Qonitah
Qonitah

maryam bintu ‘imran

10 tahun yang lalu
baca 18 menit
Maryam bintu ‘Imran

kisah-08Al-Ustadzah Ummu Maryam Lathifah

Sebuah Permisalan bagi Orang yang Beriman

Tatkala rasa malu tercerabut dari sebagian besar wanita muslimah negeri ini, berbagai kemaksiatan dan ketidaktaatan menghiasi tutur dan langkah mereka; hawa nafsu dan kerancuan pemikiran pun merajalela. Sungguh, mereka lupa akan kisah indah penuh teladan dan faedah, tentang seorang wanita yang namanya semerbak sepanjang masa…. Maryam ash-Shiddiqah radhiyallahu ‘anha, puteri Imran.

Maryam bintu Imran radhiyallahu ‘anha, ibunda ‘Isa ‘alaihissalam Peradaban manakah dalam kurun waktu dua ribu tahun ini yang belum pernah mendengar namanya? Dialah wanita yang taat kepada Rabbnya, yang disebut berulang kali dalam sejarah manusia. Namanya menjadi satu-satunya nama wanita yang disebutkan dalam al-Qur’an, bahkan menjadi nama sebuah surat di dalamnya. Berikut perjalanan hidupnya, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pelajaran yang berharga bagi kita dengan membacanya.

Keluarga Maryam bintu ‘Imran

Maryam bintu ‘Imran radhiyallahu ‘anha berasal dari salah satu keluarga mulia yang dipilih oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengemban nubuwah dan risalah, yaitu keluarga ‘Imran, yang berakar dari Bani Israil, dari keturunan Dawud o. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

۞إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰٓ ءَادَمَ وَنُوحٗا وَءَالَ إِبۡرَٰهِيمَ وَءَالَ عِمۡرَٰنَ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ ٣٣

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat.” (Ali Imran: 33)

Sebagaimana ayahnya yang saleh, ibunda Maryam, Hannah bintu Faqud, pun wanita salihah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Hannah,

إِذۡ قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ عِمۡرَٰنَ رَبِّ إِنِّي نَذَرۡتُ لَكَ مَا فِي بَطۡنِي مُحَرَّرٗا فَتَقَبَّلۡ مِنِّيٓۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٣٥ فَلَمَّا وَضَعَتۡهَا قَالَتۡ رَبِّ إِنِّي وَضَعۡتُهَآ أُنثَىٰ وَٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ وَلَيۡسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلۡأُنثَىٰۖ وَإِنِّي سَمَّيۡتُهَا مَرۡيَمَ وَإِنِّيٓ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ ٣٦

“(Ingatlah) ketika istri ‘Imran berkata, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu anak yang berada dalam kandunganku ini menjadi anak yang saleh yang berkhidmat (di Baitul Maqdis), maka terimalah dariku (nazar ini). Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’ Namun, tatkala ia melahirkan anaknya, ia berkata, ‘Wahai Rabbku, ternyata aku melahirkannya perempuan.’ Allah subhanahu wa ta’alaebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan laki-laki tidaklah sama dengan perempuan. ‘Sesungguhnya aku telah menamainya Maryam, dan aku memohon perlindungan-Mu baginya dan keturunannya dari setan yang terkutuk’.” (Ali Imran: 35—36)

Disebutkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir beliau, Muhammad bin Ishaq rahimahullah menjelaskan bahwa Hannah dahulu wanita yang mandul. Pada suatu hari ia melihat seekor burung memberi makan anaknya dengan paruhnya, maka ia pun jadi menginginkan kehadiran seorang anak. Berdoalah ia kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia menganugerahinya seorang anak laki-laki. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doanya. Suaminya pun mendatanginya, dan Hannah mengandung karenanya.

Ketika hamil, ia bernazar bahwa bayi yang ada di perutnya itu akan dijadikannya sebagai muharrar, dikhususkan untuk beribadah dan berkhidmat di Baitul Maqdis. Namun, ketika ia melahirkan, ternyata yang lahir anak perempuan, padahal laki-laki tidak sama dengan perempuan dalam hal kekuatan dan ketabahan/ketekunan dalam beribadah dan berkhidmat di Masjidil Aqsha.

