Fiqih

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

tata cara puasa 'asyura

TATA CARA SHAUM ASYURA Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan hafizhahullah Pertanyaan: .Apakah puasa ‘Asyura cukup bagi saya hanya membarenginya dengan puasa di hari kesembilan saja ataukah saya juga harus membarenginya dengan puasa di hari kesebelas❓ Jawaban: Puasa ‘Asyura ada tiga cara: Engkau berpuasa di hari ‘Asyura saja, maka ini boleh. Atau engkau membarenginya dengan puasa sehari sebelumnya, maka ini lebih utama. Atau engkau berpuasa ‘Asyura dan berpuasa sehari setelahnya, maka ini juga boleh. Atau bisa juga engkau berpuasa pada tiga hari seluruhnya: Hari ‘Asyura, sehari sebelumnya, dan sehari setelahnya. Tiga hari seluruhnya, ini lebih utama. Atau keutamaan yang ada di bawahnya yaitu engkau membarenginya dengan puasa sehari sebelumnya. Dan keadaan ketiga, engkau membarenginya dengan puasa sehari setelahnya. Semuanya ini diperbolehkan walhamdulillah. Sumber:http://alfawzan.af.org.sa/node/15845 Alih bahasa : Syabab Forum Salafy WSI √ http://forumsalafy.net/tata-cara-shaum-asyura/ ———————————————— PROBLEM TENTANG PUASA ASYURAA DAN JAWABANNYA. Fadhilatus syaikh Ibnu Al-'Utsaimin رحمه الله تعالى : PERTANYAAN: Fadhilatus syaikh: satu persoalan yang menjadi problem bagi saya yaitu bahwa adanya orang yang mengatakan: sesungguhnya hari Asyuraa tidaklah benar (adanya), karena yahudi dan nashrani mereka memakai kalender dengan penanggalan masehi, dan Anda tahu wahai fadhilatus syaikh bahwa disana ada perbedaan antara kedua penanggalan sekira 10 hari, maka berdasarkan pemikiran mereka dan ucapan mereka ini tentulah terjadinya kemunduran hari Asyuraa pada setiap tahunnya 10 hari. Kami mengharapkan uraian masalah dalam dua keadaan ini. JAWABAN: Jika ini merupakan kegilaan maka ini adalah suatu yang gila, bukankah kita hanya dituntut kecuali pada hari kesepuluh dari bulan Muharram? Dituntut dengan kesepuluh dari bulan Muharram, bagaimana adanya perbedaan? yakni: tahun ini kita berpuasa sepuluh hari, dan tahun kedua dua puluh hari, dan ketiga tiga puluh, dan keempat hari kesepuluh dari bulan Shofar, dan terus begitu selanjutnya; apakah disana ada seorang pun yang mengatakan demikian?! Saya katakan: sesungguhnya hari Asyuraa telah diketahui, TIDAK ADA MASALAH PADANYA, akan tetapi yang menjadi masalah ialah: apakah telah muncul hilal (bulan sabit) Muharram pada hari ketiga puluh dari bulan Dzulhijjah atau pada malam tiga puluh satu? Ini yang terjadi problem padanya, maka apa yang akan kita lakukan jika kita ragu bahwa hilal Muharram muncul pada malam tiga puluh Dzulhijjah sehingga bulan Dzulhijjah menjadi berkurang, atau kita katakan: telah muncul hilal pada malam tiga puluh satu sehingga menjadi sempurna? Jalannya jelas -walhamdulillah-: jika kita telah melihat hilal pada malam ketiga puluh maka kita anggap bulan Dzulhijjah ganjil, dan jika kita tidak melihatnya maka yang wajib ialah menggenapkan bulan Dzulhijjah menjadi tiga puluh, dan oleh karenanya sekarang pada tahun ini kalender dibuat bulan Dzulhijjah menjadi dua puluh sembilan, dan masuk bulan Muharram pada hari Rabu, maka berdasarkan perhitungan ini sehingga hari Kamis adalah hari kesembilan dan jumat adalah hari kesepuluh, akan tetapi berdasarkan rukyat dan berdasarkan syariat belum masuk bulan Muharram kecuali pada hari Kamis, sehingga hari kesembilan terjadi pada hari Jumat dan hari kesepuluh pada hari Sabtu.                 —○●※●○— &128212; Silsilah Al-Liqo As-Syahri > Al-Liqo As-Syahri [45]. &128265; Audio dapat didengar di: ———————————————— إشكال في صوم عاشوراء والجواب عنه السؤال: فضيلة الشيخ: أمر أشكل عليَّ وهو أن من الناس من يقول: إن يوم عاشوراء غير ثابت، فاليهود والنصارى يؤرخون بالتاريخ الميلادي، وتعلمون يا فضيلة الشيخ أن هناك فرقاً بين التاريخين عشرة أيام، فعلى تفكيرهم وقولهم هذا لا بد من تأخير عاشوراء في كل سنة عشرة أيام. نرجو التفصيل في كلا الحالين. الجواب: إن كان جنون فهذا جنون، هل نحن مطالبون إلا بعاشر من محرم؟ مطالبون بعاشر محرم، كيف الاختلاف؟ يعني: هذه السنة نصوم عشرة، والسنة الثانية عشرين، والثالثة ثلاثين، والرابعة عاشر من صفر، وهلم جراَ هل هناك أحد يقول هذا؟! أقول: إن عاشوراء معلوم، ما فيه إشاكلٌ، لكن الإشكال: هل هلَّ هلال محرم في ثلاثين من ذي الحجة أو في ليلة واحد وثلاثين؟ هذا الذي يقع الإشكال فيه، فماذا نعمل إذا شككنا أن هلال محرم ليلة الثلاثين من ذي الحجة فيكون شهر ذي الحجة ناقصاً، أو نقول: هلَّ في الحادي والثلاثين فيكون تاماً؟ الطريق بين -والحمد لله-: إن رأيناه ليلة الثلاثين اعتبرنا ذا الحجة ناقصاً، وإن لم نره فالواجب إكمال ذي الحجة ثلاثين، ولذلك الآن هذه السنة التقويم جعل ذا الحجة تسعاً وعشرين، وأدخل المحرم في الأربعاء، فعلى هذا التقدير يكون الخميس هو التاسع والجمعة هي العاشر، لكن حسب الرؤية وحسب الشرع لم يدخل شهر محرم إلا في الخميس، فيكون التاسع يوم الجمعة والعاشر يوم السبت. المصدر: سلسلة اللقاء الشهري > اللقاء الشهري [45] الصيام > صوم التطوع رابط المقطع الصوتي http://zadgroup.net/bnothemen/upload/ftawamp3/mm_045_19.mp3 ✏__ Alih Bahasa: Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh عَفَا اللّٰهُ عَنْهُ. &127759; WA Ahlus Sunnah Karawang | www.ahlussunnahkarawang.com ———————————————— BERPUASA BERSAMA PEMERINTAH Bimbingan al-Ustadz Qamar hafizhahullah Ta'ala Bagaimana sikap kita terhadap pemerintah yang menetapkan tanggal hijriah dengan hisab? Kami -sebagian pengajar di ma'had Minhajus Sunnah- bertanya kepada ustadz Qamar hafizhahullah Ta'ala pada hari Senin 6 Muharram 1437 H di maktabah. Afwan Ustadz, kapan kita melaksanakan puasa Asyura? Bagaimana sikap kita yang benar? Beliau menjawab, "Kita ikut pemerintah RI." Penanya, "Pemerintah RI tidak berdasarkan rukyatul hilal. Pemerintah Saudi mengumumkan bahwa tanggal 1 Muharram 1437 H jatuh pada hari Kamis berdasarkan penggenapan bulan karena hilal tidak terlihat. Sementara pemeritah RI menetapkan bahwa tanggal 1 Muharram jatuh pada hari Rabu berdasarkan hisab." Ustadz, "Iya. Kita ikut pemerintah. فإن أصابوا فلكم ولهم. وإن أخطأوا فلكم وعليهم. "Jika mereka benar, pahalanya bagi kita dan mereka. Dan jika mereka salah, pahalanya bagi kita namun dosanya mereka tanggung." Dalam menentukan bulan Ramadhan, kita ikut pemerintah. Ini adalah ibadah yang wajib. Apalagi puasa Asyura adalah sunah. Sehingga kita berpuasa Asyura pada hari Jum'at (dan Tasu'a pada hari Kamis)." Selasa, 7 Muharram 1437 H. Pon. Pes. Minhajus Sunnah Magelang WA KITASATU _____  Forum Salafy Banjarnegara
9 tahun yang lalu
baca 6 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

membaca basmalah dalam shalat, keras atau pelan ?

