Sutrah? Apakah itu?
sutrah dalam shalat
Halo sahabat muslim, gimana lancar aktivitasnya? Semoga Allah mudahkan segala urusan kita semua ya. Yang pasti, menuntut ilmu jangan dibiarkan loyo dan jangan cepat puas diri. Yups.
Insya Allah kali ini kita akan membahas tentang sutrah dalam shalat. Mungkin diantara teman-teman sudah tahu nih tentang sutrah, tapi gak apa-apa lah ya, sekalian muraja'ah ilmu. Mantap !
Jadi, apa itu sutrah?
Sutrah itu segala sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang di depan orang shalat agar orang lain tidak berlalu lalang. Sutrah harus ada di hadapan orang yang sedang shalat karena dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan Allah dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang shalat, ia telah melakukan dosa yang besar. Sutrah bisa dibuat sendiri, misalkan dengan menancapkan tongkat didepan ketika shalat atau sesuatu yang sudah ada seperti tembok, tiang dan sebagainya.
Hukum Sutrah ?
Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, antara yang berpendapat wajib dengan yang berpendapat sunnah. Jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, sehingga berdasarkan pendapat ini bila ada yang lewat di hadapan orang yang shalat sementara tidak ada sutrah di hadapannya tidaklah membatalkan shalatnya1, namun hanya mengurangi (nilai) shalatnya. Di samping itu, sutrah merupakan penyempurna shalat yang dikerjakan, ia tidak masuk dalam amalan shalat. Dengan begitu, hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang mengeluarkan perkaranya dari wajib kepada mustahab. (Asy-Syarhul Mumti’1/728, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939-940, Taudhihul Ahkam, 2/58).
Pendapat yang lain adalah sutrah hukumnya wajib. Dalilnya antara lain sabda Rasulullah :
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
“Janganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak (tetap ngotot ingin lewat, –pent.), perangilah karena bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan berkata Al-Imam Al-Albani dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/115: “Sanadnya jayyid.”)
Demikian pula perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah untuk shalat yang ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 494) dan Muslim (no. 1115) dalam Shahih keduanya. Dan inilah pendapat yang rajih dan menenangkan hati kami. Wallahu a’lam bish-shawab.
Mendekat kepada sutrah
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَ يَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلاَتَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam Al-Albani  .dalam Shahih Abi Dawud)
Yang dimaksud dengan “agar setan tidak memutus shalatnya” adalah agar setan tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan menguasainya dalam shalatnya.
Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu 'anhu berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللهِ n وَبَيْنَ الْـجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ
“Jarak antara tempat berdirinya Rasulullah n dalam shalatnya3 dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)
Ukuran Sutrah
Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, “Adapun kadar lebar/tebalnya sutrah, setahu kami tidak ada batasannya. Maka boleh menjadikan sesuatu yang tipis/tidak lebar sebagai sutrah seperti anak panah dan tombak, sebagaimana boleh menjadikan sesuatu yang tebal/lebar sebagai sutrah seperti tembok. Dan sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersutrah dengan tombak. Abu Sa’id berkata, “Kami pernah bersutrah dengan anak panah dan batu ketika shalat.” Diriwayatkan dari Sabrah bahwa Nabi bersabda, “Bersutrahlah kalian di dalam shalat walaupun hanya dengan sebuah anak panah.” Diriwayatkan oleh Al-Atsram. Al-Auza’i berkata, “Mencukupi bagi seseorang anak panah dan cambuk (sebagai sutrah).” Ahmad berkata, “Sesuatu yang lebar lebih menyenangkan bagiku, karena dari ucapan Nabi, ‘walaupun hanya dengan sebuah anak panah’ menunjukkan yang selain anak panah lebih utama dijadikan sutrah.” (Al-Mughni, kitabus Shalah, bab Imamah fashl Qadrus Sutrah)
Bagaimana kalau menghadap wajah manusia?
Hal ini dibenci.
Jangan biarkan sesuatu lewat di depan ketika shalat
“Suatu kali beliau sedang shalat, tiba-tiba datang seekor kambing bersegera hendak lewat di hadapan beliau, maka beliau pun mendahuluinya dengan maju hingga perut beliau menempel ke dinding dan hewan tersebut lewat di belakang beliau.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, Al-Hakim 1/254, dan beliau berkata, “Hadits ini shahih sesuai syarat Al-Imam Al-Bukhari”, dan disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi. Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih sebagaimana ucapan keduanya.” Lafadz hadits ini dari Ath-Thabarani. Dan tambahan (مَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ ) sanadnya hasan dari jalan ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya.” (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/122-123)
Abu Said Al-Khudri radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَلْيَدْفَعْ فِي نَحْرِهِ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنّمّا هُوَ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang menutupinya dari manusia (menghadap sutrah), lalu ada seseorang ingin melintas di hadapannya, hendaklah ia menolaknya pada lehernya. Kalau orang itu enggan untuk minggir (tetap memaksa lewat) perangilah (tahanlah dengan kuat) karena ia hanyalah setan.” (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)
Kalau udah terlanjur lewat gimana?