Hannah pun memintakan perlindungan Allah bagi Maryam, putrinya, dan anak keturunan Maryam. Allah pun mengabulkan permohonannya. Disebutkan dalam hadits yang muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ يُولَدُ إِلَّا وَالشَّيْطَانُ يَمَسُّهُ حِينَ يُولَدُ، فَيَسْتَهِلُّ صَارِخًا مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ إِيَّاهُ، إِلَّا مَرْيَمَ وَابْنَهَا

“Tidak ada seorang bayi pun yang dilahirkan melainkan setan menyentuhnya ketika ia dilahirkan, sehingga ia berteriak keras karena sentuhan setan tersebut, kecuali Maryam dan putranya.” (HR. al-BukhariKitabut Tafsir” no. 4548 dan MuslimKitabul Fadha’il” no. 2366)

 

Pertumbuhan Maryam

Maryam bintu ‘Imran tumbuh di lingkungan ilmu dan ulama, orang-orang yang baik dan berbakti kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi Zakariyya ‘alaihissalam, yang kala itu sudah uzur, memelihara dan membesarkan Maryam. Maryam pun tumbuh menjadi wanita yang baik dan menjaga kesucian dirinya. Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan tumbuh kembang Maryam di dalam banyak ayat Kalam-Nya.

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٖ وَأَنۢبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنٗا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّاۖ

“Maka Rabbnya menerima Maryam (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan Allah menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang baik, serta Allah menjadikan Zakariyya sebagai pemeliharanya.” (Ali ‘Imran: 37)

Ibnu Katsir rahimahullah , dalam Tafsir beliau, menjelaskan, “Rabb kita l mengabarkan bahwa Ia menerima Maryam dari ibunya sebagai nazar, dan bahwa Allah menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang baik, yaitu Allah menjadikannya sebagai wanita yang matang, elok, dan cantik jelita. Allah juga membukakan baginya sebab-sebab (sehingga manusia) menerimanya. Allah mendekatkannya dengan orang-orang yang saleh dari hamba-hamba-Nya, yang dari mereka Maryam belajar ilmu, kebaikan, dan agama. Oleh karena itu, Allah berfirman, ‘Dan Allah menjadikan Zakariyya sebagai pemeliharanya’.”

Namun, sebelumnya, Bani Israil berselisih tentang siapa di antara mereka yang hendak membesarkan Maryam. Ibnu Katsir menjelaskan, ‘Ikrimah rahimahullah berkata bahwa Hannah keluar membawa Maryam di dalam kainnya. Ditemuinya kabilah Bani al-Kahin bin Harun—saudara Musa ‘alaihissalam. Hannah menyuruh mereka mengambil Maryam dan menjelaskan bahwa Maryam ia nazarkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk berkhidmat di Baitul Maqdis. Bani al-Kahin, yang mengurusi khidmat di Baitul Maqdis, senang akan hal tersebut karena Maryam adalah putri ‘Imran, imam shalat mereka.

Namun, Nabi Zakariyya ‘alaihissalam meminta mereka menyerahkan Maryam kepada beliau karena bibi Maryam (saudara Hannah) adalah istri beliau, sedangkan bibi dari pihak ibu berkedudukan seperti ibu. Mereka pun berselisih, kemudian bersepakat mengundi siapa yang berhak memelihara anak yang menjadi nazar Hannah ini. Mereka pergi ke sungai Yordan untuk berundi dengan cara melemparkan pena-pena mereka ke dalam sungai. Orang yang penanya tetap menancap dan tidak terbawa air akan menjadi pemelihara Maryam. Seluruh pena terbawa air, kecuali pena Zakariyya. Ternyata, Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan Nabi Zakariyya ‘alaihissalam untuk membesarkannya.