BACAAN BASMALAH DALAM SHALAT, DIBACA JAHR (KERAS) ATAUKAH SIRR (PELAN)? Tanya : “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memulai (bacaan) shalatnya (setelah do’a istiftah, pen) dengan “Bismillahirrahmanirrahim” ataukah dengan “Alhamdulillahirabbil ‘Alamin”? Jawab : “Kami tidak mengetahui adanya satu dalil pun yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memulai bacaannya dalam shalat jahriyyah dengan mengeraskan “Bismillahirrahmanirrahim”. Namun yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memulai bacaannya dengan “Alhamdulillahirabbil ‘Alamin” dan memelankan bacaan basmalah. Al-Lajna ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta ---------------------- HUKUM MENGERASKAN BASMALAH DALAM SHALAT Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah Penanya: Di sebagian masjid bacaan basmalah dibaca dengan keras dan di sebagian yang lain dibaca dengan lirih, bagaimana menyikapi perbedaan ini? Jawaban: Ini adalah perkara yang diperselisihkan bahkan oleh sebagian shahabat radhiyallahu anhum. Adapun pendapat yang dikuatkan oleh dalil-dalil yang ada adalah dengan tidak mengeraskan bacaan basmalah. Dan siapa yang mengeraskan bacaan maka tidak boleh diingkari lebih dari sekedar menjelaskan dalil bagi pendapat yang rajih (lebih kuat –pent). http://forumsalafy.net/?p=2326 ---------------------- Bacaan Basmalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: tanpa mengeraskan suara, sebagaimana dipahami dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang memiliki banyak jalan dengan lafadz yang berbeda-beda, dan semua menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengeraskan suara ketika mengucapkan basmalah. Salah satu jalannya adalah dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata:  .“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar, membuka (bacaan dengan suara keras) dalam shalat mereka dengan ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.” (HR. Al-Bukhari no. 743 dan Muslim no. 888) Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan, hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar tidak memperdengarkan kepada makmum (orang yang shalat di belakang mereka) ucapan basmalah dengan suara keras saat membaca Al-Fatihah (dalam shalat jahriyah). Mereka membacanya dengan sirr/perlahan. (Subulus Salam 2/191) Adapun ucapan Anas, “Mereka membuka (bacaan dengan suara keras) dalam shalat mereka dengan Alhamdulillah…” tidak mesti dipahami bahwa mereka tidak membaca basmalah secara sirr. (Fathul Bari, 2/294) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Makna hadits ini adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, dan Utsman, mengawali bacaan Al-Qur’an dalam shalat dengan (membaca) Fatihatul Kitab sebelum membaca surah lainnya. Bukan maknanya mereka tidak mengucapkan Bismillahir rahmanir rahim.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/156) Ulama berselisih pandang dalam masalah men-jahr-kan (mengucapkan dengan keras) ucapan basmalah ataukah tidak dalam shalat jahriyah. Sebetulnya, semua ini beredar dan bermula dari perselisihan apakah basmalah termasuk ayat dalam surah Al-Fatihah atau bukan. Juga, apakah basmalah adalah ayat yang berdiri sendiri pada setiap permulaan surah dalam Al-Qur’an selain surah Al-Bara’ah (At-Taubah), ataukah bukan ayat sama sekali kecuali dalam ayat 30 surah An-Naml? Insya Allah pembaca bisa melihat keterangannya pada artikel : Apakah Basmalah Termasuk Ayat dari Surah Al-Fatihah? Kami (penulis) dalam hal ini berpegang dengan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa basmalah dibaca dengan sirr. Wallahu a’lamu bish-shawab. Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi n—di antara mereka Abu Bakr, Umar, Utsman, dan selainnya g—dan ulama setelah mereka dari kalangan tabi’in, serta pendapat yang dipegang Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad, dan Ishaq, bahwasanya ucapan basmalah tidak dijahrkan. Mereka mengatakan, orang yang shalat mengucapkannya dengan perlahan, cukup didengarnya sendiri.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/155) Guru besar kami, Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil ibnu Hadi al-Wadi’i rahimahullah, dalam kitab beliau, Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish Shahihain (2/97), menyatakan bahwa riwayat hadits-hadits yang menyebutkan basmalah dibaca secara sirr itu lebih shahih/kuat daripada riwayat yang menyebutkan bacaan basmalah secara jahr. Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan pengikut mazhabnya, juga—sebelum mereka—beberapa sahabat, di antaranya Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair radhiallahu ‘anhum, serta kalangan tabi’in, berpendapat bahwa bacaan basmalah dijahrkan. (Sunan At-Tirmidzi, 1/155) http://asysyariah.com/shifat-shalat-nabi-bagian-ke-7/ --------------------- Bolehnya Membaca Basmalah Secara Jahr dalam Keadaan Tertentu Karena Maslahat Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Riwayat yang menyebutkan basmalah dibaca dengan jahr dibawa kepada (pemahaman) bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menjahrkan basmalah untuk mengajari orang yang shalat di belakang beliau (para makmum) apabila beliau membacanya (dalam shalat sebelum membaca Alhamdulillah…). Dengan pemahaman seperti ini, terkumpullah hadits-hadits yang ada. Terdapat hadits-hadits shahih yang memperkuat apa yang ditunjukkan oleh hadits Anas radhiyallahu 'anhu yaitu disyariatkannya membaca basmalah secara sirr.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/296) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Terkadang disyariatkan membaca basmalah dengan jahr karena sebuah maslahat yang besar, seperti pengajaran imam terhadap makmum, atau menjahrkannya dengan ringan untuk melunakkan hati dan mempersatukan kalimat kaum muslimin yang dikhawatirkan mereka akan lari kalau diamalkan sesuatu yang lebih afdhal. Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengurungkan keinginan untuk membangun kembali Baitullah sesuai dengan fondasi Ibrahim q karena kaum Quraisy di Makkah pada waktu itu baru saja meninggalkan masa jahiliah dan masuk Islam. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengkhawatirkan mereka dan melihat maslahat yang lebih besar berkenaan dengan persatuan dan keutuhan hati-hati kaum muslimin. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam pun lebih memilih hal tersebut daripada membangun Baitullah di atas fondasi Ibrahim 'alaihissalam. Pernah pula Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu shalat dengan sempurna empat rakaat di belakang Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhu dalam keadaan mereka sedang safar. Orang-orang pun mengingkari Ibnu Mas’ud yang mengikuti perbuatan Utsman radhiyallahu 'anhu, karena seharusnya dia shalat dua rakaat dengan mengqashar. Akan tetapi, beliau n menjawab dan menyatakan, “Perselisihan itu jelek.” Oleh karena itu, para imam, seperti Al-Imam Ahmad dan lainnya, membolehkan berpindah dari yang afdhal kepada yang tidak afdhal, seperti menjahrkan basmalah dalam suatu keadaan, menyambung shalat witir, atau yang lainnya, untuk menjaga persatuan kaum mukminin, mengajari mereka As-Sunnah, dan yang semisalnya.” (Majmu’ Fatawa, 22/437—438) http://asysyariah.com/bolehnya-membaca-basmalah-secara-jahr-dalam-keadaan-tertentu-karena-maslahat/ Sumber : http://walis-net.blogspot.co.id/
9 tahun yang lalu
baca 6 menit