnya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah: 183) "Islam didirikan di atas lima dasar; persaksian tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan solat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji, dan berpuasa Ramadhan." (Muttafaq 'alaih) Bab 2: Syarat-Syarat Wajibnya Berpuasa Ramadhan Al-Imam as-Sa'di berkata, "Berpuasa Ramadhan wajib atas setiap muslim, yang telah baligh, berakal dan mampu untuk berpuasa..." Syarat Ke-1: Muslim Syarat utama diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah berstatus muslim. Seorang yang kafir tidak diwajibkan berpuasa dan tidak sah melakukannya. "Tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima infak-infak mereka selain kerana mereka kafir kepada Allah dan RasulNya. Tidaklah mereka mengerjakan solat melainkan dalam keadaan malas dan tidak (pula) mereka menginfakkan (harta mereka) melainkan dengan rasa enggan." (At-Taubah: 54) Syarat Ke-2: Baligh Syarat kedua diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah berusia baligh. Tidak ada ketentuan pembebanan syariat terhadap anak kecil yang belum baligh. Dari Aisyah, Rasulullah bersabda, "Pena (pencatat amalan) diangkat dari tiga golongan; dari orang yang tidur hingga dia terbangun, dari anak kecil hingga dia dewasa (baligh), dari orang gila hingga dia berakal (sedar)." (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Majah, dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim & al-Albani) Usia baligh pada seseorang anak boleh diketahui dengan melihat salah satu dari tanda-tanda berikut: 1: Berusia genap lima belas tahun (menurut hitungan tahun Hijriah). 2: Tumbuh rambut di sekitar kemaluan (meskipun usianya belum genap lima belas tahun). 3: Keluar air mani kerana syahwat (meskipun usianya belum lima belas tahun), baik keluar kerana mimpi basah mahupun dalam keadaan terjaga. 4: Mengalami haidh (meskipun belum berusia lima belas tahun), dan tanda ini khusus pada anak perempuan. (Asy-Syarh al-Mumti' 6/333, al-Imam Ibnu Utsaimin) Syarat Ke-3: Berakal Syarat ketiga diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah berakal. Tidak ada ketentuan pembebanan syariat terhadap orang yang tidak berakal. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah di atas. Syarat Ke-4: Mampu Syarat keempat diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah memiliki kemampuan. Tidak ada ketentuan pembebanan syariat terhadap orang yang tidak mampu. "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya." (Al-Baqarah: 286) Al-Imam Ibnu Utsaimin menerangkan dalam kitab asy-Syarh al-Mumti' bahawa ketidakmampuan seseorang yang menjadi uzur baginya untuk tidak berpuasa, terbahagi menjadi dua jenis: 1: Jenis ketidakmampuan yang bersifat tidak tetap kerana sakit yang masih berkemungkinan sembuh. Jenis ini mendapat rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa selama uzur dan berkewajipan menggantinya dengan qadha puasa di luar Ramadhan. 2: Ketidakmampuan yang bersifat tetap kerana usia lanjut atau sakit yang tidak berkemungkinan sembuh. Jenis ini mendapat rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa dan berkewajipan menggantinya dengan membayar fidyah (memberi makan fakir miskin). Syarat Ke-5: Mukim Syarat kelima diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah bermukim (tinggal menetap). Ini adalah syarat tambahan atas empat syarat yang disebutkan al-Imam as-Sa'di. Seseorang yang melakukan safar di bulan Ramadhan mendapat rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa, tetapi wajib atasnya untuk menggantinya dengan melakukan qadha puasa di luar Ramadhan. Syarat Ke-6: Tidak Ada Penghalang Syarat keenam diwajibkannya berpuasa Ramadhan atas seseorang adalah terbebas dari haidh dan nifas yang menghalangi untuk berpuasa. Syarat ini juga merupakan syarat tambahan atas empat syarat yang disebutkan al-Imam as-Sa'di. Kedua-dua syarat tambahan ini disampaikan oleh al-Imam Ibnu Utsaimin dalam kitab asy-Syarh al-Mumti' (6/335 & 340). Bab 3: Ketentuan Memasuki Ramadhan Al-Imam as-Sa'di berkata, "(Berpuasa Ramadhan wajib dilaksanakan) dengan berdasarkan (pada salah satu dari dua hal); adanya ru'yah hilal Ramadhan (melihat tanda awal bulan Ramadhan) atau dengan penyempurnaan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Rasulullah telah bersabda "Berpuasalah kalian ketika melihat hilal Ramadhan dan berbukalah kalian (mengakhiri Ramadhan) ketika melihat hilal Syawal. Namun jika hilal tertutup (tidak jelas) atas kalian, tentukanlah untuknya." (Muttafaq 'alaih) Pada lafaz lain disebutkan, "Tentukanlah untuknya tiga puluh hari." Pada lafaz lain disebutkan, "Sempurnakanlah jumlah Sya'ban menjadi tiga puluh hari." (HR Bukhari) Pelaksanaan puasa Ramadhan boleh dengan dasar persaksian ru'yah hilal dari seorang yang 'adl, sedangkan untuk bulan-bulan lainnya tidak diterima persaksian ru'yah hilalnya selain dari dua orang yang 'adl." Ru'yah Hilal Ramadhan Yang dimaksud dengan hilal adalah rembulan di fasa awal yang menandai masuknya bulan Ramadhan atau bulan lainnya. Sebab utama kewajipan berpuasa Ramadhan adalah adanya ru'yah hilal Ramadhan. Dalilnya adalah hadits-hadits yang telah disampaikan al-Imam as-Sa'di. Penyempurnaan Sya'ban Tiga Puluh Hari Jika hilal tidak terlihat, bulan Sya'ban wajib disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Inilah sebab kedua yang menentukan kewajipan berpuasa Ramadhan. Bulan yang didasarkan perhitungan hilal tidak mungkin lebih dari 30 hari dan tidak mungkin kurang dari 29 hari. Dalilnya: "Sesungguhnya kita adalah umat yang tidak mengenal tulis menulis dan hitung menghitung. Satu bulan sejumlah ini dan sejumlah itu." Maksudnya terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. (Mutatafaq 'alaih) "...Berpuasalah kalian kerana terlihatnya hilal Ramadhan dan berbukalah (mengakhiri Ramadhan) kerana terlihatnya hilal Syawal. Jika hilal tertutup (tidak jelas) atas kalian, tentukanlah untuknya tiga puluh hari." (HR Muslim) Umat ini tidak bersandar pada ilmu hisab dalam hal perhitungan bulan. Jadi, jika hilal benar-benar tidak terlihat di petang hari setelah berakhirnya hari ke-29 Sya'ban, ditempuhlah penyempurnaan jumlah Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Berita Ru'yah Hilal Dari Orang Yang 'Adl Al-'Adl secara bahasa bermakna sesuatu yang lurus. Menurut istilah syariat, ertinya orang yang melaksanakan kewajipan-kewajipan, tidak melakukan dosa besar, dan tidak terus menerus mengerjakan dosa kecil. Dengan ungkapan lain, ia adalah orang yang selamat (bersih) dari berbagai sebab kefasikan. Jadi, orang yang 'adl adalah orang yang istiqamah agamanya dan tidak fasik. (Asy-Syarh al-Mumti' 6/323-325, al-Imam Ibnu Utsaimin) Penentuan mulainya puasa Ramadhan harus berdasarkan kepada persaksian ru'yah hilal dari seorang muslim yang 'adl dan kuat penglihatannya. Orang kafir tidak memiliki sifat ini, sehingga persaksiannya tidak diterima. Demikian pula, seorang muslim yang tidak memiliki sifat 'adl kerana dia fasik, persaksiannya tidak diterima. Al-Imam asy-Syafi'i dan al-Imam Ahmad serta jumhur (majoriti) ulama berpendapat cukup persaksian satu orang muslim yang 'adl untuk ru'yah hilal Ramadhan, sedangkan untuk ru'yah hilal bulan-bulan selain Ramadhan dipersyaratkan dua orang muslim yang 'adl. "Orang-orang berusaha melihat hilal. Aku (Ibnu Umar) kemudian memberitakan kepada Rasulullah bahawa aku melihatnya, lantas baginda menetapkan untuk berpuasa esoknya dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa." (HR Abu Dawud, dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Albani) "Rasulullah menetapkan perintah kepada kami agar kami beribadah berdasarkan hilal yang terlihat. Namun, jika kami tidak melihatnya dan terdapat dua saksi yang 'adl yang menyaksikan hilal, kami pun beribadah berdasarkan persaksian keduanya." (HR Abu Dawud dan ad-Daraquthni, dishahihkan oleh ad-Daraquthni dan al-Albani) Bab 4: Ketentuan Niat Berpuasa Al-Imam as-Sa'di berkata, "Wajib menetapkan niat di malam harinya (sebelum waktu subuh) untuk pelaksanaan puasa wajib. Adapun untuk puasa sunnah, diperbolehkan berniat di siang harinya." Niat Adalah Amalan Kalbu (Hati) Niat adalah amalan kalbu. Oleh kerana itu, yang benar tidak diperintahkan melafazkan niat dengan lisan pada ibadah apa pun. Ketahuilah, suatu perkara yang dianggap agama padahal tidak pernah diajarkan oleh Nabi, bererti ianya perkara baru dalam agama. Ketentuan Niat Puasa Wajib Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum tabyit an-niyyah (penetapan niat), di malam hari sebelum tiba waktu subuh untuk pelaksanaan puasa wajib. Namun yang tepat adalah seseorang yang akan berpuasa wajib haruslah menetapkan niat puasanya itu di malam hari (sebelum tiba waktu subuh). Penetapan niat di malam hari itu hukumnya wajib dan termasuk syarat sahnya pelaksanaan puasa wajib. Berdasarkan dalil berikut: Amalan-amalan itu hanyalah (dilakukan) dengan niat, dan setiap orang hanyalah mendapatkan ganjaran dari apa yang diniatkannya." (Muttafaq 'alaih) Barang siapa tidak membulatkan tekad untuk berpuasa sebelum tiba waktu fajar (Subuh), tidak sah puasanya." (HR Ahmad, Abu Dawud dan lainnya) Berbeda halnya tentang puasa sunnah. Ianya boleh diniatkan selepas waktu fajar, berdasarkan dalil ini: Dari Aisyah, "Suatu hari Nabi pernah masuk menemuiku pada suatu hari, lalu bertanya, 'Apakah kalian memiliki sesuatu (makanan)?' Kami menjawab, 'Tidak'. Baginda berkata, 'Jika begitu, sungguh sekarang aku berpuasa'." (HR Muslim) Niat Sekali Untuk Puasa Sebulan Ramadhan Ada perbezaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini: 1: Puasa yang dijalan berturut-turut seperti Ramadhan, satu kali niat untuk berpuasa sebulan Ramadhan cukup untuk mewakili seluruh pelaksanaan puasanya, tanpa perlu berniat setiap harinya. Akan tetapi, jika ia sempat memutus puasa di antara hari-hari Ramadhan kerana uzur atau safar, ketika hendak memulai berpuasa kembali ia harus memperbaharui niat untuk sisa hari-harinya hingga akhir Ramadhan. 