Nasehat

Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

tentang jualan : berkah terhapus

 .(135) Berkah Terhapus Tujuan menjual tentunya untuk laku. Bukan hanya laku, sebisa-bisanya dapat untung. Sedikit untung masih belum cukup, sebab sebagian orang ingin untung yang berlipat-lipat. Kecewa dan kesal akan dirasakan jika apa yang ditawarkan tidak kunjung terjual. Apalagi sudah habis-habisan beriklan. Besar-besaran promosi. Plus rayuan banyak discount dan hadiah.  Pasti membikin beban di hati! Lebih-lebih jika modal menjual didapat dengan cara berutang. Ah, semakin berat dijalani. Banyak cara dapat ditempuh untuk membuat dagangan laku terjual. Bila perlu laris manis. Banyak pelanggan setia.  Cara-cara untuk itu sudah tercerahkan dalam syari'at Islam. Semua cara bermuara pada satu ujung, yaitu kejujuran. Sebaliknya, ada cara-cara salah yang dipilih. Malah menabrak tatanan syari'at. Bukannya naik setelah terbalik, bukannya bangkit setelah terjepit, bukannya tegar walau sempat terlempar, justru semakin buruk dan terpuruk. Kenapa? Salah jalan.  Jangan sering-sering bersumpah. Jangan membawa nama Allah Ta'ala dalam berucap.  Apa tujuannya? Supaya barangnya laku. Agar dagangannya laris. Nabi Muhammad bersabda : الحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ، مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ " Bersumpah memang bisa membuat laku dagangan, namun akan menghapuskan berkahnya " HR Bukhari 2087 Muslim 1606 dari sahabat Abu Hurairah. Beliau juga mengingatkan : إيَّاكُمْ وكَثْرَةَ الحَلِفِ في البَيْعِ، فإنَّه يُنَفِّقُ، ثُمَّ يَمْحَقُ " Hati-hati kalian! Jangan banyak berucap sumpah untuk jual beli. Sungguh, hal itu memang bisa membuat laku, tapi setelahnya menghapus berkah " HR Muslim 1607 dari sahabat Abu Qatadah. Apalagi bukan saja bersumpah. Tidak sekadar menyebut nama Allah Ta'ala. Secara sadar ia bohong. Iya, berbohong dalam sumpahnya. Dengan sengaja ia berdusta. Iya, berdusta tapi dikamuflase dengan menyebut nama Allah Ta'ala. Dosanya akan semakin berat. Pasal yang dikenakan bisa berlapis. Kenapa untuk mencari keuntungan duniawi, ia merendahkan nama Allah? Kenapa demi memperoleh kesenangan materi, ia tak mengagungkan nama- Nya yang maha indah? Kenapa bawa-bawa agama karena ambisius dunia? Berdagang adalah aktivitas berjuang. Jual beli dihalalkan secara agama. Bahkan, Nabi Muhammad sangat pandai berniaga. Sahabat-sahabatnya banyak yang sukses berusaha di pasar.  Sehingga, berdagang akan bernilai ibadah jika dijalankan dengan niat yang baik dan dengan cara yang benar. Oleh sebab itu, cara-cara kotor diharamkan. Semuanya lengkap dibahas dalam fikih Islam. Ketika ibadah yang suci telah dinodai dengan tendensi pribadi, ketika beramal dikotori oleh tujuan individual, bilamana niatan sudah berubah haluan, maka celakalah dan jadilah bencana. Allah Ta'ala berfirman ; مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ "Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan (QS Hud : 15) Ayat di atas semoga menjadi pengingat bahwa apa yang didapat sesuai dengan niat. Apa yang dipetik, tak meleset dari sasaran yang dibidik. Setiap orang akan mengetam apa yang ia tanam.  Maka, periksalah niat! Sudahkah sesuai atau perlu diperbaiki? Benarkah atau harus berbenah? Terasa benar nasehat Ibnul Jauzi di bagian akhir surat beliau untuk putranya : "... Maka, janganlah engkau memberi nasehat melainkan dengan niat yang baik. Jangan sampai engkau berjalan kecuali dengan niat yang baik. Bahkan, janganlah engkau makan walau satu suapan melainkan dengan niat yang baik..." ( Laftatul Kabid, hal.72 ) Jadi, jika sudah berinvestasi. Sudah memplanning jauh-jauh hari. Habis-habisan beriklan. Besar-besaran promosi. Plus rayuan banyak discount dan hadiah.  Lalu, tidak kunjung laku. Hanya sedikit yang tertarik. Sepi. Tidak seramai yang diangankan. Maka, periksalah niat! Sudahkah sesuai atau perlu diperbaiki? Benarkah atau harus berbenah? 21 Muharram 1444 H/19 Agustus 2022 t.me/anakmudadansalaf
2 tahun yang lalu
baca 3 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