Ibnu Ishaq menjelaskan, Zakariyya merawat Maryam karena Maryam menjadi yatim. Ahli tafsir yang lain menyebutkan bahwa Bani Israil tertimpa tahun paceklik sehingga Nabi Zakariyya ‘alaihissalam memelihara Maryam. Dua hal ini tidak saling menafikan. Allah menjadikan Zakariyya sebagai orang yang memeliharanya tidak lain untuk kebahagiaan Maryam, agar Maryam dapat memperoleh faedah ilmu yang melimpah lagi bermanfaat dan amalan yang saleh dari Zakariyya.

Dalam tafsir surat Maryam, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Maryam tumbuh dengan baik di tengah-tengah Bani Israil. Ia menjadi salah satu wanita ahli ibadah yang masyhur dengan ibadah-ibadah yang agung, at-tabattul (meninggalkan kehidupan dunia untuk beribadah pada Allah subhanahu wa ta’ala), dan ketekunan beribadah. Maryam dipelihara oleh Zakariyya, suami dari saudara perempuannya, atau bibinya (dari keluarga Hannah). Zakariyya adalah salah seorang nabi dari Bani Israil dan pembesar mereka, yang menjadi rujukan mereka dalam masalah agama.

 

Ibadah Maryam bintu ‘Imran

Maryam radhiyallahu ‘anha memenuhi nazar ibunya pada dirinya. Diisinya hari-harinya dengan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala di tempat yang telah disediakan baginya. Ibnu Katsir rahimahullah , dalam kelanjutan tafsir Ali ‘Imran, menyampaikan, “Kemudian, Allah menyebutkan keagungan dan kemuliaan Maryam di dalam tempat ibadahnya. Allah berfirman,

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيۡهَا زَكَرِيَّا ٱلۡمِحۡرَابَ وَجَدَ عِندَهَا رِزۡقٗاۖ قَالَ يَٰمَرۡيَمُ أَنَّىٰ لَكِ هَٰذَاۖ قَالَتۡ هُوَ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ إِنَّ ٱللَّهَ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ ٣٧

“Setiap kali Zakariyya menemui Maryam di mihrab, ia mendapati makanan di sisi Maryam. Zakariyya bertanya, ‘Wahai Maryam, dari mana engkau memperoleh makanan ini?’ Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah.’ Sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Ali ‘Imran: 37)

Mujahid, ‘Ikrimah, dan banyak ahli tafsir menjelaskan bahwa Zakariyya ‘alaihissalam mendapati di sisi Maryam buah-buahan musim panas di musim dingin dan buah-buahan musim dingin di musim panas.

Pemberian Allah subhanahu wa ta’ala kepada Maryam ini mengilhami Zakariyya ‘alaihissalam untuk berdoa memohon kehadiran seorang anak kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dalam keadaan ia sudah renta, dengan tulang yang sudah lemah, rambut telah beruban, dan istrinya pun telah tua lagi mandul. Namun, ia tetap memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena melihat rezeki Allah subhanahu wa ta’ala pada Maryam, yang mustahil bagi manusia untuk memberikannya—buah-buahan musim panas di musim dingin, dan sebaliknya.

Ini menunjukkan kemuliaan yang besar dari Allah subhanahu wa ta’ala bagi Maryam, putri ‘Imran, kemuliaan seorang wali Allah dari kalangan wanita.

Kisah Maryam ini juga mengilhami ucapan yang mengalir dari Fathimah bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mendapatkan rezeki. Ibnu Katsir menyebutkan hadits yang dibawakan oleh al-Hafizh Abu Ya’la dari Jabir bin ‘Abdillah h, ia berkata, “Rasulullah pernah melalui beberapa hari tanpa makan apa pun, sampai hal ini terasa berat bagi beliau. Beliau pun berkeliling ke rumah-rumah para istri beliau. Namun, beliau tidak mendapati apa pun di sisi mereka.

Akhirnya, beliau pun mendatangi Fathimah dan bertanya, ‘Putriku, apakah engkau memiliki sesuatu yang bisa kumakan? Sesungguhnya aku lapar.’ Fathimah pun berkata bahwa ia tidak memiliki apa pun.

Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam keluar dari rumahnya, salah seorang tetangga wanita Fathimah mengutus orang untuk mengantarkan dua potong roti dan sepotong daging untuk Fathimah. Fathimah pun mengambil makanan itu dari tetangganya dan meletakkannya di mangkuknya. Ia berkata, ‘Demi Allah, sungguh, aku akan mendahulukan makanan ini untuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sebelum diriku dan orang-orang yang ada di sisiku.’ Padahal, mereka semua sangat membutuhkan makanan.

Fathimah pun mengutus Hasan dan Husain membawa makanan itu kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Namun, beliau justru kembali kepada Fathimah. Fathimah berkata, ‘Demi Allah, ayah dan ibuku sebagai tebusan, Allah sudah mendatangkan sesuatu, lalu saya menyembunyikannya untuk Anda, (tetapi Anda justru datang membawanya kembali).’

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Kemarilah, Putriku.’ Fathimah pun mendatangkan wadah itu kepada beliau dan membuka tutupnya. Ternyata, wadah itu penuh dengan roti dan daging. Ketika Fathimah melihatnya, dia pun diam tercengang.

Fathimah menyadari bahwa itu adalah barakah dari Allah sehingga ia pun memuji Allah, bershalawat atas Nabi-Nya, dan menghidangkannya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika beliau melihatnya, beliau pun memuji Allah dan bertanya, ‘Dari mana ini, Putriku?’

Fathimah pun menjawab dengan ucapan Maryam bintu ‘Imran, ‘Wahai Ayahanda, makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.’

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun memuji Allah dan berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanmu, Putriku, seperti wanita pemimpin para wanita Bani Israil. Setiap kali Allah memberinya sesuatu dan ia ditanya tentang rezeki itu, ia selalu menjawab, “Itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.’

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun mengutus orang untuk memanggil Ali, sehingga seluruh keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan ‘Ali, serta tetangga mereka menyantap rezeki Allah tersebut.
Pengutusan Malaikat Menemui Maryam

Setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan kisah pengabulan doa Zakariyya, Allah subhanahu wa ta’ala pun mengabarkan kedatangan para malaikat kepada Maryam w.

وَإِذۡ قَالَتِ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ يَٰمَرۡيَمُ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰكِ وَطَهَّرَكِ وَٱصۡطَفَىٰكِ عَلَىٰ نِسَآءِ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٤٢ يَٰمَرۡيَمُ ٱقۡنُتِي لِرَبِّكِ وَٱسۡجُدِي وَٱرۡكَعِي مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ ٤٣

“(Ingatlah) ketika malaikat berkata kepada Maryam, ‘Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan memilihmu melebihi seluruh wanita di alam ini. Wahai Maryam, taatlah kepada Rabbmu, sujudlah, dan rukuklah bersama dengan orang-orang yang rukuk’.” (Ali ‘Imran: 42—43)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa ayat ini adalah pemberitaan Allah subhanahu wa ta’ala tentang pembicaraan malaikat dengan Maryam w. Allah memerintah mereka untuk menyampaikan kepada Maryam bahwa Allah telah memilihnya karena banyaknya ibadah Maryam, kezuhudannya, kemuliaannya, dan kesuciannya dari berbagai kenistaan dan waswas (bisikan dan godaan kejelekan). Allah telah memilihnya untuk kedua kalinya, berulang-ulang, karena kemuliaannya yang melebihi seluruh wanita di dunia ini.

Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa para malaikat tersebut memerintah Maryam untuk banyak beribadah, khusyuk, tunduk, sujud, rukuk, dan tekun beribadah. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan terjadinya sesuatu yang telah ditetapkan-Nya sebelumnya pada diri Maryam. Di dalam ketetapan Allah tersebut terdapat ujian dan pengangkatan derajat bagi Maryam di dua negeri (dunia dan akhirat). Dengan perkara ini, Allah subhanahu wa ta’ala menampakkan kekuasaan-Nya yang agung, yaitu Allah menciptakan anak laki-laki dari Maryam, tanpa adanya seorang ayah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Wahai Maryam, taatlah kepada Rabbmu, sujudlah, dan rukuklah bersama dengan orang-orang yang rukuk.” Yang dimaksud taat (الْقُنُوتُ , bentuk masdar dari اُقْنُتِي) di sini adalah ketaatan di dalam kekhusyukan.