2: Puasa Ramadhan diwajibkan memperbaharui niat puasa setiap hari. Alasannya, puasa di hari-hari Ramadhan adalah ibadah-ibadah yang berdiri sendiri dan tidak ada keterkaitan antara satu puasa dengan lainnya. Sebagai bukti, jika puasa di hari itu batal, hal itu tidak mempengaruhi keabsahan puasa di hari sebelumnya. Pendapat ini dianggap rajih (kuat) oleh al-Imam asy-Syaukani dan difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai al-Imam Ibnu Baz. Pendapat ini yang lebih berhati-hati dalam masalah ini. (Asy-Syarh al-Mumti', 6/369-370)  Bab 5: Ketentuan Puasa Bagi Orang Sakit & Musafir Al-Imam as-Sa'di berkata, "Orang sakit yang terkena mudharat kerana berpuasa dan musafir, keduanya memiliki pilihan untuk berbuka (tidak berpuasa) atau tetap berpuasa." Ketentuan Puasa Bagi Orang Sakit Dalil bolehnya orang sakit untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah firman Allah: "Maka dari itu, barang siapa di antara kalian sedang sakit atau dalam safar, (lalu ia berbuka) diwajibkan baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 184) Al-Imam as-Sa'di menyatakan kriteria sakit yang menjadi uzur untuk mendapat keringanan tidak berpuasa adalah apabila orang sakit tersebut akan mendapat mudharat jika berpuasa. Mudharat itu adalah sakitnya semakin parah atau memperlambat kesembuhannya. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad, al-Imam Malik, dan selaras dengan pendapat ulama ahli fikih di kalangan mazhab Syafi'i. Namun, Fatwa al-Lajnah ad-Da'imah (10/180) yang diketuai al-Imam Ibnu Baz, membolehkan berbuka apabila puasa itu berat bagi orang sakit itu, meskipun tidak menimbulkan mudharat terhadap keadaan sakitnya.  Al-Imam Ibnu Utsaimin merincikan pendapat beliau dalam asy-Syarh al-Mumti, 6/352-353. Ini merupakan pendapat yang terkuat dan terbaik dalam masalah ini: 1: Jika berpuasa itu memberi pengaruh kurang enak pada dirinya, tetapi tidak sampai memberatkannya. Pada keadaan ini, berbuka adalah sunnah baginya, sedangkan berpuasa dibolehkan baginya (tidak makruh). 2: Jika berpuasa terasa memberatkan dirinya, tetapi tidak sampai memberi mudharat. Pada keadaan ini, berbuka adalah sunnah baginya dan makruh untuk berpuasa. 3: Jika berpuasa memberi mudharat terhadapnya, seperti penderita sakit ginjal, sakit gula (diabetis) dan semacamnya. Pada keadaan ini, wajib atasnya untuk berbuka dan haram untuk berpuasa. Ketentuan Puasa Bagi Musafir Dalil bolehnya musafir untuk berbuka (tidak berpuasa) adalah firman Allah: "Maka dari itu, barang siapa di antara kalian sedang sakit atau dalam safar, (lalu ia berbuka) diwajibkan baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 184) "Sesungguhnya Allah telah meringankan dari seorang musafir setengah dari solatnya, serta meringankan pula kewajipan puasa dari seorang musafir, wanita menyusui dan wanita hamil." (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah. Dishahihkan al-Albani dan dihasankan al-Wadi'i) Para musafir memiliki beberapa keadaan yang masing-masingnya memiliki hukum tersendiri: 1: Berpuasa atau berbuka sama saja bagi musafir itu. Ada 3 pendapat dalam masalah ini: Pendapat pertama menyatakan bahawa yang afdhal baginya adalah berpuasa. Ini pendapat al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam Syafi'i. Ini dipilih oleh Ibnu Hajar dan al-Imam Ibnu Utsaimin. Dalilnya: "Kami pernah melakukan safar bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan dalam keadaan cuaca sangat panas, sehingga salah seorang di antara kami benar-benar meletakkan tangannya di atas kepalanya kerana cuaca yang sangat panas. Tidak seorang pun di antara kami berpuasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah." (Muttafaq 'alaih) Pendapat kedua menyatakan bahawa yang afdhal baginya adalah berbuka. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad dan Ishaq Rahawaih. Dan dipilih oleh al-Imam Ibnu Taimiyah, al-Imam Ibnu Baz dan al-Lajnah ad-Da'imah. Dalilnya: "Wahai Rasulullah, saya merasa diri saya memiliki kekuatan untuk berpuasa dalam safar. Apakah saya terkena dosa (kerana berpuasa)?" Rasulullah menjawab, "Berbuka adalah keringanan dari Allah. Maka dari itu, barang siapa mengambil keringanan itu, hal itu adalah baik, dan barang siapa memilih untuk tetap berpuasa, tidak ada dosa atasnya." (HR Muslim) Pendapat ketiga menyatakan bahawa yang lebih utama baginya adalah mana yang paling mudah baginya antara berpuasa atau berbuka ditinjau dari segi susah atau tidaknya untuk melakukan qadha. Jika lebih mudah untuk berpuasa dan susah untuk melakukan qadha, yang afdhal baginya adalah berpuasa. Jika melakukan qadha di luar Ramadhan lebih mudah baginya, yang utama adalah melakukan qadha. Ini adalah pendapat Mujahid, Umar Abdul Aziz, Qatadah. Ini dipilih oleh Ibnul Mundzir dan al-Imam al-Albani. Dalilnya: "Wahai Rasulullah, sungguh saya adalah seorang yang selalu berpuasa. Apakah saya boleh berpuasa ketika safar?" Rasulullah menjawab, "Silakan berpuasa jika engkau mahu, dan silakan berbuka jika engkau mahu." (HR Bukhari dan Muslim) 2: Berbuka lebih ringan bagi musafir. Al-Imam Ibnu Utsaimin menyatakan bahawa keadaan seperti safar, berbuka lebih utama bagi musafir. Melakukan hal yang memberatkan diri padahal terdapat keringanan dari Allah, menunjukkan adanya sikap berpaling dari keringanan yang Allah berikan. Dalilnya: "Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambil keringanan-keringananNya sebagaimana Allah tidak suka untuk dimaksiati." (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban pada kitab ash-Shahih dari keduanya) 3: Berpuasa sangat memberatkan musafir itu sehingga ia tidak mampu lagi untuk menanggungnya, atau bahkan memudharatkannya. Berpuasa dalam keadaan seperti ini haram dan wajib untuk berbuka. Ini adalah pendapat al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Imam al-Albani. Dalilnya: "Rasulullah pernah dalam safarnya melihat seseorang dikerumuni orang banyak dalam keadaan dinaungkan di bawah pohon (dari panas matahari). Lalu baginda bertanya, "Ada apa ini?" Mereka menjawab, "Orang ini berpuasa." Baginda bersabda, "Bukan merupakan kebaikkan berpuasa dalam safar"." (Muttafaq 'alaih) Bab 6: Ketentuan Puasa Bagi Wanita Dalam Keadaan-Keadaan Khusus Al-Imam as-Sa'di berkata, "Wanita haidh dan wanita nifas diharamkan berpuasa dan berkewajipan melakukan qadha puasa. Adapun wanita hamil dan wanita menyusui, jika keduanya mengkhawatirkan keadaan janin dan bayinya, diperbolehkan berbuka (tidak berpuasa) serta berkewajipan melakukan qadha puasa dan memberi makanan (fidyah) kepada seorang fakir miskin untuk setiap puasa (yang ditinggalkannya)." Ketentuan Puasa Bagi Wanita Haidh & Wanita Nifas Wanita yang sedang haidh atau nifas diharamkan berpuasa. Dalilnya: Aisyah berkata, "Kami pernah mengalami haidh di masa hidup Rasulullah, lalu kami kembali suci. Baginda memerintahkan kami untuk melakukan qadha puasa dan tidak memerintahkan kami untuk melakukan qadha solat." (Muttafaq 'alaih) Ketentuan Puasa Bagi Wanita Hamil & Menyusui Wanita hamil dan menyusui diperbolehkan berbuka, jika ia mengkhawatirkan keadaan dirinya, janin/bayinya, atau keduanya. Ada beberapa pendapat ulama dalam kaedah membayar semula hutang puasa bagi wanita hamil dan menyusui ini: 1: Diwajibkan melakukan qadha puasa dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat mazhab al-Imam Ahmad dan disebutkan oleh al-Imam as-Sa'di. Akan tetapi pendapat ini lemah, kerana tidak ada dalil yang mewajibkan pembayaran fidyah bersama kewajipan qadha puasa. 2: Diwajibkan hanya membayar fidyah. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, serta dipilih oleh al-Imam al-Albani.  Ibnu Abbas berkata, "Wanita hamil atau menyusui jika keduanya khawatir (akan dirinya, bayinya atau kedua-duanya), keduanya diperbolehkan berbuka dan (diwajibkan) memberi makan (fakir miskin)." (HR al-Baihaqi, al-Albani menyatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari & Muslim) Namun, pendapat ini terdapat kelemahan jika ditinjau dari segi makna. Sebab, secara makna pendapat ini telah menyamakan keadaan wanita hamil atau menyusui yang suatu ketika akan kembali sihat dan kuat untuk melakukan qadha puasa, dengan keadaan orang yang tidak mampu lagi berpuasa selamanya kerana lanjut usia sehingga berkewajipan menggantinya dengan pembayaran fidyah. Penyamaan ini tidak benar, kerana perbezaan antara kedua keadaan tersebut sangatlah jelas. 