Qonitah
Qonitah

risalah tauhid untuk sang ratu bilqis

10 tahun yang lalu
baca 13 menit
Risalah Tauhid untuk Sang Ratu Bilqis

kisah-11Al-Ustadzah Lathifah Yusuf

Risalah Tauhid untuk Sang Ratu – Bilqis, Penguasa Agung yang Tunduk kepada al-Haq

 

Berita dari burung kecil penunjuk sumber air, tentang sebuah negeri adidaya yang kufur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, melahirkan satu kewajiban agung yang harus ditunaikan. Adalah Sulaiman ‘alaihissalam sangat cinta terhadap jihad fi sabilillah. Ini adalah ladang emas pahala dari ar-Rahman. Sulaiman ‘alaihissalam pun bergelora menyongsongnya.

Muslimah, mari kita kaji kembali kisah Bilqis bintu Syarahil yang disarikan dari al-Jami’ fi Ahkamil Qur’an dan Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.

Sulaiman ‘alaihissalam Menguji Kejujuran Hudhud

Mendengar laporan si Hudhud tentang negeri Saba’ dengan penguasa wanita dan rakyat yang menyembah matahari, Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata,

۞قَالَ سَنَنظُرُ أَصَدَقۡتَ أَمۡ كُنتَ مِنَ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٢٧ ٱذۡهَب بِّكِتَٰبِي هَٰذَا فَأَلۡقِهۡ إِلَيۡهِمۡ ثُمَّ تَوَلَّ عَنۡهُمۡ فَٱنظُرۡ مَاذَا يَرۡجِعُونَ ٢٨

“Berkata Sulaiman, ‘Kami akan melihat, apakah engkau benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka kemudian berpalinglah engkau dari mereka. Perhatikan apa yang mereka bicarakan sesudahnya’.” (an-Naml: 27—28)

Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan ucapan Sulaiman ‘alaihissalam kepada Hudhud setelah Hudhud menyampaikan berita tentang penduduk Saba’ dan ratu mereka kepada beliau. Sulaiman berkata, “Kami akan melihat,” yaitu akan memerhatikan dan memeriksa apakah si Hudhud berkata jujur atau berdusta agar terlepas dari ancaman Sulaiman ‘alaihissalam.

Ayat ini menjadi dalil bahwa selayaknyalah seorang pemimpin menerima udzur (alasan) yang diajukan rakyatnya di dalam suatu permasalahan, dan tidak menjatuhkan hukuman atas mereka karena isi udzur tersebut sesuai dengan keadaan lahiriah mereka. Sulaiman ‘alaihissalam tidak langsung menghukum Hudhud tatkala ia mengajukan alasannya terlambat datang. Dalam hal yang berkaitan dengan hukum syariat, pemimpin harus menguji kebenaran udzur tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Sulaiman ‘alaihissalam.

Di dalam ash-ShahihUst.Qomar: kitabnya apa?, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

لَيْسَ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَى الْعُذْرِ مِنَ اللهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَنْزَلَ الْكِتَابَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ

Tidak ada yang lebih mencintai udzur daripada Allah. Oleh karena itulah Ia menurunkan kitab dan mengutus para rasul.”

Ternyata, kejujuran Hudhud menjadi alasan yang bisa diterima karena ia memberitakan sesuatu yang berkonsekuensi munculnya kewajiban jihad.

Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Sulaiman ‘alaihissalam sangat mencintai dan bersemangat menegakkan jihad di jalan-Nya. Ketika mendengar besarnya kerajaan Ratu Saba’, Sulaiman sama sekali tidak tergerak ataupun terseret oleh ketamakan dan keinginan untuk memperbesar kekuasaannya dengan cara menaklukkan mereka. Namun, Sulaiman murka karena berita kekufuran mereka. Ia ingin menghentikan peribadahan mereka kepada matahari. Oleh karena itu, ia mencari tambahan informasi yang tidak diketahuinya.

Sulaiman ‘alaihissalam pun berkata, “Pergilah dengan suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka kemudian berpalinglah engkau dari mereka.” Sulaiman menulis surat kepada Bilqis bintu Syarahil dan kaumnya, memberikan surat itu kepada si Hudhud, lalu Hudhud pun membawanya di sayapnya atau di paruhnya.

Sulaiman ‘alaihissalam menujukan surat itu kepada Bilqis dan seluruh rakyatnya karena perkataan Hudhud “Aku mendapati ratu ini dan kaumnya sujud kepada matahari”. Jadi, seakan-akan Sulaiman berkata, “Jatuhkanlah suratku ini kepada orang-orang yang menyembah matahari itu.”

