Kisah

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

orang-orang yang mensucikan diri

Manusia adalah tempat salah dan lupa. Tak seorang pun yang berani menjamin dirinya akan tetap terjaga, tidak tercebur dalam kubang maksiat. Dan kini, bisa jadi ia hidup dalam ketaatan. Namun, apakah ia lantas berani menyatakan dirinya akan terus menerus dalam ketaatan itu? Qalbu manusia ada di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahman. Ketergelinciran, tak memandang bulu. Seorang alim pun bisa saja jatuh terpuruk. Dalam lintasan sejarah hidup .manusia, tertoreh kisah keterpurukan itu. Akan tapi, sebaik-baik manusia yang tenggelam dalam lumpur dosa adalah yang mau mengentaskan diri. Ia bangkit, berkemas meninggalkan maksiat. Ia sesali dosa-dosa yang melumuri dirinya. Ia berazam, berbulat tekad, tak akan mengulang kesalahan telah terjadi. Lembaran kelam dalam hidupnya ditutup. Lembaran baru nan putih bersih ia jejaki. Ia memulai hidup baru sebagai manusia yang bertaubat. “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian ia bertaubat dengan segera. Maka, mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Q.S. An-Nisa:17]. “Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” [Q.S. An-Nashr:3]. Abu Musa, Abdullah bin Qais Al Asy ’ari radhiyallahu 'anhu menyampaikan pernyataan Nabi shallallahu 'alaih wasalam, sabda beliau yang artinya, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima taubat seseorang yang berbuat kesalahan kala siang hari. Allah pun membentangkan tangan-Nya pada waktu siang hari untuk menerima taubat seseorang yang berbuat kesalahan kala malam hari, hingga matahari terbit dari tempat tenggelamnya (arah barat).” [H.R. Muslim, no.2759]. Pintu taubat senantiasa terbuka luas. Allah subhanahu wa ta'ala Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya. Karenanya, bersegeralah memohon ampun kepada-Nya. Bertaubat kepada-Nya. Tak perlu menunggu waktu atau menunda-nunda. Sebab, tak seorang pun tahu kapan ajal menjemputnya. Seorang shahabat bernama Ma’iz bin Malik radhiayallahu 'anhu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ia menyengaja menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasalam. Ia ingin mengungkapkan apa yang selama ini tersimpan di dadanya. Saat bertemu, kesempatan itu tak disia-siakan. Ma’iz  berterus terang kepada Nabi atas apa yang telah dilakukannya. Dirinya telah terjatuh kepada perbuatan dosa. Kata Ma’iz radhiyallahu 'anhu, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku.” Ma’iz memohon kepada Rasulullah. “Ada apa dengan dirimu? Kembalilah engkau. Mintalah ampun kepada Allah dan bertaubatlah kepada-Nya.” Kata Rasulullah memberi bimbingan kepada Ma’iz. Mendengar ucapan mulia dari lisan Khalilullah (Kekasih Allah), Ma’iz  pun beranjak. Ia kembali ke tempat asalnya. Namun selang berapa lama, Ma’iz  berupaya lagi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam. Ma’iz  pun meminta kepada beliau agar membersihkan dirinya dari dosa. “Wahai Rasulullah, sucikanlah daku.” Pintanya penuh harap. Jawaban Rasulullah pun sama saat kali pertama ia menemui beliau. “Ada apa dengan dirimu? Kembalilah engkau. Beristighfarlah kepada Allah. Bertaubatlah kepada-Nya.” Demikian yang disampaikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam kepada Ma’iz radhiyallahu 'anhu. Setelah mendengar itu, Ma’iz  pun kembali. Apa yang dicitakan tak terkabulkan saat itu. Nabi ` menginginkan agar Ma’iz menutup masalahnya dengan memohon ampun dan bertaubat kepada Allah Yang Maha Penyayang. Untuk kali ketiga, Ma’iz berusaha lagi menghadap