3: Diwajibkan hanya melakukan qadha puasa. Alasannya, wanita hamil dan menyusui keadaannya seperti orang sakit dan musafir yang terkadang merasa berat untuk berpuasa. Ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakha'i, al-Hassan al-Bashri, Atha' bin Abi Rabah dan al-Imam Abu Hanifah. Pendapat inilah dipilih oleh al-Imam Ibnu Baz bersama al-Lajnah ad-Da'imah, al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Imam Muqbil al-Wadi'i. Dan pendapat ini yang benar insyaAllah. Ianya bertepatan dengan hadits Nabi: "Sesungguhnya Allah telah meringankan dari seorang musafir setengah dari solatnya, serta meringankan pula kewajipan puasa dari seorang musafir, wanita menyusui dan wanita hamil." (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah. Dishahihkan al-Albani dan dihasankan al-Wadi'i) Bab 7: Ketentuan Bagi Orang Yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa Al-Imam as-Sa'di berkata, "Seorang yang tidak mampu lagi berpuasa kerana lanjut usia atau kerana penyakit yang tidak ada harapan sembuh, berkewajipan memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari puasa (yang ditinggalkannya)." Hukum Orang Yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa Orang yang tidak mampu lagi berpuasa ada dua golongan: 1: Orang tua lanjut usia yang tidak mampu sama sekali berpuasa, atau merasakan beban yang sangat berat ketika berpuasa. Lanjut usia yang dimaksud di sini adalah yang belum mengalami kepikunan (nyanyok). Adapun yang telah nyanyok, sudah bukan mukallaf lagi. 2: Penderita penyakit yang tidak ada harapan sembuh. Al-Imam Ibnu Utsaimin menerangkan bahawa hal ini berdasarkan diagnosis ahli medik yang terpercaya di bidangnya, atau berdasarkan keumuman yang terjadi bahawa penderita penyakit seperti itu biasanya tidak dapat sembuh. Ulama berbeza pandangan dalam menetapkan hukum bagi orang yang tidak mampu lagi berpuasa kerana lanjut usia atau kerana sakit yang tidak ada harapan sembuh: 1: Sebahagian ulama berpendapat bahawa orang tersebut tidak diwajibkan berpuasa, tetapi diwajibkan membayar fidyah, sebagai ganti setiap hari puasa yang ditinggalkan. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah: "Bagi orang-orang yang mampu menjalankan puasa (terdapat pilihan) untuk membayar fidyah berupa memberi makan seorang fakir miskin." (Al-Baqarah: 184) Ibnu Abbas berkata, "Ayat ini tidak dihapus (hukumnya). Yang dimaksud adalah lelaki dan wanita lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk berpuasa, hendaklah keduanya memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan." (HR Bukhari) Begitu juga hukumnya bagi orang sakit yang tidak ada harapan sembuh, kerana kesamaan makna yang ada pada keduanya. Hal ini telah difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai al-Imam Ibnu Baz. Juga fatwa al-Imam al-Albani, Ibnu Utsaimin dan al-Wadi'i. Ini pendapat yang benar. 2: Sebahagian lainnya berpendapat bahawa orang yang tidak mampu lagi berpuasa, tidak diwajibkan melakukan qadha puasa dan tidak diwajibkan pula membayar fidyah, kerana ayat tersebut telah mansukh (dihapus) secara mutlak. Ini adalah pendapat al-Imam Malik, Abu Tsaur dan Dawud azh-Zhahiri. Namun pendapat ini lemah. Ketentuan Fidyah Fidyah yang diberikan kepada fakir miskin (dari kalangan muslim) adalah setiap jenis makanan yang biasa diberikan seseorang kepada keluarganya di antara makanan-makanan ruji (pokok) negeri setempat, baik berupa gandum, burr, gandum sya'ir, beras, mahupun lainnya. Ulama berbeza pandangan dalam ukuran fidyah yang wajib diberikan: 1: Jumhur (majoriti) ulama berpendapat bahawa kadar fidyah adalah satu mudd dari jenis makanan ruji apa saja. 2: Sebahagian ulama lainnya berpendapat bahawa kadar fidyah adalah setengah sha' dari jenis makanan ruji apa saja, berdasarkan penyamaan hukum dengan fidyah al-Adza pada ibadah haji secara qiyas. Pendapat ini difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai al-Imam Ibnu Baz. Satu sha' senilai dengan empat mudd. Jadi fidyah dengan setengah sha' senilai dengan dua mudd. Menurut al-Lajnah Da'imah, satu sha' dalam ukuran timbang, kurang lebih 3kg. Manakala menurut al-Imam Ibnu Utsaimin kurang lebih 2.10kg beras atau 2.04kg gandum burr. Fidyah al-Adza adalah yang disebutkan dalam hadits Ka'ab bin Ujrah tatkala ia menunaikan haji dan terganggu oleh kutu di kepalanya. Rasulullah memerintahkan untuk mencukur rambut kepalanya dengan memberi tiga pilihan sebagai tebusannya. Di antaranya baginda mengatakan: "Atau engkau memberi makanan kepada enam orang fakir miskin, untuk setiap orang setengah sha'." (Muttafaq 'alaih) 3: Ada pula berpendapat tidak ada ketentuan kadar tertentu dalam pembayaran fidyah. Dengan dalil bahawa Allah memerintahkan pembayaran fidyah secara mutlak tanpa membatasinya dengan kadar tertentu. Maka dari itu, sah dibayarkan dengan kadar yang dianggap cukup dalam pemberian makanan menurut tuntutan kebiasaan masyarakat. Pendapat ini yang rajih (terkuat) sebagaimana dinyatakan al-Imam Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarh al-Mumti (6/349-350). Ini berdasarkan perbuatan sahabat, Anas bin Malik yang telah lanjut usia, beliau mengumpulkan tiga puluh orang fakir miskin dan memberi mereka roti dan lauknya. "Anas telah membahagikan makanan fidyah setelah ia lanjut usia dalam setahun atau dua tahun, kepada seorang fakir miskin untuk setiap harinya berupa roti dan daging. Ia pun berbuka (tidak mampu berpuasa)." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu'allaq dalam Kitab ash-Shahih dalam Kitab Tafsir Al-Qur'an, Bab Qauluhu Ta'ala: أَيَّامًامَّعْدُودَتٍ) Pembayaran fidyah dalam bentuk wang kepada fakir miskin tidak sah, kerana yang diwajibkan oleh Allah adalah al-Ith'am (pemberian makanan) dan Dia menamainya al-Ith'am. Maka dari itu, wajib menunaikannya sesuai dengan yang telah diwajibkan dan dinamakan oleh Nya. Hal ini ditegaskan oleh al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai Ibnu Baz. (Majmu' ar-Rasa'il 19/116-117 dan Fatawa al-Lajnah 10/163-164, 23/7) Bab 8: Pembatal-Pembatal Puasa Al-Imam as-Sa'di berkata, "Barangsiapa berbuka (batal puasa) dengan makan, minum, muntah secara sengaja, berbekam, atau mengeluarkan mani kerana memeluk isteri, kewajipannya hanyalah melakukan qadha puasa (tanpa kafarat). Akan tetapi orang yang berbuka dengan jima' wajib melakukan qadha puasa dan membebaskan budak (hamba) (sebagai kafarat). Jika tidak mendapatkan hamba, ia wajib (menebusnya) dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika ia tidak mampu, maka ia wajib (menebusnya) dengan memberi makan enam puluh orang fakir miskin. Nabi bersabda, "Barangsiapa lupa selagi ia berpuasa, lalu ia makan dan minum, hendaklah ia menyempurnakan (melanjutkan) puasanya, kerana sesungguhnya Allah semata-mata memberi makan dan minum kepadanya (tanpa membatalkan puasa)" (Muttafaq 'alaih)." Ketentuan Batalnya Puasa Bagi Pelaku Pembatal-Pembatal Puasa Puasa batal dengan salah satu dari pembatal-pembatal puasa dengan syarat-syarat berikut: 1: Melakukannya dengan sengaja. "Tidak ada dosa bagi kalian atas apa yang kalian tersalah padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disegaja oleh kalbu (hati) kalian..." (Al-Ahzab: 5) 2: Melakukannya dengan sedar (ingat atau tidak lupa). "Barangsiapa lupa (tidak sedar) selagi ia berpuasa, lalu ia makan atau minum, hendaklah menyempurnakan (melanjutkan) puasanya..." (Muttafaq 'alaih) 3: Melakukannya dengan mengetahui (mempunyai ilmu) hukum perkara itu sebagai pembatal puasa dan mengetahui keadaan. Asma' bintu Abi Bakr berkata, "Kami pernah berbuka pada masa hidup Nabi di hari yang mendung, kemudian matahari kembali muncul." (HR Bukhari) Tidak dinukilan bahawa Nabi menyatakan puasa mereka batal. Hal itu disebabkan ketidaktahuan mereka akan keadaan matahari yang belum terbenam kerana terhalang mendung. Jenis-Jenis Pembatal Puasa Ada beberapa jenis pembatal puasa, sebahagiannya disepakati dan sebahagiannya diperselisihkan. Pembatal-pembatal puasa yang disepakati oleh para ulama adalah makan, minum dan berhubungan suami isteri (jima'). "Maka dari itu, sekarang campurilah mereka (isteri-isteri kalian) dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, serta makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih (terangnya siang) dan benang hitam (gelapnya malam), iaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam." (Al-Baqarah: 187) Rincian Pembatal Puasa Dari Jenis Makan & Minum 1: Menelan sisa-sisa makanan di mulut ketika puasa.  