motivasi salaf untuk menulis

 .KARENA MENULIS ILMU SANGATLAH PENTING Sangat sayang pastinya seseorang yang sanggup menulis ketika ta'lim tapi dia tidak mau menulis hanya karena malas.  Berikut ini kami himpunkan beberapa motivasi dan cerita para ulama tentang pentingnya menulis ilmu.  Semua ini kami pilih dari kitab Taqyidul Ilmi oleh Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah (463 H). Semoga bisa diambil manfaatnya.  Berkata Tsumamah bin Abdillah bin Anas,  أن أنسا كان يقول لبنيه « يا بني قيدوا هذا العلم بالكتاب » "Anas bin Malik sering berpesan kepada anak-anaknya, 'Anak-anakku! Ikatlah ilmu ini dengan cara menulisnya." (hlm. 233) Imam asy-Sya'bi menyatakan,  الكتاب قيد العلم "Tulisan adalah pengikat ilmu." (hlm. 240) ▫️ Telah berpesan pula, asy-Sya'bi rahimahullah,  إذا سمعتم مني شيئاً فاكتبوه ولو في حايط "Bila kalian mendengar ilmu dariku, maka tulislah meskipun di dinding." (hlm. 241) Lantaran dulu, media untuk menulis cukup sulit.  Beliau juga berpesan kepada Abu Kibran,  لا تدعن شيئا من العلم إلا كتبته.. وإنك تحتاج إليه يوماً ما "Janganlah kamu lewatkan satu ilmu pun, kecuali kamu tulis!.. Sebab kamu akan membutuhkannya suatu saat nanti." (hlm. 242) ✅ Di samping menulis, mereka juga menjaga catatan-catatan mereka dengan baik. ▫️ Al-Hasan mengisahkan,  إنا عندنا كتبا نتعاهدها "Sesungguhnya kami memiliki buku-buku catatan yang terus kami jaga." (hlm. 243) ✅ Berpayah sesaat jelas lebih baik daripada kepayahan karena melupakan ilmu yang pernah didengar. Setuju?  Abu Qilabah mengatakan,  الكتاب أحب إلي من النسيان "Menulis ilmu lebih aku sukai daripada nanti melupakannya." (hlm. 249) ✅ Karena karakter manusia yang sering lupa, sebagian ulama tidak menganggap ilmu pada seseorang sebagai "ilmu" tatkala dia tidak menulis. Tidak lain, karena kemungkinannya salah menjadi besar.  Mu'awiyah bin Qurrah rahimahullah berkata,  من لم يكتب العلم فلا تعد علمه علماً  "Barang siapa yang tidak menulis ilmu, maka jangan anggap ilmunya sebagai ilmu." (hlm. 262) Beliau juga mengatakan,  كنا لا نعد من لم يكتب العلم علمه علماً  "Kami tidak pernah menganggap ilmu orang yang tidak menulis sebagai ilmu." (hlm. 262)  Seringkali, ilmu yang ditulis, lalu dibaca-baca kembali, mendatangkan manfaat besar bagi kita.   Al-Khalil bin Ahmad menyatakan,  ما سمعت شيئاً إلا كتبته ولا كتبت شيئاً إلا حفظته ولا حفظت شيئاً إلا انتفعت به "Tidaklah aku mendengar suatu ilmu, melainkan aku tulis. Dan tiap kali aku menulis sesuatu, aku jadi menghafalnya. Dan tidaklah aku menghafal ilmu, melainkan aku mendapat manfaat darinya." (hlm. 274) Kepada Allah kita mohon petunjuk.  ✍️ -- Jalur Masjid Agung @ Kota Raja -- Hari Ahadi, (17:50) 16 al-Muharram 1441 / 16 September 2019 t,me/nasehatetam
2 tahun yang lalu
baca 2 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

