Tanya Jawab

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum shalat id (idul fitri / idul adha) di rumah

TENTANG SHALAT ID (SHOLAT IEDUL FITRI/IEDUL ADHA) DI RUMAH Hukum Shalat Id (Idul Fitri / Idul Adha) di Rumah Sebelum masuk pada pembahasan ini, alangkah baiknya kita simak penjelasan ulama tentang hukum mengqadha salat Id bagi yang terluputkan. Diantara ulama ada yang berpendapat shalat Id tetap dikerjakan, sebagaimana sifatnya bagi yang tertinggal shalat bersama imam. Ini adalah pendapat al-Lajnah al-Da’imah. ومن فاتته صلاة العيد وأحب قضاءها استُحب له ذلك فيصليها على صفتها من دون خطبة بعدها “Barang siapa yang luput padanya shalat Id dan dia ingin mengqadanya, maka disunahkan baginya mengqadha. Hendaknya dia kerjakan sesuai dengan sifatnya tanpa khotbah setelahnya” (Fatawa al-Lajnah al-Da’imah, Jilid 8, hlm. 306). Diantara ulama ada yang berpendapat tidak disyariatkan qadha. Ini adalah pendapat al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, صلاة العيد شرعت على وجه الاجتماع فلا تقضى إذا فاتت كصلاة الجمعة لكن صلاة الجمعة وجب أن يصلي الإنسان بدلها صلاة الظهر لأنها فريضة الوقت أما صلاة العيد فليس لها بدل فإذا فاتت مع الإمام فإنه لا يشرع قضاءها وهذا هو اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وهو عندي أصوب من القول بالقضاء والله أعلم “Shalat Id disyariatkan dengan berkumpul dan tidak diqadha jika terluputkan, sebagaimana shalat Jumat. Akan tetapi, shalat Jumat jika terluputkan, wajib bagi seseorang untuk menggantinya dengan shalat Zuhur karena shalat itu adalah kewajiban pada waktunya. Adapun shalat Id tidak ada gantinya. Apabila seseorang terluput mengerjakannya bersama imam, maka tidak disyariatkan qadha. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan pendapat ini menurutku lebih benar daripada yang berpendapat qadha” (Majmu‘ Fatawa, Jilid 16, hlm. 255–256). Berdasarkan fatwa al-Lajnah al-Da’imah di atas, asy-Syaikh al-Mufti ‘Abdul‘aziz bin ‘Abdillah bin Muhammad Alu asy-Syaikh hafizhahullah berpendapat bahwa shalat Id disyariatkan untuk dikerjakan di rumah pada masa-masa wabah Covid-19 sekarang ini. Beliau hafizhahullah mengatakan, “Adapun shalat Id, apabila keadaan ini (wabah Covid-19) terus berlanjut sehingga tidak mungkin menegakkannya di tanah lapang dan di masjid yang menjadi tempat khusus terhadap pelaksanaannya, maka dikerjakan di rumah tanpa khotbah setelahnya. Telah terbit Fatwa dari al-Lajnah al-Da’imah, yaitu : "Barangsiapa yang luput padanya shalat Id dan dia ingin mengqadhanya, maka disunahkan baginya mengqadha. Hendaknya dia kerjakan sesuai dengan sifatnya tanpa khotbah setelahnya. Apabila qadha disunahkan bagi yang luput padanya shalat Id bersama imam dan kaum muslimin, tentu lebih pantas lagi dilakukan bagi yang tidak ditegakkan shalat Id di negara mereka. Yang demikian itu adalah menegakkan syiar agama sesuai dengan kemampuan” (http://www.spa.gov.sa/ 2075735). Diantara ulama kita pula ada yang berpendapat bahwa shalat Id tidak disyariatkan untuk dilakukan di rumah, sebagaimana pendapat al-‘Allamah ‘Ubaid al-Jabiri hafizhahullah yang terekam (https://bit.ly/2KxqLtd). Demikian pula asy-Syaikh Fu’ad al-Zintani hafizhahullah yang condong dengan pendapat ini, yaitu shalat Id tidak disyariatkan dikerjakan di rumah (https://bit.ly/2zfpFzV. https://bit.ly/3b6sxwe). Dengan demikian, kesimpulan dari pendapat ini adalah jika dimudahkan untuk shalat Id di tanah lapang atau di masjid, maka itulah yang dilakukan. Jika tidak, karena kesulitan seperti masa-masa wabah seperti sekarang ini, maka tidak dikerjakan. Allah Subhanahu wa taala berfirman, لا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Al-Baqarah: 285). Pendapat kedua ini mengisyaratkan pada pendapat yang dipilih oleh Syaikul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah di atas, yaitu dengan landasan bahwa shalat Id itu dilakukan dengan bentuk perkumpulan. Apabila terluputkan, maka tidak ada gantinya seperti shalat Jum'at. Pendapat ini yang kami lebih cenderung padanya. Wal-‘ilmu ‘indallah. Ditulis Oleh: Abu Fudhail Abdurrahman bin Umar غفر الرحمن له @alfudhail https://bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF] www.alfawaaid.net PELAKSANAAN SHALAT ID APABILA WABAH COVID-19 MASIH BERLANJUT Kutipan Rangkaian Fatwa dari Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullah (Mufti Umum Kerajaan Arab Saudi) Pertanyaan kedua: هل مشروعية صلاة العيد في البيوت؟ Apakah disyariatkan shalat id di rumah masing-masing? Jawaban: أما صلاة العيد إذا استمر الوضع القائم ولم تمكن إقامتها في المصليات والمساجد المخصصة لها فإنها تصلى في البيوت بدون خطبة بعدها Apabila keadaan saat ini berlanjut sehingga shalat id tidak mungkin dilakukan di lapangan-lapangan dan masjid-masjid yang khusus untuk melaksanakannya, shalat id hendaklah dilaksanakan di rumah masing-masing tanpa disertai khutbah setelahnya. وسبق صدور فتوى من اللجنة الدائمة للفتوى جاء فيها: (ومن فاتته صلاة العيد وأحب قضاءها استُحب له ذلك فيصليها على صفتها من دون خطبة بعدها Telah terbit fatwa dari Lembaga Tetap Urusan Fatwa yang di dalamnya menyebutkan, ‘Barang siapa yang tertinggal dari shalat id dan dia ingin mengqadhanya, disunnahkan baginya untuk melaksanakannya sesuai tata cara shalat id tanpa disertai khutbah setelahnya.’ فإذا كان القضاء مستحباً في حق من فاتته الصلاة مع الإمام الذي أدى صلاة العيد بالمسلمين ، فمن باب أولى أن تكون إقامتها مشروعة في حق من لم تُقم صلاة العيد في بلدهم لأن في ذلك إقامة لتلك الشعيرة حسب الاستطاعة Mengqadha shalat id bagi makmum yang tertinggal dari shalatnya imam, hukumnya sunnah. Maka dari itu, melaksanakan shalat id (di rumah) bagi orang-orang yang tidak ditegakkan shalat id di negerinya tentu lebih disyariatkan. Hal itu merupakan penegakan terhadap syiar Islam sesuai dengan kadar kemampuan. Allah subhanahu wa taala berfirman, فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ “Bertakwalah kalian kepada Allah (semaksimal mungkin) sesuai kesanggupan kalian.” Nabi shalallahu alaihi wasallam juga bersabda إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ “Apabila aku memerintahkan kalian untuk melaksanakan sesuatu, lakukanlah (semaksimal mungkin) sesuai kemampuan kalian.” Sumber || http://www.spa.gov.sa/2075735 Kunjungi || https://forumsalafy.net/pelaksanaan-shalat-id-apabila-wabah-covid-19-masih-berlanjut/ SHALAT IED BERJAMA'AH DI RUMAH KARENA UDZUR Dahulu Anas bin Malik radliyallahu 'anhu apabila beliau terluput (terlambat) shalat Ied bersama imam, beliau mengumpulkan keluarganya. Lalu beliau shalat bersama mereka seperti shalatnya imam dalam shalat Ied Shahih Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan ta'liq (mu'allaq) 2/23 Ibnu Abi Syaibah meriwayatkannya dengan maushul (bersambung sanadnya sampai rawi terakhir) 5853 Dan lafazh ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi 6307 Thuwailibul 'Ilmisy Syar'i (TwIS) https://telegram.me/salafysitubondo 🔎 Muraja'ah (korektor): al-Ustadz Kharisman hafizhahullah
5 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

fikih shalat tarawih

FIKIH SHALAT TARAWIH APAKAH BACAAN SURAH PADA SHALAT TARAWIH SENDIRIAN DIKERASKAN (JAHR)? Ada penjelasan bagus dan bermanfaat dari Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah tentang masalah ini, dan jawaban dari poin pembahasan sekarang terletak diujung keterangan beliau. ▪️ Asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, الجهر بالقراءة في الصلاة الجهرية ليس على سبيل الوجوب ، بل هو على سبيل الأفضلية ، فلو أن الإنسان قرأ سرّاً فيما يشرع فيه الجهر لم تكن صلاته باطلة ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال ( لا صلاة لمن لم يقرأ بأم القرآن ) ولم يقيد هذه القراءة بكونها جهراً أو سراً ، فإذا قرأ الإنسان ما تجب قراءته سرّاً أو جهراً فقد أتى بالواجب ، لكن الأفضل فيما يسن فيه الجهر كالركعتين الأوليين من صلاتي المغرب والعشاء وكصلاة الفجر وصلاة الجمعة وصلاة العيد وصلاة الاستسقاء وصلاة التراويح وما أشبه ذلك مما هو معروف ، ولو تعمد الإنسان وهو إمام أن لا يجهر فصلاته صحيحة ، لكنها ناقصة ، أما المنفرد إذا صلى صلاة جهرية فإنه يخير بين الجهر والإسرار ، وينظر ما هو أنشط له وأقرب إلى الخشوع فيقوم به "Membaca surah dengan dikeraskan pada shalat jahriyah hukumnya tidak wajib. Tapi sifatnya keutamaan. Seandainya seseorang membaca secara