Kisah

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

apakah engkau mampu menyelamatkan diri dari kematian?

APAKAH ENGKAU MAMPU MENYELAMATKAN DIRI DARI KEMATIAN? Berkata Abdul Aziz Abu Marhum: (Suatu hari) kami masuk bersama Al-Hasan Al-Bashri membesuk seseorang yang sakit, dan ketika Al-Hasan telah duduk di sampingnya beliau berkata: "Apa yang engkau rasakan pada dirimu?" "Orang tersebut menjawab: "aku rasakan pada diriku ingin sekali makan namun aku tidak kuasa untuk menelannya, dan aku ingin sekali minum namun aku tidak kuasa meneguknya." Maka menangislah Al-Hasan seraya berkata: "Di atas berbagai wabah dan penyakit rumah ini dibangun, Katakanlah, jika memang engkau selamat dari berbagai wabah dan engkau sembuh dari berbagai penyakit, APAKAH ENGKAU MAMPU MENYELAMATKAN DIRI DARI KEMATIAN?" "Maka rumah itu pun menjadi gaduh dengan tangisan.  .              —○●※●○— Az-Zuhdu, Ibnu Abi Ad-Dunya. No. (257). ———————————————— ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ اﻟﻌﺰﻳﺰ ﺃﺑﻮ ﻣﺮﺣﻮﻡ: ﺩﺧﻠﻨﺎ ﻣﻊ اﻟﺤﺴﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﻳﺾ ﻧﻌﻮﺩﻩ، ﻓﻠﻤﺎ ﺟﻠﺲ ﻋﻨﺪﻩ ﻗﺎﻝ: «ﻛﻴﻒ ﺗﺠﺪﻙ؟» ﻗﺎﻝ: ﺃﺟﺪﻧﻲ ﺃﺷﺘﻬﻲ اﻟﻄﻌﺎﻡ ﻓﻼ ﺃﻗﺪﺭ ﺃﻥ ﺃﺳﻴﻐﻪ، ﻭﺃﺷﺘﻬﻲ اﻟﺸﺮاﺏ ﻓﻼ ﺃﻗﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺃﺗﺠﺮﻋﻪ. ﻗﺎﻝ: ﻓﺒﻜﻰ اﻟﺤﺴﻦ، ﻭﻗﺎﻝ: ﻋﻠﻰ اﻷﺳﻘﺎﻡ ﻭاﻷﻣﺮاﺽ ﺃﺳﺴﺖ ﻫﺬﻩ اﻟﺪاﺭ، ﻓﻬﺒﻚ ﺗﺼﺢ ﻣﻦ اﻷﺳﻘﺎﻡ، ﻭﺗﺒﺮﺃ ﻣﻦ اﻷﻣﺮاﺽ، ﻫﻞ ﺗﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺗﻨﺠﻮ ﻣﻦ اﻟﻤﻮﺕ؟ ﻗﺎﻝ: ﻓﺎﺭﺗﺞ اﻟﺒﻴﺖ ﺑﺎﻟﺒﻜﺎء ?? الزهد لابن أبي الدنيا ٢٥٧.
9 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

kisah terbunuhnya cucu rasulullah husain bin ali bin abu thalib

KISAH TERBUNUHNYA CUCU RASULULLAH 'HUSAIN BIN ALI BIN ABU THALIB RADHIALLAHU ANHUMA. SIAPAKAH PEMBUNUHNYA ❓ Saat Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma pada tahun 60 H meninggal, anaknya yang bernama Yazid dibai’at sebagai khalifah. Adapun Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma dan Abdullah bin Zubair termasuk yang enggan berbai’at kepada Yazid. Mereka berdua berangkat menuju Makkah dan menetap di sana. Kaum muslimin banyak yang mendatangi Husain radhiallahu ‘anhu untuk mendengar ilmu dan wejangan dari beliau. Adapun Ibnu Zubair radhiallahu ‘anhu menetap di tempat ibadahnya di sisi Ka’bah. Tidak berapa lama kemudian, berdatanganlah surat-surat yang berasal dari penduduk Kufah yang menghendaki kedatangan Husain radhiallahu ‘anhu ke negeri mereka agar mereka segera membaiatnya sebagai pengganti Yazid bin Muawiyah. Yang pertama kali mendatangi Husain radhiallahu ‘anhu adalah Abdullah bin Saba’, al-Hamdani, dan Abdullah bin Wal. Mereka membawa surat yang berisi ucapan selamat atas kematian Muawiyah radhiallahu ‘anhu. Setelah itu, disusul oleh ratusan surat yang meminta Husain radhiallahu ‘anhu untuk segera datang ke Kufah. Akhirnya Husain radhiallahu ‘anhu mengutus anak pamannya yang bernama Muslim bin Aqil bin Abi Thalib ke Irak untuk meneliti duduk permasalahan sebenarnya dan kesepakatan mereka. Apabila hal ini sesuatu yang jelas dan mesti, Husain akan berangkat bersama keluarga dan kerabatnya. Tatkala Muslim bin Aqil tiba di Kufah, beliau singgah di rumah Muslim bin Ausajah al-Asadi. Ada pula yang berkata bahwa beliau singgah di rumah Mukhtar bin Abi Ubaid ats-Tsaqafi. Wallahu a’lam. Penduduk Kufah berbondong-bondong mendatangi Muslim untuk membaiatnya atas nama kepemimpinan Husain radhiallahu ‘anhu. Jumlah mereka mencapai 18.000 orang. Akhirnya, Muslim mengirim surat kepada Husain radhiallahu ‘anhu agar segera datang ke Kufah karena pembaiatan telah siap. Husain radhiallahu ‘anhu bersiap berangkat dari Makkah menuju Kufah. Berita kedatangan Husain radhiallahu ‘anhu kian tersiar dan sampai kepada an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma yang ketika itu menjadi Gubernur Kufah bagi pemerintahan Yazid. Beliau seakan-akan tidak peduli dengan semakin gencarnya isu pembaiatan terhadap Husain radhiallahu ‘anhu. Berita ketidakpedulian Nu’man radhiallahu ‘anhuma sampai kepada Yazid. Yazid melengserkan Nu’man radhiallahu ‘anhuma dari kedudukannya dan memerintah Ubaidullah bin Ziyad untuk menguasai Kufah dan Basrah sekaligus. Yazid berpesan kepada Ibnu Ziyad, “Jika engkau datang ke Kufah, carilah Muslim bin Aqil. Jika engkau mampu membunuhnya, bunuhlah.” Ibnu Ziyad berangkat dari