Ibnu Mundzir mengatakan ijma' ulama bahawa sisa makanan di mulut yang kadarnya sedikit sehingga sulit untuk dikeluarkan dan sulit dihindari agar tidak tertelan, tidak membatalkan puasa jika tertelan. Jumhur ulama berpendapat bahawa sisa makanan di mulut yang kadarnya banyak dan masih dapat dihindari agar tidak tertelan dengan cara meludahkannya, wajib diludahkan. Jika sengaja menelannya, hal itu membatalkan puasa. (Al-Mughni 4/360) 2: Menelan rasa makanan yang tersisa di mulut ketika puasa. Al-Imam Ibnu Utsaimin menyatakan bahawa rasa makanan yang tersisa di mulut wajib diludahkan dan tidak boleh ditelan. (Asy-Syarh al-Mumti' 6/428) 3: Menelan rasa yang tersisa setelah bersiwak atau memberus gigi dengan ubat gigi ketika  puasa. Al-Imam Ibnu Utsaimin berpendapat ianya wajib diludahkan, dan boleh membatalkan puasa jika ditelan dengan sengaja. (Majmu' ar-Rasa'il 19/352-354) 4: Menelan darah (yang bersumber dari rongga mulut atau hidung) ketika puasa. Al-Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Utsaimin menegaskan supaya dikeluarkan dan tidak boleh menelannya. Jika dia menelannya, puasanya batal. (Al-Mughni 4/355 & Asy-Syarh al-Mumti' 6/429) 5: Menelan dahak (kahak) ketika puasa. Jika kahak turun ke kerongkongan tanpa melewati mulut dan tertelan, hal ini tidak membatalkan puasa meskipun terasa ketika tertelan, sebab kahak tersebut tidak sempat masuk ke rongga mulut. Jika kahak tersebut mengalir turun dan masuk ke rongga mulut orang yang berpuasa, pendapat yang benar adalah tidak boleh ditelan dan harus diludahkan, jika ditelan membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Asy-Syafi'i dan salah satu riwayat dari Ahmad. 6: Menelan sesuatu yang masuk melalui hidung. Menelan sesuatu yang masuk melalui hidung membatalkan puasa, kerana hidung merupakan salah satu saluran masuk ke kerongkongan menuju perut, yang dianggap memiliki kedudukan yang sama dengan mulut. "Dan bersungguh-sungguhlah (berlebihanlah) engkau dalam istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung ketika wudhu), kecuali engkau dalam keadaan berpuasa." (HR Ahmad, Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh al-Albani dan al-Wadi'i) Hadits ini menunjukkan perbuatan berlebihan dalam istinsyaq ketika puasa ditegaskan oleh Nabi kerana ianya boleh menyebabkan batalnya puasa. Ulama seperti al-Imam Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin berpendapat berlebihan dalam hal istinsyaq dan berkumur-kumur bagi yang berpuasa hukumnya makruh. (Majmu' al-Fatawa Ibni Baz 15/261, Asy Syarh al-Mumti' 6/379 dan 407) Menelan titisan as-Sa'uth yang masuk ke kerongkongan juga termasuk dalam hal ini. As-Sa'uth adalah ubat yang dititiskan melalui hidung (gurah). Barangsiapa melakukan gurah lalu merasakan titisan as-Sa'uth itu masuk ke kerongkongannya dan ia pun menelannya dengan sengaja, puasanya batal. Ini adalah fatwa mazhab al-Imam Malik dan juga al-Imam Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin. Menghirup asap wangi pedupaan (bakhour) termasuk dalam hal ini. Asap wangi pedupaan adalah sesuatu yang terlihat zatnya (berwujud). Oleh kerana itu, akan membatalkan puasa jika dihirup kerana sama dengan menelan suatu zat hingga masuk ke perut. Yang tidak dibenarkan adalah menghirupnya dengan sengaja. Ini difatwakan oleh al-Imam Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai Ibnu Baz. 7 Mendapatkan suntikan ketika puasa. Suntikan memasukkan suatu zat melalui jarum suntik ke otot atau urat. Hal ini terbahagi menjadi dua jenis: Ada yang bersifat sebagai sumber zat-zat makanan dan minuman bergizi serta penguat bagi tubuh, iaitu suntikan infus (cairan makanan). Suntikan ini membatalkan puasa kerana memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan makan dan minum. Ada pula yang bersifat suntikan biasa yang tidak bersifat sebagai nutrisi tubuh yang menguatkannya, iaitu suntikan ubat atau vitamin. Suntikan ini tidak membatalkan puasa. Inilah yang difatwakan oleh al-Imam al-Albani, Ibnu Baz, al-Lajnah ad-Da'imah dan Ibnu Utsaimin. Hal-hal yang tidak termasuk dalam kategori makan dan minum yang membatalkan puasa: 1: Menelan ludah dan air liur. Ludah dan air liur diproduksi di mulut sehingga menelannya tidak mungkin dihindari. Pendapat ini dipilih al-Imam Ibnu Utsaimin. 2: Menelan debu jalanan. Hal ini tidak mungkin dihindari. Lihat kitab al-Mughni 4/354. 3: Merasai makanan/minuman tanpa menelannya. Hal ini makruh hukumnya bagi yang tidak berkepentingan untuk melakukannya. Adapun yang berkepentingan, tidak mengapa melakukannya, seperti seorang yang sedang memasak atau yang hendak membeli satu jenis makanan/minuman. Ibnu Abbas berkata, "Tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk merasai madu, mentega dan semisalnya, lalu memuntahkannya." (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi. Al-Albani menghasankannya) 4: Menggunakan siwak. Al-Imam Ibnu Taimiyah berkata pada kitab Majmu' al-Fatawa, "Bersiwak (ketika berpuasa) diperbolehkan tanpa ada perbezaan pendapat. Akan tetapi mereka berbeza pendapat mengenai makruh atau tidaknya bersiwak setelah waktu zawal (bergesernya matahari ke ufuk barat). Ada dua pendapat yang masyhur, keduanya merupakan riwayat dari al-Imam Ahmad. Akan tetapi tidak ada dalil dalam syariat yang menunjukkan makruhnya bersiwak ketika puasa setelah waktu zawal..." Pendapat ini dipilih oleh al-Imam Ibnul Qoyyim, al-Albani dan Ibnu Utsaimin. 5: Menggunakan pasta (ubat) gigi. Al-Imam Ibnu Baz dalam Fatawa Muhimmah Tata'allaq bish-Shiyam berkata, "Membersihakan dengan sikat (berus) yang menggunakan pasta (ubat) gigi tidak membatalkan puasa, sebagaimana halnya menggunakan siwak..." 6: Mandi bagi orang yang berpuasa diperbolehkan dan tidak membatalkan puasa disertai kehati-hatian agar tidak menelan air mandi melalui mulut dan hidung. Ini adalah pendapat jumhur ulama yang dipilih oleh al-Imam Ibnu Taimiyah, asy-Syaukani, al-Lajnah ad-Da'imah dan Ibnu Utsaimin. "(Demi Allah), sungguh aku telah melihat Rasulullah di 'Arj menyiramkan air di atas kepalanya kerana kehausan atau tersengat panas matahari." (HR Malik dan Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani dalam Tahqiq al-Misykat) 7: Memakai celak mata yang rasanya sampai ke kerongkongan hingga tertelan. Hal ini tidak mengapa dan tidak membatalkan puasa. Sebab mata bukan organ yang dianggap sebagai saluran masuknya makanan dan minuman (mulut dan hidung). 8: Memakai titis mata dan titis telinga yang rasanya sampai ke kerongkongan hingga tertelan. Hal ini tidak mengapa dan tidak membatalkan puasa. Sebab mata dan telinga bukan organ yang dianggap sebagai saluran masuknya makanan dan minuman (mulut dan hidung). 9: Penggunaan minyak yang dioleskan di kulit atau rambut tidak mengapa dan tidak membatalkan puasa. Hal ini adalah sesuatu yang umum dilakukan oleh kaum muslimin di masa Rasulullah. Bau-bauan berupa wewangian dan selainnya yang hanya mengeluarkan bau, tidak mengeluarkan zat yang terlihat yang akan terhirup dan tertelan. Sifat seperti ini tidak membatalkan puasa. Ini difatwakan oleh al-Imam Ibnu Taimiyah, al-Lajnah ad-Da'imah dan Ibnu Utsaimin. Rincian Pembatal Puasa Dari Jenis Jima' Jima' adalah tindakan memasukkan hasyafah (kepala zakar) ke dalam qubul (kemaluan) wanita, baik berakhir dengan terjadinya ejakulasi (memancarkan air mani) mahupun tidak. Jima' di sini meliputi jima' yang halal dengan isteri atau budak (hamba) wanita yang dimiliki mahupun jima' yang haram dengan zina -wal 'iyadzu billah-. Para ulama juga menyatakan bahawa memasukkan hasyafah ke dubur termasuk dalam cakupan makna jima'. Ulama berbeza pandangan dalam hal kedudukan puasa bagi orang yang menyengaja untuk ejakulasi dengan cara onani, mencium, memeluk atau sejenisnya. 1: Pendapat empat imam mazhab yang disebutkan oleh penulis (as-Sa'di) bahawa hal itu haram dan membatalkan puasa. Pendapat ini dipilih al-Imam Ibnu Taimiyah, al-Lajnah ad-Da'imah yang diketuai Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin. Dalilnya adalah penyamaan dengan jima' secara qiyas berdasarkan hadits qudsi bahawa Allah telah menyatakan tentang orang yang berpuasa: "Ia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya kerana Aku." (Muttafaq 'alaih) 2: Pendapat al-Imam Ibnu Hazm bahawa hal itu tidak membatalkan puasa. Pendapat ini dipilih oleh al-Imam ash-Shan'ani dan al-Albani. Alasannya tidak ada dalil yang menunjukkan batalnya puasa dengan sebab itu. Adapun dalil qiyas yang disebutkan tidak boleh diterima kerana terdapat perbezaan antara keduanya. Perbezaannya adalah kerana jima' tanpa disertai ejakulasi tetap membatalkan puasa. Ertinya, illat (sebab) batalnya puasa adalah jima' itu sendiri, bukan ejakulasi. Tampaknya, pendapat pertama lebih kuat. Onani Definisi onani menurut para ulama adalah upaya mengeluarkan mani dengan cara apa pun (selain jima'), baik menggunakan tangan mahupun lainnya. Menurut pendapat yang rajih (terkuat), ejakulasi dengan onani sendiri membatalkan puasa, sebagaimana telah dibahaskan. Mencium isteri atau hamba wanita yang dimiliki, memeluk atau sejenisnya Perkara ini adalah sesuatu yang halal ketika seseorang tidak berpuasa. Adapun hukum melakukannya ketika berpuasa, terjadi perbezaan pendapat di antara ulama. Pendapat terkuat adalah yang mengatakan hal itu boleh sebagai rukhsah (keringanan) dari Allah bagi hamba-hambaNya. Hanya saja, disarankan agar tidak dilakukan oleh orang yang tidak mampu mengekang syahwatnya kerana dikhawatirkan terdorong melakukan jima'. Aisyah berkata, "Rasulullah pernah mencium (isterinya) dalam keadaan baginda sedang berpuasa dan memeluk (isterinya) dalam keadaan baginda sedang berpuasa. Akan tetapi, baginda adalah orang yang paling mampu menguasai syahwatnya di antara kalian." (Muttafaq 'alaih) Rincian Pembatal Puasa Yang Diperselisihkan 1: Muntah Dengan Sengaja.  