lirih di shalat yang disyariatkan untuk di-jahr-kan maka shalatnya tidak batal. • Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ 'Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca surah Al-Fatihah." HR. Al-Bukhari (756) dan Muslim (394) Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menentukan bacaan ini apakah dengan dikeraskan atau secara lirih. Jadi apabila seseorang sudah membaca surah yang wajib untuk dibaca baik itu dengan suara lirih atau dengan dikeraskan maka dia telah menjalankan kewajiban. Akan tetapi yang utama ialah (mengeraskan bacaan surah) pada shalat (jahriyyah) yang disunnahkan untuk dikeraskan, seperti. - dua rakaat pertama shalat maghrib dan isya, - shalat subuh, - shalat Jum'at, - shalat ied, - shalat istisqa', - shalat tarawih, dan yang semisalnya yang telah diketahui. Jika seorang imam tidak mengeraskan bacaan surahnya pada shalat-shalat ini secara sengaja maka shalatnya tetap sah tapi nilainya kurang. Jika seseorang shalat sendirian dalam mengerjakan shalat jahriyyah maka dia boleh memilih antara membaca surah dengan dikeraskan atau dengan lirih. Dia pertimbangkan mana yang membuatnya lebih semangat dan lebih dekat dengan kekhusyuan maka itu yang dia lakukan." (Fatawa Nur 'alad Darb, kaset no. 84)¹ ¹ Baca juga: Al-Jami' fi Ahkam Shifah ash-Shalah (III/264) PESAN UNTUK YANG MENJADI IMAM SHALAT Memperpanjang shalat atau mengerjakannya seperti biasa saja antara panjang dan pendek ditentukan dengan memperhatikan keadaan para makmum. ▪️ Al-Allamah Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata, العبرة بالأكثرية والضعفاء، فإذا كان الأكثرية يرغبون في الإطالة بعض الشيء وليس فيهم من يراعى من الضعفة والمرضى أو كبار السن فإنه لا حرج في ذلك، وإذا كان فيهم الضعيف من المرضى أو من كبار السن، فينبغي للإمام أن ينظر إلى مصلحتهم. "Yang menjadi bahan pertimbangan adalah mayoritas jamaah dan orang-orang lemah. Apabila kebanyakan jamaah menginginkan agar shalat dikerjakan lebih panjang dan di antara makmum tidak ada yang harus diperhatikan keadaannya seperti orang lemah, orang sakit, atau orang yang sudah berusia lanjut, maka tidak masalah (diperpanjang). Tapi apabila di antara jamaah ada orang yang lemah, orang yang sakit, dan yang sudah tua maka hendaknya imam memperhatikan kemaslahatan mereka." (Al-Jawab ash-Shahih, hlm. 16) ▪️ Beliau rahimahullah juga berkata, هذا أمر مطلوب في جميع الصلوات، في التراويح وفي الفرائض لقوله - صلى الله عليه وسلم -: «أيكم أم الناس فليخفف، فإن فيهم الضعيف والصغير وذا الحاجة » فالإمام يراعي المأمومين ويرفق بهم في قيام رمضان، وفي العشر الأخيرة، وليس الناس سواء، فالناس يختلفون فينبغي له أن يراعي أحوالهم ويشجعهم على المجيء وعلى الحضور؛ فإنه متى أطال عليهم شق عليهم ونفرهم من الحضور، فينبغي له أن يراعي ما يشجعهم على الحضور ويرغبهم في الصلاة ولو بالاختصار وعدم التطويل، فصلاة يخشع فيها الناس ويطمئنون فيها ولو قليلا خير من صلاة يحصل فيها عدم الخشوع ويحصل فيها الملل والكسل "Memperhatikan keadaan makmum ialah hal yang dituntut pada seluruh shalat, pada shalat tarawih dan shalat wajib berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ, "Siapapun di antara kalian yang menjadi imam bagi manusia hendaklah dia persingkat, karena di tengah mereka ada orang yang lemah, anak kecil, dan memiliki kesibukan."¹ ¹ Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya dengan lafazh yang berbeda-beda Maka imam hendaknya memperhatikan kondisi makmumnya, bersikap lembut kepada mereka dalam hal berdiri dan juga pada 10 malam terakhir (Ramadhan). Manusia tidak sama, manusia berbeda-beda, maka hendaknya imam; - memiliki perhatian terhadap kondisi para makmum, - dan menyemangati mereka untuk datang dan menghadiri shalat, karena apabila shalatnya panjang maka itu membuat mereka kesulitan dan lalu mereka jadi enggan untuk hadir lagi. Jadi sepantasnya untuk memperhatikan hal yang dapat membuat hati mereka bersemangat untuk hadir dan bisa memotivasi mereka untuk mengerjakan shalat meski itu dengan shalat yang pendek dan tidak panjang. Shalat yang dikerjakan dengan khusyuk oleh orang-orang dan bisa thuma'ninah meskipun tidak lama ini lebih baik daripada pengerjaan shalat yang tidak menghadirkan kekhusyuan dan dikerjakan dengan bosan dan rasa malas." (Majmu' Fatawa wa Maqalat, XI/336-337) Dan juga menjadi hal yang terpenting untuk diperhatikan orang yang menjadi imam ialah menjaga kesempurnaan rukun-rukun shalat.  ▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, ما هو الضابط لمقدار القراءة في كل ركعة في التراويح، هل يكفي أن يقرأ الإمام نصف القرآن في الشهر أو ثلثيه؟ Apa ketentuan ukuran membaca surah pada tiap raka'at shalat tarawih. Apakah cukup bagi imam untuk membaca setengah Al-Qur'an dalam satu bulan atau membaca dua pertiganya? ▪️ Beliau rahimahullah menjelaskan, إذا كان الناس محصورين فعلى رغبتهم إن شاء طول وإن شاء قصر، وأما إن كانوا غير محصورين فلا ينبغي أن يطول القراءة، أي: فليس بلازم أن تكمل القرآن، لا تطل به فتمله، لكن أهم شيء هو الركوع والسجود، والقيام بعد الركوع والجلوس بين السجدتين والتشهد "Apabila jamaah sifatnya terbatas maka sesuai dengan keinginan mereka, jadi jika ingin imam bisa memanjangkan dan bila ingin dia persingkat. Adapun apabila jumlah makmum tidak terbatas siapa maka tidak selayaknya untuk memperpanjang sekali bacaan, artinya bukan suatu keharusan untuk kamu menuntaskan Al-Qur'an dalam satu bulan (di shalat tarawih). Jangan kamu memperpanjang sehingga bisa menjadi bosan. Tetapi perkara yang paling penting paling penting adalah (sempurnanya) rukuk, sujud, bangkit setelah rukuk, dan duduk diantara dua sujud serta duduk tasyahhud." (Al-Liqa' asy-Syahri, no. 52) JIKA HAFALAN AL-QUR'AN TIDAK BANYAK ▪️ Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, يجوز لك أن تردد السور في صلاة التراويح، لعموم قول الله تعالى: ﴿فاقرءوا ما تيسر من القرآن﴾. "Kamu boleh mengulang-ulangi surah-surah pada shalat tarawih berdasarkan keumuman kandungan firman Allah ta'ala, فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ ۚ "Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an." QS. Al-Muzammil: 20 (Fatawa Nur 'alad Darb, kaset no. 26) Jadi hanya membaca surah yang itu-itu saja karena keterbatasan hafalannya ini tidak masalah. Dan bila ingin membaca surah yang belum dia hafal pada shalat tarawih dia bisa membacanya dari mushaf. SHALAT DENGAN MEMEGANG MUSHAF ▪️ Berkata Imam al-Bukhari rahimahullah, وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ المُصْحَفِ "Aisyah radhiyallahu 'anha pernah shalat dan yang menjadi imam ialah budak beliau yang bernama Dzakwan dengan membaca dari mushaf." (Kitab al-Adzan: Bab Imamah al-'Abdi wa al-Maula) ▪️ Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, وَهَذَا الَّذِي ذَكَرْنَاهُ مِنْ أَنَّ الْقِرَاءَةَ فِي الْمُصْحَفِ لَا تُبْطِلُ الصَّلَاةَ مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ و أَحْمَدَ "Pendapat akan sahnya shalat dengan membaca melalui mushaf yang saya sebutkan ini merupakan madzhab kami (Syafi'iyah), Malik, Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, dan Ahmad." (Al-Majmu', IV/95) ▪️ Al-Allamah Ibnu Baaz rahimahullah menerangkan, فلا حرج على المؤمن أن يقرأ من المصحف إذا دعت الحاجة إلى ذلك في التراويح, أو في قيام الليل, أو في صلاة الكسوف؛ لأن المقصود أن يقرأ كتاب الله في هذه الصلوات, وأن يستفيد من كلام ربه-عز وجل-وليس كل أحد يحفظ القرآن, أو يحفظ السور الطويلة من القرآن فهو في حاجة إلى أن يسمع كلام ربه, وأن يقرأه من المصحف فلا حرج في ذلك. وقد رأى بعض أهل العلم منع ذلك ولكن بدون دليل "Tidak masalah bagi seseorang untuk membaca dari mushaf ketika diperlukan di shalat tarawih, shalat malam, atau shalat gerhana. Karena tujuan utamanya ialah untuk membaca Al-Qur'an pada saat shalat-shalat tersebut dan mengambil pelajaran darinya. Tidak setiap orang hafal Al-Qur'an atau hafal surah-surah panjang. Dalam keadaan dia perlu untuk mendengarkan firman Allah. Jadi tidak masalah membacanya melalui mushaf. Sebagian ulama tidak membolehkan namun tanpa pegangan dalil." (Fatawa Nur 'alad Darb, IX/454-455) SIAPKAN MEJA KECIL ATAU KURSI UNTUK MELETAKKAN MUSHAF SAAT POSISI RUKUK Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah mengingatkan point ini, ويلاحظ أن السنة والأفضل أن يوضع على كرسي مرتفع يكون حول المصلي يضعه عليه, فإذا قام من السجود أخذه لا