 

Risalah Agung Seruan kepada Tauhid

Terbanglah Hudhud ke negeri Saba’. Ia datangi istana Bilqis bintu Syarahil. Dalam salah satu riwayat, Hudhud menuju tempat Bilqis biasa menyendiri. Namun, ia mendapati penghalang berupa berlapis-lapis dinding. Hudhud pun terbang menuju sebuah lubang di dinding, yang dibuat searah dengan tempat terbit matahari. Lubang tersebut menjadi jalan masuknya sinar matahari begitu matahari terbit, sehingga Bilqis bisa beribadah kepada matahari itu. Hudhud pun masuk melalui lubang itu. Ia tutupi lubang dengan sayapnya, sehingga ketika mentari terbit, Bilqis tidak mengetahuinya.

Ketika Bilqis bangun, ia merasa matahari terlambat terbit karena cahayanya belum juga menembus ruangannya. Bilqis bangkit dan menoleh ke arah lubang matahari di dinding istananya. Ternyata ia dapati seekor hudhud di sana. Hudhud pun melemparkan surat tadi, kemudian berpaling dari Bilqis sebagai bentuk adabnya kepada penguasa (memberikan waktu kepada mereka), sebagaimana perintah Sulaiman ‘alaihissalam kepadanya, “… kemudian berpalinglah engkau dari mereka.” Maksudnya, Sulaiman ‘alaihissalam menyuruh Hudhud menyampaikan suratnya lalu meninggalkannya sejenak, dan kembali lagi untuk melihat respons Bilqis terhadap surat tersebut dan apa yang mereka bicarakan sesudah tibanya surat itu.

Bilqis bingung melihat surat tersebut. Ia pun memungutnya. Ketika melihat stempel di surat tersebut, Bilqis tertunduk, merasa takut, dan gemetar karena mengenali stempel kerajaan Sulaiman. Ia pun mulai membacanya.

Ayat ini menjadi dalil disyariatkannya menulis surat kepada orang-orang musyrik, menyampaikan kebenaran tauhid kepada mereka, dan menyeru mereka kepada Islam. Hal ini dicontohkan pula oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yang mengirimkan surat kepada Kisra dan Kaisar, dua penguasa negara adidaya, Persia dan Romawi, dan kepada raja-raja yang lain.

 

Majelis Bilqis bersama Bawahannya

Bilqis bintu Syarahil memerintah negerinya dengan bantuan banyak penasihat dan menteri. Ia selalu meminta pendapat mereka di dalam urusan-urusan kenegaraan. Setelah membaca surat Sulaiman ‘alaihissalam, Bilqis bergegas mengumpulkan seluruh penguasa yang berada di bawah kendalinya, semua menteri, dan pembesar-pembesar negerinya. Ia berkata kepada mereka,

قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ إِنِّيٓ أُلۡقِيَ إِلَيَّ كِتَٰبٞ كَرِيمٌ ٢٩ إِنَّهُۥ مِن سُلَيۡمَٰنَ وَإِنَّهُۥ ٣٠ أَلَّا تَعۡلُواْ عَلَيَّ وَأۡتُونِي مُسۡلِمِينَ ٣١

“Wahai para pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Surat itu dari Sulaiman, dan isinya, ‘Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Janganlah kalian semua berlaku sombong terhadapku, dan datanglah kalian kepadaku sebagai orang-orang yang berislam’.” (an-Naml: 29—31)

Para ulama tafsir menjelaskan beberapa kemungkinan alasan Bilqis menyebut surat Sulaiman ‘alaihissalam sebagai surat yang mulia. Di antaranya, surat tersebut mulia karena dikirimkan dengan cara yang mengagumkan, yaitu dibawa oleh utusan berupa seekor hudhud yang menjatuhkan surat itu, kemudian berpaling dengan sopannya. Ini tidak bisa dilakukan oleh raja-raja yang lain. Atau surat tersebut mulia karena datang dari sisi orang yang agung di sisi Bilqis dan para pembesarnya, sehingga pemuliaan terhadap surat itu adalah pengagungan bagi Sulaiman ‘alaihissalam. Atau surat itu mulia karena dimulai dengan menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala dan dua nama-Nya yang lain, ar-Rahman dan ar-Rahim. Kemungkinan yang lain, surat itu mulia di sisi Bilqis karena stempel yang menyegel surat tersebut, yaitu stempel kerajaan Sulaiman ‘alaihissalam yang merupakan kerajaan terbesar di muka bumi, sedangkan kemuliaan sebuah surat tergantung pada stempelnya.

