Soal :
Apa sebenarnya kitab manaqib syeikh abdul qodir jaelani ? Benarkah kandungan buku ini dan khasiat yang diyakini bagi yang membacanya ?
Jawab:
Menilai sebuah keyakinan harus di atas timbangan syar’i, Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah (pendahulu umat ini, para shahabat, tabi’in dan atbaut tabi’in).
Buku Manaqib Sheikh Abdul Qodir Jaelani sangat akrab di kalangan mereka yang mengadakan manakib.
Acara manakiban di negeri ini -terkhusus tanah Jawa-Bali bukan satu hal yang asing demikian pula nama Syaikh Abdul Qadir Jailani. Banyak pertanyaan mengenai beliau. Beliau diklaim sebagai tokoh pelopor tarekat Al-Qadiriyah. Siapa sesungguhnya Syaikh Abdul Qadir Jailani dan bagaimanakah keyakinan tentang beliau yang banyak merebak di tengah ummat??
Beliau salah seorang ulama ahlus sunnah wal jamaah namun sebagian manusia mengultuskan beliau hingga keluarlah dari al-haq (kebenaran).
Inilah salah satu sebab kesesatan, melampaui batas dalam menghormati, menyanjung dan memuliakan orang saleh, seperti apa yang menimpa kaum nasrani mereka sesat karena melampaui batas dalam menyanjung dan mengagungkan Isa bin Maryam.
Ghuluw (sikap melampaui batas) terhadap Syaikh Abdul Qadir Jailani bukan hal baru, fenomena ghuluw terhadap syaikh telah terjadi dimasa lalu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diantara ghuluw terhadap syaikh Abdul Qadir adalah ucapan dan keyakinan: barangsiapa membaca ayat kursi menghadap ke arah (kuburan) syaikh Abdul Qadir dan mengucapkan salam padanya, kemudian melangkahkan kaki tujuh langkah menuju arah makamnya niscaya kebutuhannya akan dipenuhi. Ucapan ini termasuk ucapan kesyirikan (lihat Majmu Fatawa 27/126-127).
Ghuluw terhadap Syaikh Abdul Qadir bisa kita saksikan pula dalam buku Lubabul Ma’ani. Buku ini terkenal dengan sebutan manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani. Di dalamnya kisah perjalanan hidup Syaikh Abdul Qadir dan karomah-karomahnya.
Buku ini sampai ke tangan para pemujanya tanpa sandaran periwayatan dan tidak dapat dibuktikan secara ilmiyyah. Sebaliknya buku ini dipenuhi khurafat.
Ghuluw (sikap melampaui batas) terhadap buku ini demikian kental di banyak kalangan, sebagian mereka membacanya dengan semangat lebih dari membaca Al-Qur’an.
Mereka meyakini keutamaan buku manakib dengan keyakinan-keyakinan yang tidak dilandasi syariat, Al-Kitab dan As-Sunnah. Lalu dengan apa dia mempertanggungjawabkan keyakinan (aqidahnya) di hadapan Allah?
Diantara bentuk ghuluw kepada buku manakib dan syaikh adalah keyakinan bahwa membaca manakib Abdul Qadir jailani memiliki banyak keutamaan diantaranya:
Pertama: barangsiapa merutinkan membaca manakib setiap tanggal sebelas dengan niat menghormati syaikh Abdul Qadir Jailani diiringi keikhlasan dan hati yang lapang, Allah Ta’ala akan melapangkan rizkinya dan tercapai tujuannya di dunia dan akhirat.
Kedua: Barangsiapa memiliki hajat kebaikan di dunia kemudian dia bernadzar membaca manakib maka hajatnya akan terwujud. Nadzar ini harus dipenuhi, kalau tidak dia akan mendapati ujian (musibah) besar dan dosa kepada Allah, dan dalam memenuhi nadzarnya membaca manakib harus dibaca dalam keadaan suci (baik hadats besar atau kecil) . (Keutamaan ini disebutkan dalam lampiran Manakib Abdul Qadir Jailani dengan judul Lubabul Ma’ani terbitan salah satu penerbit di Indonesia hal..102 dalam bahasa jawa)
Buku ini sering digelar dalam acara “manakiban” acara yang sangat sakral bagi sebagian kalangan, Para pembacanya dengan sangat khusyu’ membaca manakib. Acara digelar dengan harapan terkabulnya hajat, jannah dan keselamatan dari neraka, mengharapkan bantuan Syaikh Abdul Qadir dan sekian pengharapan. Tahukah mereka apa kandungan kitab ini?