يضعه في الأرض؛ لأن احترامه متعين فإذا تيسر كرسي أو شيء مرتفع وضعه عليه, أما إذا ما تيسر شيء فلا بأس أن يضعه على الأرض النظيفة الطيبة "Dan perlu diingat, bahwa yang sunnah dan afdal ialah meletakkan mushaf di kursi yang dekat dengan tempat shalatnya. Lalu saat bangkit dari sujud dia ambil kembali mushafnya. Dan jangan meletakkannya di lantai. Karena memuliakan Al-Qur'an hukumnya wajib. Jadi bila ada kursi atau benda apapun yang berada di atas permukaan lantai; maka dia letakkan mushafnya di sana. Tapi bila memang tidak ada; tidak masalah diletakkan di lantai namun yang bersih dan suci." (Dinukil dari https://binbaz.org.sa/old/28793 ) YANG LEBIH UTAMANYA LEWAT HAFALAN Tadi yang dibahas ialah tentang hukum, yaitu boleh membaca surah dengan memegang mushaf ketika sedang shalat. Akan tetapi apabila kita membahas tentang yang afdalnya, maka tentu jika membaca surah melalui hafalan ketika sedang shalat akan lebih baik. ▪️  Al-Allamah Ibnu Baaz berkata, من تيسر له أن يقرأ حفظاً فذلك أولى وأكمل، أما من لا يتيسر له ذلك لأنه لا يحفظ القرآن فلا مانع من أن يقرأ من المصحف "Bagi yang mudah membaca surah (di dalam shalat) melalui hafalan maka ini lebih utama dan lebih sempurna, adapun jika seseorang kesulitan bila lewat hafalan maka tidak masalah membaca dari mushaf." (Fatawa Nur 'alad Darb) ▪️ Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan alasannya, وأما في الصلاة : فالأفضل أن يقرأ عن ظهر قلب ؛  وذلك لأنه إذا قرأ من المصحف فإنه يحصل له عمل متكرر في حمل المصحف ، وإلقائه ، وفي تقليب الورق ، وفي النظر إلى حروفه ، وكذلك يفوته وضع اليد اليمنى على اليسرى على الصدر في حال القيام ، وربما يفوته التجافي في الركوع والسجود إذا جعل المصحف في إبطه ، ومن ثَمَّ رجحنا قراءة المصلي عن ظهر قلب على قراءته من المصحف "Apabila di dalam shalat maka yang utama dia membaca surah melalui hafalan. Karena jika membaca dari mushaf maka dia akan melakukan gerakan yang terus-menerus untuk memegangi mushaf, meletakkannya, memindahkan halaman, dan melihat kepada huruf-hurufnya. Demikian juga akan membuatnya terlepas dari sunnah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada ketika sedang berdiri, dan bahkan juga bisa terlepaskan dari melebarkan lengan di posisi rukuk dan sujud apabila dia meletakkan mushaf di ketiaknya. Dengan alasan-alasan ini kami berpendapat agar orang yang mengerjakan shalat membaca surah melalui hafalannya saja daripada dia membaca dari mushaf." (Al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih, pertanyaan no. 16) Tapi kembali lagi pada pembahasan sebelumnya, jika dia perlu untuk memegang mushaf ketika shalat maka tidak masalah. PERLUKAH MEMBACA SHALAWAT TIAP HABIS SALAM DI SHALAT TARAWIH? Setelah salam dari dua raka'at shalat tarawih tidak ada bacaan khusus yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Sehingga bila masih belum melanjutkan tarawih berikutnya, seseorang diberikan kebebasan apakah ingin duduk saja, membaca Al-Qur'an, berdzikir, membaca shalawat, minum, atau apapun. Jika memilih berdzikir atau bershalawat setelah salam dari dua raka'at shalat tarawih maka seseorang tidak boleh mengkhususkan waktu dan tata cara tertentu dalam pelaksanaannya. Karena jika sudah menetapkan waktu dan tata cara pelaksanaan sama artinya telah menetapkan suatu aturan dalam ibadah. Padahal kita sepakat, bahwa aturan dalam ibadah hanya ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah ﷺ. Sedangkan jika dilakukan secara bersama-sama dengan suara keras dan ditetapkan rutin tiap selesai salam dua raka'at atau empat raka'at, maka berikut ini keterangan sejumlah ulama yang menjelaskan tentang hukumnya. ▪️ Al-Faqih Ibnu al-Haaj al-Fasi rahimahullah berkata, وينبغي له أن يتجنب ما أحدثوه من الذكر بعد كل تسليمتين من صلاة التراويح ومن رفع أصواتهم بذلك والمشي على صوت واحد فإن ذلك كله من البدع وكذلك ينهى عن قول المؤذن بعد ذكرهم بعد التسليمتين من صلاة التراويح: الصلاة يرحمكم الله فإنه محدث أيضا والحدث في الدين ممنوع وخير الهدي هدي محمد - صلى الله عليه وسلم - ثم الخلفاء بعده ثم الصحابة - رضوان الله عليهم أجمعين - ولم يذكر عن أحد من السلف فعل ذلك فيسعنا ما وسعهم "Hendaklah imam menjauhi amalan yang diadakan oleh orang-orang yaitu dzikir setiap selesai salam shalat tarawih. Dan mereka mengeraskan suara juga dilakukan dengan bersama-sama. Karena semua itu termasuk amalan yang baru dan diada-adakan. Demikian juga ucapan muadzin setelah mereka membaca dzikir setelah salam dari shalat tarawih itu 'الصلاة يرحمكم الله', sesungguhnya ini juga amalan baru dalam agama, dan amalan baru dalam agama terlarang. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad ﷺ, kemudian Khulafaur Rasyidin, kemudian para sahabat radhiyallahu 'anhum ajma' in, dan tidak disebutkan ada seorang pun dari kalangan salaf yang melakukan hal itu, hendaklah kita mencukupkan dengan amalan yang sudah mencukupi mereka." (Al-Madkhal ila Tanmiyah al-A'mal, II/293-294) ▪️ Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh rahimahullah berkata, الاجتماع الراتب على الذكر ونحوه كالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في أَعقابها مبتدع غير مشروع "Membaca dzikir atau yang semisalnya seperti shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam secara bersamaan yang dilakukan secara rutin tiap selesai salam shalat tarawih adalah hal yang baru dan tidak disyariatkan." (Fatawa wa Rasa'il, II/247) ▪️ Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya, ما حكم رفع الصوت بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ، والترضي عن الخلفاء الراشدين بين ركعات التراويح ؟ "Apa hukumnya mengeraskan suara dalam bershalawat kepada Nabi dan mendoakan Khulafaur Rasyidin agar mendapatkan ridha Allah di antara raka'at shalat tarawih?" ▪️ Beliau menjelaskan, لا أصل لذلك- فيما نعلم- من الشرع المطهر ، بل هو من البدع المحدثة ، فالواجب تركه ، ولن يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها ، وهو اتباع الكتاب والسنة ، وما سار عليه سلف الأمة ، والحذر مما خالف ذلك "Tidak ada dasar dalil amalan tersebut dari syariat yang suci ini -dari yang kami ketahui-. Bahkan amalan itu termasuk amalan baru yang diada-adakan, maka wajib untuk ditinggalkan. Tidak akan baik keadaan akhir umat ini kecuali dengan melakukan hal yang telah membuat baik keadaan umat awalnya. Yaitu mengikuti Al-Qur'an dan sunnah, serta mengikuti jalannya para pendahulu umat dan menghindari semua hal yang menyelisihi itu." (Majmu' Fatawa wa Maqalat, XI/369) Dari keterangan sejumlah ulama di atas kita memahami bahwa yang diingkari oleh mereka ialah karena membuat bentuk khusus dengan menetapkan itu dibaca setelah salam shalat tarawih dan melakukannya secara berjamaah. Adapun jika melakukan dzikir atau amalan lain setelah salam masing-masing dan tanpa mengkhususkan, maka itu haknya dan itu akan menjadi kebaikan tambahan baginya. BACA JUGA : SILSILAH FIKIH PUASA LENGKAP ✍ -- Jalur Masjid Agung@Kota Raja -- Hari Ahadi [ Penggalan pembahasan Risalah Fushul fish Shiyam ] _________________ ▶️ Mari ikut berdakwah dengan turut serta membagikan artikel ini, asalkan ikhlas insyaallah dapat pahala. https://t.me/nasehatetam www.nasehatetam.net
5 tahun yang lalu
baca 14 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum ikhtilath dengan pembantu di rumah

HUKUM IKHTILATH DENGAN PEMBANTU WANITA DI RUMAH Ada orang yang bertanya kepada Syaikh Al Utsaimin Rohimahullah Ta’ala : السؤال : هل يجوز للرجل أن يخالط الشغالة في البيت، وماذا يحل له منها؟ “Apakah boleh seorang lelaki berikhtilath (bercampur baur tanpa dihijab) dengan pembantu wanita di rumahnya, dan apa yang boleh bagi majikan terhadap pembantu wanita tersebut." الجواب : إذا تزوجها فلها أن تكشف وجهها له وهذا هو الحل، وإلا فلا يحل له منها شيء، هي كالمرأة التي في السوق، يجب عليها أن تحتجب، ويتأكد الحجاب في حقها أكثر من غيرها؛ لأنها في البيت ويسهل الخلوة بها، فإذا كشفت وجهها فإن الشيطان يجعل هذا الوجه وإن كان ليس بذاك يجعله جميلاً ليفتتن بها والعياذ بالله، فيجب على الخادمة أن تحتجب ويجب على أهل البيت أن يأمروها بذلك؛ لأنها امرأة أجنبية. وإذا أرادوا الحل الذي ذكرته فهو سهل، إذا لم يكن لها زوج، يستأذن من الجهات المسئولة أن يتزوجها وتبقى عنده في البيت، لكن أخشى إذا أصبحت زوجة أن تطلب خادمة فيما بعد وهذه مشكلة!! Jawaban : Tentu ini halal untuk membuka wajahnya di hadapan anda, tapi ini jika anda