Setelah surat tersebut dibacakan, tahulah para pembesar negeri Saba’ kondisi serius yang akan mereka hadapi. Sulaiman ‘alaihissalam, Nabi Allah, telah mengirimkan risalah kepada mereka dengan bahasa yang mencapai puncaknya dalam hal kefasihan, keringkasan, dan keindahan penyampaian.

Sulaiman ‘alaihissalam memulai risalahnya dengan basmalah, sebagaimana kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam di dalam surat-menyurat beliau. Sulaiman menyebutkan nama Allah subhanahu wa ta’ala, sembahan yang haq, yang bersifat Maha Pemurah kepada seluruh semesta, dan Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang beriman, yang semestinya menjadi satu-satunya tuhan bagi seluruh makhluk. Ini adalah kebenaran yang mutlak, sehingga tidak sepantasnya ada seorang pun yang angkuh menolaknya. Oleh karena itu, Sulaiman ‘alaihissalam berkata, “Janganlah kalian semua berlaku sombong terhadapku,” yaitu janganlah mereka berkeras, angkuh, menolak kebenaran. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Sulaiman ‘alaihissalam memperingatkan Bilqis dan rakyatnya dari sikap ini.

Sulaiman ‘alaihissalam menandaskan maksud risalahnya dengan berkata, “… dan datanglah kalian kepadaku sebagai orang-orang yang berislam.” Maksudnya, dalam keadaan tunduk, taat, dan beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ibnu ‘Abbas c menafsirkan, “Datanglah kalian kepadaku sebagai orang-orang yang mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala di dalam ibadah.”

Wahb rahimahullah berkata bahwa ketika Bilqis membacakan surat Sulaiman kepada bawahannya, ia tidak mengerti nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala yang disebutkan di dalam surat tersebut. Ia pun bertanya, “Apa ini?”

Salah seorang dari mereka menjawab, “Kami kira ini tidak lain hanyalah (nama) ‘Ifrit yang besar dari kalangan jin, yang dikuasai oleh raja ini untuk melakukan apa yang dikehendaki sang raja.” Mereka pun menyuruhnya diam.

Yang lain berkata, “Diperlihatkan kepadaku bahwa mereka adalah tiga jin ‘Ifrit.”—karena basmalah mengandung tiga nama Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka juga menyuruhnya diam.

Berkatalah seorang pemuda yang mengetahui jawabannya, “Wahai Paduka Ratu, Tuan para raja, sesungguhnya Sulaiman adalah raja yang telah diberi kerajaan agung oleh Sang Raja Langit. Sulaiman tidak pernah berbicara kecuali setelah memulainya dengan menyebut sembahannya. Allah adalah nama pemilik langit, sedangkan ar-Rahman dan ar-Rahim adalah sifat-sifat-Nya.” Seketika itu pula Bilqis meminta pendapat para pembesarnya.

Bilqis bukan ratu biasa. Ia adalah ratu yang membawahi banyak raja. Apabila ia seorang laki-laki, sebutannya di dalam bahasa kita adalah maharaja atau kaisar. Meski demikian, ia adalah wanita yang cerdas dan penuh adab. Kekuasaannya yang besar tidak menjadikannya berlaku sewenang-wenang dan sekehendaknya. Hal ini ditunjukkan oleh ucapannya,

قَالَتۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَؤُاْ أَفۡتُونِي فِيٓ أَمۡرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمۡرًا حَتَّىٰ تَشۡهَدُونِ ٣٢

“Berkatalah ia, ‘Wahai para pembesar, berilah aku pertimbangan di dalam urusanku ini. Aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan sebelum kalian menghadiri majelisku’.” (an-Naml: 32)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Bilqis membawahi 1.000 pembesar (qail). Qail adalah raja di bawah maharaja (kaisar). Karena adabnya yang mulia, ia mengajak mereka bermusyawarah tentang permasalahan risalah Sulaiman ‘alaihissalam. Ia juga menyebutkan kepada mereka kebiasaannya meminta pendapat mereka dalam setiap persoalan kenegaraan.

Ayat ini menjadi dalil benarnya musyawarah, yang menjadi hak orang-orang yang memiliki ilmu dan kewenangan di dalam urusan manusia. Di dalam Kitabullah, Allah subhanahu wa ta’ala melukiskan bahwa pemecahan persoalan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam adalah dengan musyawarah pula, sebagai pujian Allah subhanahu wa ta’ala bagi mereka. Bahkan, Allah l memerintah beliau n untuk bermusyawarah dengan para sahabat.