Basrah menuju Kufah. Tatkala memasuki Kufah, ia menutup wajahnya dengan sorban hitam. Setiap kali dia melewati sekumpulan manusia, ia berkata, “Assalamu’alaikum.” Mereka menjawab, “Wa‘alaikassalam, selamat datang wahai anak Rasulullah.” Mereka menyangka bahwa dia adalah Husain radhiallahu ‘anhu, karena memang telah menunggu kedatangannya sampai akhirnya banyak penduduk mengerumuninya. Muslim bin Amr berkata, “Mundurlah kalian, ini adalah Gubernur Ubaidullah bin Ziyad.” Tatkala mereka mengetahui bahwa itu bukan Husain,  .mereka bersedih. Ubaidullah akhirnya yakin bahwa hal ini adalah kesungguhan. Dia kemudian memasuki istana Gubernur Kufah dan mengutus Ma’qil, maula Ubaidullah bin Ziyad, untuk meneliti keadaan dan melacak siapa dalang utama yang mengatur pembaiatan terhadap Husain radhiallahu ‘anhu. Ma’qil berangkat dengan membawa uang 3.000 dirham sambil menyamar sebagai orang yang berasal dari Hims yang datang untuk membaiat Husain radhiallahu ‘anhu. Dia terus berlemah lembut hingga ditunjukkan kepadanya tempat Muslim bin Aqil dibaiat; yaitu rumah milik Hani bin Urwah. Akhirnya, dia mengetahui bahwa Muslim bin Aqil merupakan otaknya. Dia pun kembali dan mengabarkan hal ini kepada Ubaidullah. Setelah Muslim bin Aqil merasa bahwa segala sesuatu telah siap, dia mengirim berita kepada Husain radhiallahu ‘anhu untuk segera datang ke Kufah. Husain akhirnya berangkat menuju Kufah, sementara Ubaidullah mengetahui apa yang dilakukan oleh Muslim bin Aqil. Keberangkatan Husain radhiallahu ‘anhu bertepatan pada hari tarwiyah. Tatkala Husain radhiallahu ‘anhu hendak berangkat, para sahabat Rasulullah g yang masih hidup ketika itu berusaha mencegah keberangkatan beliau. Di antara yang berusaha mencegahnya adalah Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma. Ketika itu Ibnu ‘Umar sedang berada di Makkah. Tatkala mendengar Husain radhiallahu ‘anhu menuju Irak, ia menyusulnya dalam perjalanan selama 3 malam. Setelah bertemu Husain, Ibnu ‘Umar bertanya, “Hendak kemana engkau?” Husain menjawab, “Menuju Irak.” Sambil memperlihatkan surat-surat yang dikirim dari Irak kepadanya, “Ini surat-surat dan bai’at mereka.” Ibnu Umar berkata, “Jangan engkau datangi mereka.” Husain bersikeras berangkat sehingga Ibnu ‘Umar berpesan, “Aku memberitakan kepadamu satu hadits, bahwa Jibril q mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memberi pilihan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam antara dunia dan akhirat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih akhirat dan tidak menghendaki dunia. Sesungguhnya engkau adalah bagian dari diri beliau. Demi Allah, jangan sekali-kali ada di antara kalian yang memilih dunia. Tidaklah Allah ‘azza wa jalla palingkan kalian darinya kecuali kepada sesuatu yang jauh lebih baik.” Namun, Husain enggan untuk kembali. Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma menangis dan berkata, “Aku titipkan dirimu kepada Allah ‘azza wa jalla agar tidak menjadi orang yang terbunuh.” Selain Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, yang berusaha mencegah beliau adalah Abdullah bin ‘Abbas, Abu Sa’id al-Khudri, dan Abdullah bin Zubair g. Di Kufah, Ubaidullah yang telah mengetahui bahwa Muslim bin Aqil bersembunyi di balik Hani bin Urwah, memanggil Hani ke istananya. Ubaidullah bertanya, “Di manakah Muslim bin Aqil berada?” Hani menjawab, “Saya tidak tahu.” Ubaidullah bin Ziyad memanggil Ma’qil yang pernah menyamar menjadi seorang dari Hims untuk membaiat Husain radhiallahu ‘anhu. Ubaidullah bertanya, “Apakah engkau mengenal orang ini?” Hani menjawab, “Ya.” Hani pun kebingungan. Akhirnya ia mengetahui bahwa hal ini ternyata makar dari Ubaidullah bin Ziyad. Ubaidullah bertanya, “Di mana Muslim bin Aqil?” Hani menjawab, “Demi Allah, seandainya dia berada di bawah kakiku, aku tidak akan mengangkatnya.” Ubaidullah memukul wajah Hani dengan tongkat hingga melukai bagian keningnya dan mematahkan hidungnya. Dia lalu memerintahkan agar Hani dipenjara. Muslim bin Aqil mendengar berita Hani ditahan. Ia mengerahkan para pendukungnya sejumlah 4.000 orang penduduk Kufah. Di antara mereka ialah Mukhtar bin Abi Ubaid ats-Tsaqafi yang memegang bendera hijau, dan Abdullah bin Harits bin Naufal yang memegang bendera merah. Keduanya diatur menjadi pasukan