Qonitah
Qonitah

kekokohan iman ibunda kalimur rahman ‘alaihissalam

10 tahun yang lalu
baca 15 menit
Kekokohan Iman Ibunda Kalimur Rahman ‘alaihissalam

kisah-13Al-Ustadzah Ummu Maryam Lathifah

Sungguh keamanan dari musuh dan kehidupan yang bebas dari teror dan ketakutan adalah nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang sering terabaikan. Nikmat ini barulah terasa ketika ia dihilangkan dari suatu kaum. Berikut pelajaran tentang ketabahan dan keyakinan yang kuat terhadap janji Allah subhanahu wa ta’ala dari ibunda seorang nabi dan rasul, Musa Kalimur Rahman ‘alaihissalam.

Wanita, terutama yang jauh dari cahaya ilmu dan iman, seringnya cenderung mengikuti hawa nafsu, sangat cinta terhadap dunia, pendek akal, banyak mengeluh, dan banyak mengingkari nikmat Rabbnya. Ada lagi satu titik lemah yang sering hinggap pada makhluk yang kurang agamanya ini: kurangnya rasa percaya kepada janji Allah subhanahu wa ta’ala dan tipisnya penyandaran diri pada-Nya.

Di antara sempalan sejarah yang terkait dengan kisah Fir’aun adalah keberadaan seorang wanita mulia yang beriman, yang melahirkan seorang nabi dan rasul, yang membawa kehancuran bagi Fir’aun dan pengikutnya. Berikut kisahnya dalam menempuh ujian keimanan yang menjadi kemestian bagi setiap hamba yang taat. Semoga kita bisa mengambil ibrah darinya untuk meningkatkan rasa percaya dan tawakal kepada Rabb kita.

Buah Petaka Kemaksiatan Bani Israil kepada ar-Rahman

Sekian abad telah berlalu dari kezaliman dan kedurjanaan Fir’aun, salah satu penguasa tiran terbesar dari Mesir Kuno. Namun, gaung kezaliman dan kesombongannya masih dapat tergambarkan oleh orang-orang yang mau mengambil pelajaran dari kenestapaan dan akibat buruk yang dituai oleh orang-orang yang ingkar kepada Rabb mereka.

Seluruh orang yang beriman melihat Fir’aun sebagai sumber pelajaran pahit yang tidak lekang oleh masa dan tempat. Kekuasaan dan kerajaannya membawanya melakukan kekufuran—kejahatan terbesar yang bisa dilakukan oleh seorang hamba—dan kesombongan serta kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ فِرۡعَوۡنَ عَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَجَعَلَ أَهۡلَهَا شِيَعٗا يَسۡتَضۡعِفُ طَآئِفَةٗ مِّنۡهُمۡ يُذَبِّحُ أَبۡنَآءَهُمۡ وَيَسۡتَحۡيِۦ نِسَآءَهُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ مِنَ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٤

 “Sesungguhnya Fir’aun telah berlaku sombong di muka bumi, dan ia menjadikan penduduknya bergolong-golong, ia menjadikan lemah segolongan dari manusia dengan menyembelih anak-anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup wanita-wanita mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang melakukan kerusakan.” (al-Qashash: 4)

Ibnu ‘Abbas c menjelaskan bahwa sepeninggal Yusuf ‘alaihissalam, Bani Israil berjaya di Mesir. Mereka melakukan berbagai kemaksiatan dan berbuat sombong serta sewenang-wenang di tengah-tengah manusia. Allah subhanahu wa ta’ala menghukum mereka dengan menguasakan bangsa Qibthi dengan dinasti raja-rajanya, di antaranya Dinasti Pharaoh/Fir’aun terhadap Bani Israil.

Sebagian Fir’aun (sebagian ahli tarikh berpendapat bahwa dia adalah Ramesses II) memperbudak umat terbaik di masa itu, Bani Israil. Ia mempekerjakan mereka secara paksa, siang dan malam, untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang sangat berat dan menghinakan. Ia menjadikan mereka berkelompok-kelompok sesuai dengan tujuan pemberdayaannya terhadap mereka, yaitu memakmurkan bangsa Qibthi.