Rasulullah. “Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku.” Pintanya. Nabi menimpali dengan jawaban yang sama ketika dirinya datang pada kali pertama dan kedua. Hingga, untuk kali keempat Ma’iz tetap menemui kembali Rasulullah. Yang ia pinta sama, “Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku.” Rasulullah pun bertanya balik, “Lantaran perbuatan apa (sehingga) engkau harus disucikan?” Ma’iz radiyallahu 'anhun menjawab, ”Lantaran perbuatan zina.” Untuk masalah ini, Rasulullah pun menanyakan perihal Ma’iz kepada kaumnya. “Apakah Ma’iz memiliki penyakit gila?” . Maka kaumnya mengabarkan kepada Rasulullah, bahwa Ma’iz tidak mengidap sakit jiwa. Lantas Nabi bertanya kepada seseorang, “Apakah dia dalam keadaan telah minum khamer (mabuk)?” Mendengar pertanyaan Nabi ` semacam itu, seorang laki-laki lalu membaui Ma’iz . Orang tersebut tak mendapati bau khamer (minuman keras) pada diri Ma’iz. Lantas Rasulullah bertanya kepada Ma’iz, “Apakah dirimu telah berbuat zina?” “Ya.” Jawab Ma’iz z singkat. “Apakah engkau memahami apakah zina itu?” Tanya Rasulullah lebih menukik. Ma’iz menjawab, “Ya. Zina, yaitu ketika seorang laki-laki mendatangi wanita yang diharamkan baginya sebagaimana seorang suami mendatangi istrinya.” Rasulullah pun lantas bertanya kembali, “Apakah engkau melakukan terhadap wanita itu?” “Ya.” Jawab Ma’iz. "Hingga keadaannya sebagaimana jarum celak masuk ke dalam botolnya, atau tali timba masuk ke dalam sumur?” Tanya Rasulullah lebih mendalam. Ma’iz  pun memberi jawaban singkat, “Ya.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam  lantas memerintahkan untuk merajam Ma’iz . Tanah pun digali guna menanam tubuh Ma’iz. Saat itu, orang-orang terpilah dua. Sekelompok orang mengatakan tentang dia, “Sungguh ia telah celaka. Telah dibalas kesalahannya dengan hukuman rajam itu.” Sebagian orang lagi mengatakan, “Tiada taubat yang lebih utama dari taubatnya Ma’iz. Sungguh, ia telah datang kepada Nabi, lantas ia letakkan tangannya pada tangan beliau seraya berucap, ‘Bunuhlah aku dengan batu’.” Hukum rajam pun dilaksanakan. Ma’iz bin Malik radhiyallahu 'anhu akhirnya meninggal dunia melalui hukuman tersebut. Kemudian Rasulullah mendatangi para shahabat, tatkala mereka tengah duduk-duduk. Rasulullah pun memberi salam, lantas duduk bersama mereka. “Mohonkanlah ampunan bagi Ma’iz bin Malik.” Kata Rasulullah memerintahkan kepada para shahabat. Kemudian para shahabat pun mendoakan Ma’iz bin Malik. “Semoga Allah mengampuni Ma’iz bin Malik.” Demikian doa itu terucap dari para shahabat. Rasulullah bersabda, “Sungguh ia telah bertaubat dengan sebuah taubat, yang apabila dibagikan kepada umat, benar-benar taubat itu mencukupi mereka.”  Di antara faedah dari kisah Ma’iz bin Malik, bahwa hukuman had (pidana berdasar hukum Islam) bisa memupus dosa kemaksiatan yang melekat pada seseorang. Demikian pula dosa maksiat yang masuk kategori dosa-dosa yang besar (kaba’ir), bisa gugur dengan cara bertaubat kepada Allah . Wallahu a’lam. [Sumber rujukan kisah ini lihat Shahih Muslim, no.1694-1695, Syarhu Riyadhi Ash-Shalihin, Kitabu Al-Adab, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitabu Al-Hudud, karya An-Nawawi].   Dikutip dari Majalah Qudwah Edisi 2
10 tahun yang lalu
baca 5 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

terungkapnya tabir pembunuh di tengah bani israil

