Kisah

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

wanita-wanita terhormat di nabulus

Wanita-Wanita Terhormat di Nabulus Ibnul Arabi al Maliki (wafat 543 H) seorang ulama hadis, fikih, tafsir, dan sejarah bermadzhab Maliki menulis dalam kitabnya Ahkamul Qur'an (6/352). Dilahirkan di Sevilla, Ibnul Arabi telah berkeliling ke penjuru negeri. Dari Semenanjung Andalus (Eropa), Syam, Irak, Mesir, dan negeri-negeri lainnya, beliau menimba ilmu dari ulama-ulamanya. Beliau menulis, “ Sungguh! Sudah lebih seribu negeri aku jelajahi di berbagai daratan. Namun, tidak pernah aku menyaksikan kaum wanitanya yang lebih menjaga diri, lebih terhormat, dibandingkan kaum wanita Nabulus” “ Selama beberapa bulan aku tinggal menetap di sana, tidak pernah satu kali pun aku melihat seorang wanita di jalan saat siang hari. Kecuali hari Jum'at. Kaum wanita berangkat salat Jum'at sampai-sampai masjid dipenuhi mereka. Selesai salat, mereka langsung pulang ke rumah. Sampai hari Jum'at berikutnya, aku tidak melihat seorang wanita pun keluar rumah”, lanjut Ibnul Arabi. Begitulah kaum wanita dalam Islam! . Dihormati, diberi penghargaan, dan dimuliakan. Wanita ibarat intan manikam. Tidak sembarang orang bisa memandang. Tidak semua tangan boleh menyentuhnya. Wanita adalah salah satu pilar kehidupan. Darinya dunia menjadi indah dan karenanya dunia bisa berubah menjadi petaka dan bencana. Oleh sebab itu, wanita haruslah dijaga. Sebelum Islam datang, wanita hanyalah obyek eksploitasi seksual. Wanita disamakan dengan barang yang dapat diperdagangkan dan diturunwariskan. Wanita dianggap pembawa sial dan sumber penyakit. Coba baca kembali bagaimana kaum wanita direndahkan oleh kaum Yunani, Romawi, Persia, India, China, dan Afrika di zaman dahulu! Dulu di Semenanjung Arab pun, kaum wanita dilecehkan. Sejak lahir, bayi perempuan ditolak kehadirannya. Menginjak dewasa, banyak dari mereka menjadi obyek prostitusi terselubung atau terang-terangan dengan bendera berwarna merah sebagai tanda yang dipasang di depan rumahnya. Wanita di masa jahiliyah berbaur bebas dengan kaum pria di berbagai lini kehidupan. Mereka berhias, bersolek, dan berdandan. Sengaja mereka menarik perhatian kaum pria dengan gelang-gelang kaki yang dihentakkan agar mengeluarkan bunyi. Pendek kata; kondisi kaum wanita di masa jahiliah dapat tergambar dengan realita sebagian kaum wanita di masa kini. Karir, persamaan gender, emansipasi, kesamaan hak dan derajat, atau istilah-istilah semisal hanyalah propaganda bohong-bohongan untuk kamuflase dari eksploitasi ; pemerasan dan pengisapan keuntungan sepihak. Wanita sebagai kaum yang lemah dijadikan korbannya. Tidakkah tergugah hatimu kala hampir setiap saat ada berita wanita menjadi korban?! Korban pelecehan seksual, korban penganiayaan, korban pembunuhan, korban penipuan, atau korban kejahatan lainnya? Lagi-lagi korbannya wanita. Bagimu yang beriman kepada Allah dzat yang maha penyayang. Untukmu yang percaya kepada Allah yang maha bijaksana. Baca dan renungkanlah firman Allah berikut ini; al Ahzab ayat 33 :  وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا   “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta'atilah Allah dan Rasul-Nya.Sesungguhnya Allah berhendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” Ayat di atas tidak hanya berlaku untuk istri-istri Nabi Muhammad saja! Jika perintah di atas ditujukan kepada istri-istri beliau, bukankah sudah seharusnya kaum muslimah untuk mencontoh dan meneladaninya?! Al Hafidz Ibnu Katsir, pakar tafsir bermadzhab Syafi'i (wafat tahun 774 H) menegaskan, “ (Hal-hal tersebut dalam ayat) adalah adab-adab yang Allah perintahkan untuk istri-istri Nabi Muhammad. Kaum wanita umat ini harus mengikutinya” Jelas dan tegas! Allah perintahkan kaum wanita untuk : “Hendaklah kamu tetap tinggal di rumahmu!” Inilah bentuk penghargaan dan penghormatan untuk kaum wanita! Ingat! Rumah bukanlah penjara untuk wanita. Rumah adalah istana bagi kaum wanita. Mereka menjadi ratu yang dihormati. Saat masih kecil, ia dilindungi dan diayomi oleh keluarganya. Ketika dewasa, ia dipersiapkan menjadi wanita hebat dan luar biasa. Setelah berstatus istri, ia disayang dan dikasihi suaminya. Kala sebagai ibu, ia dihormati dan memperoleh bakti dari anak-anaknya 3 kali lipat dari bakti ke ayahnya. Wanita harus dimengerti. Harus disayang dan diberi kelembutan. Tidak boleh dikasari, apalagi dipukul. Jangan bentak dia! Jangan hardik dia dengan suara keras! Wanita mesti dijamin keperluan dan kebutuhannya, tentu yang sewajarnya. Perlakukanlah mereka layaknya kaca. Jangan sampai retak apalagi pecah. Sayang, banyak wanita yang tidak memperoleh hak-haknya. Banyak wanita tidak dilindungi dan diayomi. Hingga akhirnya mereka keluar meninggalkan istananya. Keluar dari rumahnya. Padahal Allah berfirman ;  وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu “ Bagi wanita muslimah, harus bertekad untuk melaksanakan perintah Allah ini. Bagi kaum pria, hormatilah dan penuhilah hak-hak kaum wanita agar mereka tidak perlu keluar dari rumah. Lendah  02 Desember 2021 t.me/anakmudadansalaf
3 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

dahsyatnya doa ibu syaikh abdul aziz bin baz