menyambut anak pulang sebagai pejuang

(126) Menyambut Anak Pulang Sebagai Pejuang Thalabul Ilmi artinya sedang berjuang. Ia memperjuangkan agama Allah. Berjuang menghimpun ilmu. Bahkan, thalabul ilmu menjadi perjuangan terbaik di zaman ini. Anak yang sedang thalabul ilmu adalah seorang pejuang. Pesantren menjadi medan juangnya. Di pesantren, banyak hal yang harus ia perjuangkan. Ada tugas-tugas yang ia pikul. Berjuang dalam thalabul ilmi sangatlah berat. Bahkan, seringkali lebih berat dibanding berjuang di area perang fisik yang menggunakan alat-alat perang, seperti pedang dan tombak. Maka, jika anak pulang -apapun alasannya-, sambutlah ia sebagai pejuang! Rasanya sedih jika pulangnya anak dianggap beban. . Anak dijadikan alasan yang memberati pikiran. Seolah-olah ia sebagai musuh yang hendak dihindari. Baginya, anak sama saja dengan masalah dan problem. Saudaraku, sebelum menikah, bukankah cita-citamu bisa memiliki anak?  Setelah menikah, apa hal yang paling engkau inginkan? Anak, bukan? Siang malam berdoa. Pagi petang meminta. Semua cara dilakukan agar segera punya anak. Lalu, setelah Allah kabulkan. Allah memberimu anak, lalu engkau anggap sebagai beban hidup? Aneh! Al Husain, cucu Rasulullah ﷺ , sedang bermain di luar rumah. Saat itu, Nabi Muhammad ﷺ dan sejumlah sahabat sedang menghadiri undangan makan. Melihat cucunya, Rasulullah ﷺ mempercepat langkah dan segera menemui. Dengan membentangkan kedua tangan, beliau mencandai Al Husain. Sampai Al Husain pun tertangkap lalu digendong oleh Rasulullah ﷺ. ( Sahih Adabul Mufrad 364 dari sahabat Ya'la bin Murrah ) Di lain kesempatan, Al Hasan dan Al Husain datang. Rasulullah ﷺ pun langsung mendekap dan memeluk mereka berdua. Beliau bersabda ;  إنَّ الولدَ مَبخلةٌ مَجبنةٌ " Sungguh! Anak menjadi sebab orangtuanya kikir dan penakut " ( Disahihkan Al Albani dalam Sahih Ibnu Majah no.2972) Kenapa demikian? Sebab, anak menjadi segala-galanya bagi orangtua.  Seseorang yang semasa mudanya dikenal pemberani, suka tantangan, dan pantang ditentang, bisa berubah penakut karena memikirkan anaknya. Seseorang bisa saja dermawan, namun ketika dihadapkan pada dua atau lebih pilihan, ia akan memilih anaknya. Ia simpan harta, ia tabung uang, ia sisihkan dana, buat anaknya. Anak menjadi buah hati. Penyejuk mata. Selalu hadir dalam benak. Dirindukan tawanya. Bahkan tangisannya pun menenangkan. Sungguh celaka orangtua yang merasa terbebani anak, padahal ia juga yang berharap kehadirannya