sayap kanan dan kiri. Mendengar Muslim bin Aqil datang, Ubaidullah dan yang bersamanya segera memasuki istana dan menutup gerbangnya. Sebagian pemimpin kabilah yang berada di pihak Ubaidullah menasihati kaumnya agar meninggalkan Muslim bin Aqil. Sebagian lagi diperintahkan oleh Ubaidullah untuk mengelilingi Kufah untuk menghalangi bantuan kepada pasukan Muslim bin Aqil. Mereka pun melakukannya. Sampai-sampai, seorang wanita berkata kepada anak dan saudaranya, “Kembalilah, yang lain telah mencukupimu.” Seorang lelaki berkata, kepada anak dan saudaranya, “Sepertinya besok pasukan dari negeri Syam akan tiba. Apa yang dapat engkau perbuat menghadapi mereka?” Akhirnya mereka yang berkumpul bersama Muslim meninggalkannya satu per satu. Belum tiba sore hari, jumlah pasukan Muslim tersisa 500 orang, lalu menjadi 300 orang, kemudian menjadi 30 orang. Beliau shalat Maghrib bersama jamaahnya yang tersisa 10 orang. Setelah selesai shalat, Muslim pun tinggal sendirian, beliau bingung hendak pergi ke mana. Ia pun mengetuk salah satu rumah, keluarlah seorang wanita. Muslim berkata, “Berilah aku air.” Wanita itu memberikan air kepadanya. Muslim menceritakan tentang jati dirinya, “Penduduk Kufah telah berdusta dan menipuku,” ujarnya. Wanita itu memasukkan Muslim ke dalam rumah yang berdampingan dengan rumahnya. Anak wanita tersebut, Bilal bin Asid, mengetahui keberadaan Muslim. Ia segera memberitakan hal ini kepada Ubaidullah bin Ziyad. Abdurrahman bin Muhammad bin al-Asy’ats memberitakan kepada ayahnya, Muhammad bin Asy’ats yang sedang berada di sisi Ibnu Ziyad. Ibnu Ziyad mengutus 70 orang tentara berkuda untuk mengepung rumah tempat Muslim berdiam. Muslim sempat melakukan perlawanan, meski akhirnya menyerahkan diri dan dibawa ke istana Ibnu Ziyad. Ibnu Ziyad berkata kepada Muslim, “Aku akan membunuhmu.” Muslim berkata, “Beri aku kesempatan untuk memberi wasiat.” Ibnu Ziyad berkata, “Silakan beri wasiat.” Muslim melihat di sekelilingnya lalu menatap Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash. Muslim berkata, “Engkau orang yang paling dekat hubungan kerabatnya denganku. Kemarilah, aku ingin memberi wasiat kepadamu.” Muslim berpesan kepadanya agar menyampaikan kepada Husain radhiallahu ‘anhu, “Kembalilah engkau bersama keluargamu. Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya mereka telah berdusta kepadamu dan kepadaku. Dan pendusta tidak pantas memiliki pendapat.” Setelah itu, dipenggallah kepala Muslim radhiallahu ‘anhu oleh Bukair bin Humran. Ini terjadi pada hari ‘Arafah bulan Dzulhijjah. Sementara itu, Husain telah berangkat dari Makkah pada hari tarwiyah. Setiba Husain radhiallahu ‘anhu di Qadisiah, beliau mendengar berita terbunuhnya Muslim bin Aqil melalui utusan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash. Husain radhiallahu ‘anhu ingin kembali dan berdiskusi dengan anak-anak Muslim bin Aqil. Anak-anaknya menjawab, “Tidak, demi Allah, kami tidak akan kembali hingga kami membalas kematian ayah kami.” Akhirnya, Husain radhiallahu ‘anhu mengikuti kemauan mereka. Setelah Ubaidullah bin Ziyad mengetahui bahwa Husain tetap berangkat menuju Irak, ia memerintahkan al-Hur bin Yazid at-Tamimi keluar membawa 1.000 tentara sebagai pasukan pembuka yang akan menemui Husain radhiallahu ‘anhu di tengah perjalanan. Al-Hur menemui Husain di Qadisiah dan bertanya, “Hendak kemana wahai anak dari anak perempuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Menuju Irak.” Al-Hur memerintahkan Husain untuk kembali atau menuju Syam dan tidak memasuki Kufah. Namun, Husain tidak mengindahkannya. Tatkala Husain radhiallahu ‘anhu tiba di Karbala, beliau bertanya, “Tempat apakah ini?” Dijawab, “Karbala.” Husain berkata, “Karbun wa bala (kesulitan dan bencana).” Setelah itu, tibalah pasukan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dengan 4.000 tentara yang berusaha membujuk Husain radhiallahu ‘anhu agar mendatangi Irak untuk bertemu dengan Ubaidullah bin Ziyad. Tatkala Husain melihat bahwa urusannya semakin genting, Husain berkata kepada Umar bin Sa’ad, “Aku memberimu tiga pilihan, silahkan engkau pilih. (1) Engkau membiarkan aku kembali, (2) Aku pergi ke salah satu tempat berjihad kaum muslimin, atau (3) Aku mendatangi Yazid agar aku dapat meletakkan tanganku di bawah