Hikmah Luqman al-Hakim Al-Ustadzah Ummu Maryam bintu Yusuf . Ada kalanya seorang hamba diberi pengetahuan, tetapi tidak diberi hikmah sehingga luput darinya berbagai kebaikan dan keutamaan. Sebab, hikmah bukan sekadar ilmu. Hikmah adalah akal yang lurus, ilmu yang bermanfaat, dan amalan yang saleh. Inilah kisah seorang hamba yang mulia, yang penuh mutiara hikmah dan faedah berharga bagi segenap keluarga muslim yang ingin mendapatkan keturunan yang saleh dan menggapai keutamaan memilikinya. Anugerah yang Agung Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam al-Quran al-Karim, وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِۚ وَمَن يَشۡكُرۡ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٞ ١٢ “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu ‘Bersyukurlah kepada Allah. Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar, sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji’.” (Luqman: 12) Siapakah Luqman? Muhammad bin Ishaq rahimahullah menyebutkan bahwa Luqman adalah putra Ba’ura’ bin Nahur bin Tarah (Azar, ayah Ibrahim ‘alaihissalam). Menurut sebagian ahli tafsir, Luqman juga adalah putra bibi atau saudara perempuan Ayyub ‘alaihissalam ‘. Al-Waqidi rahimahullah menyebutkan bahwa beliau adalah seorang qadhi Bani Israil. Para ulama ahli tafsir (selain ‘Ikrimah dan asy-Sya’bi) sepakat bahwa beliau ini seorang hakim (orang yang diberi hikmah oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bukan seorang nabi. Kemuliaan hikmah yang disandang oleh hamba Allah subhanahu wa ta’ala ini sebagaimana kemuliaan yang disandang bekas-bekas budak umat muhammadiyyah (umat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, -ed.) yang menjadi pembawa ilmu. Kekurangan fisik mereka tertutupi oleh ketinggian nikmat yang menghiasi diri. Mereka dikaruniai ilmu yang bermanfaat dan amalan saleh. Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dan yang selain beliau bahwa Luqman adalah seorang hamba yang hitam, yang terbelah kedua kakinya dan tebal kedua bibirnya. Luqman al-Hakim diberi pilihan oleh Allah subhanahu wa ta’ala antara diberi hikmah atau diberi nubuwwah (kenabian). Beliau memilih hikmah, beban yang lebih ringan daripada kenabian. Diriwayatkan, suatu ketika Luqman menyampaikan hikmah dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada seseorang. Orang itu bertanya, “Bukankah engkau Fulan, si penggembala domba itu? Dengan cara apa engkau menggapai hikmah yang telah engkau raih ini?” Luqman menjawab, “Dengan berkata jujur, menunaikan amanat, dan meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat bagiku.” Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa karena pemberian yang agung ini, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah Luqman untuk bersyukur, agar Allah memberkahinya di dalam hikmah tersebut dan agar Allah subhanahu wa ta’ala menambahkan keutamaan-Nya kepada Luqman. Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa manfaat syukur akan kembali kepada orangnya, dan kebinasaan akibat sikap ingkar juga akan menimpa pelakunya. Allah Mahakaya, tidak butuh kepada hamba. Allah Maha Terpuji di dalam perkara yang ditakdirkan dan ditetapkan-Nya. Cahaya Hikmah bagi Keluarga Luqman Allah subhanahu wa ta’ala menyampaikan hikmah yang Ia anugerahkan kepada Luqman ini kepada umat muhammadiyyah agar mereka mengambil pelajaran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, وَإِذۡ قَالَ لُقۡمَٰنُ لِٱبۡنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَيَّ لَا تُشۡرِكۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣ “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (Luqman: 13) Dihikayatkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, nama sang putra adalah Tsaraan. Ia adalah orang yang paling disayangi dan dicintai Luqman. Tentu saja putranya ini adalah orang yang paling berhak mendapatkan perkara yang paling utama yang diketahui oleh sang