nikahi dia. Kalau tidak, ya tidak halal sedikitpun. Pembantu ini seperti wanita di pasar, wajib atasnya berhijab. Maka berhijab di rumah lebih ditekankan lagi, karena di rumah lebih mudah untuk berduaan dengannya. Apabila pembantu ini membuka wajahnya maka syaithon akan menghiasi dan membuat nampak cantik wajahnya untuk menimbulkan fitnah, wal iyadzu billah Maka wajib bagi pembantu untuk berhijab dan wajib pula bagi majikannya untuk memerintahkannya akan hal ini, karena dia adalah wanita asing (bukan mahrom) Apabila mau halal, maka urusannya mudah, bila pembantunya ini belum nikah. Tinggal meminta izin kepada penanggungjawabnya untuk menikahinya lalu menempatkannya di rumah. Akan tetapi saya khawatir apabila pembantu ini jadi istrinya, nanti dia akan meminta pembantu lagi setelahnya. Tentu ini jadi masalah lagi. . (Al-Liqo Asy-Syahri kaset no 3) Sumber : www.radiotarbiyah.com Grup Whatsapp Ma'had Ar-Ridhwan Poso Join chanel telegram http://telegram.me/ahlussunnahposo HUKUM IKHTILAT DAN KHALWAT Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah Pertanyaan: Apa hukum ikhtilat (bercampur baur) antara laki-laki dan perempuan? Jawaban: Tidak diragukan lagi bahwa ikhtilat dengan perempuan yang bukan mahram dan berjabat tangan dengan mereka hukumnya tidak boleh.  Sedangkan berkhalwat (berdua-duaan) dengannya lebih keras dan lebih besar lagi (larangannya). Liqa Al Bab Al Maftuh: 8 ‏ما حكم الاختلاط بين الرجال والنساء؟ لا شك أن الاختلاط بالنساء من غير المحارم، ومصافحتهن لا يجوز، والخلوة أشد وأعظم. 📁 لقاء الباب المفتوح [8] https://twitter.com/ibn_othaimin/status/1204907009549619200 WhatsApp Salafy Cirebon Channel Telegram || https://t.me/salafy_cirebon
5 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum mengeluarkan zakat fitrah di awal ramadhan

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH 1 PEKAN SEBELUM IEDUL FITRI membayar zakat fitrah di awal ramadhan Asy-Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah [ Pertanyaan ] Dari kumpulan pertanyaan yang diajukan pada tahun ini terkait zakat fitrah. Ada sebagian (kaum muslimin) yang mengeluarkan zakat fitrah satu minggu atau lima hari sebelum hari raya Id’? [ Jawaban ] لا، لا، ما تجزي قبل العيد بيوم أو يومين وكونه يخرجها في ليلة العيد إلى خروج الإمام إلى صلاة العيد هذا هو الوقت الفاضل له لأخرجها. TIDAK. . . TIDAK BOLEH! Zakat fitrahnya TIDAK SAH kecuali dikeluarkan satu atau dua hari sebelum Ied. Dan mengeluarkan zakat fitrah pada malam Ied’ sampai batas keluarnya imam untuk shalat Ied, maka inilah waktu yang utama untuk mengeluarkan zakat fitrah tersebut. Sumber: @Saleh_AlFawzan | @Forumsalafy ▫️▫️▫️▫️▫️ HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH PADA 10 HARI PERTAMA RAMADHAN Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum mengeluarkan zakat fitrah pada sepuluh hari pertama pada bulan Ramadhan? [Beliau rahimahullah menjawab]: Kata Zakat Fitrah berasal dari kata al-fithr (berbuka), karena dari al-fitr inilah sebab dinamakan Zakat Fitrah. Apabila berbuka dari Ramadhan merupakan sebab dari ini, maka zakat ini terkait dengannya dan tidak boleh mendahuluinya (dari berbuka-masuk Syawal-red). Oleh sebab itu, waktu yang paling utama dalam mengeluarkannya adalah pada hari ‘Ied sebelum shalat (‘Ied). Akan tetapi, diperbolehkan untuk mendahului (dalam mengeluarkannya) sehari atau dua hari sebelum ‘Ied karena memberi keleluasaan bagi yang memberi dan yang mengambil. Adapun zakat yang dilakukan sebelum hari-hari tersebut, menurut pendapat yang kuat dari para ulama adalah TIDAK BOLEH. Berkaitan dengan hal ini ada dua bagian waktu: ◾️ WAKTU YANG DIPERBOLEHKAN yaitu sehari atau dua hari sebelum ‘Ied ◾️ WAKTU YANG UTAMA pada hari ‘ied sebelum shalat. Adapun mengakhirkannya hingga usai melaksanakan shalat, maka hal ini haram (terlarang) dan tidak sah sebagai zakat fitrah. Ini berdasarkan hadits ‘Abdullah Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, وَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِفَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ “Barang siapa menunaikannya sebelum shalat, maka zakatnya diterima. Barang siapa menunaikannya setelah shalat, maka itu termasuk dari sedekah.” Kecuali apabila orang tersebut tidak mengetahui (kapan) hari ‘Ied. Misalnya dia berada di padang pasir dan tidak mengetahui kecuali dalam keadaan terlambat atau yang semisal hal itu. maka tidak mengapa baginya untuk menunaikannya setelah shalat ‘Ied, dan itu mencukupi sebagai zakat fitrah.