tangannya di Syam.” Umar menjawab, “Ya. Silakan engkau kirim utusan kepada Yazid, dan aku mengirim utusan kepada Ubaidullah untuk melihat keputusannya.” Namun, Husain tidak mengirim utusan kepada Yazid, sementara Umar telah mengirim utusan kepada Ubaidullah. Setibanya utusan Umar di hadapan Ubaidullah dan menceritakan apa yang dikatakan Husain radhiallahu ‘anhu, pada awalnya Ubaidullah menyetujui pilihan mana saja. Namun, di sisi Ubaidullah ada seorang yang bernama Syamir bin Dzil Jausyan, termasuk orang yang sangat dekat dengan Ubaidullah. Ia berkata, “Tidak demi Allah, hingga dia tunduk kepada hukum yang engkau tetapkan.” Ubaidullah akhirnya menyetujui usulan Syamir dan berkata, “Ya, hingga ia tunduk kepada hukumku.” Ubaidullah kemudian mengutus Syamir dan mengambil alih kepemimpinan Umar bin Sa’ad. Setelah Husain radhiallahu ‘anhu mengetahui berita bahwa dia harus tunduk kepada hukum Ubaidullah, beliau berkata, “Tidak demi Allah, Aku tidak akan tunduk kepada hukum Ubaidullah sama sekali.” Jumlah pasukan berkuda yang bersama Husain radhiallahu ‘anhu ada 70 orang, sementara pasukan yang berasal dari Kufah berjumlah 5.000 orang. Pada hari Jumat, pertumpahan darah tak terelakkan tatkala Husain radhiallahu ‘anhu enggan menjadi tahanan bagi Ubaidullah bin Ziyad. Dua kekuatan yang tidak seimbang. Satu-satunya keinginan pasukan Husain radhiallahu ‘anhu adalah meninggal sebagai pembela Husain radhiallahu ‘anhu. Satu per satu mereka gugur hingga tidak tinggal seorang pun selain Husain radhiallahu ‘anhu dan anaknya, Ali bin Husain radhiallahu ‘anhuma, yang ketika itu dalam keadaan sakit. Sepanjang hari Husain radhiallahu ‘anhu sendirian, tidak seorang pun berani mendekatinya. Mereka tidak ingin menjadi pembunuh Husain radhiallahu ‘anhu. Hingga datanglah Syamir bin Dzil Jausyan yang dengan lantang, “Celaka kalian, kepung dia dan bunuhlah dia.” Mereka mengepung Husain hingga beliau berkeliling dengan pedangnya sambil membunuh siapa saja yang mendekatinya. Namun, jumlah yang banyak tetap saja mengalahkan sikap kepahlawanan beliau. Syamir pun berteriak, “Apa yang kalian tunggu? Majulah kalian.” Mereka pun merangsek maju mendekati Husain. Syamir termasuk yang membunuh Husain radhiallahu ‘anhu dengan tangannya. Sinan bin Anas an-Nakha’i adalah orang yang memenggal kepala beliau. Jadi, Siapa yang Membunuh Husain? Telah sepakat referensi Syiah dan Ahlus Sunnah bahwa yang membunuh Husain radhiallahu ‘anhu adalah kaum Syiah sendiri. Dalam kitab-kitab Syiah, diriwayatkan bahwa Ali bin Husain yang dikenal dengan sebutan “Zainul Abidin”, berkata mencela kaum Syiah yang telah menipu dan membunuh ayahnya, Husain radhiallahu ‘anhu, “Wahai sekalian manusia, aku menuntut kalian karena Allah. Apakah kalian mengetahui bahwa kalian menulis surat kepada ayahku dan kalian telah menipunya? Kalian berikan kepadanya janji dan bai’at, lantas kalian membunuh dan menelantarkannya. Sungguh, celaka apa yang dilakukan oleh diri kalian dan buruknya sikap kalian. Dengan pandangan apa kalian melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berkata kepada kalian, ‘Kalian telah membunuh keluargaku. Kalian telah merusak kehormatanku. Kalian bukanlah dari umatku’.” Terangkatlah suara tangisan para wanita tangisan dari setiap sudut diselingi ucapan mereka kepada yang lain, “Kalian telah binasa dengan apa yang kalian ketahui.” Ali bin Husain lalu berkata, “Semoga Allah merahmati orang yang menerima nasihatku, dan memelihara wasiatku tentang Allah, Rasul-Nya, serta keluargaku. Sesungguhnya pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada suri teladan yang baik bagi kita.” (ath-Thabrasi dalam kitab al-Ihtijaj, 2/32; Ibnu Thawus dalam al-Malhuf, hlm. 92) Ketika al-Imam Zainul Abidin melihat penduduk Kufah meratap dan menangis, beliau menghardik mereka sambil berkata, “Kalian meratap dan menangis karena kami?! Siapa yang membunuh kami?!” (al-Malhuf, hlm. 357, Maqtal al-Husain, Murtadha ‘Iyadh, hlm. 83) Ummu Kultsum bintu Ali radhiallahu ‘anhuma berkata, “Wahai penduduk Kufah, aib bagi kalian. Mengapa kalian tidak menolong Husain, namun justru membunuhnya. Kalian merampas hartanya lalu kalian warisi. Kalian menahan para wanitanya dan membuatnya binasa. Celaka kalian! Keanehan apa yang kalian lakukan? Dosa apa yang kalian