Maryam radhiyallahu ‘anha pun tunduk pada perintah Rabbnya yang disampaikan melalui para malaikat tersebut. Mujahid rahimahullah berkata, “Maryam w berdiri (shalat) sampai bengkak kedua tumitnya. الْقُنُوتُ (ketaatan yang diperintahkan kepada Maryam) adalah lamanya diam/ tenang dalam shalat, sebagai pelaksanaan terhadap perintah Allah subhanahu wa ta’ala, ‘Wahai Maryam, taatlah kepada Rabbmu’.”

Al-Auza’i rahimahullah mengatakan bahwa Maryam berdiam di mihrabnya dalam keadaan rukuk, sujud, dan berdiri, sampai-sampai turun cairan kuning di kedua kakinya. Semoga Allah meridhainya dan menjadikannya ridha kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah mengatakan bahwa Maryam sujud hingga turun cairan kuning di kedua matanya. Demikianlah persiapan agung yang dijalankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada diri Maryam bintu Imran radhiyallahu ‘anha sebelum kehadiran ‘Isa bin Maryam.

 

Takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang Agung atas Maryam bintu ‘Imran

Kabar gembira akan mukjizat Allah, berupa kelahiran ‘Isa melalui rahim Maryam yang masih gadis, dibawa oleh para malaikat.

إِذۡ قَالَتِ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ يَٰمَرۡيَمُ إِنَّ ٱللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٖ مِّنۡهُ ٱسۡمُهُ ٱلۡمَسِيحُ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ وَجِيهٗا فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِ وَمِنَ ٱلۡمُقَرَّبِينَ ٤٥ وَيُكَلِّمُ ٱلنَّاسَ فِي ٱلۡمَهۡدِ وَكَهۡلٗا وَمِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

“(Ingatlah) ketika para malaikat berkata, ‘Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kabar gembira bagimu dengan (kelahiran seorang putra yang diciptakan dengan) kalimat yang datang dari-Nya, yang bernama al-Masih ‘Isa, putra Maryam, seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat, serta termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah). Ia akan berbicara kepada manusia dalam buaiannya dan termasuk orang-orang yang saleh’.” (Ali ‘Imran: 45—46)

Setelah mendengar kabar itu, Maryam berkata di dalam munajatnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala,

قَالَتۡ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي وَلَدٞ وَلَمۡ يَمۡسَسۡنِي بَشَرٞۖ

            Maryam berkata, “Wahai Rabbku, bagaimana mungkin aku memiliki anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun.” (Ali ‘Imran: 47)

Maryam heran, bagaimana mungkin lahir anak dari dirinya, padahal ia tidak bersuami, bahkan tidak berkeinginan untuk bersuami, dan ia sama sekali bukan pezina, bahkan tidak pernah tergambar di benaknya keinginan berbuat nista. Salah seorang malaikat yang diutus menemuinya berkata,

قَالَ كَذَٰلِكِ ٱللَّهُ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ إِذَا قَضَىٰٓ أَمۡرٗا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ ٤٧

Berkata malaikat, “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Ia menetapkan sesuatu, cukup Ia berkata kepadanya, ‘Jadilah,’ maka terjadilah ia.” (Ali ‘Imran: 47)

Dalam surat Maryam, Allah berfirman,

وَٱذۡكُرۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ مَرۡيَمَ إِذِ ٱنتَبَذَتۡ مِنۡ أَهۡلِهَا مَكَانٗا شَرۡقِيّٗا ١٦

“Dan ceritakanlah Maryam di dalam al-Qur’an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur.” (Maryam: 16)

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Maryam memisahkan diri dari mereka, menyingkir, dan pergi menuju bagian timur Masjid al-Maqdis. As-Suddi mengatakan bahwa ia menjauh karena sedang tertimpa haid. Ulama lain menafsirkan bahwa Maryam menyepi untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas menyatakan bahwa ahli kitab sebelumnya mewajibkan shalat dan haji ke arah Baitul Maqdis. Tidak ada yang memalingkan mereka dari arah ini melainkan firman Allah, “Maka Maryam menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur.” Maryam keluar ke sebuah tempat di sisi timur sehingga mereka shalat menghadap ke arah tempat terbitnya matahari. Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir.