(Diambil dari kitab Majmu’ Fatawa li asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin juz 18 bab “Zakatul Fitr”) Sumber: http://asysyariah.com/seputar-zakat-fitrah/ HUKUM MEMBAYAR ZAKAT FITRAH DI AWAL-AWAL RAMADHAN Zakat fitrah itu berupa makanan pokok masyarakat sekitar. Pada masa sekarang yakni kurma, gandum, dan beras. Apabila kita tinggal di tengah masyarakat yang memakan jagung, maka kita mengeluarkan jagung, kismis, atau aqith (susu yang dikeringkan). Berkata Abu Said al-Khudri radhiallaahu 'anhu berkata, “Dahulu kami mengeluarkan zakat pada masa Rasul Shallallahu ‘alahi wasallam satu sha’ dari makanan, dan makanan pokok kami adalah kurma, gandum, kismis, dan aqith.” Waktu mengeluarkannya adalah pada pagi hari ‘Ied sebelum shalat, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, “Beliau Shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkan agar zakat ditunaikan sebelum kaum muslimin keluar untuk shalat,” dan hadits ini marfu’. Dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ, وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ اَلصَّدَقَاتِ. “Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, itu zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat, maka hal itu (hanyalah) shadaqah.” ◽️Dibolehkan untuk mengawalkan sehari atau dua hari sebelum ‘Ied, dan tidak boleh lebih cepat dari itu. ◽️Karena zakat ini dinamakan zakat fitrah, disandarkan kepada al-fitr (berbuka –masuk Syawal, red). ◽️Seandainya kita katakan boleh mengeluarkannya ketika masuk bulan (Ramadhan), maka namanya zakat shiyam. Oleh karena itu, zakat fitr dibatasi pada hari ‘Ied sebelum shalat, dan diringankan (dimudahkan) dalam mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Ied. (Diambil dari kitab Majmu’ Fatawa li asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin juz 18 bab “Zakatul Fitr”) http://asysyariah.com/seputar-zakat-fitrah/ SUDAH MEMBAYAR ZAKAT FITRAH DI AWAL RAMADHAN, APAKAH HARUS DIULANG KEMBALI? AlFaqih Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah [ Pertanyaan ] Saya sudah mengeluarkan zakat fithri pada awal Ramadhan di Mesir, sebelum datang ke Mekah. Dan saya sekarang muqim di Mekkah, apakah saya wajib menunaikan zakat fithri lagi? [ Jawaban ] Iya, wajib atasmu untuk  mengeluarkannya lagi karena engkau dulu mengeluarkannya tidak pada waktu (yang  disyariatkan). فهنا زكاة الفطر أضيفت إلى الفطر لأن الفطر سببها ؛ ولأن الفطر وقتها ، ومن المعلوم أن الفطر من رمضان لا يكون إلا في آخر يوم من رمضان ، فلا يجوز دفع زكاة الفطر إلا إذا غابت الشمس من آخر يوم من رمضان ، إلا أنه رُخص أن تُدفع قبل الفطر بيوم أو يومين رخصة فقط ، وإلا فالوقت حقيقة إنما يكون بعد غروب الشمس من آخر يوم من رمضان ؛ لأنه الوقت الذي يتحقق به الفطر من رمضان ، ولهذا نقول : الأفضل أن تؤدى صباح العيد إذا أمكن " Dinamakan zakat fithri, karena diambil dari sebab atau waktu disyariatkannya zakat tersebut. Waktu disyariatkannya adalah fithr (berbuka). Dan telah jelas bahwa fithr adalah hari terakhir Ramadhan (malam satu syawwal). Sehingga tidak boleh untuk mengeluarkan zakat fithri kecuali setelah terbenamnya matahari di akhir bulan Ramadhan (malam satu syawwal). Walaupun ada rukhsah untuk mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelumnya, tapi ini cuma sekedar rukhsah (keringanan saja). Dan waktu disyariatkan zakat fithri sesungguhnya adalah dengan selesainya bulan Ramadhan (malam satu syawwal). Oleh karena itu kita katakan : "Yang afdhal adalah dikeluarkan pada waktu shubuh iedul fithri apabila memungkinkan". Disarikan dari Majmu' Fatawa kitab Zakat soal 180 | @fawaidsolo •••• https://bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF] www.alfawaaid.net
5 tahun yang lalu
baca 6 menit

Tag Terkait