Dahsyat Doa Ibu Berikut ini beberapa potong cerita tentang Syaikh Bin Baz. Sumbernya adalah Biografi Syaikh Bin Baz karya Abdul Aziz bin Ibrahim dan Muhammad Ziyad. Mendalami ajaran Islam, harusnya tidak asing dengan beliau yang bernama lengkap . Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz.  Beliau Mufti Agung Kerajaan Arab Saudi. Wafat tahun 1999. Ayahnya meninggal dunia di saat Bin Baz berusia 3 tahun. Praktis Bin Baz dirawat dan dibesarkan oleh ibunda beliau. Sejak kecil, fisik Bin Baz tergolong lemah. Mulai masuk usia 3 tahun, Bin Baz baru mulai bisa berjalan. Penglihatan Bin Baz terganggu hingga puncaknya mengalami kebutaan di usia 20-an tahun. Setelah dipastikan buta, ibunda beliau bersedih bahkan menangis. Seorang tetangga salehah menghibur, " Jangan bersedih lah. Berdoalah kepada Allah agar penglihatannya diganti dengan keilmuan" Cerita lain. Ada yang memotivasi, " Menangis tidak bisa menyembuhkan kebutaan. Mohonlah pertolongan kepada Allah! Wudhu dan salatlah dua rakaat. Mintalah kepada Allah agar kebutaannya diganti dengan ilmu bermanfaat untuknya dan untuk umat Islam" Sejak itu, ibunda beliau selalu mendoakan kebaikan untuk Bin Baz. Tidak kenal lelah dan tiada kata putus asa.  Ibunda beliau wafat di saat Bin Baz berusia 26 tahun.  Syaikh Bin Baz mengenang, " Ibu lah yang merawat kami bersaudara. Jasa beliau sangatlah besar dalam pendidikan dan penanaman sifat-sifat mulia pada diri kami" Syaikh Bin Baz juga memuji ibu beliau, " Selalu menyemangati dan memotivasiku untuk thalabul ilmi dan belajar agama" Pelajaran Hidup : 1. Kasih sayang Allah sangatlah luas.  Seorang anak yatim, yang lemah fisik, terlambat berkembang secara jasmani, mengalami gangguan penglihatan, bahkan akhirnya buta, -dengan kuasa Allah Ta'ala- , menjadi seorang ulama dunia yang dihormati. Maka, jangan pernah pesimis! Jangan merasa rendah! Jangan merasa tidak pantas!  Berusahalah dan jangan berhenti berjuang! Rahmat Allah amatlah luas. 2. Ibu memang luar biasa pengaruhnya!  Jadilah ibu yang hebat, agar anakmu hebat! Jadilah ibu yang luar biasa, supaya anakmu tidak menjadi anak yang biasa! Jangan salahkan anak yang tidak punya cita-cita tinggi! Barangkali karena sang ibu tak mengenalkan langit tinggi sebagai tempat menggantungkan cita-cita. 3. Optimislah dengan doa! Tak ada yang mustahil bagi Allah. Dia maha perkasa lagi maha kuasa. Apapun sangatlah mudah bagi-Nya. Sayang, orangtua jarang berdoa. Sedih, orangtua hanya sekali dua kali berdoa dan setelahnya selesai saja. Seorang Salaf mengatakan, " Sudah dari 40 tahun yang lalu saya berdoa meminta sesuatu kepada Allah. Hingga hari ini belum dikabulkan. Namun saya tetap berdoa dan tidak putus asa" 4. Hati-hati berucap! Bisa jadi satu kata dapat merusak suasana, menghancurkan mental, dan meruntuhkan semangat. Sebagaimana satu kata dapat menyebabkan semangat terangkat, cita-cita tumbuh terpancang, dan tujuan hidup ditemukan. Lihatlah bagaimana tetangga Syaikh Bin Baz menghibur! 5. Anak muda, pilihlah calon istrimu sebaik-baiknya. Jangan asal pilih! Pilihlah yang kelak akan menjadi ibu hebat untuk anak-anakmu! Bi idznillah. Kulonprogo, 26 November 2021 t.me/anakmudadansalaf
3 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah haru : ibu yang aku banggakan!

Bikin Air Mata Tumpah: Ibu Yang Aku Banggakan! Untuk yang sedang terjadi, cukup jalani dan nikmati. Kepada yang belum terjadi, serahkan kepada Sang Ilahi. Namun yang telah terjadi, aku ingin mengenang.. Sragen, 11 September “Ya udah kalau masih mau di sana”, ucap Ayah dari sebrang sana yang bertolak dari rencana.“Pulanglah ke rumah..”, ucap Ibu dengan nada yang terdengar memohon. Aku yang mendengar perkataan mereka berdua yang bertolak belakang menjadi bimbang. Beberapa pertanyaan muncul di benakku. “Akankah aku membatalkan kepulanganku? Apakah aku akan egois dengan mementingkan keinginanku untuk tetap bertahan di sini? Padahal tiket sudah dibeli dan perjuangan mencari jadwal pesawat pun bukan hanya sehari dua hari. Tidak! Aku tidak boleh egois, aku akan tetap pulang!”, gumamku. Telepon ditutup setelah aku meyakinkan mereka bahwa aku akan tetap pulang. “Aneh, berapa bulan lalu padahal Ayah yang ingin aku pulang, kenapa sekarang jadi Ibu yang mohon-mohon gini ya?”, batinku setelah telepon ditutup. “Ah, mungkin Ayah berusaha merelakan saja, sedangkan Ibu sudah tak ingin lagi merasakan rindu berkepanjangan”, husnuzanku. Belitung, 14 September “Ibu, kenapa beda sendiri lauknya?”, tanyaku saat makan malam. “Ah, biasalah orang sudah tua ada saja penyakitnya”, jawab beliau santai. “Oh”, jawabku ringan. “Tapi, sakit apa ya? Perasaan beliau selalu menjaga pola makannya. Ah, mungkin kolesterol. Biasakan orang tua punya sakit itu meski terlihat sehat-sehat saja?”, gumamku santai. Tak ketinggalan pula setelah makan, beliau minum obat herbal. Pesantren Dhiyaul Qur’an Belum genap satu bulan di rumah, aku berangkat menuju tempat yang dilakukan kegiatan belajar-mengajar di dalamnya. Ya, pondok pesantren. Sama seperti saat aku merantau ke luar pulau. Hanya saja, di sini statusku bukan seperti di tempat sebelumnya. Meski jarak keberadaanku dengan keluarga bisa dikatakan dekat, tapi menghubungi keluarga adalah hal rutin yang aku lakukan. “Gimana Bu kabarnya? Sehat?”, begitulah pertanyaan yang selau aku lontarkan kala berbicara lewat jaringan seluler. “Alhamdulillah, ya sehat-sehat begitulah, doakan saja biar Ibu selau sehat”, begitulah selalu jawaban beliau ketika aku bertanya keadaannya. Libur Semester Beberapa bulan terlewati, hingga tiba libur semester satu. Aku pun kembali ke rumah. Beberapa hari terlewati seperti biasanya. Ya, membantu pekerjaan di rumah. Seperti biasa, malam itu, selepas shalat Maghrib aku berbincang ringan dengan Ibu. Entah berawal dari apa perbincangan kami, tiba-tiba Ibu berkata, “Kamu tau, Nak, Ibu sakit apa selama ini?”, tanya Ibu yang membuatku mengerutkan dahi. “Memang sakit apa, Bu? Kolestrol?”, tanyaku cukup penasaran. Selama ini, aku hanya menerka-nerka saja. “Bukan, Nak!”, jawab beliau dengan raut wajah yang sulit aku artikan. “Lalu?”, jawabku singkat. “Ibu sakit tumor, Nak! Ketika pertama kali periksa, kata dokter sudah stadium tiga..”, jawab beliau cukup hati-hati. Seketika mataku terasa panas dan mengalir air darinya tanpa lagi permisi. Meski tak terisak, tetapi serasa hatiku ada yang meremas. “Beneran, Bu?”, tanyaku meyakinkan. “Ya!”, jawab beliau sambil mengangguk dan mengusap-usap punggungku. Lemas. Itulah yang aku rasakan setelah mendengar pengakuan beliau. Ku usap-usap mataku yang basah. . Namun percuma, air yang keluar tak kunjung surut. Pikiranku pun mulai melayang. Aku cemas. “Apakah hidup beliau tak lagi lama? Realitanya, banyak orang yang mengidap penyakit tersebut berakhir ajal. Tidak! Tidak mungkin Allah membebaniku diluar kemampuanku. Aku yakin, Allah tidak akan membebani seorang hamba diluar kemampuannya”, kata hatiku menghibur diriku sendiri. “Sebenarnya sudah lama Ayah dan kakak-kakakmu menyuruh Ibu memberi tau kepadamu tentang ini, tapi Ibu tak sampai hati untuk mengungkapkan ke kamu, Nak!”