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa musyawarah adalah adat kebiasaan kuno yang mulia, terkhusus dalam keadaan perang. Ini dia Bilqis bintu Syarahil, wanita jahiliah penyembah matahari. Ia mengajak bawahannya bermusyawarah, untuk berbagai tujuan politis yang sangat bijak dan cerdas. Dengan musyawarah ini ia menguji kebulatan tekad bawahannya dalam menghadapi musuh, dan keteguhan mereka dalam meraih solusi bagi persoalan negeri Saba’. Dengan demikian, ia bisa mengondisikan mereka untuk menaati perintahnya. Disadarinya bahwa apabila mereka tidak mencurahkan diri dan harta mereka untuk mendukungnya, ia tidak akan memiliki kekuatan untuk menghadapi musuh Saba’. Apabila pendapat, tekad, dan kesungguhan mereka tidak terhimpun, perpecahan ini akan menolong musuh dalam menghancurkan Saba’.

Bilqis paham, jika ia tidak menguji bawahan-bawahannya dan tidak mengetahui kemauan mereka, ia tidak akan mengetahui sikap mereka yang sesungguhnya. Sadar pula ia bahwa apabila ia keras kepala dengan pendapatnya sendiri dan tidak mau mendengar masukan pembesar-pembesarnya, hal ini seringnya justru menunjukkan lemahnya ketaatan mereka kepadanya sebagai pemimpin. Mengambil pendapat pembesar-pembesarnya justru menjadi pertolongan dalam meraih dukungan dan mendapatkan kekuatan besar serta pembelaan kuat yang diinginkannya. Langkah Bilqis terbukti benar. Para pembesarnya menanggapi ucapannya dengan perkataan yang menenangkan dan menyenangkan hatinya.

قَالُواْ نَحۡنُ أُوْلُواْ قُوَّةٖ وَأُوْلُواْ بَأۡسٖ شَدِيدٖ وَٱلۡأَمۡرُ إِلَيۡكِ فَٱنظُرِي مَاذَا تَأۡمُرِينَ ٣٣

“Mereka berkata, ‘Kita ini adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan keberanian yang sangat (di dalam peperangan). Namun, keputusan ada di tangan Anda, maka pertimbangkanlah apa yang hendak Anda perintahkan (kepada kami)’.” (an-Naml: 33)

Ayat ini menunjukkan bahwa Bilqis memiliki majelis permusyawaratan yang baik, dan musyawarah mereka dalam keadaan krisis tersebut adalah musyawarah yang sangat baik. Mereka mengingatkan Bilqis, mengajukan fakta dan pertimbangan berupa kekuatan negeri Saba’. Namun, mereka tunduk kepada Bilqis, yakin dengan ketajaman pertimbangan Bilqis, dan telah membuktikan—dalam persoalan-persoalan sebelumnya—bahwa pendapat dan keputusan Bilqis mengandung barakah. Oleh karena itulah, mereka menyerahkan keputusan kepadanya. Jika Bilqis berkehendak, ia bisa menyerbu dan memerangi Sulaiman, dan mereka tidak memiliki kekuasaan untuk mencegahnya. Mereka akan mematuhi dan mendukungnya, apa pun yang diputuskannya.

 

Empati dan Kekuatan Pikiran Sang Ratu

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah menyebutkan bahwa Bilqis bintu Syarahil adalah orang yang paling kokoh pemikirannya di antara kaumnya dan paling mengetahui kekuatan tentara Sulaiman ‘alaihissalam. Tidak mungkin Bilqis dan kaumnya dapat menghadang gempuran pasukan dan bala tentara Sulaiman ‘alaihissalam, yang terdiri atas manusia, jin, dan burung. Bilqis sendiri telah menyaksikan keajaiban pengiriman Hudhud untuk menyampaikan surat kepadanya. Oleh karena itu, setelah mendengar pendapat para menteri dan pendukungnya, ia menyampaikan kepada mereka kebiasaan yang diperbuat para raja di muka bumi ini, di negeri-negeri yang mereka tundukkan.