Terungkapnya Tabir Pembunuh di Tengah Bani Israil Al-Ustadz Abu Muhammad Rijal, Lc. Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina.’ . Mereka berkata, ‘Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?’  Musa menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.’  Mereka menjawab, ‘Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu.’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian.’  Mereka berkata, ‘Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya.’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.’  Mereka berkata, ‘Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).’ Musa berkata, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.’ Mereka berkata, ‘Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.’  Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. Dan (ingatlah), ketika kalian membunuh seorang manusia lalu kalian saling tuduh menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kalian sembunyikan. Lalu Kami berfirman, ‘Pukullah mayit itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!’ Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan pada kalian tanda-tanda kekuasaan- Nya agar kalian mengerti.”  [Q.S. Al- Baqarah:67-73]. Berita Kematian Yang Mengejutkan  Mayat lelaki ditemukan, tidak diketahui jejak sang pembunuh. Berita besar pun menyebar di tengah Bani Israil. Mereka dihantui dengan pertanyaan, “Siapa gerangan otak di balik kematiannya?” Kematian yang masih menjadi misteri, menyebabkan persengketaan di kalangan Bani Israil. Mereka saling tuduh satu dengan lainnya. Hampirhampir kerusakan besar menimpa Bani Israil. Yaitu persengketaan dan permusuhan, seandainya Allah tidak tampakkan siapa sesungguhnya pelaku pembunuhan itu.  Akan tetapi Allah masih melimpahkan rahmat-Nya kepada Bani Israil. Allah tampakkan jati diri pembunuh tersebut. Bukan melalui saksi-saksi hidup. Bukan pula melalui wahyu kepada Musa. Tetapi Allah hidupkan sang mayat dengan sebab yang tidak masuk akal manusia. Agar sang mayit berbicara, “Pembunuhku adalah Fulan!” Subhanallah.. Tentang kejadian itu Allah berfirman: "Dan (ingatlah), ketika kalian membunuh seorang manusia, lalu kalian saling tuduh menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kalian sembunyikan.” [Q.S. Al-Baqarah:72]. Jati Diri si Mayit Dalam ayat 72 di atas tidak dijelaskan apakah mayat tersebut lelaki atau wanita. Allah berfirman : “Dan (ingatlah), ketika kalian membunuh seorang jiwa.” [Q.S. Al-Baqarah:72]. Pada ayat berikutnya, dijelaskan bahwa mayat tersebut adalah seorang laki-laki. Allah berfirman: “Maka pukulah mayyit itu (dengan kata ganti laki-laki) dengan sebagian tubuh sapi betina.” (Adhwa`ul Bayan karya Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi) Sebatas itulah keterangan jati diri mayyit. Allah tidak menyebut siapa nama laki-laki yang terbunuh, tidak pula nama yang membunuhnya, tidak pula Allah sebutkan sebab terjadinya pembunuhan. Alhasil, pembunuhan telah terjadi di tengah Bani Israil.  Maksud dari kisah ini adalah bagaimana seorang mengambil ibrah pelajaran darinya. Oleh karenanya Allah tidak menyebutkan siapa pembunuh dan siapa yang dibunuh. Adapun apa yang dinukil dalam banyak kitab tafsir tentang hikayat-hikayat Israiliyat sesungguhnya tidak perlu. Di samping tidak jelas riwayatnya, rincian-rincian tersebut tidak menambahkan faedah. Di antara hikayat Israiliyat kisah pembunuhan dan sapi betina adalah apa yang dinukilkan Al-Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya. Beliau berkata, “Alkisah, dahulu ada seorang lelaki kaya Bani Israil. Ia memiliki kemenakan laki-laki yang fakir. Tidak ada pewaris kekayaan orang tersebut melainkan kemenakannya. Karena merasa lama menanti warisan, dibunuhlah sang paman demi mendapatkan warisan. Kemudian mayatnya dibuang di kampung lain. Di pagi harinya, ia mencari sang pembunuh. Padahal ialah yang membunuhnya. Bahkan