Tanya Jawab

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

ketika ulama' berselisih pendapat dalam masalah fiqih

Apa yang Kita Lakukan Tatkala Para Ulama Berselisih Pendapat di Dalam Masalah Fikih, Apakah Kita Mengambil Pendapat yang Paling Mudah atau Paling Sulit Pertanyaan: Syaikh yang mulia, sehubungan dengan perselisihan pendapat ulama dalam permasalahan fikih, apakah kami mengambil pendapat yang paling paling kerasnya sebagai bentuk berlepas diri dengan (memenuhi) beban syariat, ataukah kami memilih pendapat yang paling mudah dalam rangka mengamalkan hadits yang menyatakan bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم apabila diberi pilihan antara dua perkara, beliau memilih yang paling mudahnya. Jawaban asy-Syaikh Ibnu  .'Utsaimin رحمه الله: Apa pendapatmu apabila ada seseorang sakit dan ada dua dokter yang berselisih pendapat di dalam menanganinya. Salah satunya mengatakan, "Makanlah obat ini." Yang satunya mengatakan, "Yang ini saja." Dokter mana yang diturutinya? Penanya menjawab, "Dokter yang paling bagus ilmu kedokterannya." Syaikh mengatakan, "Benar. Ia akan memilih dokter yang paling tepercaya. Yang paling dipercaya ilmu dan pemahamannya. Demikian pula di dalam permasalahan agama. Apabila ada dua ulama berselisih pendapat, yang engkau yakini lebih dekat kepada kebenaran, ambil pendapatnya, sama saja apakah pendapatnya itu lebih sulit atau lebih mudah (untuk engkau kerjakan). Apabila keduanya sama keadaannya menurutmu, atau engkau tidak tahu, sebagian ulama ada yang mengatakan, "Ambil pendapat yang paling hati-hati, yaitu yang paling kerasnya." Ada yang menyatakan, "Ambil pendapat yang paling mudah." Ada pula ulama yang berpendapat, "Engkau diberi pilihan. Bahkan taruhlah engkau mengamalkan pendapat ulama yang ini pada hari ini dan mengamalkan pendapat ulama satunya pada hari berikutnya, tidak mengapa." Namun yang lebih dekat kepada kebenaran menurutku adalah engkau mengambil pendapat yang paling mudah; kecuali bila kau dapati hatimu cenderung kepada pendapat yang paling keras, ambillah pendapat yang paling keras tersebut. Karena Nabi صلى الله عليه وسلم  bersabda, البر ما اطمأنت إليه النفس واطمأن إليه القلب والإثم ما حاك في نفسك. "Kebaikan itu adalah sesuatu yang jiwa dan kalbumu tenang dengannya, sedangkan dosa itu adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwamu." Sumber: Silsilah Liqà'at al-Bab al-Maftuh no.140 bit.ly/majalahqonitah 📌ماذا نفعل في حالة إختلاف العلماء في الأقوال              الفقهية ، هل نأخذ باﻷسهل أم اﻷشد ؟؟؟                        ...┈•┈••✶✿✶••┈•┈ #الســــــــؤال:- فضيلة الشيخ, في حالة اختلاف العلماء في الأقوال الفقهية، هل نأخذ بالذي يقول الأشد إبراءً للذمة أم نأخذ بالذي يقول بالأسهل عملاً بالحديث (أن الرسول صلى الله عليه وسلم كان إذا خُيِّر بين أمرين، أخذ بأسهلهما) ؟ #الجــــــــواب: أرأيت لو كان إنسان مريضاً واختلف عليه طبيبان، أحدهما قال: خذ هذا العلاج، والثاني قال: خذ هذا العلاج، من يأخذ بقوله؟ الســــائل: بالأقوى في الطب. الشيــــخ: نعم، بالأوثق. الأوثق عنده علمٌ وفهمٌ. هكذا أيضاً المسائل الدينية، إذا اختلف عندك عالمان، فالذي ترى أنه أقرب إلى الصواب خذ به، سواء كان أشد أو أيسر. فإن تساووا عندك أو لا تدري، فمن العلماء من يقول: خذ بالأحوط، وهو الأشد. ومنهم من يقول: خذ بالأيسر. ومنهم من قال: أنت مخير، حتى لو عملت بقول هذا العالم اليوم، وبقول العالم الثاني غداً فلا بأس في ذلك. لكن الأقرب عندي أنك تأخذ بالأيسر، إلاَّ إذا وجدت قلبك يميل إلى القول الأشد فخذ به؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «البر ما اطمأنت إليه النفس، واطمأن إليه القلب، والإثم ما حاك في نفسك». _______________ ✍ #المصــــدر : سلسلة لقاءات الباب المفتوح >        لقاء الباب المفتوح [140]  رابط المقطع الصوتي http://zadgroup.net/bnothemen/upload/ftawamp3/od_140_15.mp3                          ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ                   ...┈•┈••✶✿✶••┈•┈     •✿●قـــنَاةُ جَــوَامِعُ الفِقْـــهُ المُيَــسْر●✿•     https://telegram.me/jawamiealfaqqihalmaysar                                                                                                                            https://goo.gl/ZjpEH0
8 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum mengeluarkan janin yang masih hidup ketika ibunya wafat