. “Mereka bilang, ‘Kasih tau saja, biar yang lain juga ikut mendoakan’, tetapi Ibu tak ingin kamu kepikiran, Ibu ingin mengatakannya pada waktu yang tepat, karena Ibu tauperempuan itu terlalu perasa”, ucap Ibu sambil mengusap punggungku. “Allah memberi sakit ini ke Ibu karena Allah tau Ibu pasti mampu menghadapinya. Dia yang tau segala sesuatu. Dia yang memberi sakit ini ke Ibu, Dia pula yang akan menyembuhkannya. Allah ingin menguji Ibu, bagaimana sikap Ibu ketika diberi ujian. Selama ini kan Ibu selalu sehat, dalam hal rezeki pun alhamdulilah selalu cukup. Iya kan?”, ucap Ibu panjang lebar sambil mengusap-usap punggungku. Aku masih mengelap-ngelap air mata yang tak kunjung reda. Mata beliau pun berkaca-kaca. Dirangkulnya tubuhku ke dalam dekapnya. Bermaksud menenangkan hatiku yang beliau tau pasti kalut. “Sudahlah, Nak! InsyaAllah Ibu bisa melewati ujian ini..”, ucap beliau lirih. “Alhamdulillah, ini juga sudah ada perubahannya”, sambung beliau. Semenjak mengetahui sakit yang sebenarnya beliau alami, hari-hariku seakan mendung. “Bu, apa Ibu tidak merasakan sakit?”, tanyaku di sela-sela perbincangan kami ketika aku masih di rumah. Karena nyatanya beliau terlihat sehat-sehat saja tanpa ada sakit yang menimpanya. “Alhamdulillah Ibu masih bisa mengerjakan pekerjaan Ibu seperti biasa, sakitnya ketika mau pecah saja. Kalau lagi sakit Ibu bawa zikir..”, terang beliau. Libur usai. Aku kembali lagi ke ma’had (pesantren).  Aku jalani hari-hariku tanpa terlihat bahwa senyumku tak semanis apa yang tersimpan di benakku. Akhir bulan, aku kembali lagi ke rumah. Kebetulan, kakak pertamaku dengan keluarga kecilnya juga menginap. Tepatlah pada suatu malam, kami sekeluarga sedang berbincang-bincang, “Sekarang kondisi Ibu menurun. Gimana kalau kalian pulang ke rumahnya gantian; Senin sampai Kamis Abang yang disini, Kamis sampai Senin Z*** yang di rumah?”, saran Ayah kepada aku dan kakakku kerena memang keadaan Ibu sekarang mudah lelah. “Ya, nanti diatur lagi jadwal mengajarnya”, jawab kakakku. Februari Hari pertama masuk setelah libur, aku dan kakakku kembali ke ma’had, untuk bermusyawarah dengan para pengajar lain terkait jadwal pelajaran yang kami pegang karena kami tidak bisa hadir satu pekan penuh. Baru beberapa hari, aku kembali pulang, tepatnya hari Kamis siang. Sampai di rumah, Ibu terlihat lesu. Tenyata beliau belum makan. Lauk untuk beliau sendiri pun belum beliau masak. Akhirnya, aku yang baru datang pun memasakkan makanan untuk beliau. Semakin hari kondisi beliau semakin tidak baik. Nafsu makan yang turun drastis dan badan beliau pun semakin kurus. Alhamdulillah, kakak pertamaku menawarkan kepada Ayah agar Ibu meminum air rebusan benalu pohon jeruk. Agar tumornya cepat mengering. Kedua kakakku pun berusaha mencarinya. Ibuku sendiri pun juga berusaha mencarinya. Meski kondisi beliau yang sudah menurun, tetapi beliau masih berusaha untuk bisa mengendarai motor sendiri. Meski keadaan beliau yang tak lagi sekuat dulu, beliau masih tetap mengerjakan pekerjaan rumahnya semampu beliau. Beliau tidak ingin terlalu merasakan penyakitnya. Beliau tidak ingin sampai merepotkan orang lain. Beberapa hari setelahnya, alhamdulilah obat yang dimaksud pun didapat. Di samping minum obat herbal, beliau juga minum rebusan benalu tersebut. Hari Senin, kakakku datang, dan aku pun kembali ke ma’had. Para santriwati pun bertanya-tanya kepadaku, “Kholah, kenapa pulang?”, “Mau nikah ya, Kholah?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang jauh dari apa yang sebenarnya terjadi. Sampai-sampai diantara mereka ada yang bertanya kepada musyrifah (pengasuh santri di pesantren) yang lain perihal kepulanganku yang sering. “Birrul walidain, membantu orang tua”, begitulah jawabannya jika ada yang bertanya perihalku. Ya memang, tentang sakit yang menimpa beliau, beliau menutupnya dengan rapat. Beliau ingin terlihat selalu baik-baik saja. Beliau tak ingin orang lain merasa iba. Kamis hadir kembali, aku kembali lagi ke rumah. Sampai di rumah, kulihat Ibu yang semakin terlihat lemah. Malam Sabtunya, kakakku mampir sendirian ke rumahku, melihat keadaan Ibu dan berbincang-bincang dengan Ayah. “Gimana kalo Z*** gak usah ke ma’had lagi, biar dia aja yang bantuin Ibu? Jadi Abang gak perlu bolak-balik ke sini lagi. Kasihan juga anak-anakmu kalo sering bolak-balik lagi covid begini. Ibu juga susah istirahat kalo ada mereka”, terang Ayah kepada kakakku. “Ya nggak papa. Nanti jadwal Z*** biar digantikan yang lain”, jawab kakakku. Diputuskanlah, aku tidak akan ke Pondok lagi. Nafas Berat Hampir sepekan minum rebusan benalu itu, nafas Ibu seakan berat. Dan tangan kanan beliau terlihat membengkak. Akhirnya, Ibu berhenti minum rebusan benalu tersebut. Barangkali tubuh beliau tidak bisa menerima obat tersebut. Tepat hari Senin, ketika bangun tidur Ibu sesak. Ayah pun memberi pertolongan pertama. Di hari Senin itu pun aku sendiri yang menyiapkan sarapan untuk Ayah. Ibu tak lagi kuat tuk berdiri lama-lama, meski napasnya sudah cukup teratur setelah mendapat pertolongan pertama. Dan di pagi itu aku membuatkan bubur untuk Ibu. Air mataku terus mengucur sejak aku membuat sarapan untuk Ayah. Hingga Ayah telah berangkat kerja pun masih saja air mataku tak mau reda. Ibu yang tengah makan melihat air mataku yang tak henti pun bertanya, “Kenapa sayang? Kamu capek?”