Bertahun-tahun Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berdakwah di negeri beliau sendiri, Babil, tetapi tidak ada yang menyambut seruan beliau selain istri beliau, Sarah, dan kemenakan beliau, Luth ‘alaihissalam. Berbagai dalil dan logika sederhana yang sesuai dengan fitrah manusia telah beliau paparkan sebagai bukti bahwa tidak ada sembahan yang haq selain Allah, satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Beliau hadapkan mereka pada kenyataan yang membuat mereka tertunduk, bahwa sembahan mereka ternyata tidak berdaya apa-apa. Beliau menghancurkan patung-patung kecil yang dipuja oleh bangsa beliau dan menyisakan patung yang paling besar.
Akan tetapi, meskipun sudah terpojok dan tidak lagi mempunyai alasan untuk mendukung kesyirikan mereka, mereka tetap tidak mau melepaskan diri dari budaya yang sudah mengakar dalam sanubari mereka itu. Lebih-lebih, penguasa saat itu memberi dukungan sepenuhnya.
Akhirnya, setelah sang raja dan rakyatnya tidak mampu mematahkan alasan dan bukti yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim, mereka pun menggunakan kekuasaan dan kekerasan untuk menghentikan dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Diputuskanlah agar Ibrahim ‘alaihissalam dibakar hidup-hidup di hadapan khalayak.
Demikianlah keadaan kaum musyrikin selamanya. Bagaimana mungkin mereka menang menghadapi hujah ahli tauhid? Kesyirikan tidak pernah sesuai dengan fitrah manusia, tidak logis, tidak masuk akal, dan tidak sesuai dengan kenyataan. Allah subhanahu wa ta’ala pun menegaskan dalam firman-Nya,
وَمَن يَدۡعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ لَا بُرۡهَٰنَ لَهُۥ بِهِۦ فَإِنَّمَا حِسَابُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦٓۚ إِنَّهُۥ لَا يُفۡلِحُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ١١٧
“Barang siapa menyembah sembahan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, sesungguhnya perhitungannya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (al-Mu’minun: 117)
Jadi, siapa saja yang beribadah kepada sesuatu selain Allah, sesungguhnya dia tidak memiliki dalil atas perbuatannya. Bukti-bukti yang ada justru menegaskan batilnya keyakinan syirik mereka.
Melihat tidak ada lagi yang beriman selain istri dan kemenakan beliau, beliau pun meninggalkan negeri Babil di Irak menuju Harran di Syam. Sarah, sang istri, dengan setia mendampingi suaminya. Luth ‘alaihissalam, sang kemenakan, ikut pula hijrah bersama pamannya ke Syam.
Beberapa ulama ahli sejarah berbeda pendapat tentang siapakah Sarah ini.
Ada yang mengatakan bahwa Sarah adalah putri paman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Ada pula yang berpendapat bahwa Sarah adalah putri saudara Nabi Ibrahim, dan menurut syariat masa itu memang boleh seseorang menikahi putri saudaranya. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat dan masyhur ialah bahwa Sarah adalah putri paman beliau. Jadi, Sarah termasuk kerabat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Diceritakan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sangat mencintai Sarah, bukan hanya karena kekerabatannya dengan beliau, melainkan juga karena agama dan kecantikannya.
Nabi Ibrahim dan Sarah menetap beberapa lama di Syam. Suatu ketika, negeri Syam dilanda kemarau yang cukup berat, maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam membawa istri beliau hijrah ke Mesir.
Ujian bagi Sarah
Adalah sunnatullah bahwa setiap orang yang menyatakan diri sebagai orang beriman tentu menerima cobaan, apakah keimanannya jujur atau tidak. Begitu pula halnya istri Nabi Ibrahim yang mulia ini.
Suatu ketika, salah seorang pejabat istana melihat Sarah sedang membuat masakan. Dia terpesona oleh kecantikan Sarah. Akan tetapi, dia segera teringat akan rajanya yang pasti sangat senang kalau mengetahui ada wanita secantik ini.
Dinukil oleh Ibnu Hajar rahimahullah bahwa yang menemui raja adalah penjaga kedai tempat Ibrahim ‘alaihissalam membeli gandum. Dialah yang mengadu kepada sang raja. Wallahu a’lam.[1]
Orang itu bergegas menemui sang raja. Ada yang mengatakan bahwa raja tersebut adalah Fir’aun. Dia dikenal sangat lalim. Tidak pernah dibiarkannya wanita cantik sedikit pun melainkan pasti dirampasnya untuk memuaskan nafsunya. Telah menjadi kebiasaannya, kalau dia mengetahui bahwa wanita itu sudah bersuami, dia akan membunuh suaminya lebih dahulu lalu merampas si wanita. Kalau si wanita itu belum bersuami, dia akan memintanya dengan paksa agar mau menjadi selir atau istrinya.
“Telah tiba di negeri Tuanku ini seorang laki-laki asing. Dia bersama seorang wanita yang kecantikannya tidak ada duanya. Saya melihatnya sedang membuat masakan. Wanita seperti dia tidak layak berada di tempat itu. Seharusnya dia mendampingi Tuanku di istana.”