قَالَتۡ إِنَّ ٱلۡمُلُوكَ إِذَا دَخَلُواْ قَرۡيَةً أَفۡسَدُوهَا وَجَعَلُوٓاْ أَعِزَّةَ أَهۡلِهَآ أَذِلَّةٗۚ وَكَذَٰلِكَ يَفۡعَلُونَ ٣٤

 

“Ia berkata, ‘Sesungguhnya, apabila raja-raja itu memasuki sebuah negeri, mereka akan merusaknya dan menjadikan hina orang-orang mulia di negeri itu. Demikianlah mereka berbuat’.” (an-Naml: 34)

Perkataan Bilqis menunjukkan kepedulian dan kekhawatirannya atas keselamatan penduduk negerinya, kehati-hatiannya, dan penilaiannya bahwa Sulaiman ‘alaihissalam adalah ancaman besar bagi keutuhan negeri yang dipimpinnya. Ia khawatir, apabila Saba’ memerangi Sulaiman ‘alaihissalam dan tidak mau tunduk kepadanya, Sulaiman ‘alaihissalam akan menyerbu Saba’ bersama pasukannya dan menghancurleburkan Bilqis dan para raja di bawahnya.

Karena khawatir bahwa Sulaiman ‘alaihissalam akan melakukan kerusakan di bumi Saba’ dan menjadikan hina para pemimpin Saba’, baik dengan membunuh maupun menawan mereka, Bilqis pun mengambil strategi lain. Ia berkata,

وَإِنِّي مُرۡسِلَةٌ إِلَيۡهِم بِهَدِيَّةٖ فَنَاظِرَةُۢ بِمَ يَرۡجِعُ ٱلۡمُرۡسَلُونَ ٣٥

 

Dan sesungguhnya aku akan mengirimkan utusan yang membawa hadiah kepada mereka, kemudian aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu.” (an-Naml: 35)

Ayat ini menunjukkan bagusnya pemikiran dan pengaturan Bilqis bintu Syarahil. Ada beberapa rencana yang disiapkan Bilqis untuk menghadapi berbagai kemungkinan bentuk respons Sulaiman terhadap hadiah darinya. Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan, “Bilqis mengatakan, ‘Aku akan menjajaki laki-laki ini dengan hadiah, memberinya berbagai harta yang berharga di dalam hadiah itu, dan mengalihkan perhatiannya dengan urusan-urusan kerajaan. Jika dia adalah raja yang suka akan urusan duniawi, harta akan menjadikannya senang, dan kita pun akan bekerja sama dengannya sebatas urusan dunia saja. Namun, jika dia benar seorang nabi, harta tidak akan menjadikannya ridha. Ia tetap akan memaksa kita di dalam urusan agama, sehingga sepantasnyalah kita beriman kepadanya dan mengikuti agamanya’.”

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan, “Bilqis berkata, ‘Aku akan mengiriminya hadiah yang sesuai untuknya, dan aku akan menunggu jawabannya terhadap hadiah itu. Semoga ia menerimanya dan menahan diri dari menyerang kita. Atau mungkin ia akan menetapkan upeti yang akan kita serahkan kepadanya setiap tahun. Kita akan terus mengirimkan upeti kepadanya sehingga ia tidak akan membunuh dan memerangi kita’.”

Qatadah rahimahullah mengatakan, “Semoga Allah merahmati dan meridhai Bilqis. Betapa bagus pemikirannya, baik di masa kesyirikannya maupun sesudah keislamannya! Bilqis mengerti bahwa hadiah itu memiliki pengaruh pada manusia.”

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dan yang selain beliau menyebutkan, “Bilqis berkata kepada kaumnya, ‘Jika Sulaiman menerima hadiah itu, perangi dia. Namun, jika ia tidak mau menerimanya, artinya benar ia seorang nabi, maka ikutilah dia!”

Bilqis pun mengirimi Sulaiman ‘alaihissalam hadiah yang sangat besar, yang manusia tidak mampu memperinci banyaknya hadiah tersebut. Sa’id bin Jubair rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas a bahwa Bilqis mengirimkan sebuah batu bata yang terbuat dari emas. Ketika para utusan yang membawa batu bata emas tersebut melihat dinding-dinding emas di istana Sulaiman, mereka pun merasa bahwa hadiah yang mereka bawa sangatlah rendah.

Mujahid rahimahullah menyebutkan bahwa Bilqis mengirimkan 200 pelayan laki-laki dan 200 pelayan perempuan. Ada berbagai riwayat lain yang menyebutkan melimpahnya hadiah Bilqis, tetapi ternyata apa yang ada di sisi Sulaiman jauh lebih banyak dan lebih baik.

Bagaimana reaksi Sulaiman ‘alaihissalam menanggapi manuver politik Bilqis bintu Sarahil? Nantikan di Qonitah edisi berikutnya, insya Allah ….