Ulama berselisih dalam hal ini: Pendapat pertama, muntah dengan sengaja membatalkan puasa. Ini disebutkan oleh penulis (as-Sa'di), dan ini adalah pendapat jumhur ulama dan Ibnu Hazm. Pendapat ini dipilih Ibnu Taimiyah, ash-Shan'ani, asy-Syaukani, Ibnu Baz, dan al-Utsaimin. "Barangsiapa terpaksa muntah, ia tidak berkewajipan melakukan qadha puasa. Barangsiapa muntah dengan sengaja, hendaklah ia melakukan qadha puasa." (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainya. Hadits ini diperselisihkan oleh ulama tentang kesahihannya) Pendapat kedua, muntah dengan sengaja tidak membatalkan puasa selama tidak ada dari muntahan tersebut yang ditelan kembali secara sengaja. Adapun jika ada dari muntahan itu yang ditelan kembali secara sengaja, ini ertinya ia telah memakan sesuatu yang membatalkan puasa. Ini pendapat Ibnu Mas'ud, 'Ikrimah, Rabi'ah ar-Ra'yi dan ulama lainnya. Adapun muntah dengan tidak sengaja, tidak membatalkan puasa tanpa diragukan lagi. 2: Berbekam Terjadi perbezaan pendapat di kalangan ulama apakah berbekam membatalkan puasa atau tidak: Pendapat pertama, orang yang membekam dan yang dibekam keduanya batal puasanya. Berdasarkan dalil: "Orang yang membekam dan orang yang dibekam batal puasanya." (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Majah. Disahihkan oleh al-Albani dan al-Wadi'i) Yang menjadi illat (sebab) sehingga berbekam dianggap sebagai pembatal puasa diperselisihkan oleh ulama: Sebahagian berpendapat berbekam sebagai pembatal puasa adalah perkara ibadah mahdhah (ibadah murni), iaitu semata-mata merupakan ketentuan ibadah yang tidak diketahui illatnya (sebabnya). Jadi orang yang membekam pun tetap batal puasanya meskipun menggunakan alat khusus tanpa bantuan mulut dalam menyedut darah kotor dari tubuh pesakit. Ibnu Taimiyah dan Ibnu Utsaimin berpendapat ini bukan perkara ibadah mahdhah, melainkan perkara yang diketahui illatnya. Sebab batalnya puasa orang dibekam adalah kerana darahnya telah disedut yang mengakibat badannya lemah. Adapun illat batalnya puasa orang yang membekam adalah kerana biasanya ia menyedut darah bekam dengan mulutnya melalui tabung bekam sehingga darah itu boleh jadi tertelan tanpa disedari. Pendapat kedua, berbekam tidak membatalkan puasa. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti al-Imam Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi'i. Pendapat ini dipilih oleh asy-Syaukani dan al-Albani. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan lafaz: "Nabi pernah berbekam dalam keadaan berihram (ketika berhaji) dan baginda pernah berbekam dalam keadaan berpuasa."  Dan juga hadits Anas, ia berkata, "Awal mula diharamkannya berbekam bagi orang yang berpuasa adalah (peristiwa) Ja'far bin Abi Thalib berbekam dalam keadaan berpuasa, lalu Nabi melewatinya dan berkata, 'Puasa kedua orang ini telah batal.' Selanjutnya Nabi memberikan keringanan setelah itu untuk berbekam bagi orang yang berpuasa. Adalah Anas pernah berbekam dalam keadaan berpuasa." (HR ad-Daraquthni dan al-Baihaqi, ad-Daraquthni mengatakan "seluruh periwayatannya berderajat tsiqah (terpercaya) dan aku tidak mengetahui ada 'illah (cacat) pada hadits ini." Hal ini dipersetujui oleh al-Baihaqi dan al-Albani) Akan tetapi, ulama dengan pendapat ini, berbeza pandangan pula dalam penetapan hukumnya: ▫️Ada yang menyatakan bahawa berbekam hukumnya makruh, berdasarkan gabungan hadits-hadits yang ada. Ini adalah pendapat al-Imam Malik dan asy-Syafi'i. Ada pula yang menyatakan bahawa berbekam dibolehkan dan tidak makruh, kerana hadits tentang batalnya puasa orang yang membekam dan yang dibekam mansukh (telah dihapus hukumnya). Ini adalah pendapat al-Imam Abu Hanifah, Ibnu Hazm dan al-Albani. Al-Imam asy-Syaukani merinci masalah ini dengan berkata, "Hadits-hadits yang ada dipadukan maknanya bahawa berbekam hukumnya makruh bagi orang yang akan melemah kerananya, dan semakin bertambah makruh jika keadaan lemah akibat berbekam menjadi sebab batalnya puasa. Adapun bagi orang yang tidak menjadi lemah kerananya, hukumnya tidak makruh. Walaupun begitu, menghindari berbekam bagi orang yang berpuasa adalah lebih baik." Kesimpulannya, yang benar adalah pendapat yang menyatakan berbekam tidak membatalkan puasa, kerana hukumnya sebagai pembatal puasa telah mansukh (dihapus). Meskipun demikian, pendapat yang menyatakan makruh untuk berbekam bagi orang yang akan melemah kerananya, memiliki sisi pandangan yang benar. Terlebih lagi jika keadaan lemah akibat berbekam sampai pada tahap menjadi sebab batalnya puasa. Oleh itu, rincian dari al-Imam asy-Syaukani lebih memuaskan. Wallahu'alam. Ketentuan Qadha Bagi Orang Yang Batal Puasa Tanpa Uzur Seseorang tidak boleh membatalkan puasa tanpa uzur (alasan yang dibenarkan syariat). Barang siapa melakukannya ia tergolong pelaku dosa besar. Apakah orang yang batal puasa tanpa uzur wajib melakukan qadha puasa (mengganti puasanya di waktu lain) atau tidak? Dalam masalah ini terjadi perbezaan pendapat di kalangan ulama: 1: Ada yang berpendapat wajib melakukan qadha puasa. Dalilnya adalah penyamaan hukum dengan orang yang batal puasa kerana uzur secara qiyas. Ini yang disebutkan oleh penulis (as-Sa'di) yang merupakan pendapat jumhur ulama. Pendapat ini yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da'imah dan Ibnu Utsaimin. 2: Ada yang berpendapat bahawa orang yang batal puasa tanpa uzur tidak terkena kewajipan melakukan qadha puasa. Kewajipannya hanyalah bertaubat dan beristighfar (memohon ampun) kepada Allah, serta memperbanyak amal soleh. Sebab pada asalnya puasa Ramadhan tidak boleh dilaksanakan di luar Ramadhan, selain jika ada uzur. Ini adalah ibadah yang telah dibatasi waktu pelaksanaannya hanya di bulan Ramadhan, dan ibadah yang telah dibatasi waktu pelaksanaannya tidaklah sah dilakukan di luar waktunya tanpa uzur, seperti halnya solat yang tidak sah ditunaikan di luar waktunya. Ini adalah pendapat Ibnu Hazm, dan ia menukilkan pendapat ini dari al-Khulafa' ar-Rasyidun selain Utsman, serta dari Ibnu Mas'ud dan Abu Hurairah. Pendapat ini dipilih oleh al-Imam Ibnu Taimiyah, Muqbil al-Wadi'i dan al-Albani. Kami berpendapat bahawa masalah ini kebenaran ada pada pendapat kedua. Kesimpulannya, kewajipan melakukan qadha puasa hanyalah diwajibkan bagi orang yang batal puasa kerana memiliki uzur (alasan yang dibenarkan oleh syariat), seperti kerana haidh, nifas, sakit yang diharapkan sembuh, melakukan safar atau sejenisnya. Tidak Diperbolehkan Menunda Qadha Puasa Ramadhan Hingga Melewati Ramadhan Berikutnya Tanpa Uzur Al-Imam al-Utsaimin berkata, "Perkataan Aisyah, 'Kemudian aku tidak dapat mengqadhanya selain di bulan Sya'ban', menunjukkan bahawa qadha puasanya tidak boleh ditunda lagi (lebih dari bulan Sya'ban) hingga melewati Ramadhan berikutnya. Sebab Aisyah tidak boleh menundanya lagi hingga melewati Ramadhan berikutnya, sementara ketidakmampuan yang ia maksud di sini adalah ketidakmampuan kerana dibatasi syariat, ertinya 'Aku tidak boleh lagi menundanya (lebih dari Sya'ban) kerana dibatasi syariat'." Barangsiapa menunda qadha puasa hingga melewati Ramadhan berikutnya tanpa uzur, ia berdosa. Adapun mengenai beban tanggung jawabnya, terdapat perbezaan pendapat di kalangan ulama: 1: Pendapat pertama, ia tetap dituntut untuk menunaikan qadha puasanya dan tidak terkena tuntutan membayar kafarat (tebusan). Ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakha'i dan Abu Hanifah. Dirajihkan (dikuatkan) oleh asy-Syaukani dan al-Utsaimin. Berdasarkan makna ayat: "... Hendaklah ia berpuasa pada hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya itu." (Al-Baqarah: 184) 2: Pendapat kedua, ia tetap dituntut untuk menunaikan qadha puasanya dan terkena kewajipan membayar kafarat (tebusan) dengan memberi makan fakir miskin. Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad, asy-Syafi'i, Malik dan jumhur. Difatwakan juga oleh al-Lajnah ad-Da'imah. Namun, Ibnu Hajar berkata, "Tidak ada satu riwayat marfu' (berasal dari Rasulullah) tentang hal ini yang tsabit (benar). Yang ada hanyalah pendapat dari sekelompok sahabat, di antaranya adalah Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Umar. 🏼️Asy-Syaukani berkata, "Pendapat para sahabat ini bukan hujah (dalil). Demikian pula, mazhab jumhur ulama berpegang pada suatu pendapat tidaklah menunjukkan bahawa pendapat itu pasti benar. Menurut kaedah, berjalan di atas hukum asal yang ada menuntut bahawa tidak ada kewajipan untuk sibuk mengamalkan suatu hukum syariat sampai ada dalil yang menggesernya keluar dari hukum asal tersebut, sedangkan dalam masalah ini dalil itu tidak ada." 