HUKUM MENGELUARKAN JANIN YANG MASIH HIDUP KETIKA SANG IBU WAFAT Tanya: Apakah boleh membedah perut wanita yang meninggal untuk mengeluarkan kandungannya yang masih hidup? Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah: Hal itu boleh karena adanya maslahat dan tidak adanya mafsadat. Perbuatan ini tidak teranggap mencacati mayat. Sungguh saya pernah ditanya tentang wanita yang meninggal, sementara di perutnya ada janin yang masih hidup. apakah boleh perutnya dibedah dan janinnya dikeluarkan, atau tidak. Jawaban saya, telah diketahui pendapat ash-hab (para ulama mazhab)rahimahumullah. Mereka berpendapat, apabila seorang wanita hamil meninggal, sementara di perutnya ada janin yang masih hidup, haram membedah perutnya. Hendaknya para wanita mengeluarkan janin tersebut dengan obat-obatan dan memasukkan tangan untuk mengambil janin yang diharapkan hidupnya. Apabila hal ini tidak bisa dilakukan, mayat tersebut tidak boleh dikubur sampai janin yang di perutnya tadi meninggal. Apabila sebagian tubuh janin telah keluar dalam keadaan hidup, dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan bagian tubuh yang tersisa. Ini pendapat para fuqaha (ahli fikih) yang dibangun di atas pendapat bahwa membedah perut mayat termasuk mencacati mayat. Hukum asalnya adalah haram mencacati mayat, kecuali jika ada maslahat yang kuat dan bisa direalisasikan. Maksudnya, apabila sebagian tubuh janin telah keluar, dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan bagian tubuh yang masih di dalam. Sebab, hal itu mengandung maslahat bagi sang bayi. Apabila perut ibunya tidak dibedah, akan menimbulkan mafsadat berupa kematian sang bayi. Penjagaan bagi orang yang masih hidup lebih besar daripada penjagaan bagi orang yang telah mati. Akan tetapi, pada masa belakangan ini, ketika ilmu bedah telah berkembang, pembedahan perut atau anggota tubuh yang lain tidak dianggap sebagai perbuatan mencacati tubuh. Mereka (para ahli bedah) melakukannya kepada orang hidup dengan keridhaannya dan dengan keinginannya untuk menempuh berbagai cara pengobatan. Oleh karena itu, apabila para fuqaha melihat keadaan ini, besar kemungkinan bahwa mereka akan menghukumi bolehnya membedah perut ibu hamil dan mengeluarkan janin yang hidup, khususnya apabila kehamilan telah sempurna, dan dipastikan atau besar kemungkinan bahwa bayi yang dikeluarkan tersebut selamat. Alasan mereka dengan bolehnya mencacati mayat (ketika ada maslahat) menunjukkan hal ini. Termasuk perkara yang menunjukkan bolehnya membedah perut ibu hamil dan mengeluarkan janin yang hidup adalah (kaidah) apabila berbenturan beberapa maslahat dan beberapa mafsadat, didahulukan maslahat yang paling besar dan dilakukan mafsadat yang paling ringan. Sesungguhnya keselamatan perut dari pembedahan adalah maslahat, tetapi keselamatan dan kehidupan anak adalah maslahat yang lebih besar. Demikian juga membedah perut adalah mafsadat, tetapi membiarkan anak yang masih hidup tercekik di perut ibunya hingga meninggal adalah mafsadat yang lebih besar. Jadi, membedah (perut) adalah mafsadat yang lebih ringan. Kemudian, kita kembali, dan kita katakan bahwa membedah perut pada masa ini tidak dianggap sebagai tindakan mencacati tubuh, tidak pula dianggap sebagai mafsadat. Maka dari itu, tidak tersisa sedikit pun alasan yang menghalangi dikeluarkannya bayi tersebut secara keseluruhan. Wallahu a’lam. (Fatawa al-Mar’ah hlm. 213) Sumber: http://bit.ly/1VnCxH2 ـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ 🔍 مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد قناتنا في برنامـــج [تيليجــــــرام] للإشتراك : افتح الرابط واضغط على إشتراك👇 💾  JOIN bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF] 🏀  www.alfawaaid.net
8 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