pikul di atas punggung kalian? Darah apa yang telah kalian tumpahkan? Kemuliaan apa yang telah kalian raih? Anak wanita siapa yang telah kalian hilangkan kehormatannya? Harta apa yang telah kalian rampas? Kalian telah membunuh orang-orang terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarganya. Telah dicabut rasa kasih sayang dari hati-hati kalian.” (al-Malhuf, hlm. 91, Maqtal al-Husain, Murtadha Iyadh, hlm. 86) Demikian pula yang diucapkan oleh Zainab bintu Ali radhiallahu ‘anhuma, “Wahai penduduk Kufah, kaum lelaki kalian membunuh kami, tetapi para wanita kalian menangisi kami. Yang menjadi hakim antara kami dan kalian adalah Allah ‘azza wa jalla, pada hari ditetapkannya segala keputusan.” (Ridha bin Nabi al-Qazwini dalam Tazhallumu az-Zahra, hlm. 264) Kazhim al-Ahsa’i berkata, “Sesungguhnya, pasukan yang keluar untuk memerangi Imam Husain radhiallahu ‘anhu berjumlah 3.000 orang. Seluruhnya adalah penduduk Kufah. Tidak ada seorang pun yang berasal dari Syam, Hijaz, India, Pakistan, Sudan, Mesir, dan Afrika. Bahkan, mereka seluruhnya adalah penduduk Kufah, yang berkumpul dari berbagai kabilah.” (Asyura, hlm. 89) Husain bin Ahmad al-Baraqi an-Najafi mengatakan, “Termasuk yang dicerca dari penduduk Kufah ialah tindakan mereka menusuk Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma dan membunuh Husain radhiallahu ‘anhuma setelah mereka memanggilnya.” (Tarikh al-Kufah, hlm. 113) Muhsin al-Amin berkata, “Dua puluh ribu penduduk Irak yang telah membai’at Husain, menipu dan melakukan perlawanan terhadapnya. Bai’at berada di pundak mereka, sementara mereka membunuhnya.” (A’yanu asy-Syiah, 1/26) Murtadha Muthahhari, salah seorang tokoh Syiah Rafidhah berkata, “Tidak diragukan lagi bahwa Penduduk Kufah adalah termasuk Syiah (pengikut) Ali radhiallahu ‘anhu. Yang membunuh Husain radhiallahu ‘anhu adalah Syiah sendiri.” (al-Malhamah al-Husainiyah, 1/129) Ia berkata pula, “Kami juga mengatakan bahwa terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu di tangan kaum muslimin, tetapi di tangan kaum Syiah setelah 50 tahun kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini membingungkan dan tanda tanya mengherankan yang sangat menarik perhatian.” (al-Malhamah al-Husainiyah, 3/95). Wallahu a'lam Bishowab. Disusun dari majalah Asysyariah Online. Oleh : Al-Ustadz Abu Mu’awiyah Askari Hafizhahullah. Diskrip/Dishare dan Disusun Ulang : Abu Abdillah Muhammad Al Maidaniy. 📚 Ahlussunnah Tanah Karo 📚
9 tahun yang lalu
baca 14 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

imran bin hiththan - khawarij karena pengaruh istri

IMRAN BIN HITHTHAN KHAWARIJ KARENA PENGARUH ISTRI Oleh: al ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifa'i Cinta buta,...oh cinta buta! Hawa nafsu &. syahwat duniawi bila telah menjajah hati & pikiran, pasti akan berujung nista. Pada puncaknya, kebenaran tidak lagi bernilai di matanya. Kemudian kesesatan akan diusung & diperjuangkan agar benderanya berkibar. Semoga Allah melimpahkan cinta suci & murni untuk kita, cinta karena Allah subhanahu wa ta'ala, untuk-Nya, & demi-Nya. Qalbu adalah bagian tubuh manusia yg paling lemah. Olehnya, qalbu selalu mudah & cepat berganti warna. Bisa saja seorang hamba pada garis keimanan di pagi hari, namun saat petang menjelang telah berubah menjadi kekafiran. Bukanlah hal yg aneh apabila seorang hamba yg kafir di waktu senja, tetapi keesokan hari ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Inilah salah satu letak rahasia di balik hidayah! Kenyataan yg tak terbantahkan ini semestinya mendorong setiap hamba untuk tidak meremehkan kemaksiatan, sekecil apapun itu! Sebab, sepotong kemaksiatan bisa menghantarkan kepada jurang kehancuran. Inilah salah satu hikmah di balik hidayah! Kenyataan yg bersifat absolut ini seharusnya bisa mengikis habis kesombongan seorang hamba yg merasa aman & selamat dari dosa. Seolah-olah ada jaminan pasti jika akhir hayatnya akan ditutup dengan keimanan. Langkah terbaik adalah tetap beramal & terus berusaha menjaga hidayah! Sebab Rasulullah shalallahu'alaihi wasallam seringkali berdoa, menurut berita Anas bin Malik radhiyallahu'anhu riwayat At Tirmidzi rahimahullah : "Yaa Muqallibal quluub, tsabbit qalbii 'ala diinik" wahai Dzat yg membolak-balikkan qalbu (hati), teguhkanlah