🏼️Al-Utsaimin berkata, "Adapun menjadikan pendapat para sahabat sebagai hujah adalah lemah, jika menyelisihi makna yang tampak dari ayat al-Qur'an. Dalam masalah ini, pendapat yang mewajibkan membayar kafarat adalah pendapat yang menyelisihi zahir al-Qur'an, kerana Allah tidak mewajibkan selain melakukan qadha sebanyak hari yang ditinggalkan itu dihari-hari yang lain. Allah tidak mewajibkan lebih dari itu." 3: Pendapat ketiga, ia terkena kewajipan membayar kafarat (tebusan) dan tidak dituntut menunaikan qadha puasa. Ini adalah pendapat yang jelas salahnya, kerana menyelesihi al-Qur'an dan mewajibkan sesuatu sebagai pengganti kewajipan qadha tanpa dalil. Wallahu'alam. Ketentuan Kafarat (Tebusan) Ada perbezaan pendapat di kalangan ulama apakah kafarat hanya wajib bagi orang yang batal puasa Ramadhan kerana jima', ataukah wajib bagi siapa saja yang membatalkan puasanya dengan pembatal puasa apa pun. 1: Pendapat pertama, yang terkena kewajipan kafarat adalah orang yang batal puasa Ramadhan kerana melakukan jima'. Adapun orang yang batal puasa Ramadhan kerana selain jima', ia tidak terkena kewajipan membayar kafarat. Inilah pendapat yang disebutkan oleh penulis (as-Sa'di), dan merupakan pendapat jumhur ulama. Pendapat ini dinyatakan rajih (kuat) oleh Syaikhul Islam, al-Albani, al-Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da'imah. "Seorang lelaki datang kepada Nabi lalu berkata, 'Binasalah aku wahai Rasulullah.' Nabi pun bertanya, 'Apa yang membinasakanmu?' Ia berkata, 'Aku telah menggauli isteriku di siang Ramadhan.' Baginda bertanya, 'Apakah engkau boleh mendapatkan sesuatu untuk memerdekakan (membebaskan) budak (hamba)?' Ia menjawab, 'Tidak.' Baginda bertanya, 'Apakah engkau boleh melakukan puasa selama dua bulan secara berturut-turut?' Ia menjawab, 'Tidak.' Baginda bertanya, 'Apakah engkau boleh mendapatkan sesuatu untuk memberi makan enam puluh orang fakir miskin?' Ia menjawab, 'Tidak...' ..." (HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah) 2: Pendapat kedua, kafarat dikenakan secara umum kepada orang yang batal puasa Ramadhan kerana faktor apa pun, baik kerana jima' mahupun selainnya. Ini adalah pendapat mazhab Maliki, dan pendapat ini yang dipilih oleh asy-Syaukani. Mereka berdalil dengan hadits di atas yang bersifat mutlak dan qiyas antara jima' dengan pembatal puasa lainnya. Kedua pendalilan ini lemah. Jadi, kewajipan kafarat hanya berlaku bagi orang yang batal puasa Ramadhan kerana melakukan jima'. Jenis-Jenis Kafarat Jenis-jenis kafarat yang telah disebutkan oleh al-Imam as-Sa’di seperti yang disebutkan sebagai berikut: 1. Memerdekakan (membebaskan) hamba (budak). Dipersyaratkan bahawa hamba yang dimerdekakan adalah hamba yang beriman, meskipun dia fasiq. Dengan demikian, pembebasan hamba kafir tidak sah dalam hal ini. “…Hendaklah ia membebaskan hamba mukmin (beriman)…” (An-Nisa’: 92) “Bebaskanlah hamba wanita ini kerana sesungguhnya ia wanita yang mukminah (beriman)!” (HR Muslim) 2. Berpuasa selama dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Jika terputus tanpa uzur maka urutan puasa kafarat yang sedang dikerjakan itu batal dan harus diulangi dengan puasa yang baru dari awal. Adapun jika terputus kerana ada uzur, tidak batal. Uzur-uzur tersebut adalah: ➡️Uzur secara fizikal, seperti uzur sakit mahupun safar tanpa ada maksud untuk beristirehat dari puasa. ➡️Uzur secara syariat, iaitu terhalang berpuasa kerana bertepatan dengan hari ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha, ataupun hari-hari tasyriq (11 – 13 Dzulhijjah) yang merupakan hari-hari yang diharamkan berpuasa. 3.: Memberi makanan kepada enam puluh orang fakir miskin. Jumlahnya harus enam puluh orang fakir miskin. Jika makanan dengan kadar yang mencukupi enam puluh orang fakir miskin dikumpulkan lalu dibagikan kepada satu orang fakir miskin saja atau kepada enam orang fakir miskin saja selama sepuluh hari, hal ini tidaklah sah. Dalam hal ini dipersyaratkan harus dibagikan kepada enam puluh orang fakir miskin, yang masing-masing mendapat satu bahagian makanan. “...Apakah engkau boleh mendapatkan sesuatu untuk memberi makan enam puluh orang fakir miskin?...” (HR Ahmad, al-Bukhari, Muslim) Namun, jika tidak diketemukan fakir miskin sejumlah itu, diperbolehkan memberikannya kepada sejumlah fakir miskin yang ada. Jika fakir miskin yang ditemukan hanya tiga puluh orang, diberikan kepada mereka dua kali per hari. Jika yang ditemukan hanya lima belas orang, diberikan kepada mereka empat kali per hari. Jika hanya satu orang, diberikan kepada mereka enam puluh kali per hari. Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini yang dipilih oleh Ibnu Qoyyim dan Ibnu Utsaimin. Tidak boleh memilih jenis pilihan kafarat berikutnya melainkan jika jenis sebelumnya tidak mampu ditunaikan. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Bab 9 : Ketentuan Berbuka Puasa & Sahur  Al-Imam as-Si’di berkata, “Rasulullah bersabda, “Kaum muslimin (yang berpuasa) akan senantiasa dalam kebaikkan selama mereka bersegera dalam berbuka puasa.” (Muttafaq ‘alaih). Baginda juga bersabda, “Hendaklah kalian makan sahur, kerana pada santapan sahur terdapat berkah.” (Muttafaq ‘alaih). Baginda bersabda pula, “Jika seseorang di antara kalian berbuka puasa, hendaknya ia berbuka dengan kurma kering. Jika ia tidak mendapati kurma kering, hendaknya ia berbuka dengan minum air, kerana air itu suci lagi menyucikan.” (Hadits riwayat lima imam)” Ketentuan Berbuka Puasa “Kaum muslimin (yang berpuasa) senantiasa dalam kebaikkan selama mereka bersegera dalam berbuka puasa.” (Muttafaq ‘alaih) 1.: Sunnah berbuka puasa ketika telah masuk waktu berbuka. “Jika malam hari telah datang dari arah sini (timur), dan siang hari telah pergi dari arah sini (barat), serta telah terbenam matahari, orang yang berpuasa pun berbuka.” (Muttafaq ‘alaih) 2.: Kaum muslimin yang berpuasa senantiasa dalam kebaikkan selama mereka bersegera dalam berbuka puasa (ketika tiba waktunya) Yang dimaksud dengan kebaikkan di sini adalah kebaikkan dalam hal agama, berupa mengikuti sunnah Nabi serta memperoleh kelapangan dan ketenangan hati. Perbuatan menunda berbuka puasa hingga munculnya bintang-bintang di langit sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sesat Syiah Rafidhah, bukanlah kebaikkan. Menunda berbuka puasa adalah kebiasaan kaum Yahudi dan Nasrani. “Agama ini senantiasa berjaya selama kaum muslimin bersegera dalam berbuka puasa, kerana kaum Yahudi dan Nasrani biasa menundanya.” (HR Abu Dawud) 3. Terlarangnya Puasa Wishal Puasa wishal adalah menyambung puasa dalam dua hari atau lebih tanpa berbuka. Nabi telah melarang untuk melakukan puasa wishal. Baginda pernah ditanya, “Sungguh engkau sendiri melakukan puasa wishal, wahai Rasulullah?” Baginda menjawab, “Keadaanku tidak seperti keadaan kalian, sesungguhnya aku diberi makan dan minum oleh Rabbku.” Makna hadits ini menurut yang dinyatakan oleh Ibnul Qoyyim dan al-Utsaimin, yang dimaksud makan dan minum yang diberikan Allah kepada NabiNya adalah kelapangan hati yang Allah berikan dalam kalbu baginda untuk senantiasa berzikir kepadaNya (mengingatNya) daripada mengingat perkara lain. Hal ini adalah kekhususan yang diberikan kepada Nabi, iaitu baginda terkadang melakukan puasa wishal. Adapun umatnya dilarang melakukannya. Akan tetapi terdapat izin dari Nabi untuk melakukan wishal hanya sampai waktu sahur. “Janganlah kalian melakukan puasa wishal. Maka dari itu, siapa pun di antara kalian jika ingin meneruskan puasanya (tidak berbuka), lakukanlah hingga waktu sahur.” (HR Bukhari) Ketentuan Sahur “Hendaklah kalian makan sahur, kerana pada santapan sahur terdapat berkah.” (Muttafaq ‘alaih) An-Nawawi berkata dalam kitab al-Majmu’, “Waktu sahur adalah rentang waktu antara pertengahan malam hingga terbitnya fajar (waktu Subuh).” Hukum Sahur Sahur yang diperintahkan oleh Rasulullah dalam hadits tersebut hukumnya sunnah (tidak wajib). Hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama. Ijma’ tersebut telah dinukilkan oleh Ibnul Mudzir, an-Nawawi dan Ibnu Qudamah. Berkah Sahur Antara berkah sahur yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dan al-Utsaimin: 1: Berkah terbesar yang akan diraih dengan melaksanakan sahur adalah mengikuti sunnah Nabi, baik sunnah qauliyyah (sunnah berupa ucapan Rasul) mahupun sunnah fi’liyyah (sunnah berupa perbuatan Rasul). Zaid bin Tsabit berkata, “Kami pernah melakukan sahur bersama Rasulullah, kemudian kami pergi menunaikan solat Subuh.” Aku (Anas) bertanya, “Berapa selang waktu antara keduanya (antara sahur dan solat Subuh)?” Zaid bin Tsabit menjawab, “Lama bacaan lima puluh ayat.” (Muttafaq ‘alaih) 2: Menyelesihi kebiasaan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). “Pembeza antara puasa kami (umat ini) dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR Muslim) Menguatkan orang yang berpuasa dalam beribadah. 4: Memberi tambahan semangat dalam melaksanakan ibadah. 5: Menjadi sebab untuk berzikir dan berdoa di waktu terkabulnya doa, kerana terjaga di waktu sahur. 