Fiqih

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum jual beli sistem dropship

Hukum Jual Beli Sistem Dropship Oleh Ustadz Qomar Suaidi hafizhahullah) DROPSHIP adalah sistem berjualan yang anda tidak perlu memiliki produk untuk dipasarkan, tetapi cukup mempromosikan lewat internet messenger, website, atau media sosial. Jika ada pemesanan, pembeli mentransfer uang ke rekening anda. Anda menghubungi dan mentransfer uang ke supplier untuk mengirimkan barang ke alamat pembeli anda. Ciri khas sistem Dropship adalah supplier akan mengirimkan paket dengan identitas pengirim atas nama anda. Seolah-olah memang anda yang berjualan dan memiliki barang. Dari penjelasan tentang sistem jual beli dropship di atas, sekilas kami melihat paling tidak ada 2 cacat dari sisi syariat. 1. PENJUAL BERPENAMPILAN SEOLAH-OLAH SEBAGAI PEMILIK BARANG Padahal dia bukan pemiliknya dan bahkan barang tersebut tidak bersamanya. Pembeli mengganggapnya sebagai pemilik barang. Transaksi terjadi atas nama pembeli dan penjual tersebut. Hal ini bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang penuh hikmah, وَلَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ "Jangan kamu jual sesuatu yang bukan milikmu." (HR Ahmad) Sabda nabi shallallahu alaihi wasallam ini jelas hikmahnya. Diantaranya untuk menghindari penyebab pertikaian antara penjual dan pembeli. Sebab, ketika seorang menjual barang yang bukan miliknya, bisa jadi barang tidak sesuai yang diinginkan, bahkan ditipu. Bagaimana ia mau menjual kepada orang lain? 2 BARANG LANGSUNG DIKIRIM OLEH PEMILIK BARANG ATAU SUPPLIER KEPADA PEMBELI, TANPA MELALUI PENJUAL. Padahal antara penjual dan pemilik barang hakikatnya juga terjadi transaksi jual beli. Pada kenyataannya, ada 2 transaksi. •Transaksi pertama adalah antara pemilik barang dan penjual. •Transaksi kedua adalah antara penjual dan pembeli. Dalam kondisi seperti ini, mestinya ketika membeli dari pemilik barang pertama atau produsen, penjual tidak boleh menjualnya lagi sampai dia menguasai terlebih dahulu barang tersebut. Diistilahkan dalam syariat dengan istilah QABDH. Setelah itu, boleh dia kirim ke pembeli. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: إِذَا ابْتَعْتَ طَعَامًا فَلَا تَبِعْهُ حَتَّى تَسْتَوْ فِيَهُ "Apabila kamu membeli makanan,  .jangan kamu menjualnya sampai kamu menguasainya." [HR. Muslim dari Jabir radhiyallahu anhu] Walaupun hadits ini berbicara tentang membeli makanan, secara hukum dan hikmah berlaku pula pada barang lain. Hikmahnya jelas. Diantaranya: •Demi menjaga hak pembeli dan nama baik si penjual, •Menghilangkan sebab pertikaian, •Dan terhindar dari kerugian atau penipuan sehingga terjamin jual beli yang aman dan nyaman. •Penjual tetap terjaga nama baiknya karena dia menjual barang setelah diterima, diperiksa dan dipastikan kualitasnya. •Pembeli juga tidak rugi karena mendapat barang yang kualitasnya terjamin dan sesuai spesifikasi. Dengan 2 cacat pada transaksi dropship, penjualan dengan sistem tersebut TIDAK DIPERBOLEHKAN SOLUSI Usulan solusi, "Penjual" mestinya memposisikan dirinya sebagai WAKIL PRODUSEN. Dengan transparan, dia menampilkan dirinya sebagai wakil penjual, BUKAN pemilik barang. Dia menawarkan berbagai produk sebagai WAKIL PENJUAL atau WAKIL PEMBELI. Ketika ada pesanan, dia menghubungi pihak pemilik barang untuk mengirimkan ke pembeli. Dia dapat menyepakati KOMISI penjualan dengan pemilik barang. Dalam proses semacam ini, hanya ada SATU TRANSAKSI, yaitu antara pemilik barang dan pembeli. "Penjual" hanya sebagai wakil. Dengan demikian, barang dapat langsung dikirimkan kepada pembeli. Dia terlepas dari LARANGAN MENJUAL SESUATU YANG BUKAN MILIKNYA. Allahu a'lam. Dikutip dari MAJALAH ASYSYARIAH Edisi no.111/X/1437H-2015M hal 13-14. Rabu, 11 Rabi'ul Awal 1437 H / 23 Desember 2015 WA syarhus sunnah lin nisaa` Baca : Hukum Menjadi Makelar **** Disebarkan Oleh Happy Islam | Arsip Fawaid Salafy Join Channel Telegram telegram.me/happyislamcom
9 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