ia menuduh sekelompok manusia…” [Ma’alimut Tanzil]. Ibnu Katsir mengomentari kisah ini, “Nampaknya, kisah ini bersumber dari kitab-kitab Bani Israil. Kisah-kisah ini boleh saja dinukilkan, namun tidak dibenarkan dan tidak pula didustakan. Sebab, kita tidak bisa bersandar pada kisah-kisah bani Israil kecuali apa yang sesuai dengan Al-Haq (dibenarkan oleh Rasulullah) ” Wallahu a’lam. [Tafsir Ibnu Katsir (1/197)] ??Allah Menguji Bani Israil Pembunuhan tersebut hampir-hampir menjadi sebab kerusakan besar di tengah masyarakat Bani Israil. Fitnah besar hampir saja berkobar. Di saat itulah Bani Israil datang kepada Nabi Musa 'alaihi salam, mengadukan perkara yang mereka hadapi. Mereka meminta Nabi Musa untuk memohon kepada Allah agar Dia tampakkan siapa sesungguhnya sang pembunuh.  Allah Dzat Yang Maha Mengetahui. Sangat mudah bagi Allah untuk memberitakan kepada Musa seketika itu juga. Namun Allah berkehendak menguji Bani Israil sebelum terbongkarnya teka-teki itu. Allah perintahkan Bani Israil untuk menyembelih seekor sapi betina, sebagaimana Allah firmankan yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyembelih seekor sapi betina”. [Q.S. Al-Baqarah: 67]. Apa hubungan sapi betina dengan kasus pembunuhan? Wajar jika pertanyaan ini muncul karena terbatasnya akal manusia. Akan tetapi, semestinya bagi seorang mukmin apabila datang perintah Allah, apalagi langsung didengar dari seorang Nabi, untuk segera mendengar dan taat. Segera sembelih sapi betina tanpa bertanya-tanya apa hikmahnya, apa hubungan pembunuhan dengan sapi betina.  Perintah ini sesungguhnya sangatlah mudah bagi Bani Israil. Mereka boleh menyembelih sapi betina sesuka mereka. Besar, kecil, gemuk, kurus, tua, muda, putih, hitam, kuning, mahal, atau murah, sesuka mereka.  Namun Bani Israil tidak segera laksanakan perintah Allah. Justru mereka menuduh Musa mengolokolok dan bersenda gurau. Padahal Musa dengan tegas mengatakan, “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian…” Mari kita dengar apa ucapan Bani Israil ketika mendengar perintah Allah melalui Nabi dan Rasul-Nya, Musa 'alaihi salam. Allah subhanahu wata'ala berfirman menghikayatkan ucapan mereka, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” [Q.S. Al- Baqarah:67]. Subhanallah, akal Bani Israil begitu pendek. Betapa lancang mereka menuduh Musa dengan tuduhan-tuduhan dusta. Di saat itulah Nabi Musa berlindung kepada Allah dari tuduhan keji Bani Israil. “Musa menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.’” [Q.S. Al- Baqarah:67]. Pertanyaan-Pertanyaan Yang Memberatkan Ketika Musa 'alaihi salam mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah menjadi salah seorang dari golongan orang-orang yang jahil.” Sadarlah Bani Israil bahwa hal itu sungguh suatu kebenaran. Sehingga mereka pun berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu.” [Q.S. Al-Baqarah:68]. Coba sejenak kita perhatikan, mengapa mereka berkata kepada Musa, “Mohonkan kepada Rabbmu” dan bukan mengatakan, Mohonkan kepada Rabb kami”? Seolah-olah mereka bukan hamba Allah. Ucapan Bani Israil yang Allah beritakan kepada kita ini menunjukkan kesombongan yang ada pada diri mereka. Nabi Musapun menyampaikan perintah Allah. “Musa menjawab, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu.’” [Q.S. Al-Baqarah:68]. Nabi Musa 'alaih salam mengingatkan kaumnya untuk segera merealisasikan perintah Allah, jangan melampaui batas, jangan memberat-beratkan diri. Nabi Musa 'alaihi salam berkata, “Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian”. [Q.S. Al-Baqarah:68]. Ternyata Bani Israil tidak cukup dengan peringatan Nabi Musa 'alaihi salam. Justru mereka mengajukan pertanyaan berikutnya. Tentang warna sapi yang harus mereka sembelih. “Mereka berkata, ‘Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya.’” [Q.S. Al-Baqarah:69]. “Musa menjawab, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.’” [Q.S. Al- Baqarah:69]. Menjadi semakin beratlah syariat ini untuk Bani Israil. Tiga kriteria tambahan terkandung dalam ayat ini. Pertama: Sapi tersebut harus berwarna kuning, bukan hitam, bukan putih, atau warna lainnya.  