qalbuku di atas agama-Mu. (dishahihkan oleh Asy Syaikh al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami') PIKAT PESONA WANITA JAHAT Hamnah adalah seorang wanita yg terkenal pesona kecantikan & kecerdasannya. Hidup di kota Bashrah & masih terhitung sepupu dari Imran bin Hiththan. Sayangnya, Hamnah memegang kuat paham Khawarij. Kecantikan rupa yg tidak dihiasi oleh kecantikan hati !!! Awalnya, Imran bin Hiththan memang memiliki niat yang baik. Namun, apakah niat yang baik saja sudah cukup ? Imran bin Hiththan ingin menikahi Hamnah, lalu berusaha untuk mengajaknya meninggalkan paham Khawarij. Kembali kepada manhaj Salaf. Sekali lagi, apakah niat yang baik sudah dianggap cukup ? Belum, saudaraku ! Ini masalah hati ! Adakah yang berani menjamin kita untuk tetap teguh di atas kebenaran sampai nafas terakhir ? Ini masalah memengaruhi atau dipengaruhi. Jika tidak ada jaminan bahwa kita akan bisa memengaruhi, sebab hati di tangan Allah ta'ala, kenapa mesti bermain-main dengan api ? Sebenarnya, sebagian orang sudah berusaha mengingatkan Imran bin Hiththan agar tidak melanjutkan rencananya untuk menikahi Hamnah. Sebab, Hamnah memang dikenal sebagai pengikut kental kaum Khawarij. Namun, Imran tidak menggubris. Ia merasa yakin dengan kemampuannya. NA'UDZU BILLAH. SIAPAKAH IMRAN BIN HITHTHAN ? Sejarah Imran di bidang agama & keilmuan terbilang gemilang. Sejak muda telah memiliki semangat & motivasi yang tinggi untuk menimba ilmu dalam rihlah thalabul 'ilmi. Semangat besar telah membawanya berguru secara langsung & mendengar riwayat dari beberapa shahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam, seperti Abu Musa al Asy'ari, 'Aisyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, & beberapa shahabat lain (radhiyallahu'anhuma). Nama besar Imran dalam dunia riwayat hadits juga telah mengundang beberapa pemuka ulama untuk menimba ilmu darinya. Seperti Qatadah, Yahya bin Abi Katsir, Muhammad bin Sirin, Muharib bin Ditsar, & yang lain. Selain dikenal sebagai pecinta ilmu hadits, Imran juga masyhur sebagai seorang penyair kelas atas. Sampai-sampai, Imran dipuji oleh seorang pujangga besar dalam sejarah Islam bernama Farazdaq. "Kalau mau, Imran pasti mampu bersyair seperti syair-syair yang kita gubah. Namun, kita tidak akan mungkin bisa menggubah seperti syair Imran", demikian Farazdaq menyanjung keahlian Imran. Hanya saja, kecerdasan & keilmuan bukanlah patokan hidayah !!! Sungguh kisah tragis Imran seharusnya menambah rasa takut & harap kepada Allah azza wa jalla. Takut terhadap kesesatan dan berharap tetap kokoh diatas kebenaran. IMRAN BIN HITHAN & HAMNAH Walaupun telah dinasehati, Imran tetap bersikukuh untuk menikahi Hamnah. Secara rupa, Imran bin Hiththan tentu tak sebanding dengan Hamnah. Imran memiliki rupa yang lumayan buruk, sementara Hamnah terkenal akan kecantikannya. Suatu saat, Hamnah berkata kepada Imran : " Aku & dirimu sama-sama di jannah (surga). Sebab, engkau memperoleh ni'mat (beristri wanita cantik) & bersyukur, sementara aku diuji (bersuami buruk rupa) & bersabar." Hamnah juga mencintai Imran. Buktinya, setelah Imran meninggal lamaran Suwaid bin Manjuf As Sadusi ditolak Hamnah. Bahkan, sebuah tahi lalat di wajah Hamnah dihilangkan olehnya. Karena semasa hidupnya Imran sangat menyukai tahi lalat tersebut. Kata Hamnah,”Demi Allah, tidak akan pernah ada lagi orang yang bisa melihat tahi lalat ini setelah Imran meninggal !” Maksud hati ingin memengaruhi, apa daya hamba yang justru dipengaruhi. Bukannya Hamnah yang berhasil dibujuk untuk meninggalkan paham Khawarij, justru Imran bin Hiththan yang kemudian terbujuk oleh Hamnah untuk menjadi pengikut setia kaum Khawarij. Bahkan, pada babak berikutnya, Imran malah diangkat sebagai salah satu pemimpin besar gerakan Shafariyyah (sekte Khawarij). Di dalam gerakan Shafariyyah, Imran ditetapkan sebagai ahli fiqih, orator, & penyair mereka. SUBHANALLAH ! Alangkah lemah hati ini ! Kisah Imran hanyalah satu dari sekian banyak kisah anak manusia diatas muka bumi yang akhirnya tersesat karena pengaruh pergaulan. Sudah tak terbilang lagi kisah hamba tersesat karena pengaruh orangtua, anak, suami, istri, tetangga, kawan, guru, atau yang lain. Jangan bermudah-mudahan dalam memilih pasangan hidup !!! Sudah banyak saudara kita