6: Mendapatkan kesempatan untuk menyusulkan niat berpuasa esok harinya, iaitu bagi orang yang lupa berniat sebelum tidur. Sunnah Mengakhirkan Sahur Hingga Mendekati Waktu Terbit Fajar Pelaksanaan sahur disunnahkan diakhirkan hingga mendekati waktu terbit fajar (mendekati waktu subuh). Dalilnya adalah hadits Zaid bin Tsabit yang telah disebutkan di atas. Al-Imam al-Utsaimin berkata dalam Syarh Riyadh ash-Shalihin, “Bacaan lima puluh ayat berkisar sepuluh minit hingga seperempat jam (lima belas minit).” Al-Imam al-Utsaimin berkata pula dalam kitab Majmu’ ar-Rasa’il, “Semestinya seorang bersiap untuk menghentikan (menyelesaikan) makan sahurnya sebelum tiba waktu fajar. Berbeza dengan apa yang dilakukan oleh sebahagian orang yang jika waktu fajar telah dekat sekali barulah ia bergegas melakukan sahur. Ia menganggap bahawa itulah yang merupakan perintah Rasulullah untuk mengakhirkan sahur. Namun hal itu tidaklah benar. Sebab mengakhirkan sahur semestinya dilakukan pada waktu yang benar-benar memungkinkan seseorang untuk menyelesaikan makan sahurnya sebelum terbit fajar.” Batas Akhir Waktu Sahur Terdapat perbezaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini, namun yang benar adalah pendapat yang mengatakan batas akhir waktu pelaksanaan sahur adalah terbitnya fajar shadiq (fajar asli) yang merupakan tanda masuknya waktu solat Subuh. Ini merupakan pendapat jumhur ulama termasuk keempat-empat imam mazhab. Dalilnya: “… Dan makan minumlah kalian hingga tampak jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, iaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187) Bilal biasa mengumandangkan azan di malam hari (sebelum terbit fajar). Rasulullah berkata, ‘Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan, kerana ia tidak mengumandangkan azan sampai benar terbit fajar’.” (Muttafaq ‘alaih) Melanjutkan Sahur Sebatas Makanan Yang Ada Di Tangan Ketika Mendengar Azan Subuh Jika seseorang di antara kalian mendengar azan, sedangkan minuman masih ditangannya, janganlah ia meletakkan wadah itu hingga ia menunaikan keperluannya dari minuman itu.” (HR Ahmad dan Abu Dawud, disahihkan al-Albani dan al-Wadi’i) Al-Imam al-Utsaimin menukilkan pada Jalasat Ramadhaniyyah bahawa sebahagian ulama telah memberikan keringanan tersebut berdasarkan hadits ini. Namun, beliau sendiri berpendapat bahawa yang lebih hati-hati adalah menghentikan makan dan minum ketika itu, meskipun azan hanya berdasarkan dugaan kuat akan terbitnya fajar. Kami menyatakan bahawa selama hadits ini diperselisihkan kesahihannya, sikap yang lebih hati-hati adalah menghentikan makan dan minum saat itu. Adab-Adab Berbuka Puasa “Jika salah seorang di antara kalian berbuka puasa, hendaknya ia berbuka dengan kurma kering. Jika ia tidak mendapati kurma kering, hendaknya ia berbuka dengan minum air, kerana air itu suci lagi menyucikan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah. Al-Albani mendhaifkannya di dalam Irwa’ al-Ghalil, Dha’if at-Tirmidzi dan Dha’if Ibni Majah) Riwayat yang benar dari Rasulullah dalam masalah ini hanyalah amalan baginda, iaitu hadits Anas bin Malik: “Rasulullah biasa berbuka puasa dengan makan beberapa buah kurma segar sebelum menunaikan solat Maghrib. Jika tidak ada kurma segar, baginda berbuka dengan memakan beberapa buah kurma kering. Jika tidak ada kurma kering, baginda berbuka dengan meneguk beberapa teguk air.” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Baihaqi. Al-Baihaqi berkata hadits ini berderajat hasan gharib. Dan al-Albani serta al-Wadi’i berkata hadits ini hasan) Al-Albani berkata, “Kesimpulannya, riwayat yang benar dari Rasulullah dalam masalah ini hanyalah hadits Anas, yang berupa amalan baginda. Adapun hadits Anas dan hadits Salman bin ‘Amir yang berupa ucapan dan perintah baginda, menurut kami, kedua hadits itu tidak benar riwayatnya dari baginda. Wallahu’alam.” Bacaan-Bacaan Tertentu Ketika Hendak Berbuka Puasa ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ “Rasulullah jika telah berbuka puasa biasa mengucapkan, ‘Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala berpuasa, jika Allah menghendaki’.” (HR Abu Dawud, an-Nasa’i dan ad-Daraquthni. Dinyatakan hasan sanadnya oleh ad-Daraquthni, Ibnu Hajar dan al-Albani) اللَّھُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا, اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Jika telah berbuka puasa, Nabi biasa membaca, ‘Wahai Allah, keranaMu kami berpuasa dan dengan rezeki dariMu kami berbuka puasa. Wahai Allah, terimalah amal ini dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’.” (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, derajatnya dihukumi DHA’IF oleh al-Albani dalam al-Irwa’) Al-Imam Ibnu Utsaimin berkata dalam asy-Syarh al-Mumti, “Sanad-sanad hadits ini lemah, namun tidak mengapa dibaca (dengan keyakinan ianya bukanlah sunnah Nabi).” Disunnahkan Memberi Makanan & Minuman Kepada Orang Yang Berpuasa "Barang siapa memberi makan untuk berbuka puasa kepada orang yang berpuasa, ia mendapatkan pahala senilai dengan pahala orang yang berpuasa itu tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa itu.” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Disahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani)  Bab 10 : Hal-Hal Lain Yang Harus Ditinggalkan Ketika Berpuasa Al-Imam as-Si’di berkata, “Rasulullah bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan haram (dusta dan selainnya), serta tindakan dungu, Allah tidak menginginkan (menyukai) aktiviti orang itu meninggalkan makan dan minum.” (HR al-Bukhari)” Al-Imam al-Utsaimin menafsirkan maknanya adalah segala perkataan dan perbuatan haram yang meliputi berkata dusta, ghibah, menuduh, mencaci maki, dan lainnya. Dan perbuatan dungu, adalah seperti ash-Shakhab, iaitu berteriak-teriak kerana berselisih (bertengkar), mencaci maki, mencemuh, dan semisalnya. Hadits ini bermakna bahawa Allah sebenarnya tidak menginginkan (menyukai) orang yang berpuasa hanya semata-mata menahan diri dari makan, minum dan pembatal puasa lainnya. Bukan semata-mata ini yang diinginkan oleh Allah dari syariat puasa, melainkan agar orang yang berpuasa meninggalkan perkara-perkara haram. Inilah hikmah diwajibkannya puasa dalam syariat ini, sebagaimana firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183) “Puasa adalah perisai (pelindung). Maka dari itu, jika datang hari yang salah seorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia melakukan ar-rafats (berkata kotor dan keji) dan ash-shakhab (berteriak-teriak/bertengkar). Jika ada yang mencacinya atau memeranginya, hendaklah dia mengatakan, ‘Sungguh aku sedang berpuasa’.” (Muttafaq ‘alaih) “Boleh jadi, seorang yang berpuasa bahagian yang didapatkan dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga (tanpa pahala). Boleh jadi pula, seorang yang mendirikan solat malam bahagian yang didapatkannya dari solat malamnya hanya begadang (berjaga malam tidak tidur).” (HR Ahmad dan Ibnu Majah. Dinyatakan sahih oleh al-Albani dan dihasankan oleh al-Wadi’i)  Bab 11: Keutamaan Ibadah Di Bulan Ramadhan  Al-Imam as-Si’di berkata, “Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kerana iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Barangsiapa melakukan solat malam (solat tarawih) selama Ramadhan kerana iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Barangsiapa melakukan solat malam pada Lailatul Qadr (malam kemuliaan) kerana iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaih)” Hadits ini menunjukkan kelebihan beramal pada bulan Ramadhan seperti dengan berpuasa sebulan penuh, solat malam (tarawih) sebulan penuh atau solat malam pada malam Lailatul Qadr, kerana iman dan mengharapkan pahala, akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya. Dosa-dosa yang terhapus oleh amal-amal ibadah tersebut hanyalah dosa-dosa kecil. Pendapat inilah yang dianggap kuat oleh al-Utsaimin dan inilah pendapat yang benar, insyaAllah. Berdasarkan dalil: “Solat lima waktu, Jumaat hingga Jumaat berikutnya, dan Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya merupakan penghapus dosa-dosa yang ada di antara semua itu selama seseorang tetap meninggalkan dosa-dosa besar.” (HR Muslim) Hadits tersebut juga menyebutkan tentang malam Lailatul Qadr, kerana keagungan dan kemuliaan malam tersebut, iaitu lebih baik daripada seribu bulan dan juga malam yang diberkahi, sebagaimana firman Allah: “Lailatul Qadr itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Al-Qadr: 3) “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an itu pada suatu malam yang diberkahi.” (Ad-Dukhan: 3) Oleh kerana itu, disyariatkan menghidupkan malam tersebut dengan melakukan solat malam (tarawih) dan meninggalkan tidur. Ada pendapat mengatakan malam tersebut dinamakan Lailatul Qadr kerana saat itu para malaikat melakukan kembali penulisan takdir bagi segala kejadian setahun mendatang. Berdasarkan firman Allah: “Pada malam keberkahan itu dipisahkan segala urusan (iaitu takdir) yang penuh hikmah.” (Ad-Dukhan: 4) Dan juga disimpulkan bahawa permulaan Al-Qur’an diturunkan pada Lailatul Qadr yang terjadi di bulan Ramadhan. Berdasarkan firman Allah: “(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (Al-Baqarah: 185) “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatul Qadr (malam kemuliaan).” (Al-Qadr: 1) Waktu Terjadinya Lailatul Qadr Al-Hafiz Ibnu Hajar telah menukilkan adanya perbezaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini hingga lebih dari 40 pendapat. Yang terkuat ada dua pendapat ini: 1: Lailatul Qadr berpindah-pindah setiap tahunnya, iaitu di salah satu dari malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadhan. Terkadang terjadi di malam ganjil dan terkadang terjadi di malam yang genap. Akan tetapi, harapan terjadinya di malam-malam ganjil lebih besar daripada di malam-malam genap. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz dan al-Utsaimin. 2: Lailatul Qadr berpindah-pindah di setiap tahunnya di antara malam-malam ganjil saja pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar dan asy-Syaukani. “Rasulullah selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Baginda berkata, ‘Carilah oleh kalian Lailatul Qadr pada sepuluh hari terakhir Ramadhan’.” (Muttafaq ‘alaih) “Aku telah melihat malam tersebut (Lailatul Qadr), lalu aku dijadikan lupa terhadapnya. Maka dari itu, carilah oleh kalian malam tersebut pada sepuluh hari terakhir Ramadhan di setiap malam yang ganjil. Sungguh aku telah melihat diriku tengah bersujud di atas genangan air dan tanah liat.” Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Kami diguyur hujan pada malam ke-21. Masjid pun bocor persis di tempat solat Rasulullah. Lantas aku melihat kepada baginda yang telah selesai menegakkan solat Subuh dan wajahnya berlumuran tanah liat serta air.” (Muttafaq ‘alaih) Berdasarkan hal ini, barang siapa menghidupkan sepuluh malam terakhir Ramadhan seluruhnya dengan solat Tarawih kerana iman dan mengharapkan pahala, dipastikan ia akan mendapatkan Lailatul Qadr. Antara tanda-tanda terjadinya malam Lailatul Qadr adalah berdasarkan hadits berikut: Ubai bin Ka’ab pernah bersumpah bahawa hal itu (Lailatul Qadr) terjadi di malam ke-27. Ubai ditanya, “Berdasarkan apa engkau mengetahui hal itu?” Ubai menjawab, “Berdasarkan tanda yang telah diberitakan oleh Rasulullah kepada kami, bahawa matahari terbit ketika itu tanpa sinar yang menyilaukan.” (HR Muslim) “Lailatul Qadr adalah malam yang nyaman, tidak panas dan tidak dingin. Matahari terbit di pagi harinya dalam keadaan lemah sinarnya dan berwarna merah.” (HR Abu Dawud, ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah dan lainnya. Disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir) Bab 12 : Ibadah I’tikaf Al-Imam as-Si’di berkata, “Rasulullah senantiasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga baginda diwafatkan oleh Allah. Para isteri baginda pun melakukan i’tikaf sepeninggal baginda.” (Muttafaq ‘alaih)” Definisi & Hukum I’tikaf Definisi i’tikaf secara bahasa adalah al-Habs (menahan diri), al-Mukts (berdiam diri), dan al-Mulazamah (menetapi). Jadi, i’tikaf adalah menetapi sesuatu dan menahan diri padanya untuk kebaikkan atau untuk perkara dosa. Adapun definisi i’tikaf secara syariat, adalah seperti keterangan sebahagian ulama: ➡️Al-Imam an-Nawawi berkata, “I’tikaf adalah berdiam diri di masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan niat tertentu.” ➡️Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “I’tikaf adalah menetap di dalam masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu.” Hukum i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah sunnah (tidak wajib), kecuali bagi orang yang bernazar untuk melakukannya, hukumnya menjadi wajib. Pendapat yang masyhur bahawa i’tikaf disunnahkan pada setiap waktu dan lebih ditekankan di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Waktu Mula & Berakhirnya I’tikaf Di Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan Hadits menunjukkan bahawa Nabi memulai i’tikaf baginda sejak terbenam matahari di malam ke-21 Ramadhan. Sebab, sepuluh hari terakhir Ramadhan bermula dari terbenamnya matahari di malam ke-21 Ramadhan. “Rasulullah sering beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan. Baginda lalu beri’tikaf pada suatu tahun. Ketika tiba malam ke-21 yang merupakan malam yang di pagi harinya (hari ke-20) baginda keluar dari i’tikaf, baginda berkata ketika itu, ‘Barangsiapa beri’tikaf bersamaku, hendaklah ia beri’tikaf (kembali) pada sepuluh hari terakhir’.” (Muttafaq ‘alaih) Akan tetapi, telah datang riwayat dari Aisyah bahawa Rasulullah bersabda, “Jika Rasulullah ingin melakukan i’tikaf, baginda menunaikan solat fajar (Subuh) lalu masuk ke tempat i’tikafnya.” (Muttafaq ‘alaih) Dalam memahami hadits-hadits ini, ada perbezaan pendapat di kalangan ulama: 1.: Pendapat empat imam mazhab dan jumhur ulama yang menyatakan bahawa Rasulullah memulai i’tikaf di masjidnya ketika matahari terbenam di awal malam ke-21, kemudian baginda masuk ke dalam tenda (khemah) yang telah disiapkan untuk dirinya dan menyendiri di sana setelah solat Subuh. Pendapat ini dinyatakan kuat oleh al-Utsaimin. Dan pendapat ini yang benar, insyaAllah. 2: Pendapat al-Auza’i, al-Laits dan Sufyan ats-Tsauri yang mengambil zahir makna dari hadits Aisyah. Mereka mengatakan bahawa awal waktu dimulainya i’tikaf di masjid tempat i’tikaf adalah setelah solat Subuh. Pendapat ini dinyatakan kuat oleh ash-Shan’ani dan Ibnu Baz. Berdasarkan hadits Aisyah yang disebutkan al-Imam as-Si’di, menunjukkan i’tikaf Rasulullah berakhir ketika matahari terbenam di akhir Ramadhan. Berdasarkan hal ini, i’tikaf berakhir ketika matahari terbenam di malam ‘Id. Inilah pendapat yang benar, iaitu pendapat jumhur ulama dan Ibnu Hazm. Syarat-Syarat I’tikaf Antara syarat-syarat dalam i’tikaf adalah: 1: Islam. Tidak sah jika i’tikaf dilakukan oleh orang kafir. 2: Minimum telah berusia tamyiz (mampu memahami perkataan dan boleh menjawab pertanyaan), dan biasanya pada usia tujuh tahun. 3: Suci dari haidh dan nifas bagi kaum wanita. Jadi, i’tikaf sah dilakukan oleh wanita yang mengalami istihadhah (keluarnya darah di luar masa haidh dan nifas) jika ia menjaga darahnya tidak terjatuh di masjid. 4: Berniat i’tikaf. 5: Melaksanakannya di masjid. Menurut pendapat yang benar, i’tikaf sah dilakukan di setiap masjid. 6: I’tikaf sah dilakukan meskipun tidak disertai puasa, menurut pendapat yang benar. Ini adalah pendapar azh-Zhahiriyah, asy-Syafi’i, dan yang masyhur pada mazhab Ahmad, serta diriwayatkan dari sejumlah sahabat. Ini yang dipilih oleh asy-Syaukani, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah qadha i’tikaf yang dilakukan oleh Rasulullah pada sepuluh hari pertama di bulan Syawal, sedangkan awal Syawal adalah Hari Raya ‘Idul Fitri yang diharamkan berpuasa padanya. 7: Tidak melakukan jima’, berdasarkan firman Allah, “Janganlah kalian menggauli isteri-isteri itu selagi kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187) 8: Tidak melakukan hal-hal kontradik (bertentangan) dengan tujuan i’tikaf, seperti keluar untuk bersetubuh dengan isteri di rumah, keluar untuk menjalankan pekerjaannya, keluar untuk transaksi jual beli, melakukan pekerjaan (seperti upah menjahit) di tempat i’tikafnya, dan transaksi jual beli di tempat i’tikafnya, atau lainnya. 9: Tidak keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan yang tidak bersifat harus dilakukan. Adapun keluar untuk urusan yang bersifat harus dilakukan, hal itu boleh, baik urusan yang bersifat tabiat manusiawi, seperti buang hajat, makan dan minum, mahupun yang bersifat aturan syariat seperti wudhu, mandi janabah dan solat jumaat. “Sesungguhnya Nabi biasanya tidak masuk rumah kecuali untuk suatu hajat manusiawi jika sedang beri’tikaf.” (HR Muslim) Jika seseorang yang beri’tikaf mengeluarkan sebahagian anggota tubuhnya dari masjid, i’tikafnya tidak batal. Sebab ketika i’tikaf, Nabi pernah mengeluarkan kepalanya dari masjid dan kepalanya dibasuh oleh Aisyah dari luar, kerana Aisyah sedang haidh, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Sunnah-Sunnah I’tikaf Antara unnah-sunnah dalam i’tikaf adalah: 1: Hendaknya seseorang mengambil tempat khusus dengan membuat tenda (khemah) di dalam masjid, sebagaimana amalan Rasulullah dan isteri-isterinya. 2: Hendaknya seseorang menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah khusus, seperti solat sunnah mutlak di waktu-waktu yang tidak terlarang, membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa dan beristighfar. Khususnya i’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan, malam-malamnya dihidupkan dengan solat tarawih. 3: Hendaknya meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. Bukan bermakna tidak boleh berbicara atau tidak boleh dikunjungi keluarga atau teman. Namun yang ditekankan agar menghindar dari perkara yang tidak bermanfaat. (Faedah dari Kitab Manhajus Salikin wa Taudhih al-Fiqhi fid-Din -Kitab ash-Shiyam-, karya Al-Imam Abdurrahman as-Sa'di, disyarah al-Ustadz Muhammad as-Sarbini, diterbitkan Oase Media) WhatsApp طريق السلف  www.thoriqussalaf.com telegram: http://bit.ly/thoriqussalaf
5 tahun yang lalu
baca 56 menit