hukum mendatangi undangan

Hukum Mendatangi Undangan  . Mayoritas (Jumhur) Ulama Berpendapat bahwa Undangan Walimatul Urs (Pernikahan) adalah Wajib, sedangkan Undangan lain adalah Mustahab (Sunnah). Namun, Wajibnya mendatangi Undangan itu Memiliki Syarat-Syarat : 1. Tidak ada Kemungkaran di tempat Pelaksanaan Undangan. Jika di tempat Undangan tersebut terdapat Kemungkaran, baik dalam Bentuk Kemaksiatan yang Jelas, atau lebih–lebih lagi Kebid’ahan dan Kesyirikan, maka Tidak Boleh Mendatangi Undangan tersebut, Kecuali jika ia bisa datang untuk Mengingkari Kemungkaran tersebut. 2.  Pihak Pengundang Bukanlah Orang yang Harus Dijauhi (Hajr) Pengundang Bukanlah Seorang Fasik atau Ahlul Bid’ah yang Perlu Dijauhi untuk Diberi Pelajaran. 3. Orang yang Mengundang adalah Muslim. Boleh juga Mendatangi Undangan Seorang Kafir jika Diharapkan ada Kebaikan, seperti ia bisa Dilunakkan Hatinya untuk Masuk Islam. Sebagaimana Rasulullah Shollallaahu Alaihi Wasallam pernah Memenuhi Undangan Makan dari Seorang Yahudi. 4. Makanan dan Minuman yang Dihidangkan Halal. 5.  Memenuhi Undangan tersebut Tidak Menyebabkan Meninggalkan Kewajiban Contoh: Undangan yang Bertepatan dengan Sholat Jumat. Bagi laki-laki Muslim yang tidak Musafir dan tidak Memiliki Udzur tidak boleh Mendatangi Undangan tersebut, karena bisa Meninggalkan Kewajiban Melaksanakan Sholat Jumat. 6. Tidak Menyulitkan/ Membahayakan Pihak yang Diundang. Contoh: Harus Safar dalam Mendatangi Undangan. 7. Undangan Disampaikan secara Khusus Jika diundang secara Khusus (orang per orang) maka Wajib Datang. Contoh: Diberi Undangan Tertulis dan Tertera Namanya dalam Undangan tersebut. Atau, Undangan secara Khusus dengan Ucapan: Anda Harus Datang, ya... Maka yang demikian Wajib Didatangi. api kalau Undangannya secara Umum, Tidak Wajib. Contoh: Seluruh Muslim yang ada di Kampung ini, Silahkan Datang Semua.  (Disarikan dari Penjelasan Syaikh Al-Utsaimin dalam alQoulul Mufiid dan Syarh Riyadis Sholihin) ===================== Dikutip dari Buku "Sukses Dunia Akhirat dengan Istighfar dan Taubat " Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Hafidzahullah  ✍ http://telegram.me/alistiqomah
9 tahun yang lalu
baca 2 menit