. Aku hanya menggeleng kepala sambil mengusap air mata. “Duduklah sini..”, lanjut beliau sambil menunjuk sofa lawas di samping beliau. Aku pun duduk di samping beliau. “Kenapa, Nak? Tak usah sedih, serahkan semuanya kepada Allah”, ucap beliau sambil megusap puncak kepalaku. Aku hanya diam memandangi beliau makan. “Ya Allah, apakah hidup beliau sebentar lagi? Sesingkat inikah pertemuanku dengan beliau”, batinku. “Kamu nggak makan? Jangan sampai sakit, kalo kamu juga sakit, siapa ntar yang bantuin Ibu?”, tanya beliau di sela-sela makannya. Aku hanya menggeleng. Nafsu makanku hilang. Tangisku telah menyambut hariku kali ini. Usai makan Ibu minta berbaring di kamar. Tak lama setelah itu dua kakak kandung Ibu datang. Lama kami tak jumpa. Tak menyangka, bertemu kembali dalam keadaan pilu. Dua bibiku itu memang baru mendapat kabar perihal sakit yang menimpa Ibu. Karena Ibu memang tidak mengabari saudara-saudaranya kecuali satu. Tangis haru pun tejadi di kamarku itu. Kata maaf pun terucap dari dua bibiku itu. Seakan pertemuan ini akan menjadi pertemuan terakhir. Esoknya, Ayah menawari Ibu untuk dirawat di Rumah Sakit. Namun, Ibu menolak. Sejak beberapa bulan lalu pun Ayah sudah menawari Ibu untuk kemoterapi. Namun, Ibu menolak. Karena tak ingin merasakan efek dari kemoterapi dan karena keadaan yang yang masih diliputi wabah. Lagi pula untuk kemoterapi harus ke luar pulau. Hari berikutnya, Ayah membawa resep dari dokter. Ayah pun mulai cuti hingga beberapa hari kedepannya. “Bu, coba pegang bagian tumornya, apakah bergerak ketika digerakkan?”, tanya Ayah. “Enggak”, jawab Ibu. “Ya sudah, Bu, pasrah aja..”, jawab Ayah dengan wajah pasrah. Mata Ibu pun berkaca-kaca. Tak tega melihat wajah lemas beliau. Mataku pun ikut berkaca-kaca. Aku menutup mulutku agar tangisku tak pecah. Didekapnya diriku. Beliau masih meyakinkanku, kalau beliau insyaallah masih bisa sembuh. Kondisi beliau semakin memburuk. Setelah ke kamar kecil yang ada di kamar pun nafas beliau terengah-engah. Hawa badan beliau pun selalu terasa gerah. Hingga hari Jum’at pagi, beliau akhirnya memakai oksigen guna membantu pernapasan beliau. Sendu. Itulah suasana rumahku hari itu.  Akhirnya, di hari itu pula menjelang sholat Ashar beliau dibawa ke rumah sakit dengan mobil ambulance ditemani Ayah. Selepas shalat Ashar, aku dan kakak kedua bersiap ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata di paru-paru Ibu banyak cairan yang menyebabkan sulit bernapas. Sehingga, besok beliau akan menjalani operasi untuk menyedot cairannya. Malamnya, Ayah pulang. Aku dan kakak yang menjaga Ibu. Paginya, Ayah datang kembali. Aku dan kakak pulang ke rumah. Operasi Ibu akan dilakukan sebelum waktu zhuhur. Doa keselamatan pun kurapal. Semoga Allah memberi umur panjang kepada Ibu. Setelah sholat zhuhur, aku dan kakak kembali lagi ke rumah sakit. Tenyata operasinya belum selesai. Di ruang rawat inap Ibu aku menunggu. Tak berselang lama, datanglah Ayah dan beberapa perawat mendorong ranjang Ibu. Senyum terukir di wajah Ibu. Beliau memang tak pernah menangisi sakitnya. Tak pula mengeluh. Tapi, wajahnya kali ini menunjukkan bahwa beliau berharap besar untuk masih bisa menemani hari-hari kami lebih lama lagi. Alhamdulillah, Allah masih mengizinkan beliau tuk menghirup udara dunia. Nafsu makan beliau pun muncul kembali. Nafas juga kembali normal. Alhamdulillah. Di tubuh beliau masih terpasang selang untuk mengeluarkan cairan dari paru-paru. Setelah cairan tak ada yang keluar, Ibu baru diizinkan pulang. Kurang lebih empat malam Ibu offname. Saat akan pulang, Ibu mencoba turun dari ranjang sendirian. Ternyata beliau masih lemah, kaki beliau belum bisa menapak tanpa bantuan. Akhirnya beliau memakai kursi roda untuk menuju mobil. Di rumah, ternyata keadaan beliau semakin hari tidak semakin baik. Ya, kadang memang beliau merasa badannya enakan. Namun, tangannya masih bengkak, dan nafas beliau sesekali kembali sesak. Ya memang, kata dokter, cairan itu akan muncul lagi meski telah disedot. Kamarku pun serasa seperti ruang rawat inap. Ada tabung oksigen dan infus. Ya, selama sakit beliau tidur di kamarku bersamaku. Setelah Ibu datang dari rumah sakit, para tetangga dan saudara serta ummahat salafiyyat datang menjenguk. Mereka memberi semangat kepada Ibu untuk sembuh dan memberi saran obat yang dan makanan yang dikonsumsi guna mempercepat penyembuhan tumor. Maret Kurang lebih dua pekan ibu dirawat di rumah, akhirnya Ibu harus kembali lagi ke rumah sakit untuk sedot cairan lagi. Tepatnya hari Ahad, Ibu kembali lagi opname. Hanya saja kali ini tidak dilakukan operasi. Dokter hanya masang jarum suntik dengan selang untuk mengalirkan cairannya. Kurang lebih sehari, selang sudah dilepas, karena cairannya sudah tidak keluar lagi. Namun, Ibu belum bisa pulang karena akan sedot cairannya lagi beberapa hari kedepan. Drop Hari itu, tepatnya hari Jum’at. Sore itu, kakak keduaku terburu-buru. “Abang disuruh ke Rumah Sakit, Ibu sesak”, ucapnya sambil berjalan tanpa menoleh. Harusnya balik lagi ke sana pada malam hari bersamaku. Aku yang sedang memasak hanya terdiam melihatnya terburu-buru. “Ya Allah, semoga Ibu masih selamat”, lirihku. Khawatir. Itulah yang aku dan kakak iparku rasakan. Mendekati Maghrib, kakak pertamaku yang datang. Setiap sore dia memang mengantar lauk untuk Ibu karena lauk yang disediakan dari Rumah Sakit seringnya lauk yang harus Ibu hindari. “Bagaimana keadaan Ibu?”, tanyaku. “Pakai oksigen tekanan tinggi”, jawabannya. “Padahal siangnya beliau masih terlihat baik-baik saja”, batinku. Setelah shalat isya aku diantar kakak pertama ke Rumah Sakit. “Adek mana?”, tanya beliau kepada kakakku yang mengantarku ketika kami telah