di dunia. Nabi Muhammad ﷺ selalu menyambut kedatangan anaknya. Untuk anak, Nabi Muhammad ﷺ  memberikan ruang. Selalu ada tempat duduk di dekat beliau, entah di kanan atau di kiri, buat anak. Nabi Muhammad  ﷺ pasti menampakkan bahagia dan memperlihatkan gembira setiap kali putrinya, Fathimah, datang. Beliau sambut dengan kata-kata manis ; مَرْحَبًا بِابْنَتِي " Selamat datang, aku sambut engkau, wahai Putriku " ( HR Bukhari 5928 Muslim 2450 ) Nabi Ya'qub - bi idznillah -, dapat melihat kembali padahal sebelumnya buta. Saking gembiranya, begitu bahagianya.  Setelah puluhan tahun terpisahkan dengan anaknya, yaitu Nabi Yusuf. Belum juga bertemu, masih sebatas mencium aroma gamis Nabi Yusuf. Bertemu anak adalah momen indah dalam hidup. Jika anak pulang, dengan alasan apapun. Entah bolos, kabur, atau tidak betah di suatu tempat, ia tetaplah anak. Sambutlah dia dengan hangat! " Masya Allah, Abi rindu. Kini engkau pulang ", " Subhanallah, anak Ummi tambah besar dan dewasa ", " Ada pakaian kotormu, biar Ummi cucikan ", " Engkau ingin makan apa, Nak? ", atau kalimat-kalimat cinta semisal. Biarlah ia tenang. Buat ia merasa terlindungi. Alhamdulillah ia pulang ke rumah. Artinya, ia masih menganggap rumah sebagai tempat mencari kedamaian. Ia masih kembali ke orangtua. Ia pulang karena berharap diayomi, dilindungi, dan dikuatkan orangtua. Jika sudah ada kesempatan, tiba momen yang tepat, tawarkan bantuan untuknya, " Apa yang bisa Abi atau Ummi bantu, Nak?". Tidak perlu menginterogasi. Sebab, jika merasa nyaman, anak akan bercerita selengkapnya. Jika thalabul ilmi adalah proses berjuang, maka bisa jadi anak sebagai pejuang pulang dalam keadaan penuh luka. Bisa jadi ia kalah berperang. Bisa juga ia dipukul mundur musuh. Mungkin turun semangatnya. Tugas orangtua adalah memotivasi dan suntikkan semangat untuknya. Lebih-lebih jika anak pulang dengan izin ustadznya. Ia pulang karena memang liburan lebaran. Apa salah anak, jika ia ingin mencari kehangatan kasih sayang orangtuanya? Jika khawatir anak akan bergaul dengan teman-teman yang buruk selama liburan, maka pertanyaannya, " Kenapa ia memilih bergaul dengan teman-temannya yang buruk? " Jawabannya : karena anak tidak nyaman di rumah. Maka, buatlah rumah menjadi tempat ternyaman buat anak.  Semoga Allah Ta'ala memberi hidayah buat anak-anak kita. Lendah, 05 Dzulhijjah 1443 H/05 Juli 2022 t.me/anakmudadansalaf
2 tahun yang lalu
baca 4 menit
Atsar.id
Atsar.id oleh Atsar ID