Kedua: Warna kuning tersebut bukan sekedar kuning, namun kuning yang sangat, dan tidak bercampur dengan warna lainnya. Ketiga : Warna kuning tersebut menyenangkan orang yang memandangnya, bukan warna kuning yang manusia tidak suka memandangnya. Allah beratkan atas mereka syariat-Nya dengan sebab perbuatan mereka sendiri. Namun tetap saja Bani Israil belum puas dengan sikap berlebih-lebihannya. Untuk yang ke sekian kalinya mereka menanyakan kriteria sapi betina. “Mereka berkata, ‘Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu. Karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).’” [Q.S. Al-Baqarah:70]. “Musa berkata, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.’” [Q.S. Al-Baqarah:71]. Barulah Bani Israil menghentikan pertanyaan-pertanyaannya. “Mereka berkata, ‘Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.’” [Q.S. Al-Baqarah:71]. Subhanallah, kalimat ini juga menunjukkan kedunguan mereka dan sikap yang buruk kepada Nabi Allah. Sesungguhnya sejak kali yang pertama Nabi Musa telah menerangkan hakikat sapi yang harus disembelih. Sejak awal Nabi Musa telah datang dengan perkara yang haq. Namun dengan adab Bani Israil yang demikian buruknya, setelah beban berat menimpa, mereka mengatakan, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi yang sebenarnya.” “Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” [Q.S. Al-Baqarah:71] . Ya, hampir saja mereka tidak mampu melaksanakan perintah tersebut dengan sebab pengingkaran mereka. Setelah sapi disembelih, Allah perintahkan agar mayat dipukul dengan sebagian tubuh sapi yang disembelih. Allah subhanahu wata'ala berfirman, “Lalu Kami berfirman, ‘Pukullah mayit itu dengan sebagian anggota tubuh sapi betina itu!’” [Q.S. Al-aqarah:73]. Demikian Allah kabarkan kepada kita, tidak disebutkan bagian sapi manakah yang dipukulkan pada mayit. Lidahnya, pahanya, ekornya, atau bagian lainnya. Allahu a’lam bish shawab. Begitu mayat dipukul, hiduplah ia untuk berkata “Fulanlah yang membunuhku…” Ya, Allah berkehendak membongkar kebatilan yang disembunyikan sang pembunuh dengan sebab yang tidak disangka, tidak bisa dicerna oleh akal. Allah hidupkan kembali orang yang sudah mati agar manusia mengambil pelajaran, bahwa mereka pun akan Allah bangkitkan.  Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan pada kalian tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kalian mengerti.” [Q.S. Al-Baqarah:73]. Pelajaran dari Kisah Pembunuhan Bani Israil 1. Kisah ini menunjukkan kekuasaan Allah 'azza wa jalla menghidupkan orang yang telah mati. Allah berfirman yang artinya, “Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan pada kalian tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kalian mengerti.” [Q.S. Al-Baqarah:73]. 2. Kisah pembunuhan di tengah Bani Israil bukan satu-satunya kejadian dihidupkannya kembali orang yang telah mati. Beberapa kejadian lain Allah beritakan dalam Al-Quran seperti mukjizat Nabi Isa 'alaih salam dan beberapa kisah lain. Hidupnya seorang yang sudah mati di dunia merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah. Bahwa Allah mampu dan akan membangkitkan manusia dari alam kubur. Allah berfirman yang artinya, “ Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”[Q.S. Luqman: 28]. 