Sebagian riwayat Ibnu ‘Abbas menyebutkan bahwa mereka menjadikan tempat kelahiran ‘Isa bin Maryam sebagai kiblat baru mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman lagi,

فَٱتَّخَذَتۡ مِن دُونِهِمۡ حِجَابٗا فَأَرۡسَلۡنَآ إِلَيۡهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرٗا سَوِيّٗا ١٧

“Maryam menjadikan tabir (yang menutupinya) dari mereka, kemudian Kami mengutus Ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna.” (Maryam: 17)

Banyak ulama tafsir menjelaskan bahwa Ruh tersebut adalah Jibril ‘alaihissalam, sebagaimana firman Allah dalam asy-Syu’ara’: 193—194 , “Yang membawa turun al-Qur’an ini adalah ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu, agar engkau termasuk orang-orang yang memberikan peringatan.”

Maryam pun gelisah dengan kehadiran seorang laki-laki asing di tempatnya mengasingkan diri.

قَالَتۡ إِنِّيٓ أَعُوذُ بِٱلرَّحۡمَٰنِ مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيّٗا ١٨ قَالَ إِنَّمَآ أَنَا۠ رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَٰمٗا زَكِيّٗا ١٩

“Maryam berkata, ‘Sesungguhnya aku berlindung darimu kepada Rabb yang Maha Penyayang, jika engkau adalah orang yang bertakwa.’ Ia (Jibril) berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah utusan Rabbmu untuk memberikan kepadamu seorang anak laki-laki yang suci.” (Maryam: 18—19)

Lihatlah penyandaran diri yang sempurna dari Maryam kepada Rabbnya. Ia memohon perlindungan kepada ar-Rahman dari orang asing yang mendatanginya tersebut, apabila orang tersebut takut kepada Allah. Inilah yang disyariatkan dalam melindungi diri, yaitu dengan sesuatu yang paling mudah, kemudian dengan yang lebih mudah sesudahnya.

Maryam menakut-nakutinya pertama kali dengan mengingatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Disebutkan bahwa ketika Maryam menyebutkan nama ar-Rahman, Jibril menggigil karena takut dan berubah ke bentuk aslinya. Jibril ‘alaihissalam pun menjawab kekhawatiran Maryam dan menghapuskan rasa takutnya dengan menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengutusnya kepada Maryam untuk meniupkan ruh Nabi-Nya, Isa q, ke tubuh Maryam. Jibril juga menjelaskan bahwa yang demikian ini sangat mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Mendengar penjelasan ini, Maryam pun berserah diri pada ketetapan Rabbnya.

Banyak ulama salaf menjelaskan bahwa pada saat peniupan ruh itu, Jibril ‘alaihissalam meniupkan ruh ke leher baju pakaian Maryam. Tiupan tersebut pun turun sampai memasuki farj Maryam, hingga akhirnya, Maryam mengandung dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Awal Kehamilan yang Memayahkan

Dengan kekuasaan dan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala yang sempurna, Maryam mengandung tanpa keberadaan seorang suami dan tanpa perbuatan keji, agar ‘Isa bin Maryam menjadi salah satu tanda kebesaran Allah dan menjadi kasih sayang dari-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan kehamilannya di surat Maryam,

۞فَحَمَلَتۡهُ فَٱنتَبَذَتۡ بِهِۦ مَكَانٗا قَصِيّٗا ٢٢

Maka Maryam pun mengandungnya, lalu ia menyingkir bersama kandungannya itu ke tempat yang jauh.” (Maryam: 22)

Tatkala pakaian Maryam mulai menyempit karena kehamilannya dan ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada manusia, ia pun menyadari bahwa orang-orang tidak akan membenarkannya jika ia menceritakan kejadian agung yang menimpanya. Namun, Maryam menceritakan rahasianya kepada saudari/bibinya, istri Zakariyya ‘alaihissalam, karena istri beliau hamil setelah permohonan Zakariyya kepada Allah.