Ia juga menyembelih anak-anak laki-laki Bani Israil, tetapi membiarkan wanita-wanita mereka hidup, sebagai sebuah bentuk penghinaan terhadap Bani Israil. Hal ini diawali oleh berita dari Ibrahim p yang menjadi pengajaran dan keyakinan turun-temurun di kalangan Bani Israil bahwa akan ada seorang pemuda yang lahir dari tulang rusuk (keturunan) putra Ibrahim p, yang menjadi sebab kehancuran dan hilangnya kekuasaan Dinasti Fir’aun atas bangsa Qibthi di Mesir.

Ibrahim p menyampaikan hal ini ketika seorang raja leluhur Fir’aun yang ketika itu menguasai Mesir menangkap Sarah untuk memuaskan nafsunya. Keyakinan ini pun sampailah ke telinga bangsa Qibthi sehingga mereka sering memperbincangkannya di sisi Fir’aun. Fir’aun pun menjadi waspada dan mengambil tindakan yang sangat kejam.

Teror dan kenestapaan melanda Bani Israil yang sangat lemah dan tertindas kedudukannya di Mesir kala itu. Tahun demi tahun berlalu dengan ketakutan yang membayangi mereka. Di satu sisi mereka harus menahan derita dan penghinaan menjadi budak bangsa Qibthi, di sisi lain anak-anak mereka dibantai dengan biadabnya. Hingga akhirnya, bangsa Qibthi menyadari berkurangnya tenaga budak Bani Israil dengan pembantaian bayi-bayi mereka. Mereka pun membuat “kebijakan”: satu tahun ditetapkan untuk pembantaian terhadap bayi-bayi yang lahir di tahun tersebut, dan satu tahun kemudian bayi-bayi yang lahir dibiarkan hidup. Meski demikian, terhitung sekitar 7.000 atau 9.000 bayi laki-laki Bani Israil dibunuh pada masa pemerintahan Fir’aun.

Namun, Mahasuci Allah, tidaklah bermanfaat kehati-hatian seseorang ketika Allah subhanahu wa ta’ala telah menggariskan satu keputusan. Kekuasaan Fir’aun yang besar dan seakan-akan absolut itu tidak dapat membendung takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Pemuda yang dikhawatirkannya akan menghancurkan kekuasaannya di Mesir hingga ia membantai ribuan bayi Bani Israil itu justru tumbuh dan besar di atas tempat tidurnya, di pangkuan Asiah bintu Muzahim, istrinya. Ia tinggal di istananya dan makan dari hidangannya. Dialah yang akan membebaskan Bani Israil dari belenggu penjajahan Fir’aun dan kaumnya, menuju kebebasan merengkuh cahaya tauhid dan keimanan.

Wanita yang Tegar Melahirkan Rasul, Sang Pemimpin Umat

Siapakah gerangan wanita yang melahirkan Kalimur Rahman yang kelak memimpin Bani Israil dan menjadi umat kedua terbesar setelah ummat muhammadiyyah (umat Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam)? Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang wanita ini,

وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنۡ أَرۡضِعِيهِۖ فَإِذَا خِفۡتِ عَلَيۡهِ فَأَلۡقِيهِ فِي ٱلۡيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحۡزَنِيٓۖ إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيۡكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلۡمُرۡسَلِينَ ٧

 “Kami mewahyukan kepada ibu Musa, Susuilah Musa. Apabila engkau mengkhawatirkan keselamatannya, lemparkanlah ia ke sungai. Janganlah engkau takut dan jangan pula engkau bersusah hati. Sesungguhnya Kami akan mengembalikan Musa kepadamu dan menjadikannya salah seorang dari para rasul.” (al-Qashash: 7)

Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengutus malaikat atau Jibril untuk menemui ibunda Musa ‘alaihissalam. Ada juga yang menjelaskan bahwa wahyu tersebut hanya berupa ilham atau berupa mimpi. Seluruh ahli tafsir bersepakat bahwa wahyu ini tidak menjadikan ibu Musa ‘alaihissalam sebagai nabi, sebagaimana pembicaraan malaikat dengan ‘Imran tidak menjadikannya sebagai nabi.

Diriwayatkan bahwa nama ibu Musa adalah Lauha bintu Hanid bin Lavi bin Ya’kub. Ada juga yang menyebutkan bahwa namanya adalah Ayarikha atau Ayarikhat. Namun, yang jelas, ia adalah keturunan Ya’qub ‘alaihissalam.