ayah. Inilah bukti terbesar cinta seorang ayah kepada putranya. Bukan perkara-perkara yang dianggapnya secara langsung ataupun tidak langsung membantu putranya meraih kemapanan hidup, harta, dan kemilau dunia. Bukan kedudukan, bukan ketenaran, bukan pula kelezatan sesaat dan kenikmatan semu yang diinginkannya untuk sang putra. Yang diinginkannya bagi putranya adalah keselamatan hakiki dan kebahagiaan nan abadi. Ia ingin agar putranya menjadi hamba yang bertakwa kepada Allah, menauhidkan-Nya, dan menegakkan syariat-Nya. Inilah hakikat cinta yang dibimbingkan Luqman kepada seluruh orang tua yang beriman. Dari metode nasihat Luqman kepada putranya, para orang tua bisa mengambil pelajaran berharga bagaimana memberikan tarbiyah ruhiyyah (pendidikan rohani) kepada putra-putri yang diharapkan kesalehannya. As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, Luqman mengucapkan kalimat-kalimat untuk memberikan wejangan kepada sang putra dengan berbagai perintah dan larangan, yang disertai dorongan dan ancaman. Luqman memerintah putranya untuk ikhlas, yaitu meniatkan seluruh ibadahnya hanya untuk meraih wajah Allah subhanahu wa ta’ala, keridhaan-Nya, dan negeri kemuliaan-Nya, yaitu jannah. Luqman juga melarangnya dari kesyirikan, menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala di dalam ibadah. Ia juga menerangkan sebab larangan tersebut dengan mengatakan, “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” As-Sa’di rahimahullah menjelaskan penyebab kesyirikan dihukumi sebagai kezaliman terbesar yang dapat dilakukan oleh anak Adam. Berbuat syirik lebih jelek daripada membunuh, berzina, mengorupsi, merampok, dan dosa-dosa besar lain yang dianggap sebagai kejahatan serius oleh manusia. Sebabnya, tidak ada yang lebih mengerikan dan lebih jelek daripada orang yang menyamakan makhluk—yang berasal dari tanah—dengan sang Penguasa seluruh leher/nyawa makhluk; yang menyamakan makhluk—yang tidak berkuasa atas satu perkara pun—dengan Dzat yang di tangan-Nya seluruh perkara; yang menyamakan makhluk—yang kurang dan butuh kepada selainnya di semua sisi kehidupannya—dengan Rabb yang Mahasempurna, Mahakaya lagi tidak butuh kepada sesuatu pun di luar Diri-Nya di segala sisi; dan menyamakan makhluk—yang tidak bisa memberi nikmat sebesar biji sawi sekalipun—dengan Dzat yang tidaklah nikmat yang ada pada hamba, baik nikmat di dalam agama, dunia, akhirat, kalbu, maupun badan mereka, kecuali pasti berasal dari-Nya, dan tidak ada seorang pun yang mampu memalingkan kejelekan dari seorang hamba kecuali Dia. Adakah kezaliman yang lebih besar daripada kezaliman ini? Tentunya ini pertanyaan retorik saja (tidak memerlukan jawaban, -ed.). Tidak ada yang lebih zalim daripada orang yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk beribadah kepada-Nya dan menauhidkan-Nya, tetapi ia kemudian menghilangkan kemuliaan tauhid itu dari dirinya dan menjadikan dirinya di posisi yang paling hina. Ia menjadikan dirinya sebagai budak bagi makhluk yang urusannya tidak lurus sedikit pun. Jadilah ia menzalimi dirinya sendiri dengan kezaliman yang paling besar. Kesyirikan adalah dosa paling besar yang menjadikan pelakunya kekal di neraka. Ia tidak akan diampuni apabila mati sebelum bertobat dari kezaliman ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨ “Sesungguhnya Allah tidak memberi ampun apabila Ia disekutukan. Ia mengampuni dosa-dosa di bawah kesyirikan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang menyekutukan Allah, sungguh ia telah melakukan dosa yang besar.” (an-Nisa’: 48) Masalah akidah, yaitu perintah bertauhid dan larangan berbuat syirik, harus menjadi orientasi pertama dan terpenting di dalam pendidikan anak-anak generasi rabbani yang menjadi tanggung jawab generasi pendahulunya, bukan perkara-perkara selainnya. Inilah yang harus diperhatikan oleh ayah, ibu, dan pendidik, karena merupakan kunci kebahagiaan yang