(137)
Sekilas, santri diidentikkan dengan sosok yang saleh, rajin beribadat, dan benci pada hal-hal yang buruk.
Walau begitu, realita tidak selalu demikian. Tetap saja, meski prosentasenya kecil, ada santri yang berpredikat nakal.
Menurut KBBI, nakal diartikan : suka berbuat kurang baik, tidak menurut, mengganggu, dan buruk kelakuan.
Mencuri, misalnya.
Ada banyak motif kenapa oknum santri mencuri. Antara lain ; klepto (mencuri barang namun tidak dia gunakan), faktor pressure dari yang lebih kuat, korban fitnah, dorongan ekonomi, ingin memiliki, kultur lingkungan, praktek dari tontonan film, proses adaptasi yang kurang berjalan baik, dan masih ada motif-motif lainnya.
Terlepas motif, perbuatan mencuri tidak dibenarkan. Siapa saja tidak boleh mencuri, apalagi yang menyandang status santri.
Rasulullah ﷺ bersabda :
لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ
" Allah melaknat pencuri " HR Bukhari no.6783 dari sahabat Abu Hurairah.
Saya pernah bersedih karena "terpaksa" memulangkan santri yang terbukti mencuri. Ada bukti, saksi, plus pengakuannya. Bukan satu kali ia lakukan. Sudah sering dan berulang-ulang. Kali terakhir, tertangkap tangan.
Kasihan juga jika melihat latar belakang anak itu. Namun, jikapun saya memberinya kesempatan terakhir, lingkungan pesantren susah untuk menerimanya.
Walau ia mengaku bersalah. Berjanji tidak akan mengulangi lagi. Semua kerugian dia ganti. Bahkan, orangtua nya datang untuk memintakan maaf. Intinya, anak itu hendak bertaubat. Tetap saja berat. Kenapa?
Yang hidup di lingkungan pesantren bukan hanya saya seorang diri. Masih terdapat teman-teman anak itu. Santri-santri yang ada. Pengurus pun satu kata. Mereka semua sulit menerima kembali.
" Bukan hak kami menutup pintu taubat, Ustadz. Jika anak itu ingin baik, tidak harus di tempat ini, kan? Biarlah dia mencari tempat lain. Jujur, kami trauma ", begitulah kira-kira pernyataan santri-santri.
Ibnul Qayyim berbicara panjang lebar tentang efek negatif dan dampak buruk berbuat maksiat. Ada puluhan efek buruk yang beliau sebutkan dalam kitab Al Jawaabul Kaafi.
Efek sosial juga disentuh Ibnul Qayyim. Sejumlah ulama Salaf diriwayatkan mengatakan, " Saat saya berbuat maksiat, saya bisa merasakan efeknya pada istri dan kendaraan milik saya "
Kitab-kitab fikih semua madzhab membahas kriteria orang yang bisa menjadi saksi dalam sebuah perkara. Salah satu kriterianya; Al 'Adaalah (adil dan terpercaya).
Oleh sebab itu, orang fasik tidak diterima kesaksiannya. Contohnya, orang yang dikenal sering berbohong dan orang yang pernah dikenai hukum hadd karena kasus Qadzf (tuduhan berbuat keji tanpa bukti).
Hal ini menegaskan bahwa perbuatan dosa bisa berefek sosial. Walau pelaku sudah menyatakan bertaubat. Meski dia menunjukkan tanda-tanda kesungguhan berubah. Namun, efek sosial santri nakal harus diterima sebagai sebuah kenyataan.
Apa kesimpulannya?
Pada kasus santri nakal :
1. Ia harus bertaubat. Taubat yang nasuha. Serius dan jujur. Menyesal yang dalam. Bertekad tidak mengulangi.
2. Pintu taubat terbuka untuknya. Sebab, Allah maha pengampun dan maha menerima taubat. Dimaafkan dan diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
3. Urusannya dengan Allah, tentu Allah yang mengaturnya. Urusannya dengan orang lain, hendaknya diselesaikan sebaik-baiknya.
4. Efek sosial karena nakal adalah realita yang nyata. Jangan menyalahkan orang! Jalani saja sebagai risiko berbuat nakal. Justru hal itu sebagai pengingat agar tidak kembali berbuat. Itulah ujian, apakah taubatnya benar-benar ikhlas karena Allah? Ataukah hanya sekadar untuk bisa diterima manusia?
5. Efek sosial oknum santri yang nakal adalah trauma di sebagian orang. Mereka takut jadi korban lagi. Mereka khawatir terluka kembali. Maka, wajar jika mereka menjaga jarak.
Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (6/127) menyatakan, " Ulama bersepakat ; tidak boleh seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari 3 hari. Kecuali, bila khawatir karena berbicara atau berinteraksi dengannya, justru bisa merusak agamanya, atau menimbulkan madharat agama dan dunia pada dirinya. Jika demikian, maka ada rukhsah untuk menjauhi dan menghindarinya. Seringkali, menghindar secara elegan lebih baik daripada berbaur namun menyakiti"
Saat menulis ini, saya teringat kembali wajah santri yang saya pulangkan. Teringat juga wajah ayahnya yang pasti kecewa.
Saya hanya bisa berdoa dan berharap agar ia berhasil melewati masa-masa sulit ini. Semoga Allah memberi hidayah untuknya. Menguatkannya agar benar-benar berhenti dari kebiasaan mengutil atau mencuri.
Walau sulit untuk kembali ke sini, masih banyak tempat yang bisa dipilih untuk memperbaiki diri.
Bila ia sungguh-sungguh bertaubat, manusia tidak memuji pun ia tak peduli. Meski sebagian orang tetap membenci, ia usahakan memaafkan karena itulah efek perbuatannya sendiri.
Semoga Allah melimpahkan hidayah untuk semuanya.
Lendah, 02 Shafar 1444 H/30 Agustus 2022
t.me/anakmudadansalaf