Harun ‘alaihissalam, saudara Musa, dilahirkan pada tahun ketika algojo-algojo Fir’aun “berlibur”, sedangkan Musa ‘alaihissalam dilahirkan pada tahun berikutnya, ketika para dukun bayi Fir’aun berkeliling mencari wanita-wanita yang hamil. Mereka akan memanggil para algojo itu apabila yang dilahirkan adalah bayi laki-laki.

Ketika ibunda Musa hamil, tidak tampak padanya tanda-tanda wanita hamil sebagaimana pada wanita yang lain sehingga para bidan bangsa Qibthi tidak mengetahuinya. Sebuah riwayat menceritakan bahwa ibunda Musa ‘alaihissalam bersahabat dengan salah seorang dukun bayi tersebut. Tampaknya, sang bunda memiliki kecerdasan dan siasat yang akan diturunkannya kepada putranya kelak. Ia mencari perlindungan dan manfaat dari persahabatannya dengan dukun bayi tersebut demi melindungi anaknya.

Ketika rasa sakit hendak melahirkan menimpanya, ia berkata kepada sahabatnya, “Semoga rasa sayangmu (kepadaku) bermanfaat bagiku pada hari ini.”

Sahabatnya pun menolongnya bersalin. Ketika Musa dikeluarkan dari perut ibunya, bidan tersebut dikejutkan oleh cahaya yang bersinar di hadapannya. Gemetarlah seluruh persendiannya. Rasa cinta yang kuat kepada orok mungil itu merasuk ke relung kalbunya.

Si dukun bayi pun berkata, mengakui tipu daya yang disembunyikannya dari sang sahabat, “Tidaklah aku datang kepadamu melainkan untuk membunuh bayimu dan mengabarkannya kepada Fir’aun. Namun, aku mendapati rasa sayang kepada anakmu yang tidak pernah kudapati perasaan yang semisal ini sebelumnya. Peliharalah dia.”

Tidak urung, ibu Musa ‘alaihissalamun berduka, merasa tidak kuasa menanggung beban derita dengan jenis kelamin putranya. Menjadi sempitlah dadanya. Ia pun ketakutan karena mengkhawatirkan keselamatannya.

Kasih Sayang dan Hiburan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Ibunda Musa ‘alaihissalam

Allah subhanahu wa ta’ala memerintah ibu Musa ‘alaihissalam untuk menyusui Musa ‘alaihissalam. Perintah ini datang setelah kelahiran Musa karena rasa panik dan takut yang melanda sang bunda.

Pertama kali melihat Musa ‘alaihissalam, ia langsung mencintainya seperti yang terjadi pada dukun bayi, sahabatnya. Demikianlah, Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan cinta bagi setiap orang yang melihat Musa ‘alaihissalam. Sungguh, orang yang berbahagia adalah yang mencintai Musa, baik dengan cinta yang bersifat tabiat maupun cinta yang syar’i. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَلۡقَيۡتُ عَلَيۡكَ مَحَبَّةٗ مِّنِّي

“Dan Aku lemparkan kepadamu kecintaan dari-Ku.” (Thaha: 39)

Ibunda Musa adalah wanita yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Ketika ia ketakutan bahwa bayinya akan diketahui oleh dayang-dayang Fir’aun, Allah mengilhamkan kepadanya, “Susuilah Musa. Apabila engkau mengkhawatirkan keselamatannya, lemparkanlah ia ke sungai, dan janganlah engkau takut, jangan pula engkau bersusah hati.”

Allah berfirman memerintahkan kepadanya bahwa ketika rasa khawatir mendatanginya, ia harus meletakkan bayinya di sungai. Allah melarangnya dari merasa takut dan meyakinkannya bahwa bayinya tidak akan tenggelam atau hilang. Ia juga dilarang bersedih hati karena Allah berjanji bahwa ia tidak akan berpisah dengan putranya, dan bayinya itu tidak akan dibunuh.