sikap kepada tetangga yang bukan salafy

 .SIKAP KEPADA TETANGGA YANG BUKAN SALAFIY Tetanggaku yang hidup bersamaku di kamar asrama yang ada di kampus universitas bukanlah seorang salafiy. Apakah saya wajib memuliakannya? Asy Syaikh 'Ubaid bin 'Abdillah Al-Jabiriy hafizhahullah Penanya :  Semoga Alloh memberikan keberkahan kepada engkau, wahai Syaikh kami. Pertanyaan ke-3, (penanya) mengatakan: Tetanggaku yang hidup bersamaku di kamar asrama yang ada di kampus universitas bukanlah seorang salafiy. Apakah saya wajib memuliakannya, sementara saya khawatir terkena syubuhat? Jawaban : Selama engkau diuji dengan (kebersamaan)nya, maka bersikaplah dengan tepat dan mendekati (kebenaran) (*) ketika bersama dengannya. Ucapkan salam kepadanya. Jika dia mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah salamnya. Kemudian jadikankanlah majelismu (mendekat) kepada saudara-saudaramu ahlus sunnah. Jika engkau melihat adanya keterbukaan & kelapangan dada darinya, maka tidak mengapa engkau mengingatkannya dan menasihatinya. Akan tetapi, jika engkau mengenalnya bahwa dia adalah orang yang memiliki syubhat-syubhat, maka janganlah engkau memberinya kelonggaran untuk menguasai pendengaranmu (**) Sungguh saya telah menyebutkan kepada kalian berulang-kali perkataan Ayyub As-Sikhtiyaniy rahimahullah Abu Qilabah telah berkata kepadaku: Wahai Ayyub, hafalkan (ingatlah selalu) 4 hal dariku: ▪️Janganlah engkau berbicara tentang (isi) Al-Qur'an dengan akalmu; ▪️Dan berhati-hatilah engkau terhadap (pembicaraan tentang) takdir; ▪️Dan jika para sahabat (Nabi) Muhammad ~shollallohu 'alaihi wa sallam~ disebut-sebut, maka tahanlah dirimu (***) ▪️Serta janganlah engkau memberi kelonggaran kepada para pengikut hawa nafsu untuk menguasai pendengaranmu (**), sehingga mereka membuang apa saja (syubhat) yang mereka maukan ke dalamnya (pendengaranmu).》 Para imam ahlus sunnah telah sepakat tentang Memisahkan diri dari ahlul ahwa' (para pengikut hawa nafsu; ahlul bid'ah) dan menjauhi mereka, serta tidak bermajelis dan memasang pendengaran untuk mereka. ➖➖➖➖➖➖➖ (*) Beliau berpesan untuk mengamalkan hadits ((سددوا وقاربوا)) dalam bermuamalah dengan tetangganya tersebut. Wallohu a'lam (**) Menyampaikan syubhat-syubhatnya kepadamu. (***) Jangan membicarakan keburukan mereka. ~~~~~~~~~~~~ جاري الذي يعيش معي في الغرفة في الجامعة ليس بسلفي، هل عليّ أن أُكرمه؟ الشيخ عبيد بن عبد الله الجابري حفظه اللّٰه السؤال: بارك الله فيكم شيخنا، السؤال الثالث، يقول: جاري الذي يعيش معي في الغرفة في الجامعة ليس بسلفي، هل عليَّ أن أُكرمه مع أني أخشى أن يلقنني شُبهات؟ الجواب : ما دمت بُليت به فسَدِّد وقارب معه، أَلْقِ- عليه السلام- وإذا سَلَّم عليك فرُدّه عليه، ثم اجعل مجلسك إلى إخوانك أهل السُّنّة، وإن رأيتَ منهُ رحابة صدر وانشراح فلا مانع أن تُذاكره وتناصحه، لكن إذا عرفت أنه صاحب شُبَه فلا تُمَكِّنه من سَمعِك، وقد ذكرت لكم مرارًا قول أَيُّوبَ  السَّخْتِيَانِيِّ - رحمه الله-: (قَالَ لِي أَبُو قِلَابَةَ: يَا أَيُّوبُ احْفَظْ عَنِّي أَرْبَعًا: لَا تَقُلْ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِكَ, وَإِيَّاكَ وَالْقَدَرَ، وَإِذَا ذُكِرَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم- فَأمْسِك، وَلَا تُمَكِّنُ أَصْحَابَ الْأَهْوَاءِ مِنْ سَمْعِكَ , فَيَنْبُذُوا فِيهِ مَا شَاءُوا)، وأئمة أهل السنة مُجمعون على مفاصلة أهل الأهواء والبعد عنهم وعدم مجالستهم والاستماع إليهم. 🗂 http://miraath.net/questions.php?cat=50&id=396 🔻🔻🔻🔻🔻🔻 ✍🏼 Ibnu abi Humaidi hafizhahullah 🎯 Majmu'ah Ashhaabus Sunnah 🚀 ©hannel telegram : http://bit.ly/ashhabussunnah
8 tahun yang lalu
baca 3 menit

Tag Terkait