Maryam menjumpainya, dan istri Zakariyya ‘alaihissalam pun berdiri dan memeluknya. “Tahukah engkau, Maryam, bahwa aku hamil?” tanyanya.

Maryam pun menjawab, “Tidakkah engkau mengetahui pula bahwa aku juga hamil?” Maryam menceritakan keadaan dirinya dan peristiwa yang menimpanya. Sementara itu, rumah Nabi Zakariyya adalah rumah keimanan dan pembenaran (terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala).

Ibnu Abi Hatim membawakan atsar yang menceritakan bahwa ‘Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariyya adalah saudara sepupu, yang dikandung oleh ibu mereka dalam waktu yang sama. Acap kali istri Zakariyya menghadapkan diri kepada Maryam, maka ia dapati janin yang ada di perutnya sujud kepada janin yang ada di perut Maryam; mengagungkan dan tunduk padanya. Al-Imam Malik mengatakan bahwa ini adalah isyarat keutamaan ‘Isa di atas Yahya. Dalam syariat agama mereka—dan tidak dalam syariat Islam, sujud disyariatkan ketika memberi salam, sebagaimana ayah dan saudara Yusuf bersujud kepadanya, juga sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala memerintah malaikat untuk bersujud kepada Adam.

Hari berlalu, dan kandungan Maryam pun semakin tampak. Di Baitul Maqdis ada seorang laki-laki saleh yang berkhidmat bersama Maryam. Tersebutlah namanya Yusuf an-Najjar. Ketika melihat perut Maryam yang semakin berat dan membesar, ia pun mengingkarinya dan menganggap tidak mungkin hal tersebut terjadi pada Maryam. Ia menolak kehamilan itu karena mengetahui kesucian, agama, dan ibadah Maryam.

Yusuf pun mulai memerhatikan Maryam. Pikirannya mulai terusik dengan urusan Maryam, sehingga ia tidak lagi mampu menolak dan mengingkari kehamilan Maryam. Ia pun meneguhkan hati untuk bertanya langsung kepada Maryam, “Wahai Maryam, sesungguhnya aku akan bertanya kepadamu tentang suatu hal, tetapi janganlah engkau tergesa-gesa (menyikapiku). Apakah pepohonan bisa ada tanpa biji sebelumnya? Apakah tanaman bisa ada tanpa benih yang ditaburkan? Apakah seorang anak bisa ada tanpa ayah?”

Maryam memahami apa yang dimaksudkan Yusuf. Ia menjawab, “Ya (bisa). Pertanyaanmu apakah pohon bisa ada tanpa biji, dan tanaman bisa ada tanpa (adanya orang yang) menabur benih, sesungguhnya Allah telah menciptakan pohon dan tanaman di awal mulanya tanpa biji ataupun benih. Adapun pertanyaanmu apakah anak bisa ada tanpa ayah, sesungguhnya Allah menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu.”

Mendengar hal itu, Yusuf pun memercayainya (bahwa ini adalah mukjizat Allah atas Maryam) dan mengembalikan urusan tersebut kepada Maryam.

Ketika Maryam merasa bahwa Bani Israil mulai menuduhnya bahwa ia telah hamil karena berbuat zina, ia pun menyingkir ke tempat yang jauh dari mereka, agar ia tidak melihat mereka, dan mereka pun tidak melihatnya.

Bagaimana kelanjutan perjuangan Maryam radhiyallahu ‘anha di dalam ketabahannya menanggung ketetapan Rabbnya Yang Mahaagung? Simak di edisi berikutnya, insya Allah….

 

Sumber Tulisan:
Maryam bintu ‘Imran