Kediaman ibunda Musa kala itu ada di tepi Sungai Nil yang sangat lebar dan besar. Ia mengambil tabut, sebuah kotak yang diriwayatkan berukuran panjang dan lebar lima jengkal. Ia memberikan tutup dan kunci pada peti itu serta menyiapkan hamparan buaian di dalamnya. Kemudian, ia pun mulai menyusui Musa. Jika ada orang mencurigakan yang masuk menemuinya, ia segera meletakkan bayinya di dalam peti dan menghanyutkannya ke sungai. Ia mengaitkan peti yang hanyut itu dengan tali yang diikatnya di tempat yang tersembunyi. Apabila orang yang mencurigakan itu pergi, ia akan menarik tali peti Musa ‘alaihissalam dari tengah Nil dan mengambil bayinya kembali.

Demikianlah besarnya keimanan seorang wanita yang taat kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menjadikan perintah-Nya sebagai rambu-rambu penuntun langkahnya.

Kelalaian yang Tersurat

Pada suatu ketika, datanglah orang-orang yang ditakutinya. Ibunda Musa segera menghanyutkan bayi Musa ‘alaihissalam ke tengah sungai seperti ilham yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya. Ia taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan yakin dengan janji-Nya. Namun, dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala, ia lupa mengikatkan tali peti itu. Akibatnya, hanyutlah tabut bayi Musa ‘alaihissalam dibawa arus deras sungai besar yang membelah Mesir tersebut.

Kita sudah menyimak kisah Asiah bintu Muzahim, istri Fir’aun, di Qonitah edisi 3 dan 4. Singkat cerita, di salah satu kastel Fir’aun di tepi Nil, Asiah, istri sang Raja Pongah, melihat tabut Musa dari kejauhan. Ia pun memerintah dayang-dayang Fir’aun untuk memungutnya. Seperti sang bunda, Asiah pun langsung jatuh sayang kepada Musa.

Asiah membujuk suaminya agar tidak membunuhnya karena bayi ini diyakininya terdampar dari negeri yang jauh, bukan dari Bani Israil. Ia juga meminta agar suaminya bersedia memelihara dan membesarkan Musa—sehingga barangkali Musa akan memberikan manfaat kepada mereka—atau bahkan mengangkatnya sebagai anak karena Asiah tidak bisa melahirkan putra. Asiah meminta agar Fir’aun menghadiahkan Musa kepadanya, dan Fir’aun pun meluluskan permohonan sang istri.

Dada yang Hampa

Bagaimana dengan ibunda Musa ‘alaihissalam, yang putranya menjadi hiburan dan cahaya mata bagi sang permaisuri Mesir? Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan kesedihannya,

وَأَصۡبَحَ فُؤَادُ أُمِّ مُوسَىٰ فَٰرِغًاۖ إِن كَادَتۡ لَتُبۡدِي بِهِۦ لَوۡلَآ أَن رَّبَطۡنَا عَلَىٰ قَلۡبِهَا لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١٠ وَقَالَتۡ لِأُخۡتِهِۦ قُصِّيهِۖ فَبَصُرَتۡ بِهِۦ عَن جُنُبٖ وَهُمۡ لَا يَشۡعُرُونَ ١١

 

“Lalu menjadi kosonglah kalbu ibunda Musa. Hampir saja ia membuka rahasia Musa, andaikata Kami tidak meneguhkan kalbunya, supaya ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang percaya kepada janji Allah. Sang bunda berkata kepada kakak perempuan Musa, ‘Ikutilah dia.’ Sang kakak pun melihat Musa dari kejauhan, dalam keadaan mereka tidak menyadarinya.” (al-Qashash: 10—11)

Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan para ulama tafsir lain menjelaskan, kalbu ibu Musa ‘kosong’ karena ia tidak mengingat urusan apa pun di dunia ini kecuali bayinya.

Sedih, rasa bersalah, gundah, dan ketakutan pun menyesakkan dada, sampai akhirnya, dadanya kosong dan tidak bisa merasakan apa-apa lagi kecuali mengingat Musa. Bagaimana tidak, bayi yang sangat disayanginya menghilang dari pandangan dan dekapannya.