yang terjerembab dalam masa-masa futur (lemah semangat) karena pengaruh istri. Sebelumnya, sang istri adalah wanita awam yang “katanya” ingin kebaikan. Namun, akhirnya dialah yang terpengaruh istrinya. Demikian pula, banyak istri yang akhirnya dipengaruhi oleh suami. ALLAHUMMA SALLIM (Ya Allah, selamatkan kami). Jika saja Imran bin Hiththan yang terhitung sebagai murid para sahabat bisa tersesat, apalagi kita. Jangan pernah merasa aman! Alasannya ingin belajar bahasa arab dan tajwid, sebagian kalangan terlalu berani sehingga berguru kepada seorang ustadz berpemahaman sufi, turotsi, ikhwani, atau kaum hizbi (fanatik jamaah dakwah) lainnya. Tidak berselang terlalu lama, mereka sudah mulai memuji gurunya berikut pemahaman yang diusung sang guru. Sudahlah! Bersabar diatas manhaj salaf tentu jauh lebih mahal dibandingkan aneka warna godaan setan. Moga-moga Allah wafatkan kita diatas sunnah. Amin… IMRAN BIN HITHTHAN MEMUJI PEMBUNUH ALI BIN ABI THALIB Sedemikian jauhnya Imran bin Hiththan terbawa dalam arus paham Khawarij, sampai-sampai dia memuji dan mengagumi Abdurrahman bin Muljam si pembunuh Ali bin Abi Thalib. Imran bersyair : “Duhai tebasan pedang dari seorang hamba bertakwa, tidak ada yang dia harapkan kecuali keridhaan dari Dzat Pemilik ‘Arsy. Sungguh terkadang aku mengingat dirinya lalu aku yakin, bahwa dia adalah hamba yang paling beruntung dalam Mizan (timbangan amal) di sisi Allah.” Sejarah Abdurrahman bin Muljam sendiri mempunyai sebuah sisi kemiripan dengan kisah Imran bin Hiththan. Apalagi kalau bukan sebab bujuk rayu seorang wanita ? Abdurrahman bin Muljam termasuk orang yang pernah hidup di masa Jahiliyah. Setelah masuk Islam, Abdurrahman sempat belajar Al Qur’an dari Mu’adz bin Jabal. Dikenal sebagai ahli ibadah dan ahli Al Qur’an. Beberapa kali pertempuran dia ikuti termasuk penaklukan Mesir. Sebab dia juga tergolong penunggang kuda yang ahli. Hanya saja, di kemudian hari Abdurrahman terpengaruh oleh paham Khawarij. Sampai-sampai dia bersama dua orang temannya sepakat untuk membunuh Ali bin AbiThalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Al Ash. Sebab menurut mereka ketiga sahabat ini adalah sumber dari seluruh konflik di kalangan kaum musimin. NA’UDZU BILLAH Abdurrahman yang kemudian menyanggupi untuk membunuh Ali bin Abi Thalib. Secara diam-diam, Abdurrahman masuk ke kota Kufah untuk mempersiapkan rencana pembunuhan Ali. Sekian waktu digunakan untuk mengasah pedang dan meredamnya dengan racun mematikan. Di kota semasa penantian waktu pembunuhan, Abdurrahman bin Muljam jatuh cinta kepada seorang wanita cantik pengikut paham Khawarij bernama Qitham. Ayah dan saudara kandung Qitham termasuk pasukan Khawarij yang terbunuh dalam pertempuran Nahrawan, ketika Ali bin Abi Thalib menumpas mereka. Pada saat Abdurrahman bin Muljam mengajukan lamaran, Qitham menyebutkan beberapa bentuk mahar. Salah satunya adalah nyawa Ali bin Abi Thalib. Seburuk-buruk mahar telah diajukan wanita tersebut ! “Demi Allah, aku memang bermaksud untuk membunuh Ali ! Tidak ada tujuanku datang ke kota ini kecuali memang untuk membunuh Ali. Namun, apa manfaatnya untuk diriku dan dirimu jika aku berhasil membunuh Ali ? Sebab aku sendiri yakin, jika aku berhasil membunh Ali, aku tidak akan mungkin bisa melarikan diri”, demikian Abdurrahman mengatakan. Qitham semakin menyemangati, ”Jika engkau berhasil dan selamat, itulah yang aku inginkan. Maksud hatiku akan terobati dan engkau akan hidup bahagia bersamaku. Namun, jika engkau akhirnya terbunuh, maka janji di sisi Allah tentu lebih baik dari dunia dan seisinya.” Masya Allah ! Indah nian kata-kata wanita itu ! Sayang di balik kata-kata manis itu terselubung racun mematikan. ( bersambung In sya Allah ) — diambil dari majalah Qudwah hal 21-26, edisi 10 vol 1 1434 H/2013 — =====*****===== 📶 Publikasi: 📖 WA Salafy Solo www.salafymedia.com 5 Muharram 1437 H | 18 Oktober 2015
9 tahun yang lalu
baca 9 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

biografi imam ahmad bin hanbal