sampai di ruangan. Adek yang beliau maksud adalah anak perempuan kakak pertamaku yang baru berumur satu tahun. Ntah mengapa tiba-tiba beliau bertanya cucunya. Padahal dari kemarin-kemarin tak pernah bertanya tentang cucunya. “Ada di rumah sama umminya”, jawabnya. Tak lama di sana, kakakku pulang. Malam itu, aku tidur duluan di sofa ruang rawat inap Ibu. Bergantian dengan kakakku yang kedua yang memang mendapat jadwal jaga malam sejak Ibu dirawat di Rumah Sakit. Saat terjaga dari lelap, kulihat ternyata Ayah masih duduk di samping ranjang Ibu. “Ya Allah, ternyata Ayah tidak pulang”, batinku. Ingin kudekati, tapi ragaku menolak tuk bangkit. Mendekati waktu subuh, aku terhenyak dari lelapku. Terdengar suara berat yang mengucapkan lafaz-lafaz zikir. Pandanganku langsung tertuju kepada sumber suara. Ternyata, itu suara Ibu! Dengan mata berkaca-kaca kudekati beliau yang sendiri. Aku duduk di kursi di samping ranjang beliau. Sepertinya Ayahku meninggalkan Ibu saat dirasa Ibu telah terlelap, dan tanpa membangunkan kami. “Ayah kemana?”, tanya beliau saat menyadari kehadiranku. Ku jawab bahwa aku juga tak mengerti kemana perginya Ayah. Setelah waktu subuh, Ayah datang. “Bacakan Al-Qur’an kepada Ibu!”, perintah Ayah. “Dari setelah sesak kemarin, agak beda soalnya”, lanjut Ayah. Akhirnya aku membacakan Al-Qur’an kepada Ibu. Jam terus berputar. Ibu meminta untuk diganti dengan oksigen yang biasa. Akhirnya Ayah mengganti dengan oksigen yang biasa. Baru beberapa detik diganti, tekanan oksigen di paru-paru Ibu menurun dan nafasnya terasa berat. Terpaksa Ayah mengganti dengan oksigen yang sebelumnya lagi. Sejak kemarin sore, nafas Ibu tidak nyaman. Dibuka sebenar saja sungkup oksigennya, kadar oksigen di paru-paru beliau menurun. Beliau juga merasa tak nyaman menggunakan sungkup oksigen. Ayah pun tampak kalut melihat kondisi Ibu yang bernafas tak nyaman. Dokter yang berjanji akan menyedot cairan hari itu pun tak kunjung datang. Hari itu, sejak usai sarapan, Ibu beberapa kali bertanya “Kapan sholat zhuhur?”. Padahal sudah dijawab masih lama. Ayah juga menyuruh untuk sesekali menalqin Ibu. Menjelang zhuhur, dokter datang. Mengetahui dokter akan tiba, aku segera menarik gorden yang membatasi tempat tidur Ibu dengan sofa-sofa pengunjung. Sedangkan kakakku memilih ke lantai bawah. Adapun Ayah menemani Dokter. Di balik gorden aku mendengar Dokter bertanya keadaan Ibu. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara Ibu yang cukup keras menyebut kalimat syahadat. Kurapal doa kebaikan. Semoga Ibu masih selamat. Terdengar suara dokter samar-samar. Namun, aku tak dapat mendengar jelas apa yang dokter bicarakan dengan Ayah. Tak lama kemudian, dokter keluar lalu memanggil Ayah untuk juga ikut keluar. Kusingkap gorden yang menghijabi antara aku dan Ibu. Dan ku dekati beliau. Ternyata, penyedotan cairannya batal. Entah apa alasannya, aku tak mengerti. Aku memandangi wajah Ibu yang lemas. Beliau juga menatap wajahku. “Alhamdulillah Ibu masih bernafas”, batinku. Beberapa saat kemudian, terdengar suara engsel pintu, aku segera kembali ke tempatku semula. “Oh ternyata Ayah dan dokter“, batinku.  Setelah itu ntah apa yang dokter lakukan. Yang pasti bukan untuk melakukan penyedotan cairan. Setelah usai pemeriksaan yang dilakukan dokter, aku menghubungi kakakku. Tak lama setelah kakakku masuk ruang rawat inap Ibu, kami pamit untuk pulang dulu. Sorenya, kakakku pergi duluan ke rumah sakit. Setelah Isya’ kakak pertamaku mengantarku ke rumah sakit. Sesampai di ruang rawat Ibu, terdengar suara murattal dari handphone kakak keduaku. Sejak Ibu sesak hebat, tepatnya hari Jum’at sore itu, Ibu sering dibacakan Al-Qur’an. Kadang, beliau sendiri yang memintanya. Ya memang, sejak hari itu, keadaan beliau tak meyakinkan. Kakak pertamaku pulang. Ayah juga menyusul pulang. Malam itu aku kembali memilih untuk tidur duluan. Udara ruangan yang dingin membuatku tak mampu melawan kantuk. Malam itu, awalnya Ibu akan diuap. Beberapa perawat pun telah membawa peralatannya. Namun, Ibu menolak. Aku yang telah berbaring di sofa, hanya melihat samar-samar apa yang terjadi karena aku menutup bagian tempat sofa dengan menarik sebagian gorden. Malam itu, Ibu tidak tidur dengan nyaman. Sesekali minta dilepas sungkup oksigennya. Sikap beliau pun seakan seperti anak kecil yang memaksa untuk dituruti permintaannya. Aku dan kakakku berusaha menenangkan beliau dan menyabari beliau. “Ya Allah, akankah kami menghadapi beliau yang pikun?”, batinku. Esoknya, saat hari masih gelap, Ayah dan kakak pertamaku datang. Sepertinya, selepas shalat Subuh mereka langsung berangkat ke Rumah Sakit. Pagi itu, aku sangat mengantuk. Kutahan-tahan, tetap saja terpejam meski dalam keadaan duduk. Padahal tidurku tadi malam cukup nyenyak meski sering terbangun. Entah mengapa, jaga dua malam terakhir ini, mataku begitu berat. Hingga aku merasa hampir semalam penuh kakakku yang menjaga. Jam menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit. Dalam keadaan yang masih menahan kantuk, Ayah mengajakku pulang. “Yuk pulang, Ayah sarapan di rumah aja”, ajak Ayah. Aku pun berpamitan dengan Ibu dan dua kakakku. Ingin kucium Ibuku, tapi aku tak ingin tangisku pecah, lagi. Sampai di rumah, aku dan kakak iparku menyiapkan sarapan untuk Ayah. Setelah sarapan dan menyiapkan yang lainnya, Ayah kembali ke rumah sakit. Aku dan kakak iparku di rumah bersama dua anaknya. Hari ini aku di rumah saja. Biasanya aku baru pulang ke rumah sekitar jam sembilan pagi. Namun hari ini, masih pagi aku sudah disuruh pulang dan tidak ke Rumah Sakit lagi. Mengingat hari-hari Ibu yang tak berdaya. Hampir sebulan Ibu tak berjalan. Hanya berbaring di atas tempat tidur. Selama itu pula, tak pernah ada air mata yang beliau tumpahkan karena sakit yang beliau rasakan. Tak pula keluh kesah yang keluar dari lisan