Sang raja tersenyum senang. Dia segera mengutus pengawalnya untuk membawa Ibrahim ke istana. Setiba di istana, Ibrahim ‘alaihissalam ditanya beberapa hal. Kemudian, tanya sang raja, “Siapa wanita yang bersamamu itu?”
“Saudara perempuanku,” jawab Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Setelah itu, Nabi Ibrahim dilepaskan dan beliau segera menemui Sarah. Sesampainya di rumah, beliau berkata kepada Sarah, “Wahai Sarah, di dunia ini tidak ada yang beriman selain aku dan engkau. Raja lalim ini menanyaiku, lalu kukatakan kepadanya bahwa engkau adalah saudara perempuanku. Kalau dia tahu bahwa engkau adalah istriku, pasti dia akan mengalahkanku atas dirimu. Oleh karena itu, janganlah engkau mendustakanku. Kalau dia bertanya kepadamu, katakanlah bahwa engkau saudara perempuanku. Memang, engkau adalah saudara perempuanku di dalam Islam.”
Dengan perkataan ini, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ingin menolak mafsadah yang lebih besar dengan menempuh satu jalan yang juga mengandung mafsadah tetapi lebih ringan. Tindakan raja merampas istrinya pasti terjadi. Akan tetapi, kalau raja itu mengetahui bahwa wanita yang dirampasnya telah bersuami, tentu dia akan membunuh suami wanita itu, lalu merampasnya. Lain halnya kalau raja itu mengetahui bahwa wanita itu belum bersuami, tentu dia tidak begitu memedulikan beliau.[2]
Tidak berapa lama, para pengawal raja datang membawa Sarah ke istana.
Di dalam istana, kemegahan yang ada di sekelilingnya tidak mengurangi kesedihan Sarah berpisah dari suaminya. Sarah segera bersuci dan shalat dengan khusyuk. Hatinya menghadap kepada Allah subhanahu wa ta’ala sambil mengadukan keadaannya kepada Allah Yang Maha Mengetahui.
Dalam shalatnya, Sarah berdoa, “Ya Allah, kalau Engkau mengetahui bahwa aku beriman kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu, serta memelihara kemaluanku, kecuali terhadap suamiku, janganlah Engkau memberi kekuasaan kepada orang kafir ini terhadapku.”
Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Mendengar segera mengabulkan doanya. Tiba-tiba saja tangan sang raja lumpuh. Dia juga terbanting dan tidak mampu bergerak. Sang raja berkata, “Berdoalah kepada Allah agar melepaskan tanganku. Aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi.”
Dalam riwayat lain, Sarah berkata dalam doanya, “Ya Allah, kalau dia mati, mereka akan menuduhku telah membunuhnya.”
Raja itu pun terlepas dari keadaannya. Akan tetapi, begitu berdiri, dia segera mendekati Sarah dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh Sarah. Sarah pun kembali berdoa. Akibatnya, raja itu kembali terbanting seperti yang pertama, bahkan lebih berat. Demikianlah hal itu terjadi beberapa kali.
Akhirnya, raja itu menyerah dan memanggil orang yang membawa Sarah ke istananya, “Bukan manusia yang kaubawa ke sini, melainkan setan. Kembalikan dia kepada Ibrahim dan keluarkan mereka dari negeri ini!”
Menurut Ibnu Hajar, raja itu menyebut-nyebut setan karena dahulu mereka sangat memuliakan para jin (dedemit dan sejenisnya). Mereka yakin bahwa semua perkara ajaib dan luar biasa yang terjadi di hadapan mereka pasti buatan jin.
Wallahu a’lam.
Sebelum meninggalkan istana, sang raja memberikan hadiah sejumlah harta dan seorang pelayan istana yang cantik bernama Hajar. Diceritakan, sang raja menghadiahkan Hajar karena menganggap bahwa wanita secantik Sarah tidak pantas melayani dirinya sendiri.
Tentang kejadian di atas, ada ulama yang berpendapat bahwa ketika Sarah dibawa ke istana raja lalim yang memerintah Mesir saat itu, Allah subhanahu wa ta’ala menyingkap hijab antara Ibrahim dan Sarah. Dengan demikian, selama di istana, Sarah tetap diperhatikan oleh Ibrahim, dan beliau pun melihat bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala melindungi sang istri. Semua itu adalah untuk menenangkan hati Ibrahim ‘alaihissalam.
Sarah segera menemui Ibrahim ‘alaihissalam yang sedang shalat.
Nabi Ibrahim memberi isyarat, “Bagaimana kabarnya?”
“Allah telah menolak tipu daya orang kafir itu, dan dia menyerahkan seorang pelayan wanita.”
Beberapa Faedah Kisah Ini
Wallahu a’lam.
(bersambung, insya Allah)
[1] Fathul Bari (6/392).
[2] Ibid.
[3] Lihat ‘Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari dan Fathul Bari.