Ini pergulatan antara cinta yang bersifat naluri dan keimanannya kepada janji Allah subhanahu wa ta’ala. Seluruh peradaban manusia mengakui bahwa di antara bentuk cinta insani yang paling kuat ikatannya adalah kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Adalah manusiawi ketika kesedihan dan kebingungan menyergapnya. Ibnu Ishaq menjelaskan, kalbu ibunda Musa sejenak kosong dari mengingat janji Allah dan hiburan-Nya agar ia tidak merasa takut dan tidak bersusah hati.

Ibnu ‘Abbas c menjelaskan di dalam tafsir beliau, ketika Musa ditelan ombak Nil dan menghilang dari pandangan sang bunda, setan menjadikannya menyesal. Setan berbisik, “Wahai Ibunda Musa, engkau tidak suka Fir’aun menyembelih Musa, tetapi justru engkau sendiri yang menenggelamkannya!” Ibunda Musa ‘alaihissalamun berkata di hatinya, “Duhai, sekiranya ia disembelih di hadapanku sehingga aku masih bisa mengafani dan menguburkannya. Yang demikian ini lebih kusukai daripada melemparkannya ke lautan.”

Allah subhanahu wa ta’ala pun menurunkan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami akan mengembalikan Musa kepadamu dan menjadikannya salah seorang dari para rasul.”

Menguatlah keyakinan sang bunda dengan ilham tersebut. Ia memerintah kakak perempuan Musa ‘alaihissalam untuk mengikuti tabut Musa ‘alaihissalam dari kejauhan.

Namun, bagaimana ketika berita Musa ‘alaihissalam terdampar di istana Fir’aun sampai di telinganya? Bayi kecilnya justru jatuh ke tangan musuh yang hendak membantainya pertama kali! Sekali lagi ia guncang. Duhai, sungguh ini adalah tekanan besar yang mengimpit dadanya. Ia kehilangan akal, linglung, dan bingung. Ini semua karena besarnya rasa sayang yang diukir oleh Allah di dada sang ibu kepada anaknya. Besarnya cobaan ini menjadikannya lupa lagi dengan janji Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya.

Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan bahwa ketika mendengar berita tersebut, ia hampir-hampir membongkar rahasia asal-usul Musa ‘alaihissalam kepada orang-orang istana. Ia juga hampir buka mulut ketika dijemput untuk menyusui sang putra. Terlebih ketika manusia pada masa itu menisbahkan Musa kepada Fir’aun, “Musa ‘alaihissalamutra Fir’aun”, ia ingin berteriak dan menyatakan, “Dia putraku!”

Namun, Allah subhanahu wa ta’ala meneguhkan kalbunya sekali lagi. Allah mengilhamkan kepadanya untuk bersabar dan menahan diri. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya termasuk orang yang memilih percaya kepada janji-Nya, karena berulang kali Allah subhanahu wa ta’ala membuktikan bahwa janji-Nya selalu benar. Musa tidak tenggelam ketika ia teledor dari mengikat tali tabutnya. Musa juga tidak hilang. Satu lagi janji-Nya, Allah akan mengembalikannya ke ribaan sang bunda.

Ibunda Musa sekali lagi bersabar dan menguatkan keimanannya, menanti kembalinya sang pelita hati.

Janji yang Tertunaikan

۞وَحَرَّمۡنَا عَلَيۡهِ ٱلۡمَرَاضِعَ مِن قَبۡلُ فَقَالَتۡ هَلۡ أَدُلُّكُمۡ عَلَىٰٓ أَهۡلِ بَيۡتٖ يَكۡفُلُونَهُۥ لَكُمۡ وَهُمۡ لَهُۥ نَٰصِحُونَ ١٢

           “Kemudian, Kami mencegah Musa dari wanita-wanita yang hendak menyusuinya sebelumnya. Sang kakak pun (menampakkan diri dan) berkata, ‘Maukah kalian aku tunjukkan kepada keluarga yang dapat memeliharanya untuk kalian, yang mereka akan berbuat baik kepadanya?’.” (al-Qashash: 12)

Pada awalnya, orang-orang Fir’aun curiga dengan tawaran tersebut. Akan tetapi, kakak Musa berhasil meyakinkan mereka. Ia menjelaskan bahwa ibunya memiliki air susu karena sedang menyusui Harun ‘alaihissalam yang lahir pada tahun sebelumnya. Mereka pun menjadi yakin bahwa ia hanya seorang wanita yang mencari upah.