beliau. Beliau serahkan dan pasrahkan semuanya kepada Yang Kuasa dengan menempuh sebab kesembuhan. Aku bangga padamu, Ibu! Ahad Sore “Kenapa barang-barangnya udah dibawa pulang, Bang?”, tanyaku keheranan ketika kakak pertamaku sampai di rumah setelah mengantar makan malam. “Yah, keadaan Ibu aja sudah seperti itu“, jawab kakakku. “Ya, mana tau besok Ibu segar kembali”, sambungku. Sebelumnya, aku memang sudah mendapat kabar bahwa Ibu sudah tidak sadar sejak siang. Aku hanya berusaha meyakinkan diriku sendiri, bahwa tidak mungkin Allah membebaniku diluar batas kemampuanku. Aku masih merasa belum mampu melayani Ayah tanpa bantuan dari Ibu. Aku khawatir tak sempurna dalam melayani Ayah. Setelah Shalat Maghrib “Nanti aku nggak ikut ke rumah sakit, ya, Bang!”, pintaku ke kakak pertamaku. “Kenapa?”, tanyanya. “Badanku agak engegak enak, entar khawatir tambah kedinginan di sana”, jawabku. Khawatir mau ke Rumah Sakit sedang tidak enak badan, karena di sana juga ada ruang isolasi covid-19. “Gimana kabar Ibumu, Z*?”, tanya adik Ibu via telepon. Mengetahui keadaan Ibu yang kritis aku menjawab, “Do’akan saja yang terbaik, Bi..”. “Kami pasti mendo’akan yang terbaik untuk Ibumu, Z*”, “Katanya dari tadi siang gak sadar ya?”, tanya Bibi. “Siapa yang mengabari ya?”, batinku. “Iya, Bi. Do’akan saja Ibu, Bi. Semoga Allah memberi yang terbaik untuk beliau”, ucapku menjawab pertanyaan Bibi.  Setelah Azan Isya’ Aku masih berbicara dengan temanku via telepon. Hingga kakak pertamaku berangkat ke rumah sakit. Ingin rasanya aku memutus telepon saat kakak mulai menyalakan motor dan ikut ke rumah sakit. Namun, aku urungkan. Khawatir kakak malas menungguku. Aneh. Entah mengapa malam itu aku tak mau ikut ke rumah sakit. Padahal, bagaimana pun keadaannya, aku tetap harus menjaga Ibu di waktu malam. Karena itu bagian tugasku. “Biarlah, Bang F*** jaga sendiri aja, daripada aku ikut jaga, ntar tambah gak enak badan”, batinku. Aku masih dengan ponselku. Berita Duka Tak lama setelah kakak pertamaku berangkat, kurang lebih dua puluh menit, istrinya yang memang ditinggal di rumah bersama dua anaknya, mendatangiku. “Dek, Ibu udah gak ada!”, ucapnya pelan dengan wajah muram dan mata berkaca-kaca. “Beneran, kak? Ibu udah meninggal?”, tanyaku kaget. “Ya, Abang baru saja memberi tau”, jawab kakak iparku. “Innaa lillahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Allahumma’ jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa._ Alhamdulillah ‘alaa kulli haal”, ucapku lirih. Aku langsung mencari kontak kakak pertamaku, lalu menelponnya. Telepon langsung diangkat. “Bang, beneran Ibu sudah meninggal?”, tanyaku setelah ucapan salamku dijawab. “Ya”, jawabnya singkat. Setelah mengucapkan salam, telepon ku tutup. Aku tidak menangis. Apakah hatiku batu? Tidak! Aku telah menyiapkan hatiku jauh-jauh hari. Aku meyakinkan diriku bahwa apa yang Allah takdirkan pasti yang terbaik, Allah tidak akan membebani hamba diluar kemampuannya, dan akan ada hikmah dari setiap kejadian. Tak berselang lama, kakak pertamaku datang. Dia langsung menyuruh menyiapkan kasur untuk jenazah Ibu. Sesaat kemudian kakak keduaku datang. Setelah dia masuk kamar, aku juga ikut masuk ke kamarnya, karena ada yang ingin aku sampaikan. Dengan air mata yang mengalir, dia memelukku. “Sabar, Bang. Namanya hidup, pasti ada perpisahan”, ucapku sambil mengusap punggungnya. Dengan mobil ambulance dan ditemani Ayah, jenazah Ibu sampai di rumah satu jam lebih setelah kabar kematiannya kudengar. Tenang dan damai. Itulah yang terlihat di wajah Ibu. Senyuman tergambar di bibir beliau. Rahimahallah. Semoga Allah merahmatimu, Ibu. Malam itu juga jenazah beliau dimandikan. Selepas sholat shubuh baru dikafani. Para tetangga, teman-teman Ayah dan Ibu, juga sanak saudara datang melayat. Sekitar pukul delapan, kami menyolatkan jenazah beliau. Setelah jam setengah sembilan, jenazah beliau dibawa ke masjid. untuk disholatkan di sana juga. Dari sebuah bilik, aku memandangi keranda yang membawa jenazah beliau hingga hilang dari pandanganku. Selamat jalan, Ibu. Semoga engkau bahagia di sana! “Tees!”. Air mataku tumpah. Lalu, aku berjongkok di atas kasur dan bersandar ke dinding. “Ya Allah, tak menyangka, ternyata pertemuan kami singkat!”, lirihku *** Kini, tak ada lagi sosok itu.. Sosok yang mencintaiku dan aku juga mencintainya.. Sosok tegar dan tak pernah berkeluh-kesah.. Sosok pejuang keras tak pula kenal putus asa.. Sosok tegas namun penuh kelembutan.. Sosok sabar lagi penuh kasih sayang.. Sosok periang lagi ramah.. Dan sosok yang suka menyambung silaturahmi lagi dermawan.. Ya, sosok itu adalah sosok Ibuku! Sosok yang aku banggakan! (Ditulis oleh Az****, Sahabat Portal Buku dari Belitung) Sumber: https://portalbuku.com/bikin-air-mata-tumpah-ibu-yang-aku-banggakan/
3 tahun yang lalu
baca 18 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

ketika gunung diangkat di atas kepala bani israil

INGATLAH! KETIKA GUNUNG DIANGKAT DI ATAS KEPALA BANI ISRAIL Al-Ustadz Abu Muhammad Rijal, Lc حفظه الله تعالى "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal." terjemah Q.S. Yusuf: 111 Duduk santai ditemani secangkir kopi panas dan potongan-potongan singkong goreng tentulah sebuah kenikmatan. Apalagi sambil kedua mata menatap gunung yang gagah dan kokoh menampakkan keelokannya diiringi hembusan angin gunung yang demikian segar. . Subhanallah.  