HUKUM MENGELUARKAN JANIN YANG MASIH HIDUP KETIKA SANG IBU WAFAT
Tanya:
Apakah boleh membedah perut wanita yang meninggal untuk mengeluarkan kandungannya yang masih hidup?
Dijawab oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah:
Hal itu boleh karena adanya maslahat dan tidak adanya mafsadat. Perbuatan ini tidak teranggap mencacati mayat. Sungguh saya pernah ditanya tentang wanita yang meninggal, sementara di perutnya ada janin yang masih hidup; apakah boleh perutnya dibedah dan janinnya dikeluarkan, atau tidak.
Jawaban saya, telah diketahui pendapat ash-hab (para ulama mazhab)rahimahumullah. Mereka berpendapat, apabila seorang wanita hamil meninggal, sementara di perutnya ada janin yang masih hidup, haram membedah perutnya. Hendaknya para wanita mengeluarkan janin tersebut dengan obat-obatan dan memasukkan tangan untuk mengambil janin yang diharapkan hidupnya. Apabila hal ini tidak bisa dilakukan, mayat tersebut tidak boleh dikubur sampai janin yang di perutnya tadi meninggal. Apabila sebagian tubuh janin telah keluar dalam keadaan hidup, dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan bagian tubuh yang tersisa.
Ini pendapat para fuqaha (ahli fikih) yang dibangun di atas pendapat bahwa membedah perut mayat termasuk mencacati mayat. Hukum asalnya adalah haram mencacati mayat, kecuali jika ada maslahat yang kuat dan bisa direalisasikan. Maksudnya, apabila sebagian tubuh janin telah keluar, dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan bagian tubuh yang masih di dalam. Sebab, hal itu mengandung maslahat bagi sang bayi. Apabila perut ibunya tidak dibedah, akan menimbulkan mafsadat berupa kematian sang bayi. Penjagaan bagi orang yang masih hidup lebih besar daripada penjagaan bagi orang yang telah mati.
Akan tetapi, pada masa belakangan ini, ketika ilmu bedah telah berkembang, pembedahan perut atau anggota tubuh yang lain tidak dianggap sebagai perbuatan mencacati tubuh. Mereka (para ahli bedah) melakukannya kepada orang hidup dengan keridhaannya dan dengan keinginannya untuk menempuh berbagai cara pengobatan.
Oleh karena itu, apabila para fuqaha melihat keadaan ini, besar kemungkinan bahwa mereka akan menghukumi bolehnya membedah perut ibu hamil dan mengeluarkan janin yang hidup, khususnya apabila kehamilan telah sempurna, dan dipastikan atau besar kemungkinan bahwa bayi yang dikeluarkan tersebut selamat. Alasan mereka dengan bolehnya mencacati mayat (ketika ada maslahat) menunjukkan hal ini.
Termasuk perkara yang menunjukkan bolehnya membedah perut ibu hamil dan mengeluarkan janin yang hidup adalah (kaidah) apabila berbenturan beberapa maslahat dan beberapa mafsadat, didahulukan maslahat yang paling besar dan dilakukan mafsadat yang paling ringan. Sesungguhnya keselamatan perut dari pembedahan adalah maslahat, tetapi keselamatan dan kehidupan anak adalah maslahat yang lebih besar. Demikian juga membedah perut adalah mafsadat, tetapi membiarkan anak yang masih hidup tercekik di perut ibunya hingga meninggal adalah mafsadat yang lebih besar. Jadi, membedah (perut) adalah mafsadat yang lebih ringan.
Kemudian, kita kembali, dan kita katakan bahwa membedah perut pada masa ini tidak dianggap sebagai tindakan mencacati tubuh, tidak pula dianggap sebagai mafsadat. Maka dari itu, tidak tersisa sedikit pun alasan yang menghalangi dikeluarkannya bayi tersebut secara keseluruhan. Wallahu a’lam.
(Fatawa al-Mar’ah hlm. 213)
Sumber: http://bit.ly/1VnCxH2
ـــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
🔍 مجموعـــــة توزيع الفـــــــوائد
قناتنا في برنامـــج [تيليجــــــرام]
للإشتراك : افتح الرابط واضغط على إشتراك👇
💾 JOIN bit.ly/ForumBerbagiFaidah [FBF]
🏀 www.alfawaaid.net