Belajar Tidak Memberi
Mendidik Anak dengan Tidak Memberi
Anak itu asyik bermain dengan teman sebayanya. Namun, keasyikan yang ditemukannya berbeda dengan keasyikan yang dulu sering ditemui. Dulu, anak-anak seumuran itu berlarian ke sana ke mari, saling kejar-kejaran, atau bersembunyi agar ditemukan oleh temannya.
Namun hari itu, masing-masing anak asyik sendiri-sendiri, diam seribu bahasa, tak ada kata terlontar dari mereka, hanya kadang tersungging sedikit tawa atau sedikit tanya jawab. Ponsel-ponsel pintar yang ada di tangan mereka seolah-olah menyedot dunia mereka. Jasad di tempat, tapi ruhnya entah ke mana. Tampaknya, pemandangan seperti ini tidak sedikit dari kita yang menyaksikannya.
Faktanya, tak bisa kita mungkiri, smartphone memiliki efek negatif yang teramat banyak.
“Setan gepeng” ini bisa menjadi pintu kepada berbagai macam kejelekan dan kejahatan hanya dengan sentuhan jari, meski di dalam tembok rumah kokoh yang sekalipun.
Apalagi untuk anak yang masih labil cara berpikirnya.
Namun, apa mau dikata, si anak sangat pengen punya gadget, kalau tidak dituruti, bisa ngamuk besar.
Di tempat lainnya, ada anak yang meminta untuk dibelikan kendaraan sendiri. Kalau tidak dibelikan, dia mengancam tak mau kembali lagi ke pondok, tempatnya menuntut ilmu. Demi merayu anaknya, akhirnya dibelikanlah sebuah motor racing yang harganya cukup tinggi.
“Tak apalah, yang penting anaknya bersedia mengikuti pendidikan di pondok pesantren,” begitu pikirnya.
Namun, dengan kendaraannya, anak pun mulai senang untuk keluar. Entah kemana, sang orang tua pun kadang tak bisa menjawabnya dengan pasti. Dia tidak kerasan ketika di pondok. Pendidikan di pondok pun tidak maksimal diikutinya. Pikirannya terus melayang ke rumah, ingin segera nongkrong bersama temannya.
Saat sudah di rumah, langsung keluar rumah, tidak terlihat batang hidungnya. Akhirnya, sang orang tua mulai kehilangan kontrol anaknya. Anaknya semakin sering nongkrong bersama orang-orang yang tak tahu dari mana rimbanya. Yang jelas, mereka bukanlah orang yang sering datang kajian, apalagi beribadah di masjid.
Para pembaca Tashfiyah yang budiman. Sebagai manusia yang masih belum sempurna akalnya, tentulah sang buah hati banyak perlu pengarahan orang tua kepada kemaslahatannya.
Tak jarang, anak memiliki keinginan kuat yang sayangnya, tidak sejalan dengan maslahat pendidikan. Berbagai cara dilakukannya agar keinginannya dituruti. Ada yang menangis sejadi- jadinya, ada yang kemudian marah kepada orang tua, ada yang lantas merayu salah satu pihak orang tua untuk meluluskan keinginannya.
Nah, disinilah Orangtua diuji.
Akankah kita lebih kuat pendiriannya sehingga berhasil meredam keinginan anak, ataukah kita terkalahkan dengan ketidaktegaan kita terhadap tangisan buah hati.
Baca juga : Cara menghadapi bully pada anak
Kadang Tidak Memberi, Tanda Cinta Buah Hati
Pembaca Tashfiyah, cinta perlu pengorbanan. Demi orang yang kita cintai, kita terkadang harus mengorbankan kesenangannya, demi maslahat anak itu sendiri.
Orang tua harus mengerti bahwa maslahat lebih dikedepankan daripada ridha sang anak.
Sebagaimana kita harus tega untuk meminumkan obat yang pahit demi kesembuhan anak ketika sakit, kita juga harus tega untuk menolak permintaan anak yang mengandung marabahaya bagi dunia akhiratnya.
 .Menuruti semua permintaan anak justru akan berkonsekuensi buruk untuk perkembangan anak. Mungkin di antara kita sering berpikir saat sang anak meminta, “Sudahlah, belikan saja, demi sang anak.” Terlebih lagi bagi orang tua yang dikaruniai rezeki berlebih.
Tapi, di balik itu, justru anak terbentuk pada karakter yang tidak baik. Di antaranya,
• anak menjadi keras kepala,
• menjadi pribadi penuntut,
• tidak mau mengalah,
• tidak memiliki rasa empati kepada orang lain, dan beragam efek negatif lainnya yang akan dituai kelak saat anak sudah besar.
Namun demikian, ayah bunda pun harus bijak saat menolak permintaan anak.
Jangan seseorang menolak permintaan anak tanpa memberikan nasihat dan alasan. Sebab, di sinilah letak pendidikan dari penolakan tersebut.
Tanamkan untuk membedakan antara kebutuhan atau keinginan.
Ajarkan pula untuk mengerti dan peka terhadap kondisi serta keadaan orang tua.
Berikan pula pengertian untuk memahami batasan mana yang baik dan buruk bagi mereka.
Ajak anak berkomunkasi dan hindari kemarahan yang tidak beralasan.
Saat kita telah menolak pun, kita perlu teguh terhadap keputusan itu. Meskipun anak menangis meronta, berguling-guling, marah, ngambek, atau tindakan kekanakan lainnya, janganlah kita membatalkan keputusan kita. Sebab, anak akan menilai dan menjadikannya sebagai ‘senjata’ jika kelak menginginkan hal lainnya.
Namun, kita bisa bernegosiasi, mengarahkan pada hal-hal lain yang tidak memiliki kemudharatan.
Pembaca Tashfiyah, semoga Allah menjaga kita dan anak kita semua. Anak merupakan amanah. Kita akan dimintai pertanggungjawaban mengenai mereka, apakah kita telah benar- benar mendidik mereka atau kita lebih memilih membiarkannya.
Maka, barang siapa mendidiknya, dia akan menuai buah manisnya.
Demikian pula, siapa yang membiarkannya, dia akan menderita disebabkan anaknya.
Ibnul Qayyim رحمه الله mengatakan,
“Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya dan buah hatinya di dunia akhirat. Hal itu dia lakukan dengan membiarkan anak, tidak menghukumnya, justru menolongnya menuruti keinginan dirinya. Dia menyangka telah memuliakan anaknya, padahal sejatinya dia menghinakannya. Dia mengira telah mengasihinya, padahal sebenarnya telah menzalimi dan menghalanginya dari kebaikan. Dia tidak bisa mengambil manfaat dari anaknya sekaligus menghalangi anak dari bagian kebaikan dunia akhirat. Jika engkau renungi kerusakan pada anak, engkau akan lihat bahwa mayoritasnya dari sang ayah.”
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita keturunan yang menyejukkan mata dengan ketaatan dan amal saleh yang mereka kerjakan. Amin.
BACA JUGA : PENTINGNYA MENGAJARKAN SHALAT PADA ANAK-ANAK
[Ustadz Abu Yusuf Abdurrahman]
Dikutip dari Majalah Tashfiyah VOL.07 1440 H-2018 M EDISI 81 (hal. 109 – 112)
https://akhwat.net/2020/02/08/__trashed/