Ini cara Allah subhanahu wa ta’ala memperjalankan faktor/sebab yang akan membawa Musa kembali ke pangkuan sang bunda. Ibunda Musa ‘alaihissalam pun dipanggil untuk menyusui bayi yang meraung-raung kelaparan tersebut.

فَرَدَدۡنَٰهُ إِلَىٰٓ أُمِّهِۦ كَيۡ تَقَرَّ عَيۡنُهَا وَلَا تَحۡزَنَ وَلِتَعۡلَمَ أَنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٞ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ ١٣

 

“Maka demikianlah Kami kembalikan Musa kepada ibunya agar senang hatinya dan tidak berduka, dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (al-Qashash: 13)

Betapa bahagianya hati sang ibu mendengar dirinya dipanggil, justru untuk menyusui sang putra. Putranya selamat, termuliakan, dilindungi, bahkan dijamin kesejahteraannya, meskipun ironisnya, oleh musuhnya.

Ketika Fir’aun bertanya mengapa Musa tidak mau menyusu selain kepadanya, ibunda Musa ‘alaihissalam menjelaskan bahwa ia adalah wanita yang baunya harum dan susunya juga bagus, yang hampir-hampir setiap kali ia diberi bayi, pasti bayi itu mau menyusu kepadanya.

Allah subhanahu wa ta’ala mengembalikan Musa kepadanya agar ia bahagia dan tidak berduka, dalam keadaan seluruh penghuni istana, termasuk Fir’aun, sudah cenderung kepadanya dan mengasihinya. Allah mengembalikan Musa kepadanya agar ia menyaksikan terwujudnya janji Allah subhanahu wa ta’alaarena ia adalah wanita yang beriman kepada-nya. Ia mengetahui bahwa dikembalikannya Musa kepadanya adalah sebuah keniscayaan.

Di kemudian hari, ibunda Musa ‘alaihissalam menyaksikan sekali lagi kebenaran perkataan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat putranya menjadi Rasul-Nya dan orang yang diajak-Nya berbicara (Kalimur Rahman). Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan Musa ‘alaihissalam sebagai nabi terbesar Bani Israil, yang menyelamatkan mereka dari kegelapan kekufuran dan kekejaman penindasan Fir’aun, menuju kemuliaan menjadi umat terbaik pada masa mereka. Allah memenuhi janji-Nya sekali lagi dan sekali lagi. Ibu Musa ‘alaihissalam adalah wanita yang beriman kepada Rabbnya meskipun kebanyakan manusia, bahkan kebanyakan wanita, tidak yakin dengan benarnya setiap janji Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebagian Pelajaran Kisah Ibunda Musa ‘alaihissalam

  • Allah subhanahu wa ta’ala mengatur dan mengurusi urusan hamba-hamba-Nya yang saleh, sebagaimana Allah memerintah ibu Musa ‘alaihissalam untuk menyusuinya, melemparkannya ke sungai, dan membesarkannya di tengah musuhnya dalam keadaan dimuliakan.
  • Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat kasih sayang ibu—yang masih berada di atas fitrahnya—kepada sang anak, sebagaimana ibunda Musa merasa hampa dengan hanyutnya Musa di aliran Sungai Nil.
  • Allah menunjukkan perhatian dan pemeliharaan-Nya kepada hamba-Nya yang bertakwa, sebagaimana ketika Ia meneguhkan kalbu ibu Musa untuk bersabar dan yakin dengan janji-Nya.
  • Janji dan ucapan Allah subhanahu wa ta’ala selalu benar, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah menyelisihinya sekali pun.
  • Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan keutamaan ibunda Musa ‘alaihissalam karena keimanan yang menetap di kalbunya, dengan turunnya ilham, pemberian janji, peneguhan hati, penjagaan, dan pemenuhan janji.
  • Setiap orang yang beriman pasti mendapatkan ujian dan cobaan untuk membuktikan keimanannya.
  • Hendaknya seorang wanita yang beriman selalu teguh di atas syariat Allah subhanahu wa ta’ala dan percaya dengan janji-janji-Nya.

Wallahu a’lam.

(Disarikan dari al-Jami’ li Ahkamil Qur’an dan Tafsir al-Qur’an al-Azhim)