Saudaraku rahimakumullah, dalam manakib penuh dengan ghuluw, melampaui batas dalam memuji dan menyebut keutamaan-keutamaan Syaikh Abdul Qadir, kisah-kisah disebut tanpa sanad (sandaran) yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan dipastikan kisah-kisah tersebut adalah kedustaan dan keluar dari syariat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Khurafat pertama: “Di antara karamah Syaikh Abdul Qadir, disebutkan bahwa dua orang murid syaikh yaitu Abu ‘Umar ‘Utsman Ash-Shairafi dan Abu Muhammad Abdul Haq Al-Harimi berkata: “Suatu saat kami berdua bersama Syaikh di madrasahnya pada hari ahad tanggal 3 safar tahun 555 H, kami lihat syaikh berwudhu, dengan menggunakan dua terompah kayunya (bakiak), kemudian syaikh shalat dua rakaat. Selepas salam tiba-tiba syaikh berteriak dengan teriakan yang sangat keras, melengking seraya melemparkan satu terompah kayunya yang basah terkena air wudhu ke atas, hingga terompah itu terus ke atas dan hilang. Kemudian syaikh lempar lagi terompah berikutnya ke atas juga tiba-tiba hilang, lalu duduklah syaikh. Saat itu, tidak ada seorangpun dari kami berani menanyakan perbuatan syaikh.
Beberapa hari kemudian tepatnya dua puluh tiga hari setelah kejadian (shalat dan menjeritnya syaikh), datanglah satu kafilah dari negeri ‘ajam (berkunjung ke madrasah syaikh). Mereka berkata: “Kami membawa untuk syaikh apa yang kami nadzarkan, izinkanlah kami” Maka Syaikh Abdul Qadir berkata pada (kami berdua): “Ambilah nadzar itu dari mereka.” Merekapun menyerahkan emas, baju sutera dan kain serta dua terompah kayu (yang ternyata terompah tersebut milik syaikh yang kita lihat dahulu dilemparkan syaikh dan hilang). Kitapun menanyakan kepada mereka tentang hal ini (yang tentunya sangat mengherankan).
Rombongan kafilah berkata: “Ketika kami sedang melakukan perjalanan tepatnya hari ahad tanggal 3 safar, tiba-tiba sekawanan arab badui yang dipimpin dua orang menghadang kami, mereka rampok harta-harta kami. Kamipun akhirnya hanya mampu berhenti di tepi wadi (sungai). Kami saling berujar: “Mari kita minta tolong dan bernadzar untuk syaikh abdul Qadir, kita bernadzar memberikan kepadanya harta-harta kita.”
Belum lagi kami beranjak tiba-tiba terdengar dua teriakan yang sangat keras memenuhi wadi, dan kami lihat para perampok badui dalam keadaan bersedih dan berkara: Kemari kalian ambilah harta-harta kalian dan saksikanlah apa yang terjadi pada kami, kamipun mendapati dua pimpinan mereka mati terkena dua terompah yang basah dengan air.” (Lubabul Ma’ani Hal. 51-55)
Khurafat kedua: Alkisah, suatu saat ada tiga orang syaikh dari Jailan mengunjungi Syaikh Abdul Qadir. Ketika mereka masuk, terheran melihat cerek (kendi tempat air) tidak menghadap kiblat, juga terheran melihat pelayan Syaikh (berani) berdiri di depan Syaikh Abdul Qadir. Seketika itu Syaikh Abdul Qadir meletakkan buku yang sedang dibacanya, lalu memandang tiga syaikh tamunya, lalu memandang pelayannya. Seketika itu matilah pelayannya. Kemudian Syaikh tatap ceret, tiba-tiba berputar menghadap kiblat. (Lubabul Ma’ani hal.58-59).
Dua dongeng di atas mewakili isi buku manaqib syaikh Abdul Qadir Jailani. Kisah-kisah yang ada di dalamnya disebutkan tanpa sanad dan sandaran yang jelas. Jangankan agama dan keyakinan, berita dalam urusan dunia saja tidak ada seorang yang berakal mau menerima begitu saja kecuali dengan sumber yang jelas.
Berita tanpa sanad (sandaran) di mata ulama adalah berita dusta. Kelemahan sandaran sebenarnya sudah cukup untuk menolak berita-berita dusta tentang syaikh Abdul Qadir sebelum lebih jauh menelusuri kesyirikan, dan kedustaan di dalamnya…. Allahul Musta’an.
Sumber : Arsip problematikaumat.com