Cobalah sesekali kita tanyakan, apa yang akan kita lakukan jika tiba-tiba sang gunung terangkat ke atas langit, tepat di atas kepala kita. Apa yang akan kita lakukan? Lari? Teriak? Atau apa yang kita perbuat? Jangan ada yang berkata, "Mustahil" Sungguh bukan hal yang susah bagi Allah untuk mengangkat gunung dan menjatuhkannya pada suatu kaum, seandainya Allah menghendaki. Sebagaimana hal ini pernah terjadi pada umat-umat sebelum kita. Bukan pula hal yang mustahil bagi Allah untuk menenggelamkan seseorang atau suatu kaum ke dalam bumi, dengan sebab dosa mereka. Sebagaimana pernah terjadi pula di masa lalu, seperti yang menimpa Qarun beserta harta dan keluarganya. Gunung diangkat? Di masa Rasulullah ﷺ hampir-hampir sebuah gunung diangkat untuk mengazab penentang Rasulullah ﷺ. Ketika itu beliau disakiti kaumnya, diusir, dan dilempari batu. Allah utus malaikat penjaga gunung untuk mengangkat dan menjatuhkannya pada kaum yang durjana. Suatu hari, ketika Rasulullah ﷺ bercengkerama dengan Ummul Mukminin Aisyah Radiallahu'anha, beliau bersabda yang artinya,  ”Wahai Aisyah, sungguh aku telah mendapatkan gangguan dari kaummu. Dan peristiwa yang sungguh menyakitkanku adalah peristiwa hari Aqabah, ketika aku menyeru Ibnu Abdi Yalil bin Abdu Kulal masuk Islam, namun ia tidak menyambut apa yang kuhendaki.” Aku pun beranjak pergi dengan hati yang sedih, dan tidaklah aku tersadar kecuali setelah tiba di Qornu Tsa‘alib¹. Aku tengadahkan kepalaku ke langit, tiba-tiba tampak segumpal awan menaungiku. Aku angkat kepalaku, ternyata Jibril berada di sana dan berseru kepadaku, ’Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan jawaban mereka terhadapmu. Dan Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu untuk engkau perintahkan apa yang menjadi kehendakmu atas mereka (orang-orang kafir)'. Kemudian malaikat gunung berseru kepadaku serta mengucapkan salam, lalu berkata, ’Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan aku adalah malaikat gunung yang telah diutus Rabbmu agar engkau memerintahkan kepadaku sesuai dengan perintahmu. (Wahai Muhammad) apa yang kamu inginkan? Jika kamu menginginkan, aku akan menimpakan kepada mereka dua gunung itu².’ Rasulullah ﷺ menjawab, ’Tidak, bahkan aku berharap semoga Allah melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang akan menyembah Allah semata, serta tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun. Kisah malaikat penjaga gunung ini diriwayatkan Al-lmam Al-Bukhari dalam Shahihnya.  Diangkatnya Gunung Kepada Bani Israil Diangkatnya gunung pernah terjadi di waktu silam, tepatnya di zaman Nabi Musa عليه السلام. Kisah menakjubkan tersebut Allah sebutkan di beberapa tempat dalam Al-Qur'an. Gunung Thursina³ diangkat di atas kepala-kepala Bani Israil sebagai ancaman atas kedurhakaan mereka, karena tidak mau menerima Taurat. Kisah ini disebutkan di beberapa tempat dalam Al-Qur’an. Dalam Surat Al-Baqarah Allah berfirman yang artinya,  ”Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atas kalian (seraya Kami berfirman), ”Peganglah dengan kuat apa yang Kami berikan kepada kalian dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kalian bertakwa.” Kemudian kalian berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas kalian, niscaya kalian tergolong orang-orang yang rugi." [Q.S. Al-Baqarah: 63-64]. Dalam Ayat ke-92 dan 93, masih dalam surat Al-Baqarah. Allah سبحانه وتعالى berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya Musa telah datang kepada kalian membawa bukti-bukti kebenaran (mukjizat), kemudian kalian jadikan anak sapi (sebagai sembahan) sesudah (kepergian)nya, dan sebenarnya kalian adalah orang-orang yang lalim. Dan (ingatlah),  ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkat bukit (Thursina) di atas kalian (seraya Kami berfirman), “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepada kalian dan dengarkanlah!” Mereka menjawab, "Kami mendengarkan tetapi tidak menaati“. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah, "Amat jahat perbuatan yang diperintahkan oleh iman kalian kepada kalian jika betul kalian beriman (kepada Taurat).”  Kisah diangkatnya gunung di atas kepala-kepala Bani Israil juga Allah sebutkan pula dalam Surat Al-A'raf:  ۞ وَإِذْ نَتَقْنَا ٱلْجَبَلَ فَوْقَهُمْ كَأَنَّهُۥ ظُلَّةٌ وَظَنُّوٓا۟ أَنَّهُۥ وَاقِعٌۢ بِهِمْ خُذُوا۟ مَآ ءَاتَيْنَٰكُم بِقُوَّةٍ وَٱذْكُرُوا۟ مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka, seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka), "Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepada kalian, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kalian menjadi orang-orang yang bertakwa." (Q.S. Al-A’raf: 171) Inilah ayat-ayat Al-Quran yang mengisahkan berita-berita Bani Israil di zaman Musa عليه السلام.  Mengapa Allah Angkat Gunung Kepada Mereka? Al-lmam Al-Baghawi dalam kitab Tafsirnya mengisahkan sebab diangkatnya gunung kepada Bani Israil dari riwayat shahabat Abdullah bin Abbas رضي الله عنهما. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Allah memerintahkan salah satu gunung di Palestina. Maka terangkatlah gunung tersebut seakar-akarnya, diangkat hingga berada di atas kepala Bani Israil. Allah angkat gunung karena kedurhakaan Bani Israil. Ketika Allah turunkan Taurat kepada Nabi Musa عليه السلام, beliau memerintahkan kaumnya untuk segera menerima dan mengamalkan hukum-hukum Taurat. Namun mereka enggan dan menolaknya. Mereka enggan karena beratnya hukum yang ada di dalamnya, dan syariat Musa memang syariat yang berat. Karena penolakan itulah, Allah memerintahkan Jibril عليه السلام mengangkat gunung, menaungi seluruh Bani Israil, berjarak setinggi manusia. Lalu Musa berkata, "Jika kalian tidak mau menerima Taurat, gunung ini akan dijatuhkan kepada kalian."  Gunung apa yang diangkat di atas kepala Bani Israil? Imam Ahli Tafsir, Abu Ja’far Ath-Thabari رحمه الله menyebutkan beberapa perkataan ahli tafsir mengenai gunung yang dimaksud dalam firman Allah:  وَرَفَعْنَافَوْقَكُمُ الطُّورَ ”..dan Kami angkatkan Ath-Thur di atas kalian.” Di antara ahli tafsir ada yang mengatakan Ath-Thur maknanya gunung. Yakni, tidak ditentukan gunung apa yang dimaksud, yang jelas salah satu dari gunung-gunung yang ada.  