Darussalaf
Darussalaf oleh Administrator

hukum meninggalkan tiga kali shalat jumat saat wabah covid-19

5 tahun yang lalu
baca 11 menit
Hukum Meninggalkan Tiga Kali Shalat Jumat Saat Wabah Covid-19

Tuntunan Islam Menghadapi Wabah Virus Corona & Lainnya (Bagian 15)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Dalam permasalahan ini, mohon berkenan mengikuti pembahasan berikut ini dengan cermat. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pemahaman dan ilmu yang bermanfaat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Hendaklah orang-orang berhenti meninggalkan shalat Jumat atau Allah pasti akan menutup hati mereka, kemudian mereka benar-benar akan menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim no. 865 dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma dan Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Hadits di atas menunjukkan bahwa hukum shalat Jumat adalah fardu ain. Demikian pula hadits di atas merupakan peringatan keras bagi orang-orang yang meninggalkan shalat Jumat dan meremehkannya. Ancaman tersebut berlaku untuk orang yang meninggalkan shalat Jumat karena menggampangkan, bermalas-malasan, dan tidak memiliki uzur. (Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj 3/245 dan al-Bahr al-Muhith ats-Tsajjaj Fi Syarh Shahih al-Imam Muslim Ibn al-Hajjaj 17/253)

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah.

Dalam riwayat Imam Ahmad,

مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ طَبَعَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى قَلْبِهِ

“Barang siapa meninggalkan tiga shalat Jumat dalam keadaan menggampangkan dan tanpa ada uzur; Allah tabaraka wa ta’ala akan menutup hatinya.” (HR. Ahmad no. 15498 dari sahabat Abul Ja’d adh-Dhamri radhiyallahu anhu)

Dalam riwayat Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasa’i, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Barang siapa meninggalkan tiga shalat Jumat dalam keadaan menggampangkannya, Allah akan menutup hatinya.” (HR. Abu Dawud no. 1052 dan an-Nasa’i no. 1369 dari sahabat Abul Ja’d adh-Dhamri radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai hasan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 1052 dan Shahih an-Nasa’i no. 1368)

Dalam riwayat Imam at-Tirmidzi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Barang siapa meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali dalam keadaan menggampangkannya, Allah akan menutup hatinya.” (HR. at-Tirmidzi no. 500 dari sahabat Abul Ja’d adh-Dhamri radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai hasan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 500)

Dalam riwayat Imam Ibnu Majah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طُبِعَ عَلَى قَلْبِهِ

“Barang siapa meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali dalam keadaan menggampangkannya, hatinya akan ditutup. (HR. Ibnu Majah no. 1125 dari sahabat Abul Ja’d adh-Dhamri radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai hasan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no. 930)

Dalam riwayat Ibnu Majah yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Barang siapa meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali tanpa alasan darurat, Allah akan tutup hatinya.” (HR. Ibnu Majah no. 1126 dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai hasan sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no. 931)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Kalau kita cermati lafaz-lafaz hadits di atas, disebutkan dalam redaksi hadits:

  1. تَهَاوُنًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ

“… dalam keadaan menggampangkan dan tanpa ada uzur….”

  1. تَهَاوُنًا بِهَا

“… dalam keadaan menggampangkannya….”

  1. مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ

“… tanpa alasan darurat….”

Makna تَهَاوُنًا tahaawunan” bisa diartikan “karena menggampangkan” atau “dalam keadaan menggampangkan”.

Al-Hafiz al-Iraqi menjelaskan makna تَهَاوُنًاtahaawunan” adalah meninggalkannya karena malas dan dalam keadaan tanpa uzur.

(Lihat keseluruhan penjelasan pada Dzakhirah al-Uqba Syarh al-Mujtaba 16/72)

Setelah membawakan hadits riwayat Imam Muslim dan Imam Abu Dawud di atas (tentang ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat Jumat) dan hadits yang lain, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah menjelaskan,

“Setiap muslim wajib bersegera memenuhi seruan shalat Jumat dan shalat berjamaah. Janganlah dia tertinggal menunaikannya. Kapan saja dia tertinggal dari menunaikannya tanpa uzur syar’i, seperti sakit atau takut (akan tertimpa sesuatu mudarat); dia terancam dengan siksa neraka.” (Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syaikh Ibn Baz 10/252)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Jika kita sudah mencermati pemaparan di atas, kita akan memahami bahwa hadits-hadits yang berisi ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali, hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang meninggalkannya dalam keadaan menggampangkan, malas, tanpa uzur, atau tidak dalam keadaan darurat.