Kondisi Fisik Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahny a tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Beliau senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain. Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)” Keluarga beliau: Beliau menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Beliau melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya. Kecerdasan beliau: Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”. Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”. Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Beliau masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”. Pujian Ulama terhadap beliau: Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Beliau sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”. Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”. Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”. Kezuhudannya: Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”. Tekunnya dalam ibadah Abdullah bin Ahmad berkata, “Bapakku mengerjakan shalat dalam sehari-semalam tiga ratus raka’at, setelah beliau sakit dan tidak mampu mengerjakan shalat seperti itu, beliau mengerjakan shalat seratus lima puluh raka’at. Wara’ dan menjaga harga diri Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya. Tawadhu’ dengan kebaikannya: Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”. Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”. Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Beliau sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”. Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!” Sabar dalam menuntut ilmu Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdirrazzak”. Hati-hati dalam berfatwa: Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada beliau, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Beliau menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” beliau menjawab. “Saya harap demikian”. Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, “Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”. Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan, barangsiapa mencela beliau maka dia adalah orang fasik”. Masa Fitnah: Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi di masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini. Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya. Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara. Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanyarkalian namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”. Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”. Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Beliau mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”. Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari seniornya”. Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain!! Guru-guru Beliau Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah: 1. Ismail bin Ja’far 2. Abbad bin Abbad Al-Ataky 3. Umari bin Abdillah bin Khalid 4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami 5. Imam Asy-Syafi’i. 6. Waki’ bin Jarrah. 7. Ismail bin Ulayyah. 8. Sufyan bin ‘Uyainah 9. Abdurrazaq 10. Ibrahim bin Ma’qil. Murid-murid Beliau: Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: 1. Imam Bukhari. 2. Muslim 3. Abu Daud 4. Nasai 5. Tirmidzi 6. Ibnu Majah 7. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya. 8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal 9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal 10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq 11. dan lain-lainnya. Wafat beliau: Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan. Karya beliau sangat banyak, di antaranya: 1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits. 2. Kitab At-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”. 3. Kitab Az-Zuhud 4. Kitab Fadhail Ahlil Bait 5. Kitab Jawabatul Qur’an 6. Kitab Al Imaan 7. Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah 8. Kitab Al Asyribah 9. Kitab Al Faraidh Terlalu sempit lembaran kertas untuk menampung indahnya kehidupan sang Imam. Sungguh sangat terbatas ungkapan dan uraian untuk bisa memaparkan kilauan cahaya yang memancar dari kemulian jiwanya. Perjalanan hidup orang yang meneladai panutan manusia dengan sempurna, cukuplah itu sebagai cermin bagi kita, yang sering membanggakannya namun jauh darinya. Dikumpulkan dan diterjemahkan dari kitab Siyar A’lamun Nubala Karya Al Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah Sumber: Majalah As Salam
9 tahun yang lalu
baca 10 menit