Ibnu Abbas رضي الله عنهما menjelaskan bahwa Ath-Thur adalah gunung tempat Musa عليه السلام diajak bicara oleh Allah. Allahu a’lam. Hikmah-Hikmah Kisah-kisah Qurani adalah wahyu Allah yang penuh keindahan. Sangat dalam samudra faedah yang bisa diambiI seorang mukmin. Tidak seperti kisah-kisah dusta yang merebak di zaman ini, yang justru banyak digandrungi. Allah berfirman:  ۞ لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصْدِيقَ ٱلَّذِى بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (Q.S. Yusuf: 111) Berita Allah dalam ayat-ayat yang agung di atas banyak hikmah yang bisa kita ambil. Di antara hikmah-hikmah tersebut:  1. Pentingnya mengingat kejadian umat terdahulu untuk diambil pelajaran. Allah berfirman: وَ إِذْأَخَذْنَامِيثَاقَكُمْ "Dan (ingatlah), ketika Kami  mengambil janji dari kalian....” 2. Kisah yang agung ini mengingatkan Yahudi tentang apa yang terjadi pada nenek moyang mereka, agar mereka mau mengambil ibrah (peIajaran). Ketika Allah turunkan Al-Quran kepada nabi yang terakhir, wajib bagi mereka untuk bersegera mengimaninya. Jangan seperti kaum Musa yang enggan mengambll Taurat setelah diturunkan. Selain itu, walaupun kisah ini terkait dengan Bani lsrail di zaman Musa, nasihat ini tentunya juga berlaku bagi kaum mukminin, bukan nasihat khusus untuk Yahudi. 3. Kisah ini menunjukkan betapa besar kekuatan dan kekuasaan Allah سبحانه وتعالى. Allah Maha Kuasa untuk mengangkat gunung dan menjatuhkannya kepada orang- orang yang ingkar kepada-Nya. Dan sungguh, alam semesta yang kita saksikan adalah sebagian kecil dari bukti kekuasaan AIlah. Allah berfirman: ۞ إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولَا وَلَئِن زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِّن بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا "Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun."[Q.S. Fathir: 41]. 4. Dalam kisah ini ada ancaman azab dari Allah bagi mereka yang berpaling dari Al-Qur’an, berpaling dari syariat Allah. Jika Allah berkehendak, Allah perintahkan bumi untuk menenggelamkan kaum yang ingkar, atau Allah angkat gunung dan ditimpakan kepada kaum yang enggan berpegang dengan syariat Allah. Allah Ta’ala berfirman, ۞ أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (16) أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (17) “Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang di langit, bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang❓Atau apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang di langit, bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku.” (QS. Al Mulk: 16-17) Banyak dari kisah-kisah Al-Quran yang juga Allah sebutkan mengenai kesudahan buruk yang dialami kaum yang durhaka. Seperti kaum Nabi Luth, kaum Nabi Shalih, dan kaum Nabi Nuh عليه السلام.  5. Azab yang menimpa seseorang  atau suatu kaum sebabnya adalah perbuatan tangan manusia itu sendiri. 6. Wajibnya menunaikan perjanjian (mitsaq), terlebih perjanjian dengan Allah سبحانه وتعالى.  7. Kewajiban mengambil dan mengamalkan hukum-hukum syariat dengan sungguh-sungguh (kuat), Allah berfirman:  خُذُوا۟ مَآ ءَاتَيْنَٰكُم بِقُوَّةٍ "Peganglah dengan kuat (teguh-teguh) apa yang Kami berikan kepada kalian..." 8. Wajibnya mengingat apa yang Allah turunkan, yaitu Al-Quran dan hadits Nabi ﷺ. Tidak boleh melupakan atau menyia-nyiakannya. Dalam kisah ini Allah berfirman:  وَٱذْكُرُوا۟ مَا فِيهِ “Serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya...” 9. Ketakwaan tidak akan sempurna bagi seorang hamba kecuali jika dia mau mengambil hukum-hukum syariat dengan kuat. Allah berfirman:  خُذُوا۟ مَآ ءَاتَيْنَٰكُم بِقُوَّةٍ وَٱذْكُرُوا۟ مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ "... peganglah dengan kuat (teguh-teguh) apa yang Kami berikan kepada kalian serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” 10. Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk bersegera mengamalkan Al-Quran, bersegera bertaubat, dan tidak seperti Bani lsrail yang enggan untuk melaksanakan apa yang Allah turunkan kepada Musa, hingga datang ancaman atau azab Allah. 11. Kisah di atas menjelaskan beberapa sifat Bani lsrail. Mereka adalah kaum yang tidak bersegera mengambil kebenaran. Mereka justru lebih memilih untuk berpaling. Ketika mereka diperintah untuk mengikuti Al-Kitab mereka justru mengatakan: Kami dengar namun kami tidak taat. Allah berfirman:  خُذُوْا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَ اسْمَعُوْا قَالُوْا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepada kalian dan dengarkanlah!” Mereka menjawab, 'Kami mendengarkan tetapi tidak menaati.” Yahudi bukan hanya mengucapkan kalimat ini di zaman Nabi Musa. Namun terus berlangsung hingga zaman Rasulullah ﷺ sebagaimana Allah firmankan:  مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُوا۟ يُحَرِّفُونَ ٱلْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَٱسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَٰعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِى ٱلدِّينِ ”Di antara orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata, "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula), ”Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan), ”Raa'ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama." [Q.S. An-Nisa: 46].  Pembaca, demikian sepenggal kejadian sejarah umat terdahulu,  semoga Allah bimbing kita merenungkan dan mentadabburi ayat-ayat-Nya. Amin.  Catatan Kaki: 1) Qarnu Ats-Tsa’alib adalah Qarnu Al-Manazil, miqat bagi penduduk Nejed untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Berjarak sekitar 94 km dari Makkah, saat ini bernama As-Sailul Kabir. 2) Dua gunung yang dimaksud adalah gunung Abu Qubais dan gunung yang di hadapannya.  3) Ada beberapa pendapat ulama tentang gunung-gunung yang diangkat di atas kaum nabi Musa.  Sumber || Majalah Qudwah Edisi 01 t.me/majalah_qudwah
3 tahun yang lalu
baca 10 menit