Apabila seseorang telah telanjur lewat di depan orang yang shalat, apakah dia ditarik kembali ke tempatnya semula? Dalam hal ini didapati dua pandangan ahlul ilmi. Pendapat jumhur, di antaranya Asy-Sya’bi, Ats-Tsauri, Ishaq, dan Ibnul Mundzir, mengatakan, tidak disukai menariknya kembali ke tempat semula. Adapun ahlul ilmi yang lainnya memandang untuk mengembalikannya. Dan yang rajih adalah pendapat jumhur, karena dengan mengembalikannya akan membuat dia lewat dua kali. (Fathul Bari li Ibni Rajab, bab Yaruddul Mushalli Man Marra baina Yadaihi, Al-Mughni, Kitabush Shalat fashl in Marra baina Yadaihi Insaan fa ‘Abara, lam Yustahabba Radduhu, Fathul Bari, 1/754)
Besarnya dosa lewat di depan orang yang sedang shalat !
Abu Juhaim ibnul Harits radhiyallahu 'anhu berkata, “Rasulullah n bersabda:
“Seandainya orang yang lewat di depan orang yang shalat (dalam jarak yang dekat dengan orang yang shalat, pent.) mengetahui apa yang ditanggungnya, niscaya ia memilih untuk berhenti selama 40, itu lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 510 dan Muslim no. 1132)
Sutrah tidak wajib bagi makmum
Al-Imam Malik rahimahullahu mengatakan,
“Aku tidak membenci adanya orang yang lewat di depan shaf makmum, sementara imam sedang memimpin shalat mereka, karena imam merupakan sutrah bagi mereka. Dan Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu pernah masuk masjid, lalu berjalan melintasi manusia di antara shaf-shaf orang yang shalat, sampai dia berdiri di tempat shalatnya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)
Al-Imam Syafi’i rahimahullahu mengatakan,
“Sutrah imam merupakan sutrah bagi makmum. Oleh karena itu, melintasnya keledai di depan shalat makmum tidak memutuskan shalat.” (Al-Muhadzdzab lis Sunanil Kabir, 2/716)
Kesimpulannya : Orang yang lewat di hadapan makmum tersebut tidaklah berdosa. Namun bila ia mendapatkan jalan lain untuk lewat maka itu lebih utama, karena jelas lewatnya orang ini akan mengganggu orang yang sedang shalat, sementara menjaga diri agar tidak sampai mengganggu orang lain adalah perkara yang dituntut.
Kalau pas di ka'bah gimana?
Ketika seseorang shalat di Ka’bah atau Masjidil Haram, ia tetap harus memerhatikan masalah sutrahnya dan tidak membiarkan seorang pun lewat di hadapannya. Adapun hadits yang menyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Ka’bah, sementara tidak ada sutrah antara beliau dengan Ka’bah padahal manusia lalu lalang di depan beliau adalah hadits yang dhaif.
Tambahan faedah :
Ulama berselisih pandang tentang jarak yang diharamkan dan dibenci untuk dilewati oleh orang yang ingin lewat bila di hadapan orang yang shalat tanpa ada sutrah. Al-Hanafiyyah dan Al-Malikiyyah mengatakan, “Haram dilewati antara tempat telapak kaki orang yang shalat sampai ke tempat sujudnya.” Adapun Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah berpendapat yang diharamkan adalah sejarak tiga hasta dari telapak kaki orang yang shalat. (Al-Fatawal Hindiyah 1/128, Bada`i’ush Shana’i 2/83-84 Taudhihul Ahkam, 2/62)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran adalah antara kedua kakinya dan tempat sujudnya, karena seorang yang shalat tidak berhak mendapatkan tempat lebih dari apa yang ia butuhkan dalam shalatnya sehingga ia tidak punya hak menahan orang yang lewat di tempat yang tidak dibutuhkannya. Adapun bila ia meletakkan sutrah maka tidak boleh dilewati antara dia dan sutrahnya. Namun kami katakan, “Bila engkau meletakkan sutrah maka jangan engkau berdiri jauh darinya tapi mendekatlah di mana nantinya sujudmu dekat dengan sutrah tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/709)
Yang memutuskan shalat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلَاتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ. قُلْتُ: يَا أَباَ ذَرٍّ، مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَحْمَرِ مِنَ الْكَلْبِ الْأَصْفَرِ؟ قَالَ: يَا ابْنَ أَخِي، سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ n كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ: الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ
“Apabila salah seorang dari kalian berdiri shalat maka akan menutupinya bila di hadapannya ada semisal mu’khiratur rahl. Namun bila tidak ada di hadapannya semisal mu’khiratur rahl shalatnya akan putus bila lewat di hadapannya keledai, wanita, dan anjing hitam.” Aku berkata (Abdullah ibnush Shamit, rawi yang meriwayatkan dari Abu Dzar), “Wahai Abu Dzar, ada apa dengan anjing hitam bila dibandingkan dengan anjing merah atau anjing kuning?” Abu Dzar menjawab, “Wahai anak saudaraku, aku pernah menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah n sebagaimana engkau menanyakannya kepadaku. Beliau berkata, ‘Anjing hitam itu setan’.” (HR. Muslim no. 1137)
Jadi, wanita yang sudah haid, keledai, dan anjing hitam membatalkan shalat, bukan sekadar menghilangkan kekhusyukan.
Demikian ringkasan singkat tentang sutrah, jika ingin pembahasan secara lengkap, silakan kunjungi link dibawah ini. Link ini merupakan sumber yang dapat dipercaya.
Referensi :
http://asysyariah.com/ukuran-sutrah/
http://asysyariah.com/sutrah-dalam-shalat-bagian-1/
http://majalahmuslim2j.blogspot.com/2013/12/sutrah-dalam-shalat-bag-2.html
http://asysyariah.com/sutrah-dalam-shalat-bagian-3/