walau sebatas ingin bederma

 .(125) Walau Sebatas Ingin Bederma Dia punya seorang teman. Dia ingin seperti temannya. Suka bederma. Senang berbagi. Apalagi buat agama. Dia hanya bisa berandai-andai, " Semoga aku bisa seperti dia. Suka bederma. Senang berbagi. Apalagi untuk agama " Kamus Bahasa Indonesia mengartikan iri; sebagai sikap kurang senang melihat kelebihan orang lain. Sementara hasad, disebut dengan dengki. Dia iri kepada temannya. Tapi, bukan iri karena benci. Bukan sebab tidak suka. Apalagi membayangkan temannya itu kehilangan atau berkurang kenikmatan. Nabi Muhammad ﷺ menerangkan  (HR Bukhari 5025 Muslim 815 dari sahabat Ibnu Umar) : لا حسدَ إلا على اثنتينِ  " Tidak boleh hasad kecuali terhadap dua orang "  Nabi Muhammad ﷺ membahasakan dengan hasad. Namun, bukan dalam arti yang tercela atau terlarang. Tidak disebabkan benci atau kurang suka. Siapa mereka? Kenapa hasad diperbolehkan terhadap mereka? Satu dari dua jenis orang itu adalah : رجلٌ آتاه اللهُ مالًا فهو ينفقُ منه آناءَ الليلِ وآناءَ النهارِ " Seseorang. Allah memberinya harta. Ia berinfak sepanjang malam, sepanjang hari, dengan harta itu " Bukan semata-mata kaya raya. Tidak hanya karena banyak harta. Tapi, tidak dipakai buat kebaikan. Buat dihabiskan untuk foya-foya dan sia-sia. Terhadap orang semacam itu, buat apa iri? Adakah gunanya? Tapi, iri lah kepada seorang dermawan. Ia berharta dan harta itu ia pakai buat infak, sedekah, wakaf, hibah, dan amal kebaikan lainnya. Iri lah kepada orang dermawan. Tidak hanya memikirkan diri sendiri. Bukan ingin memuaskan diri. Justru ia kurang tenang dan tidak senang, bila tidak bisa berbagi. Nabi Muhammad ﷺ bersabda : لَوْ كانَ لي مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا ما يَسُرُّنِي أنْ لا يَمُرَّ عَلَيَّ ثَلاثٌ، وعِندِي منه شيءٌ إلَّا شيءٌ أُرْصِدُهُ لِدَيْنٍ " Andai aku punya emas sebanyak gunung Uhud, aku tidak merasa tenang, berlalu 3 hari kemudian masih ada yang tersisa. Kecuali yang aku siapkan untuk melunasi utang " (HR Bukhari 2389 Muslim 991 dari sahabat Abu Hurairah) Subhanallah!  Sedemikian dermawan Nabi Muhammad ﷺ. Beliau hanya ingin memberi, memberi, dan memberi. Berbagi, berbagi, dan terus berbagi. Lebih-lebih, Nabi Muhammad ﷺ menyatakan : وإنَّما أنا قاسِمٌ ويُعْطِي اللَّهُ " Saya hanya sebatas membagi. Allah lah yang memberi " (HR Bukhari 71 Muslim 1037 dari sahabat Muawiyah) Artinya? Beliau mengingatkan bahwa harta yang ada, harta yang dipunya, hakikatnya milik Allah. Dia-lah yang memberikan dan menitipkan. Tugas hamba adalah membagikan dan menyalurkan di jalan- Nya. 0000____0000 Dia punya seorang teman. Dia ingin seperti temannya. Suka bederma. Senang berbagi. Apalagi buat agama. Dia hanya bisa berandai-andai, " Semoga aku bisa seperti dia. Suka bederma. Senang berbagi. Apalagi untuk agama " Dia juga susah hati. Sedih. Menangis. Bahkan seolah-olah tersiksa.  Ingin rasanya bederma. Maunya ia saja yang membangun masjid, mendirikan pesantren, membebaskan lahan, membiayai santri-santri, menanggung operasional pendidikan, dan mewakafkan apa yang diperlukan untuk berdakwah. Tapi, dia tidak bisa. Sebab, ia tak berharta. Atau terkadang ada harta, namun belum bisa berlapang dada. Kadang dia berpikir, apakah pantas sederajat di surga dengan Nabi Muhammad ﷺ yang terdepan dalam berinfak? Bisakah ia sederajat di surga dengan Abu Bakar Ash Shidiq yang berinfak dengan semua harta? Umar bin Khattab yang berinfak separuh harta? Atau Utsman bin Affan yang sedekahnya tidak terhitung karena saking sering dan begitu banyaknya? Maunya berjumpa dan dihimpun di surga bersama Rasulullah ﷺ , bersama Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun apakah itu hanya angan-angan tanpa kenyataan? Sementara, pikirnya, dia masih belum bisa seperti Rasulullah ﷺ yang memberi seperti orang yang tidak takut miskin. Sebab, tidak ada orang dermawan jatuh miskin. Lendah, 28 Dzulqa'dah 1443 H/27 Juni 2022  (Tentang teman yang berkenan wakaf tanah. Baarakallah fiik) t.me/anakmudadansalaf
2 tahun yang lalu
baca 3 menit