3. Yahudi adalah kaum yang suka mendebat para nabi. Mereka juga banyak bertanya dengan pertanyaan pengingkaran, dan perkara-perkara yang justru menyebabkan mereka binasa. Lihatlah dalam kisah ini, seandainya Bani Israil melaksanakan perintah sejak kali pertama, niscaya mereka akan dapatkan sapi betina dengan sangat mudahnya, tanpa sifat-sifat berikutnya. Oleh karena itu, Rasulullah n memperingatkan umat ini dari sifat tersebut: “Apa yang aku larang kalian tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan lakukanlah semampu kalian. Hanyalah kebinasaan orang-orang sebelum kalian karena banyak pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka.” [H.R. Muslim, no. 4348]. 4.Disyariatanya isti'adzah (berlindung) kepada Allah dari kejelekan. Sebagaimana dicontohkan para Nabi dan Rasul. Seperti ucapan Nabi Musa 'alahi salam, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang yang jahil.” [Q.S. Al-Baqarah:67]. Nabi Musa 'alahi salam, Rasul Allah yang termasuk Ulul ‘Azmi dan sangat banyak pengikutnya saja berlindung kepada Allah. Lalu bagaimana dengan kita? Wajib bagi kita ber-isti’adzah hanya kepada Allah. Adapun berlindung kepada selain Allah, seperti kepada jin, orang yang sudah mati, dan sebangsanya, maka ini adalah syirik besar. Bukan kebaikan yang diperoleh, justru kebinasaan dan kekekalan dalam neraka Jahannam seandainya tidak bertaubat darinya.  5. Kita harus berlindung kepada Allah dari kebodohan dan kezaliman. Sebaliknya, ilmu dan keadilan adalah perkara yang harus selalu diminta kepada Allah dengan mengupayakan sebab-sebabnya. 6. Nabi dan Rasul tidak mengetahui perkara gaib. Dalam kisah ini misalnya, Nabi Musa 'alahi salam tidak mengetahui siapa sebenarnya sang pembunuh kecuali setelah Allah membuka tabirnya. 7. Disyariatkan ucapan insya Allah dalam perkara yang hendak kita lakukan. Di antara dalilnya adalah firman Allah: “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi.’ Kecuali (dengan menyebut), ‘Insa Allah’. Dan ingatlah kepada Rabbmu jika kamu lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Rabbku memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.’” [Q.S. Al-Kahfi:23-24] Sebagian salaf mengatakan, sungguh seandainya Bani Israil tidak mengucapkan insya Allah, niscaya mereka tidak mampu melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih sapi betina dengan sifat-sifat yang Allah kehendaki. 8. Hendaknya kita berusaha untuk mempersatukan umat. 9. Sebagian syariat Allah ada yang diketahui hikmahnya dan ada yang belum tampak hikmahnya. 10. Bersegera menyambut panggilan Allah dan Rasul-Nya. Tidak seperti Yahudi, kaum yang berat untuk menerima syariat Allah, padahal hal itu mengandung maslahat duniawi dan ukhrawi. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian.” [Q.S. Al-Anfal:24]. 11. Ghuluw (melampaui batas) adalah sebab seorang meninggalkan sebagaian syarit Islam. Bahkan, kekafiran di muka bumisebabnya adalah ghuluw dalam mengagungkan orang-orang shalih. Dalam kisah ini, Bani Israil memberat-beratkan diri mereka untuk meminta kriteria sapi betina yang diinginkan. Hingga mereka hampir tidak melaksanakan perintah tersebut. 12. Para Nabi, Rasul, dan yang mengikuti jalan mereka senantiasa mendapatkan ujian. Di antaranya gangguan dari kaumnya baik dalam ucapan atau perbuatan. 13. Allah akan membongkar kebatilan yang disembunyikan pelakunya. Dikutip dari Majalah Qudwah
10 tahun yang lalu
baca 14 menit