Adapun orang-orang yang memiliki uzur dalam keadaan:

  • hatinya penuh pengagungan terhadap syariat shalat Jumat,
  • seraya kalbunya bersedih karena sedang terhalang dari suatu ketaatan dan kewajiban yang selama ini biasa dan rutin dilakukan, dan
  • dia bertekad seandainya tidak ada uzur, dia akan melaksanakannya;

maka Allah akan tetap memberikan pahala. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala tetap mencatatnya sebagai suatu kebaikan yang sempurna.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika seorang hamba sakit atau safar, akan ditulis baginya (pahala amalan) yang biasa dia kerjakan sebagaimana ketika dia beramal sewaktu mukim (tidak safar) dan dalam keadaan sehat.” (HR. al-Bukhari no. 2996 dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu anhu)

إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ؟ قَالَ: وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ

“Sesungguhnya di kota Madinah ada sejumlah kaum, yang tidaklah kalian menempuh perjalanan dan tidaklah kalian menyeberangi lembah, kecuali mereka ikut serta bersama kalian dalam mendapatkan pahala.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, (bukankah) mereka (hanya) berdiam di Madinah?”

Beliau menjawab, “Mereka di Madinah (dan tidak ikut bersama kalian) karena mereka terhalangi oleh uzur.” (HR. al-Bukhari no. 4423 dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu)

Setelah membawakan dua hadits di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan,

“Apabila seorang hamba bertekad melakukan suatu amal kebaikan, tetapi kemudian dia tidak ditakdirkan untuk mewujudkannya (karena suatu uzur, -pent.), kesungguhan tekad dan niatnya akan dicatat sebagai suatu kebaikan yang sempurna baginya.” (Bahjah Qulub al-Abrar wa Qurrah ‘Uyun al-Akhyar fi Syarh Jawami’ al-Akhbar hlm. 9)

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Dalam menjalankan ibadah, kita tidak boleh mengedepankan perasaan dan logika di atas dalil. Justru yang wajib bagi setiap muslim adalah mendasari seluruh peribadahannya dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan as-Sunnah (hadits-hadits Nabi yang sahih) dengan pemahaman para sahabat radhiyallahu anhum.

Adapun hukum meninggalkan shalat Jumat dan shalat fardhu berjamaah di masjid disebabkan adanya wabah penyakit—terkhusus COVID-19—, Hai`ah Kibar al-Ulama` (Komite Ulama Senior) Kerajaan Arab Saudi telah berfatwa bahwa hal tersebut merupakan uzur yang diperbolehkan dalam syariat.

Hai`ah Kibar al-‘Ulama` (Komite Ulama Senior) Kerajaan Arab Saudi menerbitkan keputusannya Nomor 247, tanggal 22/07/1441 H sebagai berikut.

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ؛

Hai`ah Kibar al-‘Ulama` (Komite Ulama Senior) Kerajaan Arab Saudi dalam Rapat Luar Biasa Ke-25 yang digelar di Riyadh pada Selasa 22/7/1441 H telah mengkaji permasalahan wabah corona, penyebarannya yang cepat, dan jumlah kematian yang banyak.

Demikian pula Hai`ah Kibar al-‘Ulama` (Komite Ulama Senior) Kerajaan Arab Saudi telah mengkaji berbagai laporan-laporan rekam medis terkait pandemi ini, disertai penjelasan Menteri Kesehatan yang turut hadir dalam rapat ini. Laporan-laporan medis menunjukkan bahaya penularannya yang sangat cepat pada manusia sehingga mengancam jiwa mereka.

Menteri Kesehatan juga menerangkan bahwa apabila tidak ada tindakan pencegahan yang komprehensif tanpa pengecualian, tingkat bahayanya akan berlipat-lipat. Beliau juga menerangkan bahwa berkumpulnya manusia (kerumunan) adalah sebab utama penularan.

Hai`ah Kibar al-‘Ulama` (Komite Ulama Senior) Kerajaan Arab Saudi telah memaparkan dalil-dalil syariat yang menunjukkan kewajiban menjaga jiwa manusia. Di antaranya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ

“Dan janganlah kalian menjerumuskan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (al-Baqarah: 195)

وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمًا

“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” (an-Nisa’: 29)

Dua ayat ini menunjukkan kewajiban menjauhkan diri dari sebab-sebab yang bisa mengantarkan pada kematian.

Hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam juga menunjukkan kewajiban untuk melakukan tindakan pencegahan pada saat tersebar wabah penyakit. Di antaranya seperti sabda beliau shallallahu alaihi wasallam,

لَا يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Janganlah pemilik unta yang sakit menggabungkan untanya bercampur dengan unta yang sehat.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

“Larilah engkau dari penderita penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa.” (HR. al-Bukhari)

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

“Jika kalian mendengar wabah penyakit tha’un di suatu daerah, janganlah kalian masuk ke dalam daerah tersebut. Demikian pula apabila wabah penyakit tha’un menimpa suatu daerah dalam keadaan kalian di dalamnya, janganlah kalian keluar darinya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Sungguh, kaidah-kaidah syariat yang mulia telah menetapkan bahwa,

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَا

“Tidak boleh berbuat sesuatu yang menimbulkan mudarat dan tidak boleh memudaratkan.”

Kemudian, di antara kaidah-kaidah yang termasuk cabang dari kaidah di atas adalah,

أَنَّ الضَّرَرَ يُدْفَعُ قَدْرَ الْإِمْكَانِ

Sesuatu yang bermudarat, dicegah semaksimal mungkin.”

Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperbolehkan secara syar’i untuk menonaktifkan pelaksanaan shalat Jumat dan shalat berjamaah lima waktu di masjid-masjid dan mencukupkan dengan dikumandangkannya azan. Namun, dikecualikan dari kondisi di atas, dua masjid yang mulia, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Pintu-pintu masjid ditutup untuk sementara waktu dan syiar azan tetap dikumandangkan di masjid-masjid tersebut, seraya diucapkan dalam azan,

صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ

“Shalatlah di rumah-rumah kalian.”

(Hal ini) berdasarkan hadits Ibnu Abbas bahwa beliau mengatakan yang demikian kepada muazinnya. Beliau menyandarkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Adapun shalat Jumat diganti dengan shalat Zuhur empat rakaat di rumah-rumah.

Di antara karunia Allah subhanahu wa ta’ala bahwa seseorang yang terhalang oleh uzur sehingga tidak bisa menghadiri shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid, maka pahalanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallahu alaihi wa sallam,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيماً صَحِيحًا

Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan yang dia lakukan ketika dia mukim dan ketika sehat. (HR. al-Bukhari)

Demikian, Hai`ah Kibar al-‘Ulama` (Komite Ulama Senior) Kerajaan Arab Saudi mewasiatkan kepada semua pihak supaya senantiasa mematuhi dengan maksimal segala arahan yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang berupa langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit ini. Demikian pula untuk saling tolong-menolong dengan mereka.

Hal ini sebagai bentuk pengamalan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ

Tolong-menolonglah kalian di atas kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)

Mematuhi secara maksimal langkah-langkah yang ditempuh (oleh lembaga yang berwenang) merupakan amalan tolong-menolong di atas kebajikan dan ketakwaan. Demikian pula, hal itu termasuk upaya menempuh sebab yang diperintahkan oleh syariat kepada kita untuk menjalankannya, setelah bertawakkal kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Kami juga mewasiatkan kepada semua pihak supaya senantiasa bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, bersungguh-sungguh berdoa, dan memperbanyak istigfar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَيَٰقَوۡمِ ٱسۡتَغۡفِرُواْ رَبَّكُمۡ ثُمَّ تُوبُوٓاْ إِلَيۡهِ يُرۡسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيۡكُم مِّدۡرَارًا وَيَزِدۡكُمۡ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمۡ

Dan (Hud berkata), Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb kalian lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat terhadap kalian, dan Dia akan menambahkan kekuatan di atas kekuatan kalian.” (Hud: 52)

“Kekuatan” yang dimaksud dalam ayat ini mencakup keluasan rezeki, tersebarnya keamanan, dan kesehatan secara umum.

Kami memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar mengangkat wabah ini dari hamba-hamba-Nya. Kami juga memohon kepada Allah agar membalas dengan segala kebaikan kepada Pelayan Dua Tanah Suci (Raja Salman bin Abdul Aziz) dan putra mahkotanya yang tepercaya (Pangeran Muhammad bin Salman), serta pemerintah kami yang terbimbing; atas perjuangan yang mereka curahkan dan langkah-langkah yang menghasilkan—dengan keutamaan Allah—terhambatnya efek (negatif) dari wabah penyakit yang telah melanda seluruh dunia ini.

Kami juga memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar senantiasa menjaga kita semua dengan perlindungan-Nya.

فَٱللَّهُ خَيۡرٌ حَٰفِظٗاۖ وَهُوَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ

“Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yusuf: 64)

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ

Sumber: Akun resmi ar-Ri`asah al-‘Ammah Lil Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta` (Direktorat Jenderal Bidang Penelitian Ilmiah dan Fatwa)

Hal ini juga selaras dengan kebijakan Pemerintah Indonesia, seperti:

  1. Keterangan Pers Bapak Presiden di Istana Bogor, 15 Maret 2020 pukul 14.00 WIB.
  2. Imbauan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, 20 Maret 2020.
  3. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 14 Tahun 2020 tentang “Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19”
  4. Keputusan-keputusan yang sudah ditetapkan oleh pihak yang berwenang di setiap daerah.

Apakah Tetap Mandi Jumat?

Apakah seorang yang memiliki uzur tidak hadir shalat Jumat sehingga dia menunaikan shalat Zuhur di rumah, tetap wajib mandi Jumat?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

“Adapun para wanita, mereka tidak disunnahkan untuk mandi Jumat. Demikian pula (bagi laki-laki) yang tidak menghadiri shalat Jumat karena memiliki uzur, maka tidak disunnahkan baginya untuk mandi Jumat.” (asy-Syarh al-Mumti’ ‘Ala Zad al-Mustaqni’ 5/71)

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala segera mengangkat wabah penyakit ini sehingga kaum muslimin bisa kembali menunaikan shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid.

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Ismail Arif

Sumber : https://asysyariah.com/hukum-meninggalkan-tiga-kali-shalat-jumat-saat-wabah-covid-19/