sesungguhnya. Ayat ke-13 ini adalah tafsir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap ayat yang menyebutkan orang-orang yang mendapatkan keamanan yang sempurna dari dahsyatnya hari kiamat dan neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُونَ ٨٢ “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapatkan keamanan, dan merekalah yang mendapatkan petunjuk.” (al-An’am: 82) Para sahabat sempat merasa sempit dengan turunnya ayat ini. Siapa orangnya yang bisa bebas dari kezaliman? Namun, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian menjelaskan kata ‘kezaliman’ dengan ucapan Luqman kepada putranya, yaitu kesyirikan. Jadi, hanya orang yang benar-benar terbebas dari segala bentuk kesyirikanlah yang mendapatkan jaminan keamanan Allah subhanahu wa ta’ala dari kengerian kiamat. Tidak sepantasnya kita merasa jenuh mempelajari dan mengajarkan akidah yang lurus beserta seluruh aspeknya, sehingga kita dan anak-anak kita dapat merealisasikan tauhid di setiap sendi kehidupan dan di setiap dinamika langkah kita, menjauh dari kesyirikan dengan semua bentuknya, dan memenuhi seluruh konsekuensi yang dituntut dari syahadat kita. Dengan demikian, mudah-mudahan kita mendapatkan berbagai fadhilah (keutamaan) tauhid yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada muwahhidun (orang-orang yang bertauhid). Pelajaran Kedua, Berbakti kepada Orang Tua Allah subhanahu wa ta’ala melanjutkan surat Luqman dengan firman-Nya, وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤ “Dan Kami mewasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu’.” (Luqman: 14) As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintah manusia untuk menegakkan hak orang tua setelah Allah memerintah mereka—melalui nasihat Luqman kepada putranya—untuk menegakkan hak-Nya untuk diibadahi dan menjauhi kesyirikan, yang perintah menjauhi syirik ini berkonsekuensi penegakan tauhid dan seluruh hak Allah subhanahu wa ta’ala. Kami mewasiatkan kepada manusia, yaitu menugasinya dan menjadikan perintah ini sebagai wasiat yang harus ia penuhi, lalu kelak, di akhirat, Allah subhanahu wa ta’ala meminta pertanggungjawabannya atas tugas ini, apakah ia menjaganya atau tidak. Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan manusia akan kebaikan ayah ibunya yang telah membesarkannya siang dan malam dengan jerih payah yang luar biasa. Ibunya mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, melahirkannya dengan perjuangan, menyusuinya selama dua tahun, terus dan terus bersama sang ayah mengurusi, mendidik, dan memeliharanya, serta memberikan berbagai kebutuhan hidupnya semasa kecilnya. Ini semuanya melazimkan kebaktian dan perbuatan baik seorang anak kepada orang tua sepanjang hayatnya; kepada ibunya, kemudian kepada ayahnya. Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan tarbiyah yang diberikan seorang ibu kepada putranya, kelelahan ibu, kesulitan yang dihadapinya tatkala ia begadang siang dan malam untuk mengurusi sang putra, agar anak mengingat kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mendahului ini semua. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Dan katakanlah, ‘Wahai Rabbku, sayangilah keduanya karena keduanya telah mendidikku semasa kecilku’.” Oleh karena itu, Allah berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu, karena Aku akan membalasmu dengan balasan yang paling besar atas syukurmu itu.” Millah (agama) yang sempurna ini telah menjadikan birrul walidain sebagai kewajiban yang bersifat ‘aini (individual). Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan (setelah wasiat birrul walidain), Allah memerintah manusia untuk bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberinya berbagai nikmat, kemudian bersyukur kepada kedua orang tua yang telah mendidik dan merawatnya dengan kasih sayang sampai kokoh kekuatannya. Adalah Allah tempat kembali manusia, yang ketika ia kembali, Allah subhanahu wa ta’ala akan menanyainya tentang realisasi syukurnya terhadap berbagai nikmat Allah dan berbagai kebaikan orang tuanya kepadanya. Allah subhanahu wa ta’ala kembali berfirman dengan ayat yang akan menjadi tolok ukur bakti seorang anak, وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِيلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَيَّۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ١٥ “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan-Ku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. Ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15) Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini dan ayat yang sebelumnya adalah kalimat sisipan di antara wasiat Luqman kepada putranya. Hal ini bisa dipahami, karena termasuk cara menjaga kewibawaan orang tua adalah tidak langsung memerintah anak untuk berbakti kepada mereka. Namun, bakti adalah hasil yang nyata dari keberhasilan pendidikan adab orang tua terhadap anak, sehingga anak tidak perlu diperintah untuk berbakti kepadanya. Al-Qurthubi rahimahullah juga menyebutkan pendapat lain bahwa kedua ayat ini termasuk wasiat Luqman kepada anaknya. Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan hal ini dari Luqman, “Luqman berkata kepada putranya, ‘Janganlah engkau menyekutukan Allah dan janganlah engkau menaati kedua orang tuamu di dalam kesyirikan, karena Allah mewasiatimu untuk menaati keduanya di dalam perkara yang bukan termasuk kesyirikan dan kemaksiatan kepada-Nya’.” Al-Qurthubi rahimahullah menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa dua ayat ini turun tentang Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang ibunya mogok makan untuk mengancamnya agar mau keluar dari Islam. Allah subhanahu wa ta’ala membimbing Sa’d dan orang-orang beriman yang berposisi sama dengannya untuk tidak menaati siapa pun, termasuk kedua orang tua, di dalam kemaksiatan kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim, لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ “Tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam memaksiati al-Khaliq.” Di sisi lain, Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan agar anak tetap mempergauli orang tua dengan makruf, bagaimanapun kondisi keimanan orang tua. Anak harus tetap hormat dan beradab kepadanya. Allah berfirman, “… dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” Hal ini sebagaimana Ibrahim ‘alaihissalam ‘ yang tetap menjaga kesantunan bahasanya tatkala berbicara dengan Azar, ayahnya. Demikianlah syariat yang mulia ini membimbing pemeluknya untuk senantiasa berbakti, mencurahkan seluruh bentuk kebaikan kepada kedua orang tua, dan menghindarkan mereka dari seluruh keburukan, semaksimal kemampuan anak. Adapun kebaikan terbesar adalah seruan kepada orang tua untuk merengkuh al-haq. Meski demikian, batasan perbuatan baik ini sangatlah jelas: ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagai bingkai ketaatan kepada orang tua. Apabila orang tua kafir, anak tidak boleh menaati seruan kekafiran mereka. Anak hanya bisa mendoakan hidayah bagi orang tua kala mereka masih hidup, dan tidak ada bentuk doa yang lain. Di samping itu, anak tetap berbuat baik dan menjaga kesantunan sebagai realisasi perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan sebagai bentuk dakwah kepada orang tua. Demikianlah dua wasiat pertama Luqman kepada sang putra, wasiat agung untuk bertauhid dan berbakti kepada orang tua. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan faedah yang banyak kepada kita dengan dua wasiat ini, dan memberikan kepada kita kesempatan untuk mengkaji nasihat-nasihat hikmah Luqman selanjutnya. Wallahu ta’ala a’lam bish shawab. (Disarikan dari kitab-kitab tafsir Ibnu Katsir, al-Qurthubi, ath-Thabari, dan asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahumullah ajma